Mata Kuliah Studi Masyarakat Melayu
SEMESTER VI
MASUKNYA MELAYU KEDALAM NKRI
Sebelum
membahas mengenai masuknya Melayu kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu
diketahui terlebih dahulu mengenai apa yang disebut sebagai Melayu itu sendiri.
”Melayu” awalnya sebutan ini diberikan pertama kali oleh seorang ahli ilmu
bangsa-bangsa bernama Ellsworth Huntington untuk menunjukkan identitas
sekelompok manusia (sub-ras manusia) yang bercirikan fisik memiliki kulit sawo
matang, hasil dari asimilasi golongan manusia berkulit kuning (indo-mongolide) dengan golongan manusia
berkulit hitam (India), yang ia temukan mendiami kawasan yang dahulu disebut
sebagai kawasan ”Hindia Belakang”.
Sub-ras
tersebut melahirkan suatu kebudayaan tersendiri, yang lahir dipengaruhi oleh
banyak faktor, pengaruh letak, keadaan tanah, hawa (iklim), lingkungan, dan
sebagainya. Kebudayaan tersebut yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan
Melayu. Huntington dahulu menyebutnya sebagai ”Masyarakat Melieau” yang
kemudian diubah oleh pakar sejarah lain bernama Prof. V.H. Geldren dengan
sebutan ”Bangsa Melayu”.
Akan tetapi
berdasarkan perkembangannya, masyarakat Melayu merupakan masyarakat yang
dikatakan memiliki sifat yang heterogen, mereka selalu mengalami perkembangan
kebudayaan, sehingga kemudian menetapkan ciri khas bagi komunitas mereka
sendiri.
Masyarakat
Melayu juga mengalami perkembangan pesat dengan penyebarannya, menjadikannya
sebagai komunitas dominan yang mendiami daerah Asia Tenggara hingga kepulauan
Hawaii dan Madagaskar, yang kemudian melahirkan asimilasi (perbauran) baru
dengan masyarakat seperti: bangsa Thailand (Siam), Burma, Kamboja, Laos,
Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Penyebarannya
juga terkait kepada ciri khas masyarakat Melayu yang dekat dengan lautan,
mereka umumnya suka melakukan pelayaran dan melakukan hubungan dengan
negara-negara tetangga.
Sub Ras
Manusia Melayu mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 2000 SM. Masuknya manusia
Melayu tersebut tidak berlangsung secara sekaligus, namun kedatangannya
berlangsung secata tahap demi tahap (bergelombang). Antara gelombang pertama
dan selanjutnya berjarak hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Berdasarkan
penelitian ahli, masuknya manusia Melayu kedalam wilayah Indonesia terbagi atas
beberapa tahap, yaitu: tahap pertama
(2000 SM) disebut sebagai awal kedatangan melayu yang diberinama ”Melayu Tua”
(Proto Melayu), tahap kedua (1500 –
300 SM) disebut sebagai ”Melayu Muda” (Deutro Melayu), hingga kepada tahun 300
SM, golongan Melayu menjadi komunitas dominan yang mendiami daerah kawasan
nusantara Indonesia. Meskipun seiring dengan perubahan yang datang dari luar
dan dalam, asimilasi menghasilkan terbentuknya kultur-kultur baru dan beragam
di Indonesia, terutama disebabkan oleh banyaknya bangsa yang kemudian datang ke
Indonesia, seperti bangsa Arab dan India.
Masuknya
bangsa Arab dan India ke Indonesia, turut menyebabkan masuknya Islam ke
Indonesia. Agama Islam dibawa oleh para saudagar-saudagar Gujerath India, Arab,
dan Parsi. Raja-Raja Melayu berserta orang-orang besar Melayu pada saat itu
kemudian menjalin hubungan sangat dekat dengan para saudagar tersebut, hingga
kedatangan Sjech Ismail yang kemudian secara khusus ditugaskan meng-Islam-kan seluruh
Pasai. Pengaruh ajaran agama Islam dianggap memberikan dampak dan ajaran sangat
baik, sehingga pada akhirnya Kerajaan Pasai secara total meninggalkan
kebudayaan lamanya, marganya, dan menerapkan perubahan besar-besaran baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun susunan adat yang disesuaikan kepada kaidah-kaidah
Islam. Seperti adat istiadat perkawinan, penobatan raja-raja, dan sebagainya.
