Gambaran Umum Konflik Kosovo
Konflik di Kosovo sebenarnya telah terjadi sejak
ratusan tahun yang lalu, konflik tersebut dilatar belakangi keinginan rakyat
Kosovo dalam menempuh kemerdekaan. Kosovo merupakan sebuah provinsi di negara
bekas Yugoslavia dan kini berada dibawah kedaulatan Serbia. Di Kosovo dihuni
oleh sejumlah masyarakat minoritas Serbia yang beragama Islam (etnis Albania).
Islam merupakan agama minoritas di Kosovo, sementara mayoritas masyarakat di
Yugoslavia dan Serbia beragama Katolik. Perbedaan identitas menjadi latar belakang
etnis Albania untuk merdeka dan menjadikan Republik Kosovo sebagai negara yang
berdaulat terpisah.
Pada masa pemerintahan Josip Broz Tito (1953-1980) ketegangan
antar etnis di Yugoslavia berhasil ditekan, dan telah menciptakan situasi vakum
konflik. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa stabilitas negara Yugoslavia
bergantung sepenuhnya pada kemampuan pemimpin kharismatik dalam harmonisasi
hubungan antar etnik. Akan tetapi, setelah kematian Tito pada tanggal 4 Mei
1980, ketegangan antar etnis muncul kembali. Kekerasan etnik yang terjadi di
kosovo awal tahun 1981, merupakan fenomena awal konflik anar etnik
sepeninggalan Tito yang paling krusial bagi stabilitas Yugoslavia. Terjadi
unjuk rasa yang meluas di Kosovo oleh kelompok nasional Albania yang menuntut
peningkatan status Kosovo menjadi republik penuh. Unjuk rasa yang dilakukan
oleh mahasiswa di Universitas Pristina bulan Maret 1981 secara cepat menyulut
demonstrasi secara luas dan aksi kekerasan melanda seluruh wilayah propinsi,
menyebabkan bentrok serius antara etnis Albania dengan aparat keamanan. Seluruh
wilayah Kosovo di tutup dan keadaan darurat diumumkan. Pemerintah Serbia
melakukan unjuk kekuatan militer di seluruh wilayah Kosovo, pasukan anti huru-hara
di turunkan untuk meredakan suasana. Seluruh institusi pendidikan di wilayah
ini ditutup.
Demonstrasi yang semakin meluas terjadi pada bulan
Maret 1982. Ketegangan dan kerusuhan meluas ke wilayah Montenegro dan Macedonia.
Pada akhir juli 1980, sekitar 2.000 etnik Serbia dan Montenegro berencana
melakukan longmarch dari Kosovo
menuju Beograd untuk melakukan protes terhadap kegagalan pemerintah federal
dalam menghentikan aksi kekerasan kelompok nasionalis Albania. Tapi aksi protes
itu di hentikan oleh pemerintah setempat. Ratusan etnik Serbia dan Montengro
mengungsi keluar meninggalkan Kosovo, dengan jumlah total pengungsi sebesar
22.000 orang pada tahun 1987[1].
Sekali lagi, stabilitas negara Yugoslavia bergantung
sepenuhnya pada pemimpin negara. Pada masa kepemimpinan Slobodan Milosevic,
justru membuat konflik ini semakin memuncak pada tahun 1989. Terjadi
demonstrasi besar-besaran yang di lakukan etnis Albania sebagai rasa kekecewaan
terhadap Serbia. Kosovo merasa otonomi propinsinya banyak di kurangi semenjak
Serbia dipimpin oleh Slobodan Milosevic. Kerusuhan etnis memuncak ketika di sahkannya
amandemen undang-undang dasar Republik Serbia, yang menyatakan bahwa otonomi
Kosovo berada dibawah pengawasan pemerintah Republik Serbia (Maret 1989).
Padahal sebelum diubah (berdasarkan konsitusi 1974), Serbia tidak mempunyai
wewenang terhadap propinsi otonominya. Kerusuhan yang terjadi menimbulkan
jatuhnya korban sebanyak 100 orang meninggal dari etnis Albania (termasuk dua
polisi) dan lebih dari 254 militan Albania di tangkap dalam Bulan Febuari 1990
setelah terjadi kerusuhan[2].
Perubahan ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tidak
hanya menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat Kosovo, akan tetapi juga
menimbulkan kekhawatiran bagi republic-republik lainnya, karena konstitusi
tersebut juga memberikan wewenang lebih besar bagi pemerintah pusat, dan
berarti pula akan mengurangi kebebasan republic-republik tersebut, oleh sebab
itu kemudian Kosovo mendapat dukungan dari Republik Kroasia dan Slovenia. Lebih
lanjut lagi, pertikaian antar etnis ini mengakibatkan terjadinya pertentangan
antar gereja, dan bahkan menjalar kepada bidang kehidupan politik dan sosial.
Aksi demonstrasi yang semakin membesar terhadap
amandemen undang-undang dasar republic Serbia, dan semakin besarnya keinginan
etnik Albania untuk memerdekakan diri, membuat Slobodan Milosevic melakukan
aksi agresif. Milosevic menumpas para
gerilyawan dan mengusir etnik Albania dari Kosovo. Bahkan Milosevic membentuk
KLA (Tentara Pembebasan Kosovo) yang dikhususkan untuk memberantas kelompok
separatis yang mengupayakan kemerdekaan Kosovo. Milosevic menganggap bahwa
etnis tersebut merupakan teroris yang haru segera dihancurkan. Pembantaian
dilakukan semakin brutal, tidak hanya memberantas para pemberontak, tetapi juga
warga sipil etnis Albania dibawah komando Slobodan Milosevic. Pembantai
tersebut kemudian mendapat perhatian dari dunia internasional, Amerika Serikat
dan NATO mengancam Presiden Slobodan Milosevic untuk menghentikan aksi pembantaian
tersebut. Akan tetapi pemusnahan massal (genosida) tetap dilakukan oleh
Slobodan Milosevic tanpa menghiraukan ancaman internasional.
Teori dan Penyelesaian Konflik Kosovo
Berdasarkan latar belakang situasi yang sangat tidak
kondusif diwilayah Yugoslavia, berdasarkan teori Resolusi Konflik Internasional, dan berdasarkan analisis peneliti,
teknik mediasi tidak lagi efektif dilakukan untuk menghentikan konflik ini. Situasi
terlalu brutal, dan aktor negara tampak tidak dapat diajak melakukan perundingan.
Satu-satunya solusi untuk menghentikan konflik ini ialah dengan mengambil andil
atau campur tangan (intervensi) kedalam konflik tersebut, dengan tujuan utama
untuk menyelamatkan sisa-sisa etnis Albania di Kosovo.
Genosida menurut Statuta Roma dan Undang-Undang No.
26 Tahun 2000 Republik Indonesia tentang Pengadilan HAM, genosida ialah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Genosida
merupakan satu dari empat pelanggaran Hak Asasi Manusia (kejahatan kemanusiaan,
kejahatan perang, dan kejahatan agresi) berat yang berada dalam yuridiksi International Criminal Court. Berdasarkan
definisi mengenai genosida, konflik yang terjadi di Yugoslavia tergolong
tindakan genosida, dan telah termasuk kedalam pelanggaran HAM terberat didunia.
Bertolak kepada kenyataan bahwa tindakan yang
terjadi di Yugoslavia, maka penyelesaian yang dapat dilakukan tidak lagi
melalui mediasi. Meskipun dalam unsur yang dijabarkan oleh Wallensteen,
pemerintah Yugoslavia pada dasarnya mengakui eksistensi etnis Albania di Kosovo
sebagai warga negaranya, akan tetapi konflik ini telah berlanjut menjadi
tindakan melanggar HAM berat dan harus melibatkan dunia internasional lebih
jauh lagi.
Situasi ini tentu berbeda dengan situasi konflik di
Kosovo yang sangat radikal, kedua pihak sama-sama memiliki kebencian dan
kekerasan emosional untuk tetap memperjuangkan apa yang dianggapnya secara
pribadi benar. Presiden Slobodan Millosevic menganggap bahwa sejak dahulu
Kosovo berada didalam kesatuan wilayah Serbia, dan oleh sebab itu bagaimanapun
juga tidak akan bisa menjadi negara sendiri. Akan tetapi etnis Serbia sejak
ratusan tahun juga bersikeras bahwa bagaimanapun caranya mereka harus menjadi
negara yang berdaulat, karena posisi mereka selalu menjadi rakyat minoritas,
dan secara latarbelakang sudah sangat jauh berbeda. Presiden Slobodan
Millosevic menganggap bahwa segala upaya pemberontakan etnis Albania merupakan
bentuk terorisme karena menjadi gangguan bagi stabilitas negara Serbia, sementara
etnis Albania merasa perlu untuk terus menerus memperjuangkan keinginan mereka.
Saling bertentangannya kepentingan tersebut dan melihat konflik ini telah ada
sejak ratusan tahun yang lalu, penulis berasumsi bahwa teknik mediasi tidak
akan efektif dan efisien, tidak hanya dalam penyelesaiannya, untuk mendudukkan
kedua belah pihak kedalam sebuah perundingan mungkin juga akan menjadi sebuah
kesulitan besar.
Pada situasi seperti inilah Intervensi Internasional sangat diperlukan. Konflik dan tindakan
intervensi merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, terutama ketika
sebuah konflik telah melanggar hak-hak asasi manusia. Intervensi mulai sering
dilakukan sejak berakhirnya Perang Dingin, seiring dengan semakin banyaknya
konflik sipil yang melanggar hak asasi manusia. Tindakan intervensi terbagi
atas dua bentuk: Intervensi Kemanusiaan Militer dan Intervensi Kemanusiaan Non
Militer. Intervensi Kemanusiaan Non Militer mulai dilakukan sejak berakhirnya
Perang Dingin, hal ini dilakukan karena banyak pemikir politik yang tidak
setuju dengan tindakan intervensi militer, karena dalam beberapa tindakan
intervensi yang dilakukan terdapat unsur-unsur politik, sehingga justru
menimbulkan konflik baru setelah intervensi dilakukan, terutama karena pihak
yang memiliki kapabilitas dalam intervensi adalah organisasi-organisasi
internasional, seperti PBB yang didominasi oleh Amerika Serikat.
Perihal Genosida yang dilakukan di Kosovo, tindakan
yang sebaiknya dilakukan ialah melalui pelaksanaan kedua intervensi. Baik
intervensi kemanusiaan militer, maupun intervensi kemanusiaan non-militer. Penggunaan
militer akan memberikan ancaman kepada Yugoslavia, dan intervensi kemanusiaan
berupa pemberian makanan, pendidikan, dan kesehatan bagi rakyat Kosovo akan
membantu mereka pulih dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar