Tulisan
ini merupakan summary yang membahas mengenai ketiadaan teori hubungan
internasional non-Barat, yang berasal dari Korea. Summary ini bersumber pada
karangan Chaesung Chun, yang berjudul Why is there no non-Western
international relations theory?: Reflections on and from Korea, yang
terdapat di dalam buku Non-Western International Relations Theory:
Perspectives on and beyond Asia (Editor: Amitav Acharya dan Barry
Buzan).
Pada
awal tulisannya ini, Chaesung Chun menyatakan bahwa para sarjana Korea memiliki
pemikiran tersendiri dalam menganalisa politik regional dan hubungan antar
dinasti, nilai moral tertanam sangat kuat dalam diri mereka. Akan tetapi mereka
kurang memahami konsep ilmu sosial positif. Sehingga Korea mengalami kesulitan
dalam beradaptasi dengan sistem internasional modern dalam masa transisi
(1876-1910).
Chun
menyatakan bahwa kesulitan beradaptasi ini disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, karena tradisi dan norma kekuasaan kaisar menjadikan para sarjana
Korea sulit memahami sistem internasional modern, terutama konsep persamaan
kedaulatan dan politik non intervensi. Kedua, adanya kesenjangan antara nilai-nilai
normatif dan hukum dari suatu sistem internasional, dengan kenyataan yang
terjadi di dunia internasional. Invasi yang terjadi terhadap teritorial Korea,
membuktikan bahwa hukum tidak bisa menjamin kedaulatan pada saat itu. Ketiga,
Korea mengadopsi sistem negara modern bertepatan dengan masa imperialis barat.
Bagi para imperialis, kedaulatan nasional hanya milik negara kuat, dan keadaan
Korea pada saat itu tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai negara berdaulat.
Hal ini dibuktikan dengan sia-sianya perwakilan Korea pada Konferensi
Perdamaian Den Haag (1907) dan Versailles (1919), karena yang dihadapi dalam
pertemuan tersebut adalah negara-negara imperialis.
Sejak
tahun 1945 Korea yang bebas dari jajahan Jepang dan imperialis Barat yang
menjajah sebelum Jepang, mulai menjalankan hubungan internasionalnya, sehingga
diakui sebagai negara berdaulat oleh masyarakat internasional. Masa awal studi
HI di Korea Selatan, ditandai dengan berkurangnya pengaruh akademisi Jepang dan
bertambahnya dominasi karya ilmiah pemikiran barat. Dan sejak tahun 1950, para
sarjana Korea menggunakan teori-teori Barat untuk menganalisa hubungan
internasional yang terjadi di Semenanjung Korea. Kurangnya jumlah intelektual
dan drastisnya perkembangan studi HI, serta pecahnya Perang Korea membuat para
sarjana Korea mulai berpikir bagaimana menyelesaikan berbagai permasalahan yang
ada, seperti pembangunan negara, pembagian wilayah teritorial, dan kebijakan
luar negeri.
Sejak
kemerdekaan hingga berakhirnya Perang Korea (1945-1953), Korea masih tetap
berada di bawah pengaruh akademis Jepang dan Amerika. Sehingga, para sarjana
Korea mulai mengembangkan diri dan mendirikan lembaga Korean Political Science Association (KPSA) tahun 1953. Organisasi
ini adalah organisasi akademis terbesar Korea di bidang ilmu pengetahuan
politik. Studi HI pertama kali dipelopori oleh Universitas Nasional Korea dan kemudian
diikuti oleh institusi pendidikan lainnya. Dan pada tahun 1956, jurusan HI di
Korea pertama kali muncul di Universitas Nasional Seoul. Selain itu, juga ada
Asosiasi Studi Internasional Korea yang mengorganisasi ilmuwan politik
internasional di Korea.
Kebanyakan
sarjana Korea merupakan lulusan doktor dari akademi Amerika Serikat, sehingga
sangat dipengaruhi nilai-nilai liberal. Hal ini juga mempererat hubungan antara
Korea Selatan dan Amerika. Perspektif realis yang merupakan perspektif dominan
dalam studi hubungan internasional pada masa tersebut, menjadi pembahasan yang
umum dibicarakan dalam tulisan-tulisan para sarjana Korea. Kajian-kajian yang
dibahas meliputi kebijakan luar negeri, kebijakan keamanan, lembaga-lembaga
internasional, dan teori hubungan internasional.
Walaupun
pengaruh pemikiran barat masih ada, sarjana Korea berusaha untuk membuat karya
ilmiah sendiri, seperti yang dilakukan oleh Lee Yong-Hee dengan bukunya A
General Theory of International Politics in Relation with its Historical
Aspects. Buku tersebut membahas HI
dari sudut pandang penulis berdasarkan sejarah dan kondisi internasional Korea.
Selain itu, jurnal-jurnal seperti Korean Political Science Review (KPSR)
dan Korean Journal of International Studies (KJIS) juga diterbitkan
untuk membahas tentang hubungan internasional secara umum, seperti hubungan
Korea dengan Amerika dan Jepang, modernisasi, serta teori-teori HI. Pengaruh
teori barat, khususnya realisme, terus dominan dalam karya-karya ilmiah sarjana
Korea, sehingga mereka tetap menggunakan teori-teori barat dalam menganalisa
kondisi hubungan internasional Korea.
Pada
tahun 1970-an, jumlah sarjana HI Korea semakin bertambah, dan behavioralisme tumbuh
menjadi salah satu pembahasan dalam studi HI Korea. Munculnya behavioralisme di
Korea merupakan pengaruh yang dibawa doktor-doktor HI lulusan Amerika Serikat,
karena behavioralisme juga berkembang di Amerika Serikat.
Realisme
dan behavioralisme menjadi teori dominan karena kondisi Korea pada saat itu
berada dalam Perang Dingin, sehingga membuat para ahli HI membuat penelitian
empiris dalam menganalisa studi tentang keamanan. Ditambah lagi dengan
meningkatnya kepedulian terhadap
ekonomi politik internasional dalam menangani krisis minyak di pertengahan 1979-an,
serta perkembangan hubungan ekonomi dan perdagangan. Para sarjana tetap
menggunakan teori-teori barat, namun telah dikembangkan dan disesuaikan dengan
kondisi yang terjadi di Korea Selatan pada masa tersebut. Perkembangan teori HI
di Korea seperti teori interdependensi, teori rezim, dan teori kritis telah
mempengaruhi pemikiran sarjana HI di Korea. Berbagai perubahan dan peristiwa
yang terjadi di dunia internasional pada 1970-an dan 1980-an sangat berpengaruh
bagi para sarjana Korea.
Sejak
akhir 1980-an, banyak perubahan yang terjadi di Korea Selatan. Berakhirnya
Perang Dingin juga telah banyak mengubah pemikiran para sarjana hubungan
internasional Korea Selatan. Adanya pembagian kekuasaan juga menentukan masa
depan Korea Utara dan Korea Selatan. Selain itu, globalisasi yang diharapkan
membantu perkembangan malah membuat Korea Selatan jatuh kedalam krisis
finansial pada tahun 1997. Pada akhirnya, Korea Selatan menjadi salah satu
negara dengan teknologi informasi maju, yang menjadi penyebab para ahli mulai
berfokus pada perkembangan internet, komunikasi, dan budaya yang memengaruhi
proses politik domestik dan internasional.
Menurut
Chun, perubahan politik yang terjadi di Korea belakangan ini dipengaruhi oleh
beberapa hal, seperti: (i) pengaruh Amerika Serikat, yang semula sangat besar
terhadap perpolitikan Korea, mulai berkurang dan melemah; (ii) keinginan para
sarjana Korea untuk mengembangkan teori-teori HI yang masih sangat kecil,
mungkin ini dikarenakan para sarjana Korea ini merupakan kaum post-positivis,
yang terkenal dengan pengembangan teorinya berdasarkan dengan nilai-nilai dan
pandangan yang berkembang di tempat mereka; serta (iii) bertambahnya
institusi-institusi penelitian, asosiasi-asosiasi akademis, dan
kelompok-kelompok pelajar, seperti “Korean
Politicial Science Association (KPSA), Korean
Association of International Study (KAIS), The Twenty First-Century Politicial Science Association,
Korean Peace Research Institute, The Sejong Institute,
The Institute for Far Eastern Studies,”
(hlm. 74) yang aktif mempublikasikan tulisan yang mengkritik tema-tema
HI, sehingga muncul teori-teori HI baru yang lebih cocok diterapkan di Korea.
Walaupun demikian, banyak juga dari mereka yang menggunakan teori-teori HI dari
sarjana Amerika untuk diaplikasikan di Korea.
Sejarah Perspektif Teori HI di
Korea
Perkembangan
HI di Korea berbeda dengan perkembangan HI di negara-negara barat, yang
melahirkan banyak sekali perspektif teori HI. Perkembangan teori dan praktik HI
di Eropa sangat dipengaruhi oleh hubungan antarnegara dalam sebuah sistem
internasional modern. Sedangkan di Korea, praktik HI sangat dipengaruhi oleh
pertentangan antarkelas, yaitu antara tatanan tradisional Korea dengan
peradaban dan pengaruh modernisasi dari barat, serta perkembangan politik yang
berkembang di kawasan Asia.
Peradaban
Korea kuno mengenal prinsip dinasti dalam perpolitikannya. Bentuk pemerintahan
dinasti menimbulkan adanya hierarki yang muncul dari persaingan antarkerajaan
Korea dan juga kerajaan dari Cina. Ada dua periode politik regional yang pernah
terjadi pada era Korea kuno, yakni perkembangan politik abad ke 14 ketika
dinasti Chosun di semenanjung Korea, dan perkembangan politik ketika dinasti
Ming di Cina daratan yang muncul sebagai kekuatan baru akibat dari kemunduran
peradaban Mongolia. Dinasti-dinasti yang ada di Korea ini tidak hanya memiliki
konflik dengan dinasti yang ada di Cina, tetapi juga dengan kerajaan yang ada
di bagian utara semenanjung Korea. Pada era ini, praktik-praktik seperti
pencaplokan dan penaklukan masih dianggap sebagai proses yang sah, karena
masing-masing kerajaan belum memiliki kedaulatan. Pada ketika itu, juga
dikenal adanya sistem internasional yang
bersifat anarkis. Karena dinasti Korea memperluas wilayahnya dengan menggunakan
kemampuan militer.
Sejak
akhir abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-19, tatanan Sino-centris dan sistem
kekaisaran yang universal mendominasi perkembangan politik di kawasan “Asia
Timur Laut” (hlm. 75). Sehingga Korea menjadi bagian terbesar dari kekaisaran Cina. Walaupun terjadi invasi Korea oleh Jepang
pada tahun 1599, yang memaksa Chosun (pemimpin Korea) meminta pertolongan pada Cina.
Sejarah HI di Asia Timur pada umumnya dan Korea pada khususnya, sangat mendekati
pandangan kelompok realis.
Chun
mengatakan bahwa memang sulit mencari pemikir HI dari sarjana-sarjana Korea
ketika itu. Hal ini merupakan akibat adanya ketidakkomitmennya masyarakat
Korea, karena di satu sisi tatanan sosial yang lama masih diberlakukan,
sedangkan di sisi lain masyarakat tradisional mengalami transisi menuju
prinsip-prinsip kehidupan modern. Setelah mendapat invasi dari Jepang,
kedaulatan nasional menjadi isu terbesar dalam proses pembentukan negara Korea.
Setelah lepas dari imprealisme Cina, Korea menjadi sebuah negara yang berdaulat
di bawah kekuasaan Chosun. Dan selanjutnya, negara-negara Eropa dan Amerika
mulai berdatangan ke Korea untuk berdagang dan tujuan lainnya.
Sejak
tahun 1897, Korea telah menjadi negara merdeka. Akan tetapi Korea kembali
dijajah oleh Jepang hingga tahun 1910. Penjajahan kembali oleh Jepang ini,
menjadikan rakyat Korea yang pada awalnya hanya bertolak pada bentuk kekuasaan
politik Cina, kemudian mulai membuka pikiran mereka terhadap konsep “negara
modern yang berdaulat ala Eropa”. Pada periode 1880-an ke atas Korea seolah
menjadi rebutan dua negara, Cina dan Jepang.
Tahun
1890-an menjadi awal bagi Jepang untuk menaklukan semenanjung Korea yang semula
berada di bawah pengaruh Cina. Banyaknya kepentingan-kepentingan global di
Korea bermula dari tahun 1897, ketika Chosun yang semula memegang kekuasaan di
Korea harus menyerah pada perebutan negeri Korea atas kekuatan-kekuatan besar
diantaranya kekuatan-kekuatan dari Barat seperti Inggris dan Rusia. Nasib Korea
kemudian menjadi tidak jelas ketika akhirnya peta kekuatan di Asia Timur
menjadikan Jepang sebagai kekuatan baru dengan kemampuannya dalam mengalahkan
Rusia pada tahun 1905 yang juga dengan mudahnya Jepang menguasai Korea tanpa
mendapat perlawanan dari negara-negara yang semula bersaing memperebutkan
semenanjung Korea (pada sekitar tahun 1880an, Inggris pernah menduduki
pelabuhan pelabuhan Port Hamilton di Selatan Korea, tujuannya adalah melawan
Rusia dengan kemampuan angkatan lautnya, para pemikir hubungan internasional
Korea tidak bisa memahami kebijakan luar negeri illegal yang dilakukan bangsa
lain di negeri mereka).
Awalnya
para sarjana-sarjana Korea kurang memahami konsep kedaulatan nasional. Konsep Balance of Power yang telah
diaplikasikan dalam sistem kenegaraan Korea, memberi petunjuk bagi sarjana
Korea dalam memahami hubungan internasional model Barat. Istilah “The Law of
All Nations”, yang dikembangkan oleh sarjana Hukum Internasional Barat,
Wheaton, diadopsi oleh bangsa Korea menjadi salah satu gagasan terbentuknya
kesetaraan kekuasaan bagi bangsa Korea terhadap bangsa lain.
Faktor-Faktor
Ketertinggalan Teori HI di Korea
Adapun
faktor-faktor keterbelakangan teori-teori HI di Korea dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Tertinggalnya
prestasi akademik dan filosofis dalam teori-teori, karena karya-karya akademik
di bidang politik khususnya HI baru berkembang setelah adanya pengenalan
terhadap HI modern.
2. Teori-teori
barat diadopsi sebagai produk jadi tanpa adanya proses seperti yang terjadi di
barat itu sendiri.
3. Teori-teori
HI dari barat secara langsung atau tidak langsung telah meminggirkan posisi dan
sejarah dari negara-negara dunia ketiga.
4. Realitas HI
di Asia sangat kompleks selalu ada kombinasi beberapa prinsip pengorganisasian
dan struktural imperatif dan hal tersebut membutuhkan pemahaman bagi
negara-negara di Asia Timur untuk mengatasi beberapa masalah pada saat yang
sama, baik secara intelektual maupun praktis.
5. Bentuk
fundamental untuk menentukan nasib orang-orang Korea sering
berasal dari tingkat global.
berasal dari tingkat global.
6. Tidak semua
teori-teori barat dapat secara langsung diterapkan di Korea. Hal ini
dikarenakan teori makro (grand teori) seperti asumsi-asumsi neorealisme dan
neoliberalisme bahwa aktor berdaulat dan berkompeten harus berperilaku dan
berfikir dengan rasional dan strategis.
7. Bidang
sejarah dan HI dalam dunia akademis di Korea, biasanya dipisahkan. Bidang
sejarah memiliki pendekatan sendiri dan asumsi-asumsi teoritis dari orang-orang
di bidang HI. Namun, tanpa menggabungkan sejarah dan teori, pembangunan akan
sulit memiliki teori yang tepat. (Elman 2001; Kim 2005).
8. Pertukaran
pendapat atau melaksanakan dialog di antara para akademisi di negara-negara
Asia Timur agak kurang. Sarjana HI di Korea, Cina, dan Jepang memiliki
pendekatan yang berbeda-berbeda mengenai konsepsi tentang kegunaan teori Barat.
Tanpa percakapan sistemik di kalangan sarjana di wilayah yang sama, akan sangat
sulit untuk memiliki teori IR regional yang koheren.
Muncul
beberapa pertanyaan, yaitu mengapa kita membutuhkan teori-teori HI non-Barat
untuk menjelaskan realitas yang terjadi di dunia non-Barat? Bukankah teori bersifat
universal? Apakah kita memerlukan sejumlah teori yang berbeda untuk negara-bangsa
yang berbeda? Jika tidak, teori apa yang dapat menjelaskan permasalahan yang
terjadi baik di Barat maupun non-Barat?
Chun
menjelaskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai berikut:
1. Teori-teori
HI diinduksi dari realitas sejarah. Jika teori HI tertentu mencerminkan sejarah
suatu wilayah tertentu, maka itu adalah teori spasial terbatas dan hal ini juga
berlaku untuk dimensi temporal.
2. Setiap teori
memiliki sebuah penjelasan dan dimensi normatif. Dari perspektif teori kritis,
sulit bagi teoretikus untuk memiliki nilai bebas dari teori agenda, atau
orientasi teoritis.
Teori
HI barat telah sangat membantu dalam menjelaskan realitas HI di Korea,
khususnya realisme dan studi keamanan (Ikenberry dan Mastanduno 2003; Alagappa
2003). Sebagai kawasan di Asia Timur yang telah ditandai dengan adanya
keseimbangan kekuatan dan kompetisi keamanan, teori tentang keseimbangan
kekuasaan, hegemoni, dilema keamanan dan transisi kekuasaan sangat membantu.
Dalam kasus terakhir, masa lalu masih tumpang tindih terhadap realitas historis
dan dimensi waktu yang menyulitkan konfigurasi struktural dari tatanan
regional, dan pencampuran prinsip-prinsip pengorganisasian yang berbeda dari
HI. Selain itu, masalah kedaulatan yang sangat kompleks karena kesatuan
kedaulatan teritorial belum sepenuhnya didirikan di Cina dan Korea. Begitu pula
di Jepang juga dibatasi oleh konstitusi pasifis pasca-perang terutama dalam
urusan militer.
Kemudian,
asumsi yang dibuat oleh teori Barat, terutama neorealisme dan
neoliberalisme yaitu penyelesaian negara-bangsa yang fungsional dibedakan (seperti-unit), tidak dapat secara seragam diterapkan untuk HI di Asia Timur.Yang dibutuhkan adalah ide segar tentang sifat unit atau instansi. Dengan memiliki banyak ide dan prinsip-prinsip pengorganisasian ganda, maka dapat mengemukakan teori dari segi sifat setiap kejadian. Di sisi lain, pemikiran non-Barat termotivasi oleh kekhawatiran atas klaim. Politik dan otonomi ekonomi dari dominasi negara maju, persamaan kedaulatan antara negara-negara, menerima bantuan dan mengubah status quo, yang dianggap sebagai pelestarian eksploitasi oleh barat sehingga dunia yang berbeda muncul untuk masa depan. Jika tidak dapat membangun argumen yang tepat mengenai standar meta-etis terhadap penilaian atas kebenaran atau kelengkapan dari dimensi teori normatif masing-masing, perdebatan analitis akan terus ada tanpa adanya penyelesaian yang nyata, yang mendasari
konflik antara teori, khususnya di antara teori-teori barat dan non-barat.
neoliberalisme yaitu penyelesaian negara-bangsa yang fungsional dibedakan (seperti-unit), tidak dapat secara seragam diterapkan untuk HI di Asia Timur.Yang dibutuhkan adalah ide segar tentang sifat unit atau instansi. Dengan memiliki banyak ide dan prinsip-prinsip pengorganisasian ganda, maka dapat mengemukakan teori dari segi sifat setiap kejadian. Di sisi lain, pemikiran non-Barat termotivasi oleh kekhawatiran atas klaim. Politik dan otonomi ekonomi dari dominasi negara maju, persamaan kedaulatan antara negara-negara, menerima bantuan dan mengubah status quo, yang dianggap sebagai pelestarian eksploitasi oleh barat sehingga dunia yang berbeda muncul untuk masa depan. Jika tidak dapat membangun argumen yang tepat mengenai standar meta-etis terhadap penilaian atas kebenaran atau kelengkapan dari dimensi teori normatif masing-masing, perdebatan analitis akan terus ada tanpa adanya penyelesaian yang nyata, yang mendasari
konflik antara teori, khususnya di antara teori-teori barat dan non-barat.
Sekarang
kita mulai hidup dalam masa transisi dalam memerangi terorisme dan intervensi
politik ke negara lain serta urusan domestik dalam proses 'perluasan
kebebasan'. Jika AS berhasil untuk mengatur standar dengan nilai-nilai dan
kekuasaan materialnya sendiri, maka gagasan kedaulatan nasional akan sangat
berubah. Jika teori masa depan hanya mencerminkan fenomena terbaru yang terjadi
terutama di AS dan di negara-negara barat yang maju, terbatas dalam ruang dan
waktu, maka dunia non-Barat akan tetap tidak berdaya bukan hanya dalam
politik internasional nyata, tetapi juga dalam bidang teori. Tidak akan mudah
untuk memiliki sebuah teori yang memiliki dimensi yang komprehensif, baik
secara geografis dan historis, untuk berurusan dengan dunia yang maju dan
dikembangkan oleh dunia.
dalam kerangka teori yang koheren. Tidak seperti modernitas, yang menyekat
dunia, proyek postmodern dalam bidang HI harus termasuk realitas dan pengetahuan dari dunia non-barat. Tantangan bagi akademisi non-barat adalah untuk memberikan kontribusi untuk perkembangan teori postmodern HI, atau teori politik postmodern global.
dalam kerangka teori yang koheren. Tidak seperti modernitas, yang menyekat
dunia, proyek postmodern dalam bidang HI harus termasuk realitas dan pengetahuan dari dunia non-barat. Tantangan bagi akademisi non-barat adalah untuk memberikan kontribusi untuk perkembangan teori postmodern HI, atau teori politik postmodern global.
Jumlah
kata: 2385.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar