Minggu, 05 Februari 2017

Major Paradigm

Halo, sepertinya saya banyak mengunggah tentang MK Teori Diplomasi ya pada hari ini.
Sekali lagi saya ingin menginformasikan bahwa ini adalah kumpulan tugas-tugas saya yang saya ingin selamatkan melalui blog ini, sehingga tidak ada pengubahan yang saya lakukan.
Mohon anda sekalian membaca kembali secara detail dan hati-hati, karena meskipun semua sumber yang saya tulis tidak pernah berasal dari sumber tidak jelas seperti website atau internet yang tidak bersifat hoa atau tidak akurat, anda tetap disarankan untuk membaca detail terlebih dahulu. Trims!


MAJOR PARADIGM”

 


Paradigma merupakan pijakan dasar untuk menjelaskan fenomena-fenomena, masalah-masalah Hubungan Internasional atau politik tertentu melalui suatu system criteria, standar-standar, prosedur-prosedur, dan seleksi fakta permasalahan yang relevan. Terdapat berbagai paradigma yang berkembang dalam metode penelitian hingga saat ini, diantaranya adalah; paradigma penelitian alamiah, positivis, post-positivis, kritis, dan sebagainya. Major Paradigm dalam hal ini ialah paradigma yang paling menonjol dan sering dijadikan acuan hingga saat ini.


Didalam hubungan internasional, major paradigm ialah paradigm realis, karena dalam beberapa kali perdebatan hubungan internasional, meskipun dalam beberapa hal para realis tidak dapat menjawab kritik, seperti misalnya menjelaskan masalah-masalah perang yang tidak terselesaikan, karena seperti pandangan realis, perang adalah kondisi yang selalu berlanjut, oleh sebab itu sebab dan penanganannya sama, akan tetapi paradigm realis tidak dapat menjelaskan beberapa perang seperti PD II yang belum pernah terjadi sebelumnya.


Menurut Harmon (dalam Moleong, 2004: 49), paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Bogdan & Biklen (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Sedangkan Baker (dalam Moleong, 2004: 49) mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan yang (1) membangun atau mendefinisikan  batas-batas; dan (2) menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar berhasil. Cohenn & Manion (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) membatasi paradigma sebagai tujuan atau motif filsofis pelaksanaan suatu penelitian. Berdasarkan definisi definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan  seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan  yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.
Berdasarkan paradigma yang dianutnya, seorang peneliti akan menggunakan salah satu dari tiga pendekatan yang diajukan Creswell (dalam Emzir, 2008: 9), yaitu: kuantitatif, kualitatif, dan metode gabungan. Menurut Emzir (2008: 9) perbedaan perbedaan yang terdapat dalam ketiga pendekatan ini dapat ditinjau melalui tiga elemen kerangka kerja, yaitu asumsi-asumsi psikologis tentang pembentuk tuntutan pengetahuan (knowledge claim), prosedur umum penelitian (strategies of inquiry) dan prosedur penjaringan dan analisis data serta pelaporan (research method). 



Lincoln dan Guba (1985) membedakan paradigma dalam ilmu pengetahuan secara umum dalam dua kelompok, yaitu paradigma positivisme(positivist) dan alamiah (naturalist). Pengertian paradigma menurut Patton, 1978 (dalam Lincoln dan Guba ,1985) ini adalah :
A paradigm is a world view, a general perspective , a way of breaking down the  complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential or epistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes both their strength and their weakness-their strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.  


Bogdan dan Biklen (1982 dalam Lexy J. Moleong, 1989) menyebut paradigma sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Deddy Mulyana  (2003) menyebut paradigma sebagai suatu ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa.  
Positivisme yang kadang-kadang dirujuk sebagai ‘metode ilmiah’ didasarkan pada filsafat empirisme yang dipelopori oleh Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, August Comte, dan Emmanuel Kant (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Aliran ini mencerminkan filsafat deterministik yang memandang suatu penyebab mungkin menentukan efek atau hasil (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Aliran ini bertujuan untuk menguji sebuah teori atau menjelaskan sebuah pengalaman melalui observasi dan pengukuran dalam rangka meramalkan dan mengontrol kekuatan-kekuatan di sekitar manusia. Positivisme berasumsi bahwa fenomena sosial dapat diteliti dengan cara yang sama dengan fenomena alam dengan menggunakan pendekatan yang bebas nilai dan penjelasan sebab-akibat sebagaimana halnya dalam penelitian fenomena alam. Keyakinan dasar dari paradigma positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran relitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan
Setelah Perang Dunia II, positivisme digantikan aliran postpositivisme (aliran naturalistic/ alamiah). Aliran ini berasumsi bahwa setiap penelitian dipengaruhi oleh hukum-hukum atau teori-teori yang menguasai dunia. Teori-teori ini perlu diverifikasi sehingga pemahaman terhadap dunia semakin lengkap. Oleh karena itu, penganut positivisme dan postpositivisme akan memulai penelitian dengan suatu teori, mengumpulkan data yang mendukung atau menolak teori tersebut, dan membuat revisi yang diperlukan. Dengan demikian, pengetahuan yang dikembangkan melalui lensa postpositivisme didasarkan pada observasi yang cermat dan pengukuran realitas yang objektif (Emzir, 2008: 9), sehingga positivisme dan postpositivisme selalu diasosiasikan dengan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif. Hingga pertengahan abad ke-20, strategi penelitian selalu dihubungkan dengan penelitian kuantitatif yang didasarkan pada postpositivisme. Penelitian kuantitatif mencakup penelitian survai, deskriptif causal comparative, retrospektif (ex-post facto), pre-experimental, quasi-experimental, true experimental, korelasional, dan eksperimen kompleks dengan banyak variabel dan perlakuan (seperti desain faktorial dan desain pengukuran berulang). Fokus paradigma alamiah terketak pada kenyataan ganda yang dapat diumpamakan sebagai susunan lapisan kulit bawang, atau seperti sarang, tetapi yang saling membantu satu dengan lainnya. Setiap lapisan menyediakan perspektif kenyataan yang berbeda dan tidak ada lapisan yang dapat dianggap lebih benar daripada yang lainnya. Fenomena tidak dapat berkonvergensi ke dalam sustu bentuk saja, yaitu bentuk ‘kebenaran’, tetapi berdiverensi dalam berbagai bentuk, yaitu ‘kebenaran ganda’. Lapisan-lapisan itu tidak dapat diuraikan atau dipahami dari segi variable bebas dan terikat secara terpisah, tetapi terkait secara erat dan membentuk suatu pola ‘kebenaran’.Pola inilah yang perlu ditelaaah dengan lebih menekankan pada verstehen atau pengertian daripada untuk keperluan prediksi dan kontrol. Peneliti alamiah cenderung memandang secara lebih berdiverensi daripada konvergensi apabila peneliti makin terjun ke dalam kancah penelitian.

Selain itu terdapat paradigma-paradigma lain yang berkembang, seperti Konstruktivisme/Interpretivisme. Konstruktivisme/interpretivisme berkembang dari filsafat fenomenologi yang digagas Edmund Husserl and pemahaman intepretatif yang disebut hermeneutiks yang dikemukakan and Wilhelm Dilthey (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Bagi penganut konstruktivisme/interpretivisme penelitian merupakan upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh kehidupan sosial. Penelitian berlensa konstruktivisme/interpretivisme cenderung tergantung pada pandangan partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada umumnya tidak dimulai dengan seperangkat teori (sebagaimana halnya dengan postpositivisme) namun mengembangkan sebuah teori atau sebuah pola makna secara induktif selama proses berlangsung. Metode penjaringan dan analisis yang digunakan penganut konstruktivisme biasanya berbentuk kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif dapat digunakan untuk mendukung data kualitatif serta memperdalam analisis secara efektif.

Advokasi/Partisipatori/Transformatif. Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan kesadaran bahwa teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada pada dasarnya dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif kaum pria, dan didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek. Peneliti advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan konstruktivisme/ interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan kaum yang terpinggirkan secara memadai (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan tindakan-tindakan yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat individu hidup, dan kehidupan peneliti sendiri (Emzir, 2008: 16). Sehubungan dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial yang penting sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan, dan perampasan hak.

Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah satu dari isu ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama secara kolaboratif dengan partisipan dengan pengertian partisipan dapat membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau menerima penghargaan untuk partisipasinya dalam penelitian. Sebagaimana halnya dalam penelitian konstruktivisme, peneliti advokasi/ partisipatori/ transformative dapat mengkombinasikan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Namun penggunaan pendekatan gabungan (mixed methods) akan memberikan kepada peneliti transformative sebuah struktur untuk mengembangkan potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Paradigma ini diajukan hanya sebagai sebuah struktur dalam mengembangkan potret kehidupan social yang lebih utuh, serta dapat menjadi salah satu perspektif dan lensa yang memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang nilai-nilai, pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.

 

 

Pragmatik Aliran Pragmatisme tidak terikat pada sistem filosofi atau realitas tertentu. Penganut pragmatisme pada awalnya menolak asumsi ilmiah yang menyatakan penelitian sosial dapat mengakses kebenaran tentang dunia nyata hanya dengan mengandalkan sebuah metode ilmiah tunggal (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Pragmatisme berfokus pada masalah penelitian dan menggunakan seluruh bentuk pendekatan untuk memahami masalah itu. Oleh karena itu peneliti pragmatis bebas memilih metode, teknik, dan prosedur penelitian yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Karakteristik ini menunjukkan bahwa  pragmatisme merupakan paradigma yang menyangga landasan filosofis studi metode gabungan (mixed-methods research). Meskipun demikian beberapa peneliti yang menggunakan metode gabungan, secara filosofis, lebih mencondongkan diri mereka kepada paradigma transformatif paradigm (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Hal ini mengungkapkan bahwa metode gabungan dapat digunakan dalam berbagai paradigma.




Major paradigm, dapat ditentukan dari ilmu, kajian atau kebutuhan peneliti dalam peneliti itu sendiri, seperti misalnya dalam studi ilmu hubungan internasional, akan lebih sering menggunakan metode kualitatif, yang oleh sebab itu lebih cenderung menggunakan paradigma post-positivis, berbeda dengan ilmu ekonomi yang terbiasa dan diharuskan menggambarkan keakuratan datanya melalui data, tabel, perhitungan-perhitungan dalam ilmu eksakta, yang oleh sebab itu cenderung menggunakan metode kuantitatif dengan paradigma positivisme. Tidak ada paradigma yang secara besar dan khusus, seluruhnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan olehs sebab itu, majority nya tergantung kepada pemilihan dalam penelitian itu sendiri; (a) Apakah fenomena terwakili oleh konstruksi yang ganda dan kompleks (a multiciplicity of complex social contructions)?; (b) sampai di mana tingkatan interaksi antara peneliti-fenomena dan sampai di mana tingkatan ketidakpastian interaksi tersebut yang dihadapkan kepada peneliti ?; (c) sampai di mana tingkatan ketergantungan konteks?; (d) apakah beralasan (reasonable) untuk menyatakan hubungan kausal yang konvensional pada unsur-unsur fenomena yang diamati ataukah hubungan antar gejala itu bersifat mutual simultaneous shipping?; (e) sampai di mana kemungkinan nilai-nilai merupakan hal yang krusial pada hasil (context and time-bound atau context and time-free generalization)?. Kesesuaian acuan teori yang digunakan (kalau ada) dengan sifat sosial yang diacu sangat penting dalam penelitian. 

KESIMPULAN
Paradigma positivism merupakan paradigm yang muncul pertama kali, disusul kemudian muncul post-postivisme, partisipatori, pragmatic, dan sebagainya. Keseluruhannya memiliki keunggulan dan kekurangan, dan juga memiliki fungsi serta kegunaan yang berbeda. Seperti misalnya dalam ilmu penelitian sosial, yang biasanya menerangkan penelitiannya melalui narasi dan tidak terlalu banyak menggunakan perhitungan eksakta cenderung menggunakan metode penelitian kualitatif dengan paradigma positivis, berbeda dengan ilmu ekonomi yang menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan paradigm post-positivis, oleh sebab itu major paradigm dapat ditentukan sesuai dengan penggunaannya/ kebutuhan dan kesesuaian dalam penelitian.


REFERENSI :
Moechtar Mas'oed. 1994. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi”. Jakarta: LP3ES.
Agus Salim 2006.”Teori & Paradigma Penelitian Sosial”. Yogyakarta: Tiara Wacana
Lincoln, Yvonna S & Egon G. Guba. 1985. “Naturalistic Inquiry”. California: Sage


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...