Senin, 24 September 2018

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)


Mata kuliah Resolusi Konflik
SEMESTER VI


Military Technology and Conflict
by
Geoffrey Kemp



Proliferasi dan Asimetri Peperangan

Ini akan menjadi sebuah ironi yang penting, jika salah satu efek dari peningkatan senjata non-nuklir adalah untuk menciptakan senjata kimia, senjata biologi, dan senjata nuklir (CNB) pilihan jalan terburuk untuk biaya kekuatan konvensional yang tinggi. Tidak ada keraguan bahwa kedua Iran dan Irak menanggap senjata CNB sebagai kekuatan equalizer ketika mempertimbangkan konflik dengan Amerika Serikat.
Pelajaran dari Perang Teluk dan selanjutnya dalam konflik di Kosovo, mendorong minat yang lebih besar dalam pengembangan strategi asimetri yang memberikan kemungkinan bagi negara-negara terkecil dan termiskin untuk mencegah kekuatan utama. Hal ini menunjukkan keadaan bahwa jika tidak mampu untuk mensejajarkan kapabilitas teknologi canggih dan kekuasaan, maka solusi lain adalah dengan mempergunakan kemampuan apapun yang dimiliki yang dapat dipergunakan untuk melawan ataupun mengancam ketangguhan kekuatan Barat, yang tentu saja memiliki toleransi yang rendah dalam konteks perang.
Pada dasarnya terdapat dua cara untuk mengancam Achilles Barat, yaitu 1) melalui terorisme yang disponsori oleh negara, dan; 2) dengan mengembangkan senjata pemusnah masal (WMD/ Weapons of Mass Destruction), keduanya dapat dipergunakan baik secara langsung untuk melawan kekuatan Barat atau diberikan pada grup teroris untuk melakukan operasi rahasia melawan militer Barat dan target-target sipil. Sedangkan keunggulan teknis dari pasukan militer Barat telah menghilang dari kekuatan ke kekuatan pada dekade lampau, kekhawatiran parallel tentang kerentanan masyarakat Barat terhadap terorisme dan senjata pemusnah masal telah tumbuh. Penggunaan julukan “rogue states” oleh pemerintah Amerika Serikat kepada negara-negara yang memiliki kemampuan atas jenis strategi ini menjadi lumrah pada setengah tahun setelah tahun 1990an. Keprihatinan dimotivasi oleh aksi negara-negara seperti Korea Utara, Irak, Iran, dan Libya, juga beberapa negara kategori rendah seperti, Syria, dan Kuba. Korea Utara, Irak, Iran, dan Libya telah mendemonstrasikan ketersediaan mereka untuk mendukung terorisme internasional dalam melawan target-target Barat sebagaimana kapasitas untuk mengembangkan senjata kimia, biologi, dan senjata nuklir, serta rudal sebagai sarana penyampaian. Akibatnya, Amerika Serikat telah mengembangkan sejumlah strategi proliferasi perlawanan yang sangat rumit, yang dirancang untuk mencegah, dan jika perlu, mengimbangi perkembangan tersebut. Beberapa upaya telah berhasil melebihi yang lainnya. Sebagai senjata, termasuk pemusnah missal, terus berkembang biak di daerah konflik ekstrim seperti Teluk Persia dan kawasan Asia Selatan dan Asia Timur, ada peningkatan harapan dan tekanan untuk mengembangkan dan menyebarkan system pertahanan rudal yang dapat melindungi mereka dari kekuatan serangan Amerika Serikat. Namun, apakah teknologi modern tersebut dapat melindungi mereka dari serangan terorisme?.
Peristiwa pemboman WTC (World Trade Center) pada 26 Februari 1992, merupakan pertanda dramatis terhadap sesuatu yang akan muncul. Enam orang tewas dalam serang ini, namun menurut hakim ketua di pengadilan, serangan itu dimaksudkan untuk menggulingkan satu menara ke menara lainnya di awan gas sianida, dan akan menyebabkan pulahan dari ratusan orang Amerika akan tewas. Kristal gas seharusnya menguap dalam ledakan, namun dalam peristiwa ini gas tersebut justru terbakar. Pada tahun 1995 di Tokyo, kaum fanatik melepaskan gas sarin di kereta bawah tanah, peristiwa ini juga sangat janggal, karena apabila gas tersebut bekerja sebagaimana direncanakan, maka ribuan warga Tokyo akan tewas, dan tidak sulit untuk menciptakan kekacauan dan kengerian selanjutnya. Kejadian di Tokyo dan WTC merupakan kegagalan. Di Rusia juga pernah terjadi, ketika pemberontak Chechnya menyandera ribuan orang dalam tindakan perjuangan mereka untuk menciptakan kemerdekaan melawan Moskow. Peristiwa-peristiwa seperti ini merupakan kategori tindakan terorisme yang besar (megaterorisme) terutama terkait kepada upaya untuk membunuh atau menyandera ribuan orang. Namun itu bukan satu-satunya forum terorisme, pertumbuhan internet dan perkembangan dunia maya sebagai sarana berkomunikasi dengan orang-orang diseluruh dunia, dan kepekaannya yang luar biasa terhadap pasar keuangan dunia, dan hal-hal yang sangat teknis lainnya, meningkatkan kemungkinan kemudian terjadinya terorisme dalam bentuk cyber. Cyber Terorism  bahkan memiliki skala yang lebih besar, karena kemampuannya untuk meruntuhkan lembaga keuangan, memicu kekacauan diseluruh system komunikasi militer, dan sebagainya.
Kerentanan masyarakat modern terhadap tindakan terorisme memang bukanlah sebuah hal yang baru, akan tetapi munculnya kelompok-kelompok yang terlibat dalam tindakan-tindakan terorisme tersebut selalu menjadi hal yang baru. Terdapat banyak sekali spekulasi tentang teroris nuklir, control senjata nuklir sejauh ini terbukti relative sukses. Tidak demikian halnya dengan dampak yang ditimbulkan oleh senjata kimia, biologi, ataupun internet dan dunia maya. Seperti juga halnya dapat dilihat dari tragedy pemboman Oklahoma pada Mei 1995 yang menunjukkan dampak sangat dasyat bagi terwujudnya kewaspadaan akibat terror. Namun terlepas dari hal tersebut, masyarakat internasional tetap harus memperlakukan ancaman terorisme ini sebagai prioritas tinggi. Terutama karena sumber terorisme begitu menyebar dan motif pelakunya juga sangat bervariasi, khususnya dalam mencegah terciptanya senjata-senjata baru pemusnah masal ataupun nuklir. Akan lebih banyak dana yang harus dikeluarkan untuk memperluas dan mempercepat penerapan dan peningkatan system keamanan, mencakup kontrol, persediaan, perlindungan. Langkah fundamental lain yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan kerjasama antar instansi pemerintah yang memantau kegiatan kelompok teroris. Dalam contoh kasus WTC, misalnya, nyaris tidak ada penghubung atau tindak lanjut antara instansi dalam negeri yang bertanggung jawab dengan badan-badan intelijen yang ahli dalam menangani terorisme yang disponsori oleh negara.

Masyarakat Melayu dan NKRI



Mata Kuliah Studi Masyarakat Melayu
SEMESTER VI


MASUKNYA MELAYU KEDALAM NKRI

Sebelum membahas mengenai masuknya Melayu kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa yang disebut sebagai Melayu itu sendiri. ”Melayu” awalnya sebutan ini diberikan pertama kali oleh seorang ahli ilmu bangsa-bangsa bernama Ellsworth Huntington untuk menunjukkan identitas sekelompok manusia (sub-ras manusia) yang bercirikan fisik memiliki kulit sawo matang, hasil dari asimilasi golongan manusia berkulit kuning (indo-mongolide) dengan golongan manusia berkulit hitam (India), yang ia temukan mendiami kawasan yang dahulu disebut sebagai kawasan ”Hindia Belakang”.
Sub-ras tersebut melahirkan suatu kebudayaan tersendiri, yang lahir dipengaruhi oleh banyak faktor, pengaruh letak, keadaan tanah, hawa (iklim), lingkungan, dan sebagainya. Kebudayaan tersebut yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Melayu. Huntington dahulu menyebutnya sebagai ”Masyarakat Melieau” yang kemudian diubah oleh pakar sejarah lain bernama Prof. V.H. Geldren dengan sebutan ”Bangsa Melayu”.
Akan tetapi berdasarkan perkembangannya, masyarakat Melayu merupakan masyarakat yang dikatakan memiliki sifat yang heterogen, mereka selalu mengalami perkembangan kebudayaan, sehingga kemudian menetapkan ciri khas bagi komunitas mereka sendiri.
Masyarakat Melayu juga mengalami perkembangan pesat dengan penyebarannya, menjadikannya sebagai komunitas dominan yang mendiami daerah Asia Tenggara hingga kepulauan Hawaii dan Madagaskar, yang kemudian melahirkan asimilasi (perbauran) baru dengan masyarakat seperti: bangsa Thailand (Siam), Burma, Kamboja, Laos, Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Penyebarannya juga terkait kepada ciri khas masyarakat Melayu yang dekat dengan lautan, mereka umumnya suka melakukan pelayaran dan melakukan hubungan dengan negara-negara tetangga.
Sub Ras Manusia Melayu mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 2000 SM. Masuknya manusia Melayu tersebut tidak berlangsung secara sekaligus, namun kedatangannya berlangsung secata tahap demi tahap (bergelombang). Antara gelombang pertama dan selanjutnya berjarak hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Berdasarkan penelitian ahli, masuknya manusia Melayu kedalam wilayah Indonesia terbagi atas beberapa tahap, yaitu: tahap pertama (2000 SM) disebut sebagai awal kedatangan melayu yang diberinama ”Melayu Tua” (Proto Melayu), tahap kedua (1500 – 300 SM) disebut sebagai ”Melayu Muda” (Deutro Melayu), hingga kepada tahun 300 SM, golongan Melayu menjadi komunitas dominan yang mendiami daerah kawasan nusantara Indonesia. Meskipun seiring dengan perubahan yang datang dari luar dan dalam, asimilasi menghasilkan terbentuknya kultur-kultur baru dan beragam di Indonesia, terutama disebabkan oleh banyaknya bangsa yang kemudian datang ke Indonesia, seperti bangsa Arab dan India.
Masuknya bangsa Arab dan India ke Indonesia, turut menyebabkan masuknya Islam ke Indonesia. Agama Islam dibawa oleh para saudagar-saudagar Gujerath India, Arab, dan Parsi. Raja-Raja Melayu berserta orang-orang besar Melayu pada saat itu kemudian menjalin hubungan sangat dekat dengan para saudagar tersebut, hingga kedatangan Sjech Ismail yang kemudian secara khusus ditugaskan meng-Islam-kan seluruh Pasai. Pengaruh ajaran agama Islam dianggap memberikan dampak dan ajaran sangat baik, sehingga pada akhirnya Kerajaan Pasai secara total meninggalkan kebudayaan lamanya, marganya, dan menerapkan perubahan besar-besaran baik dalam kehidupan sehari-hari maupun susunan adat yang disesuaikan kepada kaidah-kaidah Islam. Seperti adat istiadat perkawinan, penobatan raja-raja, dan sebagainya.
Kekuatan pengaruh ajaran agama Islam terhadap bangsa Melayu, kemudian menjadikan Melayu erat kaitannya dengan Islam, dan menjadikan salah satu ciri yang lekat apabila menggambarkan bangsa Melayu.

KEDUDUKAN MELAYU DALAM NKRI

Sejarah menunjukkan bahwa Melayu bukanlah sebuah konsep ethnicity (kesukuan), melainkan konsep akulturasi (kebudayaan), hal ini dikarenakan proses terbentuknya masyarakat Melayu adalah melalui proses tahap demi tahap akulturasi, sehingga kemudian tercipta suatu permukiman kawasan Melayu, etnis Melayu, kepercayaan Melayu, yang mecirikan masyarakat Melayu yang sebenarnya tidak sejak awal dianut sebagai suatu ciri asli yg dibawa sejak lahir oleh orang-orang yang disebut sebagai Melayu tersebut. Dengan kata lain kebudayaan Melayu lahir melalui proses adaptasi dan akulturasi sekelompok ras yang kemudian menjadikannya sebagai suatu ciri dari kelompok mereka. Konsep inilah yang kemudian sejak dahulu dipergunakan sebagai faktor integratif (pemersatu) dalam kehidupan majemuk bangsa Indonesia dalam rangka persatuan Nasional.
Berdasarkan data-data arkeologis dan sejarah yang diungkapkan, menunjukkan bahwa bentangan budaya Melayu telah melampaui batas-batas geografis kawasan budaya Melayu yang selama ini dikenal, yaitu Sumatera Timur, Riau, Jambi, dan Palembang. Secara arkeolgis, pengaruh budaya Melayu juga ditemukan di Filipina (pulau Mindanao dan Sulu), Ternate dan Tidore, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Bukti-bukti arkeologis dan sejarah menunjukkan bahwa penyebaran budaya Melayu cukup luas, meliputi Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.
Pada masa lampau, kebudayaan Melayu berfungsi sebagai pusat orientasi dan akulturasi kehidupan antar-etnis (suku bangsa) Indonesia, terutama dalam kehidupan di perkotaan. Citra kedudukan historis tersebut dapat dikembalikan apabila kebudayaan Melayu mampu mempertahankan keterbukaannya terhadap pengkayaan nilai budaya Nusantara, serta didukung kuat oleh kreativitas pecintanya. Dengan demikian, kebudayaan Melayu sebagai salah satu kebudayaan Nusantara akan dapat dipakai sebagai pedoman dalam memperkuat dasar pengembangan kebudayaan nasional dan dalam menghadapi tantangan abad modern, serta dapat menjadi kebanggan dan identitas nasional.
Selain Melayu yang secara teori memiliki bentangan penyebaran dan menjadi penduduk dominan sepanjang sejarah Indonesia, berdasarkan pengalam sejarah pula, ras Melayu membawa banyak pengaruh dan pengalaman gemilang semenjak masa raja-raja Melayu. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kitab, prasasti, maupun peninggalan-peninggalan lain yang ditulis oleh negara lain yang menceritakan kegemilangan kerajaan pertama Melayu yakni Sriwijaya, seperti kitab karya seorang Pendeta Cina yang termasyur, bernama I Ching, serta catatan pendeta-pendeta Buddha yang menuntut imu di India pada zaman Dinasti Tang pada tahun 671. Kerajaan ini terletak di pulau yang penuh dengan tambang emas, dan menyebabkan Sriwijaya memiliki kemampuan mengontrol perdagangan di Selat Malaka. Sriwijaya sendiri berdasarkan definisinya berarti ”Kemanangan yang Gilang Gemilang”. Penguasaan serta kejayaan kerajaan Sriwijaya juga menjadi latar belakang pengenalan serta penggunaan bahasa Melayu di Nusantara, khususnya didaerah pesisir.
Ras Melayu memiliki tradisi dalam bidang pertanian, perdagangan, dan maritim dimasa silam, yang membawa kemakmuran serta kejayaan bagi masyarakat Melayu zaman dahulu, sehingga tradisi tersebut ingin dibangkitkan kembali diasimilasikan dengan kombinasi pengetahuan dan perkembangan modern dalam bidang-bidang tersebut.