Kekuatan
pengaruh ajaran agama Islam terhadap bangsa Melayu, kemudian menjadikan Melayu
erat kaitannya dengan Islam, dan menjadikan salah satu ciri yang lekat apabila
menggambarkan bangsa Melayu.
KEDUDUKAN MELAYU DALAM NKRI
Sejarah
menunjukkan bahwa Melayu bukanlah sebuah konsep ethnicity (kesukuan),
melainkan konsep akulturasi (kebudayaan), hal ini dikarenakan proses
terbentuknya masyarakat Melayu adalah melalui proses tahap demi tahap
akulturasi, sehingga kemudian tercipta suatu permukiman kawasan Melayu, etnis
Melayu, kepercayaan Melayu, yang mecirikan masyarakat Melayu yang sebenarnya
tidak sejak awal dianut sebagai suatu ciri asli yg dibawa sejak lahir oleh
orang-orang yang disebut sebagai Melayu tersebut. Dengan kata lain kebudayaan
Melayu lahir melalui proses adaptasi dan akulturasi sekelompok ras yang
kemudian menjadikannya sebagai suatu ciri dari kelompok mereka. Konsep inilah
yang kemudian sejak dahulu dipergunakan sebagai faktor integratif (pemersatu)
dalam kehidupan majemuk bangsa Indonesia dalam rangka persatuan Nasional.
Berdasarkan
data-data arkeologis dan sejarah yang diungkapkan, menunjukkan bahwa bentangan
budaya Melayu telah melampaui batas-batas geografis kawasan budaya Melayu yang
selama ini dikenal, yaitu Sumatera Timur, Riau, Jambi, dan Palembang. Secara
arkeolgis, pengaruh budaya Melayu juga ditemukan di Filipina (pulau Mindanao
dan Sulu), Ternate dan Tidore, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Bukti-bukti
arkeologis dan sejarah menunjukkan bahwa penyebaran budaya Melayu cukup luas,
meliputi Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.
Pada masa
lampau, kebudayaan Melayu berfungsi sebagai pusat orientasi dan akulturasi
kehidupan antar-etnis (suku bangsa) Indonesia, terutama dalam kehidupan di
perkotaan. Citra kedudukan historis tersebut dapat dikembalikan apabila
kebudayaan Melayu mampu mempertahankan keterbukaannya terhadap pengkayaan nilai
budaya Nusantara, serta didukung kuat oleh kreativitas pecintanya. Dengan
demikian, kebudayaan Melayu sebagai salah satu kebudayaan Nusantara akan dapat
dipakai sebagai pedoman dalam memperkuat dasar pengembangan kebudayaan nasional
dan dalam menghadapi tantangan abad modern, serta dapat menjadi kebanggan dan
identitas nasional.
Selain Melayu yang secara
teori memiliki bentangan penyebaran dan menjadi penduduk dominan sepanjang
sejarah Indonesia, berdasarkan pengalam sejarah pula, ras Melayu membawa banyak
pengaruh dan pengalaman gemilang semenjak masa raja-raja Melayu. Hal tersebut
dapat dilihat dari berbagai kitab, prasasti, maupun peninggalan-peninggalan
lain yang ditulis oleh negara lain yang menceritakan kegemilangan kerajaan
pertama Melayu yakni Sriwijaya, seperti kitab karya seorang Pendeta Cina yang
termasyur, bernama I Ching, serta catatan pendeta-pendeta Buddha yang menuntut
imu di India pada zaman Dinasti Tang pada tahun 671. Kerajaan ini terletak di
pulau yang penuh dengan tambang emas, dan menyebabkan Sriwijaya memiliki
kemampuan mengontrol perdagangan di Selat Malaka. Sriwijaya sendiri berdasarkan
definisinya berarti ”Kemanangan yang Gilang Gemilang”. Penguasaan serta
kejayaan kerajaan Sriwijaya juga menjadi latar belakang pengenalan serta
penggunaan bahasa Melayu di Nusantara, khususnya didaerah pesisir.
Ras Melayu
memiliki tradisi dalam bidang pertanian, perdagangan, dan maritim dimasa silam,
yang membawa kemakmuran serta kejayaan bagi masyarakat Melayu zaman dahulu,
sehingga tradisi tersebut ingin dibangkitkan kembali diasimilasikan dengan
kombinasi pengetahuan dan perkembangan modern dalam bidang-bidang tersebut.
PERSPEKTIF STUDI MASYARAKAT
MELAYU DALAM NKRI
Seiring
dengan lahirnya era globalisasi, muncul isu-isu serta dilema keamanan baru
antar negara. Pertama, isu yang bernuansa politik global (seperti demokratisasi,
HAM, dan sebagainya), kedua isu kerjasama dan bantuan luar negeri yang
terkait kepada isu-isu pertama, ketiga isu-isu politik baru (seperti:
isu nasionalisme, etnik, self-determination, dan sebagainya). Munculnya
era globalisasi telah mengancam hankam setiap negara, khususnya NKRI.
Berdasarkan
hal tersebut, kemudian studi ataupun upaya pembinaan masyarakat Melayu dianggap
penting bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilatar belakangi salahsatunya
oleh faktor : dominasi/ mayoritas, berdasarkan
realitas bentangan penyebarannya, masyarakar Melayu merupakan salah satu
komunitas terbesar di Indonesia, terbentang dari wilayah pantai Timur pulau
Sumatera hingga sebagian pantai Utara Jawa dan pantai Barat Kalimantan Barat. Besarnya
komunitas Melayu ini tentunya mempengaruhi dan akan menjadi strategi yang
penting untuk mengoptimalkan kepentingan nasional pada umumnya, masa kini
maupun masa mendatang. Dengan kata lain, budaya Melayu merupakan salah satu
alat perekat kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat dilihat pula
dalam sejarah awal kelahiran bahasa Indonesia, yang merupakan asimilasi dari
bahasa Melayu.
Pada masa
jajahan Belanda, bangsa Indonesia dinyatakan lemah dalam menggunakan dan
mengerti bahasa Belanda, dan bahasa Melayu dinyatakan mudah untuk dimengerti
oleh setiap orang, termasuk bangsa Belanda. Oleh sebab itu, dipergunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa pemersatu bagi para pekerja, dan bangsa Belanda juga
turut mempelajari bahasa tersebut, agar terjadi komunikasi yang dapat dimengerti.
Bahasa Melayu kemudian diajarkan dan disebarkan melalui sekolah-sekolah, dan
kemudian menjadi bahasa pemersatu bagi para pekerja.
Selain itu,
pencapaian kepentingan nasional tidak akan mengalami keberhasilan apabila tidak
terkait kepada pengaruh keterlibatan seluruh warga masyarakat, terutama apabila
mencakup masalah peningkatan keamanan dan pertahanan nasional (meskipun, tentu
saja tanpa mengesampingkan kerjasama konstruktif dengan negara tetangga).
Oleh sebab
itu, Studi Masyarakat Melayu di Indonesia merupakan upaya untuk memberdayakan
masyarakat melayu dalam meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional di era
globalisasi.
Hankam
nasional sendiri dalam konteks kepentingan bangsa Indonesia merupakan upaya
unuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan wilayah nasional, keutuhan
bangsa dan wilayah, terpelharanya keamanan nasional seperti tujuan nasional
yang selalu merujuk kepada nilai-nilai ideologi Pancasila.
Penyelenggaraan
hankam nasional merupakan upaya terpadu yang melibatkan seluruh potensi dan
kekuatan nasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 30 UUD 1945, yang
selanjutnya dijabarkan dalam berbagai undang-undang tentang bela negara, antara
lain Undang-undang No. 20 tahun 1982, yang selanjutnya disempurnakan dengan
Undang-Undang no.1 tahun 1988, yang pada prinspnya terdapat 3 butir penegasan; pertama,
bela negara sebagai hak; kedua, bela negara sebagai kewajiban; ketiga,
bela negara sebagai tanggung jawab dan kehormatan.
Penyelenggaraan
hankam nasional disusun dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata), dan didasarkan pada kesadaran akan tanggung jawab tentang hak
dan kekuatan sendiri, keyakinan akan kemenangan dan tidak mengenal menyerah. Perlawanan
rakyat semesta yang diselenggarakan bangsa kita, pada prinsipnya memiliki tiga
sifat: kerakyatan, kesemestaan, kewilayahan.
Kerakyatan yaitu keikutsertaan seluruh warga negara sesuai
dengan kemampuan dan keahliannya. Kesemestaan,
meliputi seluruh daya bangsa dan negara yang mampu memobilisasikan diri guna
menanggulangi setiap bentuk ancaman dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan Kewilayahan mengandung maksud seluruh
wilayah negara merupakan tumpuan perlawanan dan segenap lingkungan
didayagunakan untuk mendukung setiap bentuk perlawanan secara berlanjut.
Menyimak
kembali eksistensi masyarakat Melayu berikut segenap aspek yang dimiliki, dan
dihadapkan kepada tantangan pembangunan hankam nasional di era globalisasi, kiranya
pemberdayaan masyarakat Melayu untuk ikut serta meningkatkan hankam nasional
dapat dilaksanakan. Dengan senantiasa
memadukan, menyelaraskan kepentingan masyarakat rumpun Melayu dengan
kepentingan nasional, sesuai dengan pancasila sebagai dasar negara, sehingga
gerak langkah pengabdian bangsa indonesia, khususnya komunitas dominan di
indonesia bergerak senantiasa pada rel perjuangan nasional.
Selain itu di
era globalisasi, dikenal istilah baru dalam melakukan strategi politik
internasional. Apabila dahulu negara-negara merasa bahwa penggunaan hard-power sebagai strategi mencapai
keinginan dan kepentingan, maka saat ini penggunaan soft-power / soft-diplomacy
merupakan strategi unggulan yang dipergunakan negara-negara untuk mencapai
kepentingan negaranya. Terutama negara-negara dunia ke-III, hal tersebut
dikarenakan, soft-diplomacy dapat
dilakukan oleh negara manapun, tidak terbatas kepada kemampuan dan kemajuan
negara mereka, negara paling miskin-pun mampu merealisasikan strategi tersebut,
karena tidak tergantung kepada kecanggihan maupun kemampuan teknik bermiliter.
Soft-power terdiri atas beragam bentuk, salah satunya yang
paling sering dipergunakan ialah, melalui strategi ”Diplomasi Kebudayaan” (culture-diplomacy). Diplomasi kebudayaan
dinilai sangat efektif dan efisien dipergunakan di era globalisasi ini, selain
karena hanya mempergunakan dan menonjolkan kelebihan kebudayaan dalam negeri,
akan tetapi dengan melakukan promosi kebudayaan, pencapaian diplomasi yang
diinginkan lebih mudah tercapai.
Diplomasi
kebudayaan dapat berupa perwujudan pertukaran ide, informasi, nilai, tradisi,
kepercayaan, maupun aspek budaya-budaya lainnya, yang bertujuan untuk
meningkatkan rasa saling mengerti satu sama lainnya. Hal ini akan memunculkan
rasa cinta dan mengerti terhadap satu negara dengan negara lainnya. Selain itