Kamis, 09 Februari 2017

Resume: Resolusi Konflik: Konflik Kosovo

Berdasarkan uraian mengenai konflik, jenis konflik, dan sebab konflik, terdapat beberapa negara yang tergolong rentan terhadap konflik hingga saat ini, konflik tersebut berkepanjangan, dan tergolong high-conflict karena menewaskan banyak jiwa. Beberapa negara yang rentan terhadap konflik ialah: Thailand Selatan, Kosovo, Rohingya, Palestina, dan Somalia. Lima negara tersebut merupakan negara yang mengalami konflik berkepanjangan, dan tergolong kedalam konflik internasional yang sangat ekstrim. Pendekatan teori Resolusi Konflik akan menjadi metode dasar pemikiran dalam penyelesaian konflik suatu negara, atau kasus dalam konflik-konflik yang menjadi fokus terhadap identifikasi kasus yang terjadi di Thailand Selatan, Kosovo, etnis Rohingya di Myanmar, Palestina, dan Somalia.


Gambaran Umum Konflik Kosovo

Konflik di Kosovo sebenarnya telah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu, konflik tersebut dilatar belakangi keinginan rakyat Kosovo dalam menempuh kemerdekaan. Kosovo merupakan sebuah provinsi di negara bekas Yugoslavia dan kini berada dibawah kedaulatan Serbia. Di Kosovo dihuni oleh sejumlah masyarakat minoritas Serbia yang beragama Islam (etnis Albania). Islam merupakan agama minoritas di Kosovo, sementara mayoritas masyarakat di Yugoslavia dan Serbia beragama Katolik. Perbedaan identitas menjadi latar belakang etnis Albania untuk merdeka dan menjadikan Republik Kosovo sebagai negara yang berdaulat terpisah.
Pada masa pemerintahan Josip Broz Tito (1953-1980) ketegangan antar etnis di Yugoslavia berhasil ditekan, dan telah menciptakan situasi vakum konflik. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa stabilitas negara Yugoslavia bergantung sepenuhnya pada kemampuan pemimpin kharismatik dalam harmonisasi hubungan antar etnik. Akan tetapi, setelah kematian Tito pada tanggal 4 Mei 1980, ketegangan antar etnis muncul kembali. Kekerasan etnik yang terjadi di kosovo awal tahun 1981, merupakan fenomena awal konflik anar etnik sepeninggalan Tito yang paling krusial bagi stabilitas Yugoslavia. Terjadi unjuk rasa yang meluas di Kosovo oleh kelompok nasional Albania yang menuntut peningkatan status Kosovo menjadi republik penuh. Unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa di Universitas Pristina bulan Maret 1981 secara cepat menyulut demonstrasi secara luas dan aksi kekerasan melanda seluruh wilayah propinsi, menyebabkan bentrok serius antara etnis Albania dengan aparat keamanan. Seluruh wilayah Kosovo di tutup dan keadaan darurat diumumkan. Pemerintah Serbia melakukan unjuk kekuatan militer di seluruh wilayah Kosovo, pasukan anti huru-hara di turunkan untuk meredakan suasana. Seluruh institusi pendidikan di wilayah ini ditutup.
Demonstrasi yang semakin meluas terjadi pada bulan Maret 1982. Ketegangan dan kerusuhan meluas ke wilayah Montenegro dan Macedonia. Pada akhir juli 1980, sekitar 2.000 etnik Serbia dan Montenegro berencana melakukan longmarch dari Kosovo menuju Beograd untuk melakukan protes terhadap kegagalan pemerintah federal dalam menghentikan aksi kekerasan kelompok nasionalis Albania. Tapi aksi protes itu di hentikan oleh pemerintah setempat. Ratusan etnik Serbia dan Montengro mengungsi keluar meninggalkan Kosovo, dengan jumlah total pengungsi sebesar 22.000 orang pada tahun 1987[1].
Sekali lagi, stabilitas negara Yugoslavia bergantung sepenuhnya pada pemimpin negara. Pada masa kepemimpinan Slobodan Milosevic, justru membuat konflik ini semakin memuncak pada tahun 1989. Terjadi demonstrasi besar-besaran yang di lakukan etnis Albania sebagai rasa kekecewaan terhadap Serbia. Kosovo merasa otonomi propinsinya banyak di kurangi semenjak Serbia dipimpin oleh Slobodan Milosevic. Kerusuhan etnis memuncak ketika di sahkannya amandemen undang-undang dasar Republik Serbia, yang menyatakan bahwa otonomi Kosovo berada dibawah pengawasan pemerintah Republik Serbia (Maret 1989). Padahal sebelum diubah (berdasarkan konsitusi 1974), Serbia tidak mempunyai wewenang terhadap propinsi otonominya. Kerusuhan yang terjadi menimbulkan jatuhnya korban sebanyak 100 orang meninggal dari etnis Albania (termasuk dua polisi) dan lebih dari 254 militan Albania di tangkap dalam Bulan Febuari 1990 setelah terjadi kerusuhan[2].
Perubahan ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tidak hanya menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat Kosovo, akan tetapi juga menimbulkan kekhawatiran bagi republic-republik lainnya, karena konstitusi tersebut juga memberikan wewenang lebih besar bagi pemerintah pusat, dan berarti pula akan mengurangi kebebasan republic-republik tersebut, oleh sebab itu kemudian Kosovo mendapat dukungan dari Republik Kroasia dan Slovenia. Lebih lanjut lagi, pertikaian antar etnis ini mengakibatkan terjadinya pertentangan antar gereja, dan bahkan menjalar kepada bidang kehidupan politik dan sosial.
Aksi demonstrasi yang semakin membesar terhadap amandemen undang-undang dasar republic Serbia, dan semakin besarnya keinginan etnik Albania untuk memerdekakan diri, membuat Slobodan Milosevic melakukan aksi agresif.  Milosevic menumpas para gerilyawan dan mengusir etnik Albania dari Kosovo. Bahkan Milosevic membentuk KLA (Tentara Pembebasan Kosovo) yang dikhususkan untuk memberantas kelompok separatis yang mengupayakan kemerdekaan Kosovo. Milosevic menganggap bahwa etnis tersebut merupakan teroris yang haru segera dihancurkan. Pembantaian dilakukan semakin brutal, tidak hanya memberantas para pemberontak, tetapi juga warga sipil etnis Albania dibawah komando Slobodan Milosevic. Pembantai tersebut kemudian mendapat perhatian dari dunia internasional, Amerika Serikat dan NATO mengancam Presiden Slobodan Milosevic untuk menghentikan aksi pembantaian tersebut. Akan tetapi pemusnahan massal (genosida) tetap dilakukan oleh Slobodan Milosevic tanpa menghiraukan ancaman internasional.


Teori dan Penyelesaian Konflik Kosovo

Berdasarkan latar belakang situasi yang sangat tidak kondusif diwilayah Yugoslavia, berdasarkan teori Resolusi Konflik Internasional, dan berdasarkan analisis peneliti, teknik mediasi tidak lagi efektif dilakukan untuk menghentikan konflik ini. Situasi terlalu brutal, dan aktor negara tampak tidak dapat diajak melakukan perundingan. Satu-satunya solusi untuk menghentikan konflik ini ialah dengan mengambil andil atau campur tangan (intervensi) kedalam konflik tersebut, dengan tujuan utama untuk menyelamatkan sisa-sisa etnis Albania di Kosovo.
Genosida menurut Statuta Roma dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Republik Indonesia tentang Pengadilan HAM, genosida ialah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran Hak Asasi Manusia (kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi) berat yang berada dalam yuridiksi International Criminal Court. Berdasarkan definisi mengenai genosida, konflik yang terjadi di Yugoslavia tergolong tindakan genosida, dan telah termasuk kedalam pelanggaran HAM terberat didunia.
Bertolak kepada kenyataan bahwa tindakan yang terjadi di Yugoslavia, maka penyelesaian yang dapat dilakukan tidak lagi melalui mediasi. Meskipun dalam unsur yang dijabarkan oleh Wallensteen, pemerintah Yugoslavia pada dasarnya mengakui eksistensi etnis Albania di Kosovo sebagai warga negaranya, akan tetapi konflik ini telah berlanjut menjadi tindakan melanggar HAM berat dan harus melibatkan dunia internasional lebih jauh lagi.
Situasi ini tentu berbeda dengan situasi konflik di Kosovo yang sangat radikal, kedua pihak sama-sama memiliki kebencian dan kekerasan emosional untuk tetap memperjuangkan apa yang dianggapnya secara pribadi benar. Presiden Slobodan Millosevic menganggap bahwa sejak dahulu Kosovo berada didalam kesatuan wilayah Serbia, dan oleh sebab itu bagaimanapun juga tidak akan bisa menjadi negara sendiri. Akan tetapi etnis Serbia sejak ratusan tahun juga bersikeras bahwa bagaimanapun caranya mereka harus menjadi negara yang berdaulat, karena posisi mereka selalu menjadi rakyat minoritas, dan secara latarbelakang sudah sangat jauh berbeda. Presiden Slobodan Millosevic menganggap bahwa segala upaya pemberontakan etnis Albania merupakan bentuk terorisme karena menjadi gangguan bagi stabilitas negara Serbia, sementara etnis Albania merasa perlu untuk terus menerus memperjuangkan keinginan mereka. Saling bertentangannya kepentingan tersebut dan melihat konflik ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, penulis berasumsi bahwa teknik mediasi tidak akan efektif dan efisien, tidak hanya dalam penyelesaiannya, untuk mendudukkan kedua belah pihak kedalam sebuah perundingan mungkin juga akan menjadi sebuah kesulitan besar.
Pada situasi seperti inilah Intervensi Internasional sangat diperlukan. Konflik dan tindakan intervensi merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, terutama ketika sebuah konflik telah melanggar hak-hak asasi manusia. Intervensi mulai sering dilakukan sejak berakhirnya Perang Dingin, seiring dengan semakin banyaknya konflik sipil yang melanggar hak asasi manusia. Tindakan intervensi terbagi atas dua bentuk: Intervensi Kemanusiaan Militer dan Intervensi Kemanusiaan Non Militer. Intervensi Kemanusiaan Non Militer mulai dilakukan sejak berakhirnya Perang Dingin, hal ini dilakukan karena banyak pemikir politik yang tidak setuju dengan tindakan intervensi militer, karena dalam beberapa tindakan intervensi yang dilakukan terdapat unsur-unsur politik, sehingga justru menimbulkan konflik baru setelah intervensi dilakukan, terutama karena pihak yang memiliki kapabilitas dalam intervensi adalah organisasi-organisasi internasional, seperti PBB yang didominasi oleh Amerika Serikat.
Perihal Genosida yang dilakukan di Kosovo, tindakan yang sebaiknya dilakukan ialah melalui pelaksanaan kedua intervensi. Baik intervensi kemanusiaan militer, maupun intervensi kemanusiaan non-militer. Penggunaan militer akan memberikan ancaman kepada Yugoslavia, dan intervensi kemanusiaan berupa pemberian makanan, pendidikan, dan kesehatan bagi rakyat Kosovo akan membantu mereka pulih dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.



[1] Ensiklopedia Indonesia Suplemen. 1990. PT Lehtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta.
[2] Website Resmi Organisasi International Religious Tolerance. Religious Aspects of the Yugoslavia – Kosovo Conflict, diakses pada 19 Juni 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...