PERSPEKTIF STUDI MASYARAKAT MELAYU DALAM NKRI

Seiring dengan lahirnya era globalisasi, muncul isu-isu serta dilema keamanan baru antar negara. Pertama, isu yang bernuansa politik global (seperti demokratisasi, HAM, dan sebagainya), kedua isu kerjasama dan bantuan luar negeri yang terkait kepada isu-isu pertama, ketiga isu-isu politik baru (seperti: isu nasionalisme, etnik, self-determination, dan sebagainya). Munculnya era globalisasi telah mengancam hankam setiap negara, khususnya NKRI.
Berdasarkan hal tersebut, kemudian studi ataupun upaya pembinaan masyarakat Melayu dianggap penting bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilatar belakangi salahsatunya oleh faktor : dominasi/ mayoritas, berdasarkan realitas bentangan penyebarannya, masyarakar Melayu merupakan salah satu komunitas terbesar di Indonesia, terbentang dari wilayah pantai Timur pulau Sumatera hingga sebagian pantai Utara Jawa dan pantai Barat Kalimantan Barat. Besarnya komunitas Melayu ini tentunya mempengaruhi dan akan menjadi strategi yang penting untuk mengoptimalkan kepentingan nasional pada umumnya, masa kini maupun masa mendatang. Dengan kata lain, budaya Melayu merupakan salah satu alat perekat kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat dilihat pula dalam sejarah awal kelahiran bahasa Indonesia, yang merupakan asimilasi dari bahasa Melayu.
Pada masa jajahan Belanda, bangsa Indonesia dinyatakan lemah dalam menggunakan dan mengerti bahasa Belanda, dan bahasa Melayu dinyatakan mudah untuk dimengerti oleh setiap orang, termasuk bangsa Belanda. Oleh sebab itu, dipergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu bagi para pekerja, dan bangsa Belanda juga turut mempelajari bahasa tersebut, agar terjadi komunikasi yang dapat dimengerti. Bahasa Melayu kemudian diajarkan dan disebarkan melalui sekolah-sekolah, dan kemudian menjadi bahasa pemersatu bagi para pekerja.
Selain itu, pencapaian kepentingan nasional tidak akan mengalami keberhasilan apabila tidak terkait kepada pengaruh keterlibatan seluruh warga masyarakat, terutama apabila mencakup masalah peningkatan keamanan dan pertahanan nasional (meskipun, tentu saja tanpa mengesampingkan kerjasama konstruktif dengan negara tetangga).
Oleh sebab itu, Studi Masyarakat Melayu di Indonesia merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat melayu dalam meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional di era globalisasi.
Hankam nasional sendiri dalam konteks kepentingan bangsa Indonesia merupakan upaya unuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan wilayah nasional, keutuhan bangsa dan wilayah, terpelharanya keamanan nasional seperti tujuan nasional yang selalu merujuk kepada nilai-nilai ideologi Pancasila.
Penyelenggaraan hankam nasional merupakan upaya terpadu yang melibatkan seluruh potensi dan kekuatan nasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 30 UUD 1945, yang selanjutnya dijabarkan dalam berbagai undang-undang tentang bela negara, antara lain Undang-undang No. 20 tahun 1982, yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang no.1 tahun 1988, yang pada prinspnya terdapat 3 butir penegasan; pertama, bela negara sebagai hak; kedua, bela negara sebagai kewajiban; ketiga, bela negara sebagai tanggung jawab dan kehormatan.
Penyelenggaraan hankam nasional disusun dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata), dan didasarkan pada kesadaran akan tanggung jawab tentang hak dan kekuatan sendiri, keyakinan akan kemenangan dan tidak mengenal menyerah. Perlawanan rakyat semesta yang diselenggarakan bangsa kita, pada prinsipnya memiliki tiga sifat: kerakyatan, kesemestaan, kewilayahan.
Kerakyatan yaitu keikutsertaan seluruh warga negara sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Kesemestaan, meliputi seluruh daya bangsa dan negara yang mampu memobilisasikan diri guna menanggulangi setiap bentuk ancaman dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan Kewilayahan mengandung maksud seluruh wilayah negara merupakan tumpuan perlawanan dan segenap lingkungan didayagunakan untuk mendukung setiap bentuk perlawanan secara berlanjut.
Menyimak kembali eksistensi masyarakat Melayu berikut segenap aspek yang dimiliki, dan dihadapkan kepada tantangan pembangunan hankam nasional di era globalisasi, kiranya pemberdayaan masyarakat Melayu untuk ikut serta meningkatkan hankam nasional dapat dilaksanakan.  Dengan senantiasa memadukan, menyelaraskan kepentingan masyarakat rumpun Melayu dengan kepentingan nasional, sesuai dengan pancasila sebagai dasar negara, sehingga gerak langkah pengabdian bangsa indonesia, khususnya komunitas dominan di indonesia bergerak senantiasa pada rel perjuangan nasional.
Selain itu di era globalisasi, dikenal istilah baru dalam melakukan strategi politik internasional. Apabila dahulu negara-negara merasa bahwa penggunaan hard-power­ sebagai strategi mencapai keinginan dan kepentingan, maka saat ini penggunaan soft-power / soft-diplomacy merupakan strategi unggulan yang dipergunakan negara-negara untuk mencapai kepentingan negaranya. Terutama negara-negara dunia ke-III, hal tersebut dikarenakan, soft-diplomacy dapat dilakukan oleh negara manapun, tidak terbatas kepada kemampuan dan kemajuan negara mereka, negara paling miskin-pun mampu merealisasikan strategi tersebut, karena tidak tergantung kepada kecanggihan maupun kemampuan teknik bermiliter.
Soft-power terdiri atas beragam bentuk, salah satunya yang paling sering dipergunakan ialah, melalui strategi ”Diplomasi Kebudayaan” (culture-diplomacy). Diplomasi kebudayaan dinilai sangat efektif dan efisien dipergunakan di era globalisasi ini, selain karena hanya mempergunakan dan menonjolkan kelebihan kebudayaan dalam negeri, akan tetapi dengan melakukan promosi kebudayaan, pencapaian diplomasi yang diinginkan lebih mudah tercapai.
Diplomasi kebudayaan dapat berupa perwujudan pertukaran ide, informasi, nilai, tradisi, kepercayaan, maupun aspek budaya-budaya lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan rasa saling mengerti satu sama lainnya. Hal ini akan memunculkan rasa cinta dan mengerti terhadap satu negara dengan negara lainnya. Selain itu juga berdungsi untuk mempromosikan kepentingan nasional melalui pemahaman, menginformasikan, dan mempengaruhi publik luar negeri. Diplomasi kebudayaan secara nyata telah membuka jalan dilakukannya diplomasi dan tawar-menawar yang positif dilakukan antar pemerintah.
Budaya Melayu sebagai budaya tertua di Indonesia oleh sebab itu menjadi salah satu alat penting dalam diplomasi kebudayaan. Promosi kebudayaan Melayu dapat menjadi strategi untuk mengangkat dan memperkenalkan Indonesia sebagai citra positif di dunia internasional, serta untuk mencapai Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya. 



Ishaq, isjoni. 2002. ”Orang melayu : sejarah, sistem, norma, dan nilai adat”. Pekanbaru : UNRI Press.
Koentjaraningrat, dkk. 2007. “Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan”. Yogyakarta : Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. “Teori Sosiologi Modern; Edisi ke-Enam”. Jakarta : Prenada Media Group. 
Sztompka, Piotr. 2011. “Sosiologi Perubahan Sosial”. Jakarta: Prenada Media Group.
Tengku Admansyah.1987. “Peranan Budaya Melayu sebagai Sub-Kultur Kebudayaan Nasional”. Medan : Yayasan Karya Budaya Nasional

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VII (CASUALTY AVERSION)


Mata kuliah Resolusi Konflik
SEMESTER VI


Military Technology and Conflict
by
Geoffrey Kemp


Casualty Aversion

Casualty Aversion merupakan bentuk dari penolakan public terhadap adanya korban dalam perang. Sebelumnya bentuk penolakan ataupun keengganan terhadap terjadinya korban dalam peperangan belum pernah terjadi. Namun, selama terjadinya Perang Teluk, mayoritas public internasional mulai memberikan toleransi yang tinggi terhadap korban perang. Terdapat beberapa kelompok yang memberikan toleransi tinggi terhadap korban perang. The Triangle Institute melakukan penelitian mengenai hal tersebut, kemudian mengkategorikan kelompok casualty aversion kedalam tiga bentuk kelompok, yaitu 1) anggota militer senior atau anggota militer berpangkat tinggi; 2) warga sipil yang berpengaruh; 3) serta masyarakat umum. Tiga kelompok tersebut meminta untuk aktor-aktor yang terlibat dalam perang untuk mempertimbangkan dampak perang tersebut terhadap kematian[1].
Casualty Aversion muncul sebagai trauma masyarakat Amerika Serikat terhadap tingginya jumlah korban jiwa yang diderita oleh Amerika Serikat selama beberapa aksi intervensi yang dilakukannya dalam misi penjagaan perdamaian di beberapa perang besar memperjuangkan demokrasi. Khususnya terdapat 4 konflik militer yang mendorong munculnya kelompok casualty aversion tersebut, yaknit: 1) tingginya jumlah korban yang diderita oleh Amerika Serikat di Asia Tenggara selama Perang Vietnam, termasuk lebih dari 50.000 kematian prajurit Amerika Serikat, membuat kemudian pemimpin militer dan politik Amerika Serikat saat ini enggan untuk meletakkan kehidupan orang Amerika kedalam garis krisis yang secara langsung dapat mengancam kepentingan vital Amerika Serikat itu sendiri; 2) Perang Teluk, meskipun pada awalnya diprediksikan perang ini akan merenggut ribuan korban jiwa, namun pada hasil akhir hanya merenggut ratusan nyawa orang Amerika, tetapi pengaruh Perang Teluk menumbuhkan keyakinan orang Amerika bahwa pembentukan strategi perang dapat memperkecil jumlah korban jiwa dalam peperangan; 3) Intervensi Amerika Serikat dalam konflik di Somalia pada akhir tahun 1992 dengan misi awal untuk kemanusiaan yakni dalam menyelamatkan orang-orang kelaparan yang dilanda perang, namun misi tersebut berubah menjadi sebuah misi yang dirancang untuk melerai perkelahian satu sama lain serta konflik-konflik lain yang berasal dari luar. 
Pada misi tersebut, diatur tahapan-tahapan peleraian berupa pertemuan-pertemuan, pertemuan pertama yakni pada 3 Oktober 1993, dengan 18 jumlah prajurit Amerika Serikat yang tewas dengan keadaan yang mengenaskan, tubuh mayat prajurit tersebut diseret sepanjang jalanan Mogadishu agar semua orang dapat melihat mayat-mayat tersebut. Hingga akhirnya pada akhir Maret 1994, semua pasukan Amerika Serikat ditarik dari konflik tersebut; 4) Konflik Kosovo membawa trauma ini menjadi lebih jelas, tidak ada prajurit Amerika Serikat yang tewas akibat aksi musuh, hal ini dikarenakan strategi awal perang melawan Yugoslavia telah sangat diperhitungkan, dengan mempergunakan lebih banyak mempergunakan serangan udara dan mengesampingkan penggunaan pasukan darat. Akan tetapi serangan udara menyebabkan bom-bom yang diluncurkan pada ketinggian yang sangat tinggi merenggut jumlah korban sipil dan orang-orang tak bersalah dalam perang ini. Selain keempat jenis perang serius tersebut, terdapat pula perang-perang ekstrim yang merenggut jumlah korban yang juga tinggi, termasuk orang Amerika, namun tidak ditandai dengan penggunaan senjata berteknologi tinggi, maupun penggunaan senjata pemusnah masal, namun persenjataan yang agak primitif, termasuk parang dan tombak, serta senjata kecil dan senjata genggam otomatis. Perang ini terjadi sangat brutal di Afrika pada tahun 1990.
Munculnya penolakan atau keengganan public terhadap adanya korban dalam perang, kemudian mempengaruhi Amerika Serikat kemudian menggolongkan negara-negara dan memberikan julukan. Pada pertengahan tahun 2000, istilah “rogue states” secara resmi dijatuhkan Amerika Serikat kepada Korea Utara dan Iran, karena keputusan negara mereka untuk memodifikasi sikap revolusioner dan merupakan negara yang suka sekali berperang, berbeda dengan Amerika Serikat saat ini yang terlihat lebih berminat melakukan kerjasama daripada melakukan konfrontasi. Sementara Irak saat ini masih berada dalam pengawasan inspektur senjata PBB, pemeriksa senjata PBB, dan Amerika Serikat, karena mereka masih percaya bahwa Saddam Husein masih berupaya untuk mengembangkan senjata pemusnah masal.



[1] Ian R.S Townsend, “Casualty Aversion: the New Principle of War?”, diakses dari: www.dtic.mil/cgi-bin/GetTRDoc?AD=ADA381664, pada 17 April 2013

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART II


Mata kuliah Resolusi Konflik
SEMESTER VI


Military Technology and Conflict
by
Geoffrey Kemp


Perang Dingin, Central Arm Race, dan Disintegrasi dengan Uni Soviet

Sejak awal 1950-an perdebatan tentang dampak teknologi militer pada sistem internasional telah difokuskan pada dua peristiwa, yakni: Central Arm Race antara NATO dan negara-negara yang tergabung dalam Pakta Warsawa, serta proliferasi teknologi senjata untuk konflik daerah di seluruh dunia. Sepanjang Perang Dingin, terjadi kontroversi yang berlangsung terkait stabilitas Central Arm Race.
Terdapat dua argumen yang sangat terbatas. Kaum Pesimis berpendapat bahwa perubahan konstan dalam teknologi senjata nuklir dan momentum perlombaan senjata membuat keseimbangan kekuatan menjadi rentan dan karena itu cenderung tidak stabil serta berpotensi membahayakan. Kelompok Pesimis ini terdiri dari mayoritas pendukung pengawasan senjata unilateral dan kelompok reduksi senjata (pro terhadap pengurangan penggunaan senjata). Kampanye Perlucutan Senjata Nuklir (CND) yang diluncurkan pada tahun 1950, serta momentum gerakan pembekuan nuklir pada tahun 1980 adalah dua contoh peristiwa yang menonjol dan menjadi garis pemikiran kaum Pesimis. Berbanding dengan argument kelompok Pesimis, kaum Optimis menyatakan bahwa perdamaian di Eropa dapat terwujud diantara negara-negara adidaya justru dikarenakan dampak perang yang mengerikan, yang kemudian menjadi renungan. Kaum Optimis tersebut terdiri dari sebagian besar pemerintah Barat yang pro terhadap prinsip-prinsip pencegahan dan mendukung adanya modernisasi nuklir sebagai cara terbaik untuk memastikan stabilitas dan keseimbangan kekuasaan antara NATO dan anggota Pakta Warsawa. Akan tetapi terdapat kesamaan pendapat diantara kedua kelompok tersebut, bahwa salah satu efek dari keseimbangan pusat kekuasaan, baik itu rentan atau stabil, adalah untuk mengekspor Perang Dingin kepada bentuk konflik area regional, yang pada gilirannya, menyebabkan percepatan penumpukan senjata regional.
Sejalan dengan argumen tentang keseimbangan kekuasaan, terdapat beberapa isu sekunder lain terkait ekonomi dari berbagai perlombaan senjata. Kaum Pesimis berpendapat bahwa baik pusat maupun daerah memiliki kepentingan dalam perlombaan senjata, yaitu keinginan negara untuk mempromosikan penjualan senjatanya. Sementara kelompok lainnya berpendapat bahwa penyebaran senjata pemusnah masal pada konflik regional dipicu oleh keengganan kekuatan industri senjata untuk memberikan senjata konvensional yang memadai, contoh adalah ketika Israel justru mengembangkan senjata nuklir setelah dikenakan embargo senjata oleh negara-negara industri kunci, serupa dengan yang dialami Taiwan, Afrika Selatan, dan Pakistan.
Teori yang paling modern dari evolusi perlombaan senjata selama Perang Dingin adalah mengenai senjata termonuklir. Senjata termonuklir memiliki kecendrungan terhadap konflik, meskipun dalam pandangan luas, termonuklir tidak memiliki potensi penghancuran sebesar senjata nuklir, ataupun senjata konvensional lainnya.  Selain itu berdasarkan perhitungan matematika, senjata termonuklir memilki durasi yang pendek dalam perang. Namun keadaan tersebut mengarahkan sebagian besar pengamat percaya bahwa selama ada hubungan simetri antara para pihak, maka keseimbangan terhadap terror akan menghalangi setiap sisi yang beresiko terhadap perang.
Meskipun masih belum jelas apakah pencegahan selama era ini secara inheren stabil atau tidak stabil, tidak dapat disangkal pula bahwa selama tiga puluh tahun terakhir terbentuknya Pakta Warsawa dan negara-negara anggota NATO dapat menikmati kondisi negara mereka yang stabil secara nominal. Stabilitas tersebut dihasilkan dari beberapa kondisi, yakni:
  • Kapasitas menghancurkan yang sangat hebat dari senjata termonuklir
  • Total integrasi senjata nuklir kedalam struktur pasukan dan doktrin militer terhadap aliansi lawan
  • Batas-batas yang jelas serta diterima dalam hal pemisahan kekuatan
  • Kebijakan eksplisit mengenai penggunaan kekuatan yang mengharuskan kedua sisi menyerang sisi lainnya.
  • Konsensus virtual terhadap kemungkinan tidak akan adanya pemenang dalam perang skala penuh (full scare war).
  • Pemahaman bahwa eskalasi perang nuklir akan sangat mungkin terjadi jika perang terpecah.
  • Jalur komunikasi yang jelas antara musuh
  • Penerimaan secara jelas dominasi Soviet dan Amerika dalam Pakta Warsawa dan keanggotaan NATO
  • Kemampuan musuh mengandung muduh untuk konflik regional diluar konflik sentral dan menolak adanya intervensi militer dalam konflik dengan aliansi
  • Rezim stabil dikedua kubu yang bertikai.
Hubungan antara teknologi militer dan acara yang paling spektakuler dalam konteks era modern – pecahnya Uni Soviet Union yang tidak jelas, peristiwa dimana negara paling otoriter dan sangat ketat dikontrol oleh pemerintahannya runtuh pada tahun 1989 dan 1991. Peristiwa tersebut sebanding dengan peristiwa pembubaran Kekaisaran Austro-Hungaria dan Ottoman pada akhir Perang Dunia I dan kekalahan kekuatan Poros pada tahun 1945. Runtuhnya Soviet Union membawa dampak mendalam dan abadi pada sistem internasional pada decade-dekade yang akan datang. Negara-negara baru bermunculan begitu cepat, dengan nama-nama dan batas-batas baru yang tersebar di seluruh daratan Eurasia, Tirai Besi salah satu negara tidak terkalahkan telah hancur, dan sebagai gantinya ratusan perbatasan baru bermunculan. Hal ini sekaligus menjadi harapan dari terwujudnya cita-cita negara Barat, yakni untuk menciptakan dan menegakkan tatanan dunia yang baru dalam memerangi komunisme. Terciptanya perdamaian, demokrasi, dan pembangunan ekonomi yang terjalin menjadi tiga serangkai masa depan. Landasan tatanan dunia baru akan menjadi lingkungan keamanan yang lebih kooperatif, dimana ornament tradisional politik – dengan kekuatan aliansi militer besar bersenjata yang siap untuk melawan satu sama lain – akan digantikan oleh sebuah konsep pertahanan yang difungsikan untuk saling memperkuat bukan menyerang. Setiap negara akan memberikan kontribusinya untuk menciptakan perdamaian dan keamanan secara keseluruhan, sekaligus turut memberikan kontribusinya untuk melawan gerakan negara aggressor yang menyimpang dari norma perdamaian dan keamanan tersebut. Fokus negara-negara, PBB, serta organisasi internasional akan mengarah kepada tujuan baru, yakni persaingan ekonomi dan kerjasama sebagai bahan utama dalam pertumbuhan global dan stabilitas politik. Dengan begitu, hubungan yang semula erat antara teknologi militer dan keamanan akan menjadi sejarah masa lalu.
Akan tetapi, keseluruhan dari harapan tersebut tidak dapat terpenuhi. Warisan paling jelas dari pecahnya Soviet Union justru adalah kekacauan dan munculnya konflik-konflik regional. Singkatnya, pecahnya Uni Soviet telah menggerogoti salah satu elemen kunci dari keseimbangan kekuasaan pada Perang Dingin. Perbatasan dan rezim yang stabil telah mendorong proliferasi lebih lanjut dari senjata dan penyebaran bentuk-bentuk terorisme yang sangat kejam. Implikasi dari kecendrungan tersebut dijelaskan Kemp pada subbab-subbab selanjutnya.

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART IV (Perang Baru, Sikap, dan Perilaku terhadap Teknologi Militer)


Mata kuliah Resolusi Konflik
SEMESTER VI


Military Technology and Conflict
by
Geoffrey Kemp


Perang Baru, Sikap, dan Perilaku terhadap Teknologi Militer

Dalam dekade sejak pecahnya Uni soviet, sejumlah konflik kekerasan menghasilkan pemikiran baru tentang hubungan antara teknologi militer dan konflik. Beberapa contoh ini penting karena mereka mencerminkan pelajaran yang sangat berbeda. Konflik-konflik ini termasuk perang Teluk Persia tahun 1991, perang saudara tahun 1992-1993 di Somalia, tahun 1994 perang sipil dan genosida di Rwanda, dan perang Kosovo tahun 1999. Perang Teluk dan Kosovo penting karena penggunaan teknologi yang luar biasa yang dibuat oleh sekutu, khususnya yang berasal dari tenaga air, dan jumlah korban sangat sedikit. Perang di Afrika cenderung mencerminkan hal yang berbeda: kegigihan kekerasan yang meluas dengan memakan korban dalam jumlah yang besar di kedua belah pihak terutama disebabkan oleh senjata lama/kuno.
Perang Teluk telah memiliki efek yang penting terhadap paradigma tentang perang modern dan permintaan global untuk senjata dan teknologi yang canggih[1]. Perang mengungkapkan kerentanan infrastruktur dalam masyarakat modern untuk cermat dalam pemboman. Teknologi yang tinggi mampu memperbaiki tingkat kecermatan dan upaya bertahan hidup dari serangan pesawat dan jelajah rudal. Sistem keadaan global memberikan informasi navigasi yang tepat yang memungkinkan penempatan artileri yang sangat akurat, memasok logistik, dan pemetaan medan perang. Sensor termal dan peralatan malam pada tank AS dan helikopter yang memungkinkan mereka untuk menargetkan musuh di malam hari dan melalui asap tebal di kebakaran ladang minyak. Kemajuan Joint Surveillance and Attack Radar System (JSTARS), sistem yang memungkinkan pasukan AS untuk mendeteksi dan melacak target di daratan yang bergerak lambat dengan latar belakang yang berantakan. Sistem ini lebih kuat daripada sistem yang sudah tua seperti Airborne Warning and Control System (AWACS) yang digunakan untuk memandu rudal dalam penerbangan.
Industri di sebuah negara, terutama yang telah memiliki senjata nuklir, melihat perang sebagai bukti lebih lanjut dari kebutuhan untuk membatasi proliferasi senjata pemusnah massal, khususnya di bidang nuklir. Namun beberapa negara lemah yang mendapatkan serangan teknologi ditafsirkan AS dipimpin dengan cara yang berbeda. Senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya adalah satu-satunya alat yang lebih kecil, negara yang memilki kekurangan dalam hal teknologi dapat berharap untuk memperoleh dan menyebarkan dalam menghadapi pesawat siluman AS, paduan amunisi, dan kemajuan  C3I (command, control, communications, and intelligence).
Salah satu pelajaran dari konflik Teluk dan Kosovo adalah bahwa kekuatan udara ofensif merupakan faktor penentu dalam perang modern dan bahwa jika negara-negara berinvestasi miliaran dolar dalam sistem pertahanan udara yang canggih, mereka akan menjadi semakin rentan terhadap larangan kemajuan pasukan udara dari terutama kekuasaan barat, khususnya AS. Namun pelajaran lain, dipelajari oleh negara-negara demokratis yang berpartisipasi dalam konflik ini, adalah bahwa perang modern dapat dan harus menghasilkan jumlah korban yang relatif rendah untuk kekuatan yang dominan. Perang Teluk memperkuat gagasan bahwa senjata pemusnah massal mungkin diperlukan sebagai penyeimbang antara pasukan AS berteknologi tinggi dan negara-negara kecil yang menolak arahan AS dan Barat. Sementara Perang Teluk menyoroti dampak tinggi seperti persenjataan dengan teknologi, banyak negara yang menahan kenyataan fiskal mereka dan dapat memaksa beberapa untuk mempertimbangkan jalan pintas, opsi yang lebih murah untuk mengembangkan beberapa jenis senjata pemusnah massal, khususnya senjata kimia dan biologis.
Respon negara-negara tertentu untuk perang Teluk telah bervariasi. Di Rusia, yang selama bertahun-tahun telah memberikan banyak senjata kepada Irak itu, beberapa sekolah mengembangkan pemikiran tentang Perang Teluk. Beberapa melihat kejanggalan Irak sebagai penyebab buruknya kinerja peralatan Soviet. Lainnya tidak melihat ada perubahan revolusioner yang dibawa oleh penggunaan teknologi maju dalam perang, tetapi mereka tidak berpikir bahwa perang dikonfirmasi oleh sebuhah visi Soviet dalam revolusi teknis militer. Dalam arti bahwa, perang menegaskan pentingnya mengembangkan teknologi militer baru dan lebih baik. Pendekatan lain menunjukkan bahwa perang adalah awal dari berbagai jenis konflik, di mana isu sentral menjadi kontrol pasukan. Melalui koordinasi yang kuat, manuver, dan radio tempur elektronik, masing-masing pihak akan berusaha untuk menghambat kontrol pasukan musuh dan melindungi sendiri. Dalam skenario ini, pasukan darat menjadi kurang penting karena teknologi baru yang digunakan untuk menghancurkan C3I musuh dan sistem tempurnya.
Republik Rakyat China (RRC) tidak secara radikal mengubah pandangannya tentang teknologi militer karena perang Teluk. RRC sudah memulai modernisasi, dan perang hanya memperkuat tren itu. Konteks lokal dan konvensional pada perang juga sesuai dengan menggambarkan China memodernisasi pasukan militernya. Dalam Perang Teluk, unsur pimpinan China meyakini bahwa faktor manusia bisa mengimbangi keunggulan teknologi militer. Secara keseluruhan, bagaimanapun, China terus melihat perbaikan peralatan militer mereka sebagai salah satu aspek dari kendaraan yang lebih besar untuk memodernisasi ekonomi.
India mengambil salah satu pelajaran yang lebih besar dari perang setelah panglima militer India pensiunan staf mengatakan hasil perang menunjukkan bahwa musuh tidak harus melawan orang AS tanpa senjata nuklir. Di Israel, jumlah perang terus menyoroti masalah keamanan. Serangan mendadak Irak pada Kuwait, mengejutkan sebagian besar pejabat di seluruh dunia, mengingatkan Israel bahwa kecerdasan yang dimiliki bahkan sangat maju tidak menghilangkan ancaman serangan yang mendadak. Persenjataan AS memperkuat penekanan Israel pada kekuatan udara, peperangan elektronik, dan kemajuan peluru kendali.
Terletak di sebelah daerah operasi, Iran mengakui kekuatan dan kecepatan pasukan sekutu berada dalam kekalahan mantan musuh militer. Para pemimpin Iran, terbiasa dengan operasi AS seperti kecerobohan sebagai upaya penyelamatan sandera pada tahun 1980, memperoleh penghargaan baru untuk kemampuan militer AS. Arab Saudi pindah dalam dua arah sebagai akibat akibat perang Teluk. Saudi bergegas untuk membeli pesawat terbaru, rudal, dan persenjataan canggih lainnya, namun Arab Saudi tidak berniat untuk mengembangkan kemampuan otonom untuk mengusir agresor, terutama mengingat populasi yang kecil. Sebaliknya, perangkat keras teknologi tinggi ditunda sampai bantuan internasional tiba. Persenjataan teknologi tinggi tidak dapat menghilangkan kebutuhan untuk aliansi, terutama terhadap Irak atau iran. Jadi, bahkan seperti Arab Saudi didukung arsenal, ia juga bekerja untuk mengembangkan kemampuan militer dan memiliki hubungan keamanan dengan Amerika Serikat dan kekuatan barat lainnya.
Perang Teluk juga menghasilkan pemikiran baru tentang sifat tempur masa depan. AS mencoba untuk membatasi korban sipil dan bahkan militer Irak selama Perang Teluk telah menghilangkan minat dalam kelas baru senjata mematikan untuk perang masa depan. Peningkatan penyebaran secara global sistem senjata yang dikontrol secara elektronik membuat peralatan militer rentan terhadap tekanan yang tinggi dan getaran elektromagnetik non-nuklir yang merusak dan melumpuhkan sistem elektronik atau sistem yang terhubung ke antena atau baterai. Generator infrasonik (pada frekuensi sangat rendah) dapat diatur untuk melumpuhkan manusia sementara, menyebabkan disorientasi, muntah, atau kejang usus.
Revolusi Informasi dan komunikasi memiliki efek besar pada bagaimana angkatan bersenjata dapat berperang. Sementara kemajuan teknologi telah sangat meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem senjata modern, mereka juga membuka area-area di mana militer sangat rentan digunakan. Hal ini telah menyebabkan konsep perang cyber, dipelopori oleh perusahaan RAND, yang menargetkan sistem pusat informasi pada mesin perang modern[2]. Ini baru pendekatan untuk perang masa depan dan bersiap-siap untuk melakukan operasi militer menurut prinsip-prinsip informasi terkait. Teknik-tekniknya meliputi menghancurkan sistem informasi dan komunikasi musuh, sehingga memenangkan keseimbangan informasi dan pengetahuan, terutama ketika musuh memiliki keunggulan numerik. Ini mencegah musuh untuk mengetahui sendiri, misalnya: siapa itu, di mana itu, apa yang dapat dilakukan dan kapan, mengapa berperang, yang mana ancaman untuk melawan yang pertama. Serangan helikopter apache terhadap kontrol pertahanan udara Irak pada awal perang Teluk dan penipuan yang dilakukan oleh sejumlah relatif kecil marinir untuk memimpin tentara Irak sesat mewujudkan beberapa prinsip dari pendekatan ini. Akibatnya, persenjataan dan taktik yang paling efektif saat ini mungkin sudah ketinggalan zaman akibat revolusi teknologi dan informasi yang terus menerus. Penekanan baru memfokuskan perhatian lebih pada kecerdasan, komputer, dan informasi. Sementara itu, sementara banyak negara melihat perang teluk sebagai pembenaran untuk pembelian pesawat canggih, rudal, dan peralatan militer berteknologi tinggi, masih harus dilihat mana senjata ini akan menjadi penting dalam perang di masa depan.



[1] Patrick J. Garrity, Why the Gulf War still Matters: Foreign Perspectives on the War and the Future of International Security, 1993.
[2] John Arguilla and David Ronfeldt, Cyberwar is Coming, RAND Report P-7791 (Santa Monica, Calif: RAND Coorporation, 1992.

ASAS MANAJEMEN: KEPEMIMPINAN


KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan merupakan sikap atau sifat dasar dari perilaku manajemen. Para ahli seperti Ralph M. Stogdill (1971) mendefinisikan kepemimpinanan sebagai proses pengarahan dan memengaruhi aktivitas yang dihubungkan dengan tugas dari para anggota kelompok. Oleh sebab itu, dari pengertian Stogdill tersebut, kepemimpinan harus mencakup;
1.      Melibatkan orang lain atau bawahan. Para bawahan membantu menegaskan eksistensi manajer dan memungkinkan proses kepemimpinan, karena kesanggupan mereka untuk menerima pengarahan dari manajer.
2.      Distribusi otoritas. Yakni, manajer memiliki otoritas yang tidak mungkin seimbang antara dirinya dan bawahan. Dengan kata lain, manajer memiliki otoritas untuk mengarahkan beberapa aktivitas bawahan, sementara bawahan tidak dapat mengarahkan manajer dengan cara yang serupa.
3.      Selain dapat memerintah, dan memberikan pengarahan, manajer juga dapat memengaruhi bawahan dengan berbagai  sifat kepemimpinannya.

KUALIFIKASI SEORANG PEMIMPIN

Mengenai kualitas yang harus dimiliki oleh seorang manajer dalam setiap system seringkali berbeda dengan system lain. Oleh karena itu, sulit unuk menetapkan kualifikasi seorang pemimpin yang berlaku dalam segala zaman dan keadaan.
Chester Barnard (1968) berpendapat bahwa kepemimpinan memiliki dua aspek yakni ; pertama, kelebihan individual dibidang teknik kepemimpinan, dalam artian memiliki kondisi fisik yang baik, memiliki keterampilan yang tinggi, menguasai teknologi, memiliki persepsi yang tepat, pengetahuan yang luas, ingatan yang baik, serta imajinasi yang meyakinkan akan kemampuan memimpin bawahan. Kedua adalah keunggulan pribadi dalam hal ; ketegasan, keuletan, kesadaran dan keberhasilan.
Berbeda dengan Barnard, Hersey dan Blanchard (1980) mengklasifikasikan karakteristik kualitas yang diperlukan bagi seorang manajer adalah ; pertama, Mengerti perilaku usaha masa  lampau (understanding  post behavior)  yaitu sikap kepemimpinan yang dapat memahami perilaku manusia . bawahannya agar dapat mengontrol mereka. Kedua, Memprediksikan perilaku masa depan (predicting future behavior) yakni kelanjutan dari memahami, maka setelah  itu seorang pemimpin harus mampu memprediksikan perilaku bawahannya pada periode berikutnya. Dan ketiga, pengarahan, perubahan, dan pengendalian perilaku (directing, changing, and controlling behavior) yakni mampu mengembangkan keterampilannya dalam memberikan pengarahan, perubahan dan pengendalian perilaku, serta bertanggung jawab untuk memengaruhi perilaku bawahan.
Selain itu, seorang pemimpin selayaknya juga haruslah memiliki sikap-sikap terpuji sebagai seorang pemimpin, karena ia merupakan sumber identifikasi, motivasi dan moral bawahan. Dan memiliki prakarsa yang tinggi, memiliki inisiatif sendiri (self starter), dengan kata lain mampu memberikan gagasan, tetapi juga mampu bertanggung jawab atas gagasannya tersebut. Memiliki sikap terbuka dan lugas, intelegensi yang tinggi, widiasuara yang efektif (penyampai berita), hasrat melayani bawahan (percaya kepada bawahan, mendengar pendapat mereka, dan timbul keinginan membantu), serta sadar akan kondisi lingkungan.

TIPE KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI

G.R Terry (1960) sebagai seorang pengembang ilmu manajemen mengelompokkan tipe kepemimpinan sebagai berikut ;
1.    Kepemimpinan Pribadi (Personal Leadership)
Tipe kepemimpinan ini sering  dianut oleh perusahaan kecil karena kompleksitas bawahan maupun kegiatannnnya sangat kecil. Sehingga, pelaksanaannya relative mudah dan efektif, karena biasa dilakukan tanpa procedural yang berbelit.
2.    Kepemimpinan Nonpribadi (Nonpersonal Leadership)
Segala peraturan dan kebijakan yang berlaku pada perusahaan melalui bawahannya menggunakan media non pribadi, baik rencana, intruksi, maupun program penyeliaan. Pada tipe ini, program pendelegasi kekuasaan sangatlah berperan dan harus diaplikasikan.
3.    Kepemimpinan Otoriter (Authoritarian Leadership)
Manajer yang bertipe otoriter biasanya bekerja dengan sungguh-sungguh, teliti dan  cermat. Karena itu, manajer bekerja dengan peraturan dan kebijakan yang ketat. Meskipun agak kaku dan segala instruksinya harus dipatuhi oleh bawahan, para bawahan tidak berhak mengomentarinya. Karena manajer bertanggung jawab atas kemudi yang dijalankannya.
4.    Kepemimpinan Demokratis (Democrative Leadership)
Pada tipe ini, manajer beranggapan bahwa ia merupakan bagian intergral yang sama sebagai elemen perusahaan dan secara bersamaan seluruh elemen tersebut bertanggung jawab terhadap perusahaan. Oleh sebab itu, agar seluruh bawahan merasa turut bertanggung jawab, maka mereka harus turut berpartisipasi dalam setiap aktivitas perencanaan, evaluasi, dan penyeliaan. 
5.    Kepemimpinan Paternalistik (Paternalistic Leadership)
Ciri tipe ini adalah adanya suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan antara manajer dan perusahaan. Tujuannya adalah untuk melindungi dan memberikan arah, tindakan dan perilaku ibarat peran seorang bapak kepada anaknya.
6.    Kepemimpinan menurut bakat (Indigenous Leadership)
Tipe kepemimpinan menurut bakat biasanya muncul dari kelompok informal yang didapatkan dari pelatihan meskipun tidak langsung. Akan ada perbedaan pendapat dan persaingan didalamnya, yang akan menonjolkan bakat pemimpin tersebut.

Resume: Resolusi Konflik: Konflik Thailand Selatan


Berdasarkan uraian mengenai konflik, jenis konflik, dan sebab konflik, terdapat beberapa negara yang tergolong rentan terhadap konflik hingga saat ini, konflik tersebut berkepanjangan, dan tergolong high-conflict karena menewaskan banyak jiwa. Beberapa negara yang rentan terhadap konflik ialah: Thailand Selatan, Kosovo, Rohingya, Palestina, dan Somalia. Lima negara tersebut merupakan negara yang mengalami konflik berkepanjangan, dan tergolong kedalam konflik internasional yang sangat ekstrim. Pendekatan teori Resolusi Konflik akan menjadi metode dasar pemikiran dalam penyelesaian konflik suatu negara, atau kasus dalam konflik-konflik yang menjadi fokus terhadap identifikasi kasus yang terjadi di Thailand Selatan, Kosovo, etnis Rohingya di Myanmar, Palestina, dan Somalia.



Gambaran Umum Konflik Thailand Selatan

Thailand terbagi atas dua wilayah yang dibedakan atas kelompok-kelompok etnis, wilayah Pusat Thailand (Thai) dengan mayoritas masyarakat Buddha, dan wilayah Thailand Selatan yang ditinggali oleh kelompok Islam (Muslim) etnis Pattani.  Awalnya didalam hukum negara Thailand, kedua wilayah tersebut meskipun memiliki perbedaan latar belakang, dinyatakan memiliki hak dan martabat yang sama sebagai warga negara Thailand, akan tetapi setelah dimunculkannya Traktat Anglo Siam 1901 -1902 hak dan martabat muslim Pattani di Thailand Selatan dicabut sehingga kini antara masyarakat Thai dan Thailand Selatan tidak memiliki kesamaan hak dan martabat. Kondisi semakin parah ketika pemerintah Thailand mendeklarasikan ideologi negaranya sebagai negara dengan ideologi Buddhisme dan Militeristik[1]. Aturan tersebut tidak hanya secara jelas mendiskriminasikan masyarakat di wilayah Thailand Selatan, akan tetapi juga memberikan dampak bagi kondisi ekonomi dan sosial di Thailand Selatan. Pemerintah pusat melakukan eksploitasi terhadap muslim pattani si Thailand Selatan. Oleh sebab itu banyak hal yang menyebabkan masyarakat Thailand Selatan kemudian membentuk kelompok pemberontak, tidak hanya karena masalah perbedaan situasi ekonomi yang sangat mencolok, pemberian pendidikan, serta perlakuan HAM tidak dilakukan secara adil. Konflik ini pula realitasnya telah terjadi sejak lebih dari 100 tahun dan belum mencapai penyelesaian.
Diskriminasi di Thailand Selatan memicu masyarakat Thailand Selatan untuk melakukan gerakan-gerakan pemberontakan agar dapat memisahkan diri (gerakan separatis). Aksi-aksi pemberontakan terjadi terutama di tiga provinsi di Thailand Selatan, yaitu: Narathiwat, Yala, dan Pattani. Gerakan-gerakan tersebut didukung oleh Barisan Revolusi Nasional (BRN yang dikenal pada tahun 1960 dan mempunyai tujuan untuk menuntut pemisahan diri dengan menggunakan ideologi sosialis), PULO (The Pattani United Liberation Organisation, yang dikenal pada tahun 1968), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP yang dikenal tahun 1986)[2]. Pemberontakan terus berlanjut hingga tahun 1998, dengan melakukan tindakan-tindakan frontal seperti membakar, membom, merusak fasilitas-fasilitas negara (kantor pejabat, sekolah-sekolah, gedung-gedung pemerintahan, pusat komunikasi internasional, jembatan, kantor polisi, dan lain-lain). Tahun 1998 terhenti karena para pemimpin pemberontakan berhasil ditangkap seiring dengan diperkuatnya armada militer Thailand.
Tahun 2004 pemberontakan muncul kembali dengan adanya penyerbuan terhadap markas militer Distrik Arion di Narathiwat yang menewaskan empat tentara Thailand dan hilangnya 300 senapan lengkap beserta amunisinya. Sejak peristiwa itu hingga pertengahan tahun 2007, aksi-aksi kekerasan dan teror, pembunuhan, penculikan, dan peledakan bom terus-menerus mewarnai suasana di empat. Konflik yang telah berlangsung sejak tahun 1902 semakin mengalami peningkatan pada tahun 2004. Tahun 2004, pemerintah Thailand melakukan komunikasi dengan Wan A. Kadir Che Man, yang pernah mengekspresikan keinginannya untuk mendorong negosiasi dengan pemerintah.7 Akan tetapi, ketidakmampuan Wan A. Kadir Che Man dalam menghentikan kekerasan yang terjadi membuat pertemuan tidak berjalan lancar. Pada tahun 2005, Perdana Menteri Thailand mendirikan NRC (the National Reconciliation Commission) yang anggotanya terdiri dari berbagai sektor masyarakat. Selanjutnya diikuti oleh Thaksin menunjukkan keinginannya untuk mengubah kebijakannya dalam menghadapi provinsi-provinsi yang ada di Selatan Thailand. Pemerintah juga memutuskan untuk menangani pembentukan kembali pendidikan dengan menerbitkan buku teks dalam bahasa Yawi sebagai penghormatan terhadap identitas budaya dan agama di Thailand Selatan. Upaya yang dilakukan oleh pihak internasional juga telah dilakukan, beberapa negara melakukan beberapa tindakan intervensi akan tetapi kerusuhan di Thailand Selatan tetap tidak dapat diatasi, bahkan merenggut korban jiwa dari negara lain yang melakukan intervensi.


Teori dan Penyelesaian Konflik di Thailand Selatan

Berdasarkan asumsi dasar dari teori Resolusi Konflik Internasional terdapat berbagai obsi dalam menyelesaikan konflik internasional, namun dalam menganalisis konflik yang terjadi di Thailand, secara spesifik sistem mediasi merupakan solusi terbaik dalam mengatasi konflik ini. Mediasi sendiri merupakan sebuah akar sistem yang diterapkan secara umum dalam dibentuknya studi Resolusi Konflik Internasional. Oleh sebab itu, sejak dahulu terbukti bahwa sistem mediasi merupakan sistem yang paling baik dipergunakan dalam menyelesaikan konflik apabila tidak ada jalan keluar lain yang dapat dilakukan. Terutama apabila melihat kronologis penyebab munculnya konflik tersebut, terdapat keinginan dari masyarakat Thailand Selatan untuk memiliki hak dan martabat yang sama dengan Thailand Pusat. Upaya yang dilakukan pemerintah Thailand dalam melakukan penangkapan dan memerangi kembali kelompok pemberontak, hanya akan meredakan sementara konflik tersebut, namun tidak akan menghentikannya. Hal ini wajar karena pada dasarnya keluhan dari masyarakat Thailand Selatan belum terpenuhi. Penangkapan justru akan menimbulkan kebencian semakin besar, dan membuat aksi pemberontakan akan semakin brutal, hal tersebut juga dibuktikan karena pada tahun 2004 konflik yang semula mereda pada tahun 1998 muncul kembali dan menjadi semakin membesar.
Pada intinya, antara Thailand Selatan hanya memerlukan adanya sebuah dialog yang menstransformasikan keinginan mereka. Proses mediasi juga tidak dapat dilakukan antara Pemerintah Pusat Thailand dengan Thailand Selatan. Hal ini karena antara Thailand Pusat dan Thailand Selatan tidak berbasis kepada kepercayaan. Jelas bahwa masyarakat Thailand Selatan selama ratusan tahun telah sangat dikecewakan oleh berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah Thailand Pusat yang justru mempersulit posisi mereka di Thailand Selatan. Oleh sebab itu penunjukkan mediator dari negara lain yang tidak terlibat memiliki persentase keberhasilan damai yang lebih besar dibandingkan apabila dilakukan pemerintah negara Thailand sendiri.
Penunjukkan pihak luar sebagai mediator akan memunculkan netralitas, yang secara sederhana dapat dinyatakan bahwa pihak lain akan adil karena tidak memiliki kepentingan terhadap konflik yang sedang terjadi. Kenetralan dari seorang mediator juga dibutuhkan dalam menciptakan sebuah suasana dan perasaan yang nyaman sehingga masing-masing pihak dapat lebih saling percaya satu sama lain. Saling percaya menjadi akar kepada hasil sebuah kebijakan yang bersifat win-win solution bagi masing-masing pihak. Kepercayaan juga akan membawa kepada keterbukaan, tentunya akan mempermudah berjalannya diplomasi antara pihak-pihak yang bertikai untuk menyampaikan keinginan, kepentingan, dan gagasan dalam konflik tersebut.
Pada 2008, upaya mediasi dari pihak luar telah dilakukan oleh Thailand. Indonesia dipilih sebagai mediator, dan pada tanggal 20 September 2008, kedua belah pihak yang bertikai berhasil dipertemukan. Oleh karena mediasi juga bukanlah proses yang singkat, maka dilakukan pertemuan demi pertemuan dalam konflik ini.  Hal ini juga untuk membuktikan kesungguhan keduabelah pihak untuk menyelesaikan dan merealisasikan keputusan akhir dalam setiap perundingan. Hal ini juga memungkinkan menilai kembali konflik yang terjadi secara benar.
Selain itu menurut Peter Wallensteen teknik Mediasi dalam teori Resolusi Konflik harus mengandung 3 unsur penting[3]:

1.      Adanya kesepakatan yang biasanya dituangkan dalam dokumen resmi yang ditandatangani dan menjadi pegangan selanjutnya dari seluruh pihak yang bertikai.
2.      Setiap pihak menerima dan mengakui eksistensi (keberadaan) dari pihak lain sebagai subyek.
2.      Pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk menghentikan segala aksi kekerasan sebagai proses pembangunan rasa saling percaya dan menjadi landasan selanjutnya.

Tiga unsur tersebut sangat penting, dan dalam kasus Thailand, tidak seperti kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya, yang tidak mengakui eksistensi dari etnis Rohingya sebagai warga negaranya, Pemerintah Thailand memberikan status kewarganegaraan yang jelas kepada masyarakat Thailand Selatan, diberikan hak-hak sebagai warga negara, meskipun sangat kecil. Pemerintah Thailand Selatan juga telah lama melakukan berbagai upaya agar Thailand Selatan tidak melakukan tindakan-tindaka pemberontakan atau berupaya untuk memisahkan diri mereka, pada kenyataan tersebut sebetulnya terdapat etikad baik dari pemerintah Thailand Selatan untuk mencari jalan keluar terbaik bagi rakyatnya. Hal yang perlu dibenahi hanyalah kesalahpahaman, kepercayaan antara pemerintah Thailand dan masyarakat Thailand Selatan, serta persepsi perbedaan identitas yang harus segera diubah, juga penyatuan terhadap perbedaan kedua kepentingan tersebut.



[1] Sebab-Sebab Munculnya Konflik Separatis di Thailand Selatan”. Diakses dari: http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/08/Trans%20-%20Ad%20April2007.pdf, pada 16 Juni 2013.
[2] Suwandono, The Material of Conflict Resolution in Islamic World: Conflict Resolution by Negotiation in Many Cases.
[3] Peter Wallensteen, 2002, Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and the Global System, London: Sage.

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...