Hai, saya kembali dengan resume buku “Non-Western International Relations Theory – Perspectives on and beyond Asia” dari Amitav Acharya dan Barry Busan. Buku ini banyak sekali digunakan baik dalam studi S1 juga S2. Kali ini saya publish mengenai adanya teori hubungan internasional non-barat yang ada di Jepang.
Sebelumnya, jika anda memperhatikan publishan saya sebelum-sebelumnya, saya sudah pernah memberikan translate tentang bagaimana teori HI di Korea, kemudian juga pernah mencontohkan Critical Review saya terhadap buku ini yang saya ambil dari tugas S1 saya, kira-kira 4 atau 5 tahun yang lalu.
Nah, apa yang saya publish kali ini juga merupakan rekapan tugas saya sewaktu masih kuliah S1. Tetapi semoga masih banyak membantu. Tidak ada pengubahan yang saya lakukan, saya minta maaf karena juga sedikit waktu yang saya punya. Btw, ini merupakan hasil translate dari buku Amitav di Halaman 789!
Enjoy...
Why are there no
non-Western theories of
international relations?
The case of Japan
Setidaknya terdapat Tiga pemikir H. I yang sangat terkenal di Jepang, yaitu: Nishida, Tabata, dan Hirano, mereka merupakan perwakilan dari pemimpin ulama atau aktor yang terkenal dalam ilmu filsafat, hukum internasional, dan ekonomi di Jepang. Mereka adala orang-orang yang berpendirian keras dan memiliki perhatian besar terhadap Jepang dan Hubungan Internasional sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Nishida sebagai Konstruktivis Bawaan
"Identitas" dikatakan Nishida sebagai salah satu konsep kunci (key concept) dalam studi ilmu H.I.
Akan tetapi konsep kunci tersebut bagi Nishida adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dipahami secara memadai dengan metode positivis Anglo - Amerika sendiri. (Williams, 1996; Ong, 2004)
Nishida kemudian berusaha memperbaiki problematika ini, diawali dari "identitas Jepang dalam hubungan internasional" saat Jepang sedang mempertimbangkan posisinya diantara blok Timur dan blok Barat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: "Bagaimana membangkitkan kesadaran sejarah Jepang dalam lingkungannya yang secara normatif merasa rendah diri terhadap peradaban Barat yang dianggap lebih intelektual dan superior dalam hal moral dan budaya?" (Ong, 2004).
Nishida menolak logika Cartesian dan mengadopsi dialektika. Dialektika yang diadopsi oleh Nishida cenderung mengarah kepada Dialektika Hegelian.
Dalam dialektika Hegelian tersebut, sebuah tesis dan anti-tesis berdampingan tanpa membentuk sebuah sintesis. Dan kontradiksi mewujudkan diri sebagai beton, atau tidak selalu bergerak kearah sebuah sintesis baru tanpa self-contradiction bawaan, mlainkan menolak dekontekstualisasi dan berusaa meliat hal-hal dalam konteks yang lebih sesuai (Nisbett, 2003, dikutip dalam Ong, 2004).
Nishida berpendapat bahwa: "Identitas Jepang muncul melalui co-eksistensi berlawanan, Timur dan Barat" sederhananya, Nishida mengakatan bahwa "jika setiap hal yang nyata dan konkrit serta menentukan itu adalah dikarenakan oleh ekpresinya dari sebuah realita besar dan universal, maka identitas seorang individu adalah penentuan itu sendiri, dan pada saat yang sama merupakan manifestasi dari identitas diri yang universal dalam menentukan dirinya melalui individu. (Heisig, 2001)
Yang mencolok dalam filsafat Nishida adalah bahwa ia sangat ingin untuk membuat konstruksi identitas Jpang yang tidak bersifat parokial tetapi universal.
Orientasi Nishida adalah kualitatif, dan ini sangat berbeda dengan karya-karya yang dibuat oleh Nihonjinron pada tahun 1980-an dan 1990-an yang berpendapat bahwa budaya Jepang mrupakan budaya yang unik luar biasa dan bersifat parokial. Pandangan Nihonjinron adalah bahwa budaya Jepang merupakan suatu yang bersifat parokial dapat dilihat didalam kata-katanya yakni "kekhasan orang Jepang hanya bernilai lokal, namun hal ini dapat menjadi universal apabila telah disempurnakan dan dapat diekstraksi dan diterjemahkan kedalam lingkungan dunia tersebut". (Heisig, 2001)
Kebanyakan dari constructionist Amerika justru berenang didalam konsep rasionalisme. Tetapi Nishida tetap tinggal dalam filsafat ketiadaannya (1958). Apabila membaca lebih mendalam mengenai teori Nishida akan ditemukan kesadaran bahwa teori yang ia sampaikan tentang Jepang bersifat sangat mendalam.
Tabata sebagai Pemikir Hukum Internasional yang Berlandaskan Kebebasan Alamiah Individu
Tabata menitik fokuskan kepada "Kedaulatan Negara" sebagai suatu konsep dalam hubungan internasional.
Tabata Shigejiro fasih dalam tradisi panjang hukum internasional, kedaulatan negara, dan demokrasi mengemukakan teorinya tentang Hukum Internasional dan sangat menginginkan munculnya sebuah konsep hukum yang demokratis, anti-Barat, dan anti-hegemonik.
Pertanyaan kunci dalam pemikiran Tabata ialah: "Bagaimana mengobati kedaulatan negara?"
membahas kesetaraan negara, Tabata (1946) dalam karyanya yang ditulis sebelum tahun 1945 menekankan bahwa konsep negara yang mengandalkan kesetaraan "kebebasan alamiah individu dan kebijakan alam hukum" (Sakai, 2003, 2004) sebagaimana hal ini juga dikembangkan lebih jauh oleh Emmerich de Vattel dan Samuel von Pufendorf yang kontras dengan teori kedaulatan negara yang juga dikembangkan oleh Hugo Grotius, memiliki pengaruh luas selama periode antar posisi universalis.
Perbedaan kesemua pemikir yang menitik beratkan kepada kedaulatan negara ini adalah; bahwa teori kedaulatan negara Grotian lebih mengakomodasi apa yang terjadi di zaman awal modern dan mensyaratkan konsep Hobbes sebagai pelestarian diri dalam perjuangan konstan dalam masyarakat internasional.
Sementara teori kedaulatan negara milik Pufendorm cenderung mengembangkan argumennya berdasarkan persamaan individu dan keinginan individu bagi terciptanya kesetaraan negara-negara dimana tidak adal lagi yang menyakiti satu sama lainnya.
Teori kedaulatan negara Tabata sendiri mengambil aplikasi dramatis pada tahun 1944 dan 1950 (Sakai, 2003, 2004). Pada tahun 1944, Tabata menentang negasi dari kesetaraan negara dibawah skema Asia Timur Raya, dan untuk kemerdekaan segera yang diberikan kepada koloni Barat di Asia dengan konsep kesetaraan negara yang terwujud dalam skema tersebut. Selama periode kependudukan kekuatan Sekutu (1950) Tabata menegaskan pendapatnya bahwa dalam menyelesaikan perjanjian damai dengan beberapa Sekutu, adalah sama saja dengan negasi dari konsep kesetaraan negara. Pembawa kedaulatan adalah warga negara sendiri, dan prinsip demokrasi harus diamati dalam menyimpulkan sebuah perjanjian damai sebagaimana pemerintah harus usulkan untuk dilakukan. Tabata berargumen untuk transendensi kedaulatan negara sebagai dasar kesetaraan negara dan kedaulatan rakyat yang menurutnya akan mengarah ke perdamaian. Tabata juga berpendapat bahwa aksi pembalasan adalah suatu hal yang lazim di periode antar negara, termasuk periode melawan unilateralisme hegemonik dalam periode pasca-perang.
Pada tahun 2005, Jepang telah berhasil menjadi salah satu pembuat aturan utama dalam melepaskan peran tunggal pengambil keputusan dalam pemerintahan global dan dalam sejumlah bidang kebijakan (Inoguchi 2005: 112-17). Hubungan internasional Jepang telah meletakkan dasar dari beberapa relung yang lebih mungkin untuk tumbuh dalam waktu dekat. Pada awal 2000-an, contohnya; Jepang tengah sibuk meng-akademisi teori hukum internasional, yakni 'hukum antar peradaban' yang beirisi tentang berbagai konsepsi hak asasi manusia, membuat aturan dan norma-norma transaksi bisnis transnasional, dan merumuskan skema ' khusus menggambar hak 'untuk energi nuklir untuk tujuan damai melalui neo-multinationalism (Onuma 1998; Hurrell 2004; Inoguchi 2005).
Hirano sebagai Ekonom yang Menempatkan Integrasi Regional Lebih Tinggi dari Kedaulatan Negara
Lain hal dengan Tabata, Hirano menekankan perhatian terhadap "Integrasi Regional Ekonomi" sebagai konsep kunci dalam studi hubungan internasional. Menurut Hirano, setelah lolos dari nasib tersisih didalam ekonomi dunia, meskipun kurangnya tarif ekonomi untuk periode jangka panjang yakni antara tahun 1958 dan 1911, ekonom Jepang banyak yang ingin membangun kekuatan ekonomi yang lebih kuat diatas kaki sendiri maupun berkolaborasi dengan tetangga Jepang.
Di tahun 1924, Hirano mengemukakan pendapatnya bahwa "Modernitas dan prinsip kontak sosial (baca kapitalisme) bisa diganti dengan membangun suatu prinsip sosial Kominitarian (baca sosialisme)" (Hirano, 1924).
Ketika sosialisme, komunisme, dan anarkisme, secara luas dianggap sebagai pikiran yang berbahaya, Hirano menggunakan konsep komunitarian dan kontrak untuk menunjukkan sosialisme dan kapitalisme.
Harano adalah pemimpin dari salah satu analisis Marxis yang bersaing di Jepang. Dengan alasan bahwa Restorasi Meiji mewakili monarki mutlak dan merupakan gaya Jepang itu sendiri, maka tugas revolusioner menurut Hirano adalah mempercepat perkembangan kapitalis Jepang lebih lanjut, sehingga dapat mempercepat revolusi sosialis.
Pada tahun 1944, Hirano kembali mengemukakan pendapatnya untuk Asia Timur Raya, dengan mencatat bahwa: "daripada perjuangan antar kekuatan-kekuatan imperialis berdaulat agar tujuannya dihargai terkait penegakan prinsip komunitarian mungkin akan terwujud sendiri pada akhirnya. Lebih baik mengubah diri menjadi posisi pro-pemerintah". Tahun berikutnya, Jepang dikalahkan, dan akhirnya Partai Komunis menyambut baik Sekutu pimpinan Amerika sebagai kekuatan pembebasan (Johnston, 1990).
Melihat tahun evolusi pemikiran pakar teori HI Jepang sebelum dan sesudah tahun 1945 dapat dilihat bagaimana cara bekerja luar biasa dan pemikiran mereka yang dituangkan secara berbeda-beda kedalam gagasan Asia Timur Raya dengan tujuan menjaga kesejahteraan kawasan mereka. Teori integrasi regional Jepang dalam bentuk pola pembangunan angsa terbang terus tumbuh sejak tahun 1930-an dan 1940-an (Korhonen, 1994: 93-108) dan akhirnya dihidupkan kembali di tahun 1970 menunjukkan konsistensi kawasan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar