Minggu, 05 Februari 2017

Kejahatan Transnasional Menurut Ken Booth


Ini merupakan file lama saya di tahun 2011. :)

TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME"

Hasil gambar untuk Aydinli, Ersel, and James N. Rosenau. 2005. Two terrors, one problem.ken booth. Globalization, security, and the nation state; paradigm and transition 

Transnasional Crime adalah tindak kejahatan lintas batas yang melibatkan dua negara atau lebih. Kejahatan transnasional dilakukan oleh person to person sebagai tindakan illegal.  Kejahatan transnasional ini muncul sejak era globalisasi, dengan beberapa bentuk/ kategori kejahatan yakni; kejahatan perdagangan narkoba (obat-obatan terlarang), kejahatan perdagangan senjata illegal, perdagangan manusia (human trafficking), pembajakan dilaut (piracy), pencucian uang (money laundering), dan terorisme. Kejahatan transnasional ini merupakan salah satu masalah sangat serius yang mengharuskan adanya tanggapan oleh setiap Negara, karena dalam prospeknya tidak hanya merugikan dan mengganggu Negara sendiri, akan tetapi juga mengganggu dan merugikan keamanan nasional Negara lain. Oleh sebab itu dalam penanganannya, setiap negara memiliki peran sebagai Decision Maker atau pembuat kebijakan yang harus membuat kebijakan-kebijakan tertentu dalam mengatur permasalahan migrasi penduduknya keluar dan masuk dalam wilayah kedaulatan. 
Resume ini kemudian akan memfokuskan kepada salah satu masalah atau bentuk dalam Transnational Crime yakni masalah perdagangan manusia (Human Trafficking), yang sangat marak hingga saat ini terjadi di Asia.
Ken Booth dalam tulisannya “Two Terrors, One Problems” yang terdapat dalam salah satu buku referensi saya yakni Georg Sorensen, “State transformation and new security dilemma” dalam Ersel Aydinly & James Rosenau (ed.), 2005, Globalization, Security, and the Nation-State: Paradigms in Transition, berargumen bahwa beberapa factor penyebab munculnya berbagai problematika yang menyangkut sekuritisasi sejak munculnya era globalisasi ialah : 1) factor perkembangan masyarakat dunia yang semakin pesat, cerdas dalam mengembangkan teknologi, kota, dan ciptaan-ciptaan canggih lainnya, tanpa memperhatikan dampak kepada lingkunan, dalam sekejap manusia-manusia cerdas tersebut kemudian menjadi kunci dari perusakan hubungan manusia dengan alam yang dahulu dikembangkan oleh para nenek moyang. Harimau kemudian akan menjadi mahkluk mitos, iklim menjadi tak menentu, tanah pertanian menjadi langka, dan kemudian menarik mereka kembali menjadi manusia-manusia dengan “perilaku primitive” abad kedua puluh; 2) Faktor citra yang ditularkan oleh masyarakat elit Barat yang kemudian mendominasi dan menguasai segala sistematika dan kendali dunia, menjadikan kesenjangan ekonomi, etika, dan budaya masyarakat dunia kemudian lebih buruk daripada keadaan pada masa Yunani Kuno. Kenyataannya dengan adanya tingkat kemiskinan absolute berbanding dengan keberadaan 225 individu terkaya didunia yang memiliki kekayaan gabungan yang setara dengan pendapatan tahunan 47% dari seluruh penduduk dunia (UNDP, 1998: 30). Akses pendidikan, bahkan untuk berhubungan dengan kerabat juga masih sangat sulit bagi kelompok minoritas. Menurut data PBB, biaya tahunan tambahan pendidikan untuk semua orang di bumi akan menjadi 6 miliar dolar; 8 miliar dolar dihabiskan setiap tahun pada kosmetik di Amerika Serikat saja (UNDP, 1998: 37); 3) Faktor munculnya gejala-gejala baru mengerikan, seperti; poliferasi nuklir, wabah AIDS, ancaman perang nyata, terorisme dengan berbagai basisme baru, ancaman nuklir, bom kimia, serangan biologis dan sebagainya. Tiga factor ini kemudian menunjukkan kenyataan bahwa produk globalisasi mengacu kepada satu set dimanika yakni; adanya organisasi produksi transnasional, liberalisasi pasar, pertumbuhan kota-kota didunia, penyebaran teknologi informasi canggir, system 24 jam keuangan global, berubahnya pola konsumsi dan harapan hidup, tekanan dan kehidupan emosional keluarga penetrasi norma-norma budaya dan otoritas politik, gangguan masyarakat lokal, dan sebagainya.
Dalam permasalahan perdagangan manusia (human trafficking), factor-faktor yang disebutkan oleh Ken Booth menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kebutuhan dan harapan untuk hidup memunculkan pola antara pihak-pihak berkepentingan, kelompok miskin dengan keinginan untuk bekerja, serta pelaku-pelaku kejahatan yang memanfaatkan kelompok miskin tersebut demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Akan tetapi, saat ini pola tersebut tidak hanya berkisar/ mengarah kepada korbannya yang merupakan kelompok-kelompok minoritas atau miskin, akan tetapi dalam kemajuan teknologi, komunikasi, kecerdasan manusia, semakin memperluas target korbannya kepada masyarakat-masyarakat kota metropolis. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan orang-orang tertentu. Bisnis ini terbukti tidak terpengaruh dan mengalami penurunan ketika terjadi World Crisis (Krisis Dunia), hal ini juga membuktikan bahwa bisnis perdagangan manusia merupakan bisnis paling komersial dibandingkan dengan kategori-kategori kejahatan transnasional lainnya. Korbannya juga tidak hanya mengarah kepada remaja usia 17-21 tahun, tetapi tak luput juga kepada korban anak-anak dari usia 3 tahun, hingga wanita diatas umur 21 tahun.
Strateginya pun sudah mengalami berbagai macam perkembangan, seiring dengan semakin pesatnya bisnis ini berkembang dan memberikan keuntungan besar, Thailand contohnya mengaku bahwa mereka perlu melestarikan budaya pekerja seks tersebut, karena bisnis tersebut memberikan sumbangan sangat besar bagi perkembangan Thailand hingga saat ini. Strategi bisa berupa penculikan baik penculikan turis maupun local, biasanya strategi penculikan dilakukan setelah terlebih dahulu memprediksi, membuntuti, mencaritahu tentang korbannya. Kebohongan berupa janji-janji seperti diadakannya seleksi pemilihan model, dan sebagainya. Namun dari strategi-strategi tersebut, satu yang pasti ialah, pelaku kejahatan perdagangan manusia selalu meneliti calon korbannya terlebih dahulu agar kejahatannya sulit untuk dilacak, umumnya adalah orang-orang yang sendirian dikota tersebut, tidak memiliki keluarga, turis yang berkewarganegaraan jauh, remaja labil, dan sebagainya.
Berdasarkan alasan globalisasi dan kemiskinan tersebut, Indonesia sebagai Negara berkembang termasuk kedala kategori Negara yang memiliki masalah perdagangan manusia ini. Meskipun hukum-hukum, aturan-aturan mengenai pengaturan, perlindungan, pengawasan, dan sebagainya mengenai pekerja manusia atau WNI yang akan berangkat keluar negeri, masalah ini tetap bertambah dari tahun ke tahun.
Umumnya, motif dalam perdagangan manusia di Indonesia tidak diperuntukkan khusus mengarah kepada unsur penjualan manusia sebagai pekerja seks, namun lebih kepada penjualan manusia sebagai kuli ataupun pekerja rumah tangga illegal (TKI illegal). Permasalah TKI illegal ini telah menjadi permasalahan pelik sejak pertama kali Indonesia memutuskan untuk mengirimkan tenaga kerjanya keluar negeri. Kendali alokasi adalah salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia atas masalah ini hingga saat ini, karena untuk menutup jaringan untuk mengirimkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri saat ini belum dimungkinkan, mengingat kondisi Indonesia yang memang masih belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh populasi masyarakatnya. Inilah salah satu sisi atau resiko dari Negara yang memiliki kawasan sangat luas seperti Indonesia, pemerintah kemudian menjadi kesulitan untuk menyediakan lapangan kerja serta mewujudkan pemerataan yang cukup bagi masyarakatnya yang sangat banyak.
Oleh sebab itu terdapat/ disediakan pula tenaga kerja yang legal di Indonesia. TKI sebenarnya bukanlah suatu tindak kriminalitas ataupun sesuatu yang illegal, mengingat mereka dipekerjakan sebagai pekerja pada umumnya, hanya saja dalam lingkup bekerja dinegara lain. Tenaga kerja juga tidak mengganggu kestabilan maupun keamanan nasional Negara lain, karena secara nyata, tenaga-tenaga kerja tersebut dikirim/ diperuntukkan bagi Negara-negara yang memang membutuhkan/ meminta dikirimkannya bantuan SDM karena dinegara mereka hanya memiliki populasi/ SDM yang sedikit. Hal ini biasanya terjadi pada Negara maju, dimana masyarakatnya yang sedikit tersebut sudah memiliki pekerjaan layak, dan tidak mau untuk bekerja disektor-sektor berat seperti menjadi pembantu, pengasuh, kuli, dan sebagainya, namun sangat membutuhkan orang-orang yang mau bekerja pada sektor tersebut. Hingga tahun ini, jumlah warga Indonesia yang mencari pekerjaan di luar negeri mencapai angka tertinggi. Diperkirakan 6,5 juta sampai 9 juta  pekerja migran Indonesia di seluruh dunia, termasuk 2,6 juta di Malaysia dan 1,8 juta di Timur Tengah. Tingkat keinginan warga Negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri semakin tinggi, dan mereka juga mengabaikan apakah itu illegal ataupun legal, meskipun pemerintah Indonesia telah seringkali menggencarkan peringatan terhadap bahayanya menjadi tenaga kerja apabila melalui jalur illegal. Mereka mengabaikan bahaya yang mungkin akan terjadi apabila menjadi tenaga kerja illegal, hal ini tentunya dikarenakan sangat ingin mereka untuk bekerja dan mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik, dengan gaji besar diluar negeri.
TKI yang diproses secara legal memang tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan suatu Negara, baik Indonesia maupun Negara yang membutuhkan TKI tersebut. Tetapi akan menjadi sangat mengganggu apabila TKI itu datang secara illegal. TKI illegal tersebut yang kemudian masuk kedalam kategori human trafficking, karena kebanyakan dari mereka disalurkan oleh orang berkepentingan namun tidak bertanggungjawab, sehingga kemudian pada tenaga kerja tersebut apabila hilang, mengalami kekerasan, disekap, maupun diperkosa, atau mendapati tindak tidak berkeprimanusiaan lainnya, tidak ada data yang jelas dan sulit untuk mendapatkan bantuan. Selain itu, banyak dari TKI illegal tersebut ditipu dan kemudian dipekerjakan sebagai prostitusi dinegara lain tersebut. Masing-masing dari 33 propinsi di Indonesia merupakan sumber dan tujuan perdagangan manusia, dengan sumber yang paling signifikan, yaitu Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.  Bahkan, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menganggap dan menjadikan Indonesia bukan lagi sekadar lokasi transit dan tujuan perdagangan manusia (human trafficking), melainkan sudah menjadi negara sumber dan pemasok objek praktik ilegal tersebut.
Selain upaya peringatan, pemerintah Indonesia sejak 2003 menyediakan wadah bagi masyarakat Indonesia yang berkeinginan untuk mencari pekerjaan di luar negeri, wadah tersebut merupakan badan pelatihan yang isinya adalah pengajaran-pengajaran dan persiapan bagi calon TKI tersebut untuk menjadi tenaga kerja yang ber-skilled, paham akan apa yang dikerjakan, memahami perintah dari budaya, bahasa, dan sebagainya, siap untuk bekerja, dan apa-apa saja yang dapat mereka lakukan apabila diperlakukan tidak sepantasnya. Badan tersebut disebut dengan PJTKI (Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Badan ini juga kemudian menyalurkan tenaga kerja yang telah siap tersebut untuk bekerja langsung ke luar negeri, dengan kontrak kerja dan dapat dituntut ataupun menuntut apabila menyalahi perjanjian dalam kontrak kerja tersebut, tenaga kerja tersebut pun menjadi lebih mudah dikontrol karena telah terdaftar untuk bekerja diluar negeri, sehingga dapat dilakukan pengecekkan oleh embassy dinegara tersebut apabila pekerja mengalami kekerasan.
Beberapa undang-undang yang dibentuk khusus demi melindungi TKI sebelum ditempatkan, saat ditempatkan, dan pemulangan yakni ; III B 2 a Keputusan Dirjen P2TKLN No. Kep-314/D.P2TKLN/X/2002, ketentuan pasal 58 ayat (3) Kepmenaker, berisi kewajiban PJTKI dalam rangka perlindungan hukum yang meliputi :
Menyelesaikan perselisihan antara TKI dengan pengguna atau dengan pihak ketiga;
Memberikan konsultasi atau bantuan hukum bagi TKI yang bermasalah;
Mengurus penyelesaian pembayaran atas gaji TKI yang tidak dibayar;
Mengurus hak TKI / tunjangan akibat PHK;
Mengurus penyelesaian jaminan atas resiko kecelakaan kerja dan atau kematian yang dialami oleh TKI dalam kaitan hubungan kerja; dan
Menyelesaikan permasalahan TKI dalam bentuk kerugian yang bersifat non material.
Bentuk lainnya bagi usaha pemberian perlindungan hukum bagi TKI adalah adanya kewajiban PJTKI untuk menanamkan deposito dan kewajiban untuk menabung selama masa kerja minimal 25 % dari gaji perbulan.
Selain itu, baru-baru ini tindakan Indonesia untuk menangani permasalah human trafficking ialah tercantum dan tersusun dalam kerangka kerjasama regional di tingkat Asia tenggara, hal – hal terkait strategi dan metode penanggulangan transnasional crime tertuang dalam ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes (ASEAN-PACTC) tahun 2002. Tindakan ini dibentuk guna menjalin dan meningkatkan kerjasama dengan Negara-negara khususnya yang ikut dalam perjanjian tersebut, untuk saling membantu dalam mengatasi permasalahan kejahatan transnasional dikawasan mereka tersebut.
 juga menyebutkan 8 jenis kejahatan lintas negara dalam lingkup ASEAN, yaitu sbb :
1. Indonesia adalah salah satu Negara yang telah menandatangani UN Convention Against Transnational Organized Crime beserta 2 protokolnya (Protocol prevent, suppress and punish Trafficking in persons, especially women and children dan protocol against The Smuggling of Migrants by land, sea, and air) berkewajiban untuk mengimplenetasikan konvensi tersebut dalam hukum nasional Indonesia. Indonesia juga telah menandatangani Manila Declaration on Prevention and Control of Transnational Crime di Manila pada Tanggal 25 Maret 1998.
2. Dalam upaya menangani kasus Money laudering beberapa Negara mendirikan the Financial Action Task Force on Money Laundering yang memiliki anggota 29 negara yang merupakan badan antar pemerintahan yan gbertujuan membuat dan mempromosikan berbagai kebijakan memerangi tindak money laundering. FATF pada Organization of Economic Co-operation and development bahkan telah memasukkan Indonesia bersama dengan keenambelas Negara lain dalam kategori Non-cooperative Countries and Terrorism.
3. Dalam menangani kasus ini, ASEAN telah berupaya untuk melakukan pertukaran informasi, masalah hukum, penegakan hukum, pelatihan, pembentukan kapasitas kelembagaan dan kerjasama yang ada seperti ASEAN Senior Officials/ Ministerial Meeting on Transnational Crime. 
4. Dalam tingkat internasional dengan dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor S/Res/1368 dan S/Res/1373. Secara tegas tersirat bahwa upaya memerangi terorisme internasional perlu melibatkan PBB. Ada 12 konvensi internasional dalam pencegahan dan penindakan terhadap terorisme internasional. Ini kemudian diadopsi ke dalam hukum nasional, yaitu UU No. 2 Tahun 1976. Indonesia juga telah menandatangani satu konvensi yaitu international convention for the Suppression of The Financing of Terrorism (1999).
Saat ini Indonesia sudah berhasil meningkatkan posisinya ke tier 2, posisi yang lebih baik dibandingkan pada tahun 2001 dimana berada di posisi tier 3. Tier 2 adalah negara-negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum TVPA (Trafficking Victims Protection Act’s ), tetapi telah membuat upaya yang signifikan untuk membawa diri menjadi sesuai dengan standar-standar minimum tersebut. Artinya negara tersebut menunjukkan progress dalam standar Trafficking Victims Protection Act’s. Sementara Tier 3 adalah negara-negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya memenuhi standar minimumTVPA dan tidak melakukan upaya yang signifikan untuk melakukannya


#######################################################

Referensi :
Adolf,Huala,2005,”Hukum Perdagangan Internasional” Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada.
Hugh D. Barlow, 1984. Introduction to Criminalogi, Little Brown and Company.
Georg Sorensen, “State transformation and new security dilemma” dalam Ersel Aydinly & James Rosenau (ed.), 2005, Globalization, Security, and the Nation-State: Paradigms in Transition, Albany: State University of New York à
Two terrors, one problem.ken booth. Globalization, security, and the nation state; paradigm and transition edited by Ersel Aydinli and James N. Rosenau. State University of New York Press, Albany. 2005

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...