Minggu, 05 Februari 2017

Book Resume: State Transformation and New Security Dilemmas, Georg Sorensen

Masih ingat, pada postingan saya sebelumnya tentang Georg Sorensen?
Jika belum membaca bisa men-scroll kembali publish lama saya tentang Thirteen Days movie review Georg Sorensen.
Kali ini bukan film lagi, tetapi tentang tulisan beliau yang berjudul "State Transformation and New Security Dilemmas" dalam buku ini.... stay read ya...


Hasil gambar untuk Globalization, Security, and the Nation State: Paradigms in Transition


Secara garis besar menggambarkan bagaimana argument Soresen dalam melihat transformasi Negara dengan kaitannya terhadap dilemma keamanan yang baru.

George Soresen mengkategorikan beberapa jenis Negara dalam bukunya untuk mempermudah melihat atau mengklasifikasikan jenis Negara tersebut dan dilemma keamanan yang mungkin, sedang, atau umumnya akan dihadapi Negara tersebut. Klasifikasi Negara tersebut ialah: kategori Negara Modern, Negara Postmodern, dan Negara Lemah atau Negara Post-Kolonial.
Negara Modern dalam buku Soresen merupakan Negara yang dicita-citakan akan dicapai oleh Negara-negara saat ini. Oleh sebab itu, hingga kini Soresen menganggap bahwa Negara Modern masih belum terwujud, atau masih berupa langkah-langkah untuk mencapai.
Negara modern memiliki beberapa ciri khusus, yakni: 

  1. Pemerintahan, yakni memiliki sistem berlandaskan aturan demokratik, berbasis kepada seperangkat administrative, kepolisi, dan organisasi militer, disahkan oleh tatanan hukum, mengklaim monopoli dari penggunaan legitimasi terhadap kekerasan, seluruhnya mencakup wilayah-wilayah tertentu. 
  2. Kebangsaan. Terdiri atas orang-orang didalam kawasan yang kemudian membentuk komunitas warga (dengan hak-hak politik, sosial, dan ekonomi), serta komunitas sentiment yang berbasis kepada linguistic, budaya, sejarah kebangsaan. Kebangsaan yang mengarah kepada tingginya tingkat keterlibatan kohesi, ikatan bangsa serta Negara secara bersama-sama. 
  3. Ekonomi. Yakni memiliki karakteristik perekonomian nasional terpisah, mandiri dalam artian dapat memproduksi sendiri sector-sektro kebutuhan utama untuk kebutuhan reproduksinya, serta kebanyakan kegiatan utama telah dapat dilakukan langsung dirumah (home industry).
Singkatnya, Negara dapat dikategorikan sebagai Negara modern apabila dapat menyediakan konteks kehidupan yang baik, dengan sistem aturan demokrasi terpusat, dapat menciptakan dasar bagi perdamaian serta ketertiban dalam negeri, dan perlindungan bagi warga Negaranya dari ancaman-ancaman eksternal. Negara modern dicirikan oleh tingkat kohesi social, dalam arti bahwa mereka telah berhasil mandiri dan menjadi Negara kuat (Buzan, 1991: 97). Namun tentu saja dengan adanya perbedaan struktur domestic yang berbeda-beda di setiap masing-masing Negara, serta ancaman dilemma keamanan yang juga berbeda-beda, konsep Negara modern dan kuat ini masih sulit untuk dicapai.
Oleh sebab itu Soresen menyebutkan bahwa sejak abad ke-18, jenis Negara-negara yang ada saat ini hanyalah Negara post-colonial, dan post-modern. Postmodern dalam hal ini ialah kondisi dimana Negara-negara berusaha mencapai cita-citanya menjadi Negara modern. Dengan kata lain, memang pada kenyataanya muncul Negara-negara yang telah atau dapat dikategorikan sebagai Negara kuat, akan tetapi Negara tersebut belum dapat dikategorikan telah berhasil 100% menjadi Negara modern. 
Dalam beberapa perkembangan Negara postmodern menjadi negaramodern diantaranya ialah: 

  1. Ekonomi, yang telah bertransformasi dari ekonomi nasional kearah ekonomi global, dimana telah ada perusahaan transnasional yang mengatur rantai produksi diperbatasan secara regional dan global. Transformasi ini telah terjadi khususnya di Negara-negara maju, dengan tingkat produksinya yang telah mampu melebihi perdagangan dunia. Perdagangan ini biasanya berlangsung antar intra-produksi dan intra-perusahaan. Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, kemudian terbentuklah integrasi pasar keuangan global. Berkaitan dengan semakin dalamnya tingkat integrasi Negara satu dengan Negara lain, kemudian pada kenyataannya membuat perekonomian nasional menjadi semakin jauh atau kurang mandiri dibandingkan dulu.
  2. Politik/ pemerintahan, tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintahan nasional, tetapi juga organisasi non-pemerintah dan lainnya, termasuk peran actor non-negara. Namun dalam tujuannya ingin menjadikan pemerintahan yang bertingkat masih sangat sulit dicapai, karena dalam prakteknya justru terjadi tumpang tindih. Akan tetapi dalam hal lain seperti didalam kerjasama konvensional telah berhasil terjalin lebih intens antara Negara merdeka, dan pada konteks beberapa Negara lain, tercermin transformasi yang mendalam terhada pemerintahan suprasional dalam konteks masyarakat yang saling berhubungan.
  3. Kebangsaan. Dalam item terakhir ini, untuk mewujudkan kebangsaan dengan komunitas warga modern (memiliki hak-hak politik, ekonomi, serta kewajiban) dan komunitas sentiment (kelompok masyarakat dengan identitas linguistic, budaya dan sejarah umum), saat ini Negara postmodern telah memberikan kemajuan dengan mencoba memberikan hak-hak kewarganegaraan, berdaulat, serta pemberian hak-hak kepada non-warga Negara, selain itu juga telah muncul pertumbuhan dan pergerakan regional, dan semakin meningkatnya masyarakat mandiri sehingga beban Negara untuk memenuhi hak-hak social dan kesejahteraan telah berkurang. Akan tetapi terjadi kesulitan yakni loyalitas kolektif yang diproyeksikan semakin jauh dari Negara.
Tentunya transformasi Negara Modern dan postmodern ini lebih terkonsentrasi kepada Negara-negara Dunia Ketiga atau Negara-negara lemah (post-kolonial) seperti Afrika. Hal ini dikarenakan proses pencapaian cita-cita menjadi Negara modern lebih sulit dicapai oleh Negara-negara kategori lemah dan Dunia Ketiga tersebut. 
Soresen menyebutkan tiga faktor yang menyebabkan sulitnya Negara-negara lemah dalam mencapai cita-cita untuk menjadi Negara modern, yakni:

  1. Pemerintahan. Pada segi pemerintahan, Negara lemah cenderung tidak efisien, korup dalam administrasi dan kelembagaan struktur, serta peraturannya masih didasarkan kepada pemaksaan ketimbang aturan hukum. 
  2. Kebangsaan. Terjadi dominasi komunitas local/ etnis, dengan berkembangnya ikatan-ikatan warga masyarakat sentiment, serta rendahnya tingkat legitimasi Negara. 
  3. Ekonomi. Inkoheren amalgamasi pertanian tradisional, sector formal perkotaan kecil, dan beberapa fragmen industry modern. Memunculkan secara signifikan ketergantungan pada pasar dunia dan pada kepentingan ekonomi eksternal.
Soresen dalam bukunya tersebut juga kemudian menjabarkan dilemma keamanan yang muncul dalam setiap jenis Negara tersebut. Dimulai dari dilemma keamanan klasik, sebagaimana disebutkan oleh John Herz (1950), yakni dilemma keamanan yang terjadi apabila dilatarbelakangi oleh kecemburuan terus menerus terhadap satu sama lain. Namun dilemma keamanan ini tentu saja sulit terjadi karena dengan adanya konsep Negara berdaulat, Negara mungkin saja tetap memiliki rasa kecemburuan antara satu sama lain, dan kemudian berkeinginan untuk membuat langkah-langkah untuk membuat diri merea aman ataupun lebih kuat dibanding Negara lainnya, akan tetapi tidak dapat melakukan tindakan berlebihan karena hubungan setiap Negara telah diatur dibawah hukum dunia interasional.
Soresen lebih lanjut menyebutkan dalam bukunya, yakni dalam dilemma keamanan klasik terjadi tiga cirri khusus, yakni:  

  1. Kelalaian didalam Negara menjadi tidak tampak, tetapi kelalaian tampak jelas dalam hubungan antar Negara. Kelalaian yang dimaksud ialah perhatian Negara saat itu tidak lagi ditujukan kepada perlindungan ancaman dari permasalah dalam negeri, tetapi lebih mengutamakan kepada masalah internal, ataupun persaingan-persaingan antar Negara, seperti persaingan persenjataan antar Negara. Dengan kata lain, pada masa ini, masalah atau pertentangan dalam Negara menjadi tidak terlalu menarik lagi untuk diperhatikan. 
  2. Asumsi bahwa konflik dan kekerasan selalu mengintai Negara-negara anarki. 
  3. Asumsi mengenai penyediaan kerangka kerja ‘kebahagiaan’. Yakni kenyataan bahwa kerangka kerja ‘kebahagiaan’ tersebut hanya berlaku pada Negara-negara tertentu saja, seperti Negara-negara modern, atau Negara-negara industry besar seperti Negara Eropa Barat, Amerika Utara, hingga Jepang, serta beberapa tempat-tempat sejenis. Karena pada beberapa contoh kasus, seperti pada masa pemerintahan Stalin di Uni Soviet, justru dengan adanya kekuatan Negara berdaulat, Stalin dapat menjalankan obsesinya terhadap musu-musuh domestiknya untuk kemudian mengirimkan 10 juta orang untuk kerja paksa, sementara jutaan orang lainnya tewas dalam rezimnya yang penuh terror dan penyiksaan. Soresen juga kemudian berargumen bahwa dilemma keamanan klasik ini merupakan dilemma keamanan yang cenderung mengarah kepada jenis Negara dalam kategori modern.
Selain itu, dilemma keamanan juga terjadi pada Negara post-modern yakni terkait juga kepada globalisasi, yang sekaligus membuktikan bahwa terdapat ketidak sesuaian gambaran mengenai keamanan yang diuraikan oleh Hobbesian maupun kaum realis. Yakni gambaran yang menyatakan bahwa struktur-struktur domestic Negara dapat saja diabaikan karena pada dasarnya mereka dianggap sebagai homogeny yakni seperti sebuah ‘unit’, karena mereka hanyalah unit-unit pengikut Negara saja, dengan kata lain, Negara adalah pengemudi unit-unit tersebut.  Dalam permasalahan dilemma keamanan saat ini, tentu saja membuktikan bahwa pada kenyataannya permasalahan-permasalah domestic adalah hal terpenting yang seharusnya diperhatikan sebelum memberikan perhatian atau respon terhadap kepentingan ataupun permasalahan-permasalahan eksternal. Berkaitan dengan konsep Negara itu sendiri, menyatakan bahwa seharusnya Negara mampu menciptakan ‘kerangka kebahagiaan’ yang mencakup; keamanan, kesejahteraan, ketertiban bagi warga negaranya, baik dari acaman internal maupun eksternal. Terutama pada era globalisasi saat ini, masalah tidak hanya berasal dari luar, seperti ancaman terhadap persaingan persenjataan antara Negara-negara, tetapi juga konflik-konflik domestic yang justru kemudian menjadi masalah keamanan yang lebih serius dibandingkan ancaman eksternal Negara itu sendiri.
Pada konteks Negara postmodern, ancaman-ancaman internal menjadi hal yang dominan terjadi dan menjadi salah satu dilemma keamanan yang rentan serta sulit untuk dikendalikan. Meskipun memiliki otoritas yang sah, Negara terus menjadi independen secara formal, namun juga semakin terikan satu sama lain melalui jaringan sistem pemerintahan bertingkan (multilevel government). Umumnya Negara-negara ini menganut sistem demokrasi liberal, dengan karakteristik memiliki tingkat kerjasama yang tinggi melalui lembaga-lembaga internasional, dan saling bergantung satu sama lainnya, baik dibidang ekonomi, maupun bidang lainnya. Sistem demokrasi liberal yang dianutnya ini juga sekaligus mencakup kebijakan pemberian hak-hak individu, toleransi keragaman non sipil, daerah etnis, dan agama (seperti yang dilakukan masyarakat Barat pada umumnya), hal ini yang kemudian pada kenyataanya memunculkan dilemma keamanan jenis baru, yakni memang tidak terjadi anarki besar seperti perang besar antara Negara satu dengan Negara lainnya pada era globalisasi ini, akan tetapi justru negara postmodern rentan terhadap konflik kekerasan dalam Negara, seringnya terjadi demonstrasi yang tidak jelas ditujukan untuk apa, dikarenakan sistem demokrasi liberal yang menyatakan bahwa masyarakat berhak melakukan demo, dan justru dengan adanya demo menunjukkan bahwa Negara tersebut adalah Negara demokrasi.
Selain itu, dalam konteks jenis Negara postmodern, tantangan baru yang dihadapinya ialah:  

  1. Menyangkut identifikasi objek keamanan. Yakni dengan adanya hubungan perdagangan dan kebutuhan pemenuhan ekonomi antara Negara satu dengan Negara lain dengan mempermudah atau menghilangkan hambatan-hambatan lintas batas Negara demi kepentingan mewujudkan ruang lingkup ekonomi yang lebih besar, kontrol terhadap Negara juga kemudian menjadi jauh lebih sulit, baik secara ekonomi maupun politik. Aturan mengenai territorial menjadi semakin sulit mencapai keefektifan, dikarenakan kebijakan ‘tidak menutup ruang’ tersebut. Secara politik, konteks objek keamanan juga semakin bergeser, dan kemudian juga mempengaruhi terjadinya kerancuan dalam perwujudan pemerintahan bertingkat. 
  2. Kerancuan multilevel government, dikarenakan pengaruh globalisasi dan demokrasi tersebut, kebutuhan membuat penguasa kemudian dikuasai oleh kebutuhan ekonominya, oleh sebab itu kebijakan dan aturan menjadi tidak relevan, beberapa masyarakat pemilik otoritas menjadi tidak tunduk terhadap aturan, dan menjadi tidak terkontrol. Hal ini sekaligus menjadikan control terhadap ancaman-ancaman dilemma keamanan baru juga semakin sulit untuk diramalkan.
Ulrich Beck (1992) mengatakan bahwa masyarakat Negara postmodern akan dihadapi masalah-masalah dilemma keamanan baru, seperti: masalah dilemma keamanan lingkungan, munculnya jenis penyakit-penyakit baru maupun serangan penyakit-penyakit lama, meningkatnya kriminalitas, masalah narkoba (obat-obatan terlarang), migrasi, serta krisis ekonomi. 
 Oleh sebab itu tantangan Negara postmodern tidak hanya untuk menjamin keselamatan maupun keamanan militer bagi warga negaranya, tetapi juga menjamin keefektifan kondisi warga Negara dalam hal nilai-nilai social dasar keamanan, ketertiban, keadilan, kebebasan dan kesejahteraan. Terutama setelah terjadinya tragedy 11 September, muncul dilemma keamanan baru dan sangat serius, khususnya melanda Negara-negara Barat, yakni masalah atau ancaman terorisme, yang serangannya sangat serius dan memprihatinkan karena tidak hanya membunuh orang-orang tertentu saja, tetapi juga membunuh banyak sekali jumlah warga sipil tak berdosa. Selain itu, setelah berakhirnya tragedy 11 September, terjadi ancaman-ancaman dilemma keamanan baru terkait terror seperti: terror penggunaan bahan kimia maupun serangan terror biologis. Tragedi setelah 11 September membuktikan bahwa masyarakat global baru telah sangat terbuka dan rentan melakukan serangan terorisme yang kejam. Oleh sebab itu pengawasan pada Negara postmodern dituntut untuk jauh lebih diperketat demi mewujudkan kemanan bagi warga Negara tersebut. Selain itu, hal ini juga sekaligus menyatakan bahwa cita-cita menjadi Negara modern sangat sulit untuk dicapai.
Sementara itu, Negara postcolonial atau dikatakan oleh Soresen sebagai Negara lemah, menghadapi jenis dilemma keamanan yang berbeda dibandingkan dilemma keamanan klasik (modern) maupun dilemma keamanan Negara post modern. Herz-Hobbes menyatakan bahwa Negara-negara lemah ialah Negara-negara yang posisinya/ dalam keadaannya tidak mampu untuk membela dirinya dalam menghadapi tantangan eksternal yang serius, dan pada posisinya tersebut, sangat mudah untuk dijatuhkan oleh Negara-negara kuat.
 Namun pada kenyataanya, tidak semudah itu untuk menjatuhkan, mengintimidasi ataupun menguasai Negara lemah. Hal ini dikarenakan adanya norma-norma internasional yang menjamin keberadaan serta hak-hak Negara-negara yang berlatar belakang bekas jajahan tersebut (post-kolonial). Dan oleh sebab itu, Negara-negara lemah juga dalam kondisinya juga tidak mudah atau rentan dihadapi oleh ancaman-ancaman eksternal.
Norma-norma internasional yang ditujukan untuk Negara postcolonial diantaranya ialah

  1. Hak bagi Negara koloni untuk merdeka, serta secara eksplisit dapat menolak substansi politik atau ekonomi, karena secara umum Negara bekas jajahan biasanya telah memiliki syarat sepenuhnya cukup untuk menjadi Negara berdaulat. 
  2. Setiap Negara, termasuk Negara-negara baru berdaulat memiliki hak atas perbatasannya, serta hukumnya sangat sacral. Oleh sebab itu, tak perduli seberapa lemahnya Negara tersebut, dengan perlindungan norma, Negara kuat tidak dapat sembarang saja melakukan penindasan seutuhnya terhadap Negara lemah tersebut. Norma telah menjamin Negara-negara, terutama Negara lemah untuk tidak takut apabila berhadapan dengan Negara kuat. Negara lemah juga berhak untuk eksis, mengembangakan dirinya, serta memiliki kedaulatan secara yuridis. Bahkan dalam contoh kasus Negara lemah seperti Somalia, Negara-negara kuat tidak dapat melakukan penindasan maupun pengambilan alih perbatasan Negara mereka begitu saja.
Akan tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa Negara-negara lemah terhindar dari dilemma keamanan. Berbeda dengan dilemma keamanan yang dihadapi oleh Negara postmodern, masalah-masalah yang cenderung menyerang Negara-negara lemah ialah masalah ketidak siapan mereka sebagai Negara baru yang sepenuhnya mandiri. Mengingat mereka merupakan Negara bekas jajahan, mereka sangat lemah menghadapi masalah serius dalam negeri, seperti: kondisi administrative yang masih lemah, ekonomi cenderung rapuh, dan dalam beberapa kasus rentan terjadi berbagai serangan yang muncul dari berbagai oposisi domestik, pertentangan juga terjadi pada pemerintahan, kelompok etnis, kelompok minoritas, kelompok elit, dan sebagainya. Kecendrungan dilemma-dilema tersebut tercermin dalam beberapa Negara bekas jajahan seperti: Ethiopia. Akan tetapi keberhasilan Negara-negara bekas jajahan seperti Taiwan dan Korea Selatan, membuktikan bahwa kecendrungan-kecendrungan tersebut tidak mutlak terjadi kepada Negara-negara bekas jajahan, karena pada kenyataanya beberapa Negara yang saat ini diperhitungkan dalam pasar dunia, adalah Negara-negara yang merupakan Negara bekas jajahan.
Namun beberapa hal yang pasti dan menjadi kesimpulan dalam resume ini ialah kenyataan bahwa dalam perkembangan Negara-negara yang selalu berubah tersebut memang keluar dari konteks bahwa dilemma keamanan hanya berkisar antara masalah militer dan munculnya peperangan fisik antara Negara satu dengan Negara lain. Akan tetapi saat ini, muncul dilemma-dilema keamanan baru sebagai resiko perkembangan Negara tersebut. Kerentanan tidak hanya terjadi akibat ancaman eksternal, tetapi juga dan justru ancaman internal menjadi hal yang sangat mengancam saat ini. Proses pengontrolan, dan mengatasinya pun menjadi semakin sulit, sulit untuk diramalkan serta diawasi karena menyerang dalam berbagai sektor. Oleh sebab itu, Negara-negara ini dan dilemma keamanan mereka akan menjadi elemen utama dari sistem internasional selama beberapa decade abad ke-dua puluh satu. Hal ini tentunya terkait kepada konsep Negara yang berkembang dalam disiplin ilmu hubungan internasional, yakni mengenai kewajiban Negara sebagai tempat berharga yang dapat menyediakan atau setidaknya dapat diharapkan untuk menyediakan dasar nilai-nilai social bagi warga Negara mereka, baik penyediaan keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan maupun kesejahteraan. Kewajiban ini muncul sejak penyediaan nilai-nilai social yang awalnya menjadi kewajiban setiap kawanan, suku, kelompok dan sebagainya digantikan oleh keberadaan konsep Negara-negara berdaulat sebagi bentuk dominasi organisasi politik yang sifatnya universal. Konsep kewajiban Negara ini juga kemudian dibahas lebih rinci dalam teori politik. Serta pertanyaan atau kritik terhadap kenyataan bahwa tujuan terbentuknya Negara yakni untuk menghindari keadaan manusia hidup dalam kealamiahannya, dimana anarki mendominasi dan manusia dapat sama-sama memiliki sifat egoistic untuk mendapatkan leher masing-masing. Negara yang dengan segala aturan dan hukum yang sifatnya berlaku untuk semua, akan mampu menjamin kesejahteraan setiap umat manusia, ketertiban, perlindungan, serta dapat meminimalisir tingkat dominasi anarki dan keadaan alamiah manusia.

Jumlah kata : 2, 452 kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...