Senin, 24 September 2018


Mata kuliah Teori Hubungan International 

SEMESTER IV



Tulisan ini merupakan analisis mengenai intervensi Amerika Serikat dalam contoh kasus Konflik Sipil yang terjadi di Suriah sejak Maret 2011. Intervensi merupakan salah satu isu kontemporer yang dibahas dalam studi ilmu hubungan internasional, oleh sebab itu teori bahkan perdebatan mengenai teori intervensi juga kemudian menjadi salah satu teori yang dikenal dalam studi Ilmu Hubungan Internasional.
Analisa kasus ini bersumber kepada tulisan Stanley Hoffmann yang berjudul “The Debate about Intervention”. Stanley dalam tulisannya menekankan bahwa suatu konflik yang terjadi tidak akan dapat dipisahkan dari munculnya suatu tindakan intervensi. Argumen Stanley berdasar kepada kenyataan bahwa sejak zaman sebelum Perang Dunia, hingga era globalisasi, meskipun muncul kaum-kaum yang memperdebatkan bahwa tindakan intervensi adalah suatu hal yang melanggar dan mengganggu kedaulatan negara lain, akan tetapi hingga saat ini intervensi justru semakin sering dilakukan, seiring dengan semakin sering pula dan semakin besar pula spektrum konflik internasional.
Sejak era globalisasi, terjadinya konflik menjadi lebih beragam; internal, antar negara, dan konflik-konflik sipil lain yang menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Seiring dengan hal tersebut, munculnya intervensi juga semakin beragam, dan saat ini dikenal intervensi dengan motiv kemanusiaan (intervensi kemanusiaan). Namun, perdebatan mengenai intervensi tidak pernah berakhir, meskipun berlatar kepada campur tangan kemanusiaan, dengan kegiatan-kegiatan yang lebih diprioritaskan dalam pemberian bantuan-bantuan (medis, tenaga kerja, pangan, dan sebagainya), intervensi tetap dianggap sebagian orang sebagai tindakan politis, memicu munculnya konflik lainnya, serta mengancam kedaulatan negara lain. Kedaulatan bagi mayoritas negara didunia merupakan hal yang sangat sensitive dan oleh sebab itu sebuah tindakan intervensi memungkinkan terjadinya pengaruh terhadap sebuah struktur. Namun banyak juga yang percaya bahwa suatu tindakan intervensi merupakan tindakan terbaik yang dapat dilakukan untuk menghentikan konflik.
Kepercayaan akan tindakan intervensi merupakan suatu tindakan bantuan terhadap suatu negara yang tidak mampu menghentikan konflik atau efek konflik di negaranya juga dianut oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki kapabilitas lebih dibandingkan negara lainnya dalam hal intervensi, hal ini dikarenakan kepemimpinannya (baik secara sepihak maupun koalisi) di PBB atau NATO. Pada sisi lain, kapabilitas sepihak, serta otoritas Amerika Serikat dinilai memiliki kepentingan politis dalam setiap gerakan intervensi yang dilakukannya, namun dalam beberapa kasus, terlepas dari apakah AS memiliki kepentingan politis atau tidak terhadap negara yang diintervensinya, AS mampu membantu dan menghentikan konflik melalui gerakan intervensinya.
Apabila dikaitkan dengan konflik sipil yang terjadi di Suriah, AS melakukan kecaman terhadap pemerintah Suriah, bahwa apabila pemerintah Suriah tidak mampu untuk mengambil peran dalam memecahkan konflik tersebut, maka tidak ada alasan lagi AS untuk melaksanakan intervensinya di Suriah. Pada sisi lain, konflik di Suriah sudah sangat berkepanjangan, terbukti bahwa pemerintah Suriah tidak mampu bahkan tidak mau mengendalikan konflik di negaranya, jumlah korban sangat tinggi, dan saat ini konflik Suriah telah menjadi salah satu konflik tinggi dan membutuhkan perhatian serta tindakan. Tidak ada negara lain maupun aktor lain yang memiliki kapabilitas lebih tinggi disbanding AS untuk dapat melakukan tindakan intervensi. Justru apabila AS tidak segera melakukan tindakan meredam konflik di Suriah, kredibilitas kepemimpinan AS di dunia internasional dipertanyakan, terutama dalam segala perannya dalam organisasi-organisasi dunia.
Selain itu, sebagaimana disebutkan bahwa AS telah melakukan tindakan-tindakan peringatan kepada pemerintah Suriah agar tidak terjadi intervensi, desakan-desakan, penekanan, akan tetapi konflik di Suriah tidak dapat dihentikan, dan justru semakin membahayakan. Konflik di Suriah mengalami ketidak pastian, jalur diplomatic pun berulang kali dilakukan tetapi tidak mengalami perkembangan yang diharapkan. Berdasarkan analisis penulis mengasumsikan bahwa lebih besar kemungkinan untuk Amerika Serikat melakukan intervensi ke Suriah. Konflik di Suriah memiliki pelanggaran yang cukup dan sangat besar sehingga intervensi diperlukan.
Argumen penulis bahwa intervensi Amerika Serikat penting dalam konflik Suriah juga didasari kepada tulisan Geoffrey Kemp yang berjudul “Military Technology and Conflict” yang menyatakan bahwa dalam beberapa misi intervensi yang dilakukan oleh AS, kapabilitas kepemimpinan AS di dunia internasional dan organisasi-organisasi dunia dibuktikan dengan keberhasilannya meredam konflik besar melalui intervensi, 4 konflik militer yang paling besar ialah: 1) Pada Perang Vietnam; 2) Perang Teluk; 3) Konflik di Somalia pada akhir tahun 1992; dan 4) Konflik Kosovo. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi juga mampu menjadi sebuah jalan untuk menghentikan perang atau konflik, terutama menghindari jatuhnya korban jiwa lebih banyak lagi. Oleh sebab itu pula, saat ini perdebatan mengenai intervensi itu perlu atau tidak juga belum dapat diselesaikan, karena pada kenyataannya dalam beberapa kasus intervensi juga membawa hasil yang baik.
Intervensi pada dasarnya adalah sama, baik itu yang berasaskan kemanusiaan, maupun secara langsung menyatakan sebagai intervensi militer. Namun pada intinya, intervensi dilakukan apabila sudah tidak ada jalan keluar atau pilihan lain untuk mengatasi high-conflict tersebut, yang apabila dibiarkan akan memberikan dampak lebih luas lagi, seperti; kematian, kelaparan, kemiskinan, penyakit, terganggunya kedaulatan negara tetangganya, dan sebagainya. Untuk itu sebetulnya dalam melakukan misi intervensi terdapat banyak sekali pertimbangan dan prosedur, namun karena yang memiliki kapabilitas luas dalam melakukan intervensi hanyalah Amerika Serikat, sudah umum bahwa sebuah negara juga seringkali memiliki dan mendahulukan kepentingannya. Seperti dalam beberapa contoh kasus, di Timor Timur misalnya, Amerika Serikat dinilai memanfaatkan kewenangannya untuk mengintervensi Timor Timur karena memiliki kepentingan tersembunyi dibalik gerakannya tersebut.
Akan tetapi, apabila melihat high conflict di Suriah yang berkepanjangan, menelan korban jiwa semakin banyak, dan upaya-upaya lain yang dilakukan Amerika Serikat untuk menghentikan konflik tersebut namun tidak berhasil, maka penulis berargumen bahwa dalam kasus ini intervensi sangat diperlukan, baik dalam bentuk kemanusiaan maupun militer. Kemanusiaan untuk membantu korban-korban konflik, seperti mengirimkan bantuan pangan, kesehatan, mengirimkan tenaga medis dan tenaga ahli lainnya, membuatkan tenda-tenda penampungan, dan sebagainya. Ataupun intervensi militer jika itu diperlukan, sebagaimana perdebatan mengenai penggunaan senjata, sebenarnya militer ataupun senjata merupakan hal yang dapat memberikan hasil berbeda tergantung kepada penggunanya dan penggunaannya. 
Sebagaimana pula dipaparkan Geoffrey Kemp dalam tulisannya, sebuah pisau dapat memberikan dampak baik apabila dia dipergunakan untuk memotong makanan bagi anak-anak kelaparan, ataupun membela diri saat pihak lain mengancam, hal itu pula yang menjadikan senjata sebagai alat paling penting dalam otoritas negara. Melalui senjata kerusuhan sipil dan pemberontakan dapat dikontrol. Begitupula dengan intervensi militer, apabila diperlukan intervensi militer meskipun tetap akan menjatuhkan korban jiwa, namun (dalam beberapa kasus) dapat menghentikan konflik berkepanjangan yang menelan lebih banyak korban jiwa. Hal itu juga ditekankan dalam konsep casualty aversion, yakni keinginan masyarakat AS untuk menekan jumlah korban jiwa dalam konflik, diupayakan untuk tidak adanya korban jiwa, akan tetapi apabila tidak mungkin terjadi, maka upaya lain dilakukan agar dapat menekan jumlah korban jiwa tidak lebih banyak lagi.






Crocker, Chester A, et. al. 2001. Turbulent Peace: the Challenges of Managing International Conflict. United States Institute of Peace Press: Washington DC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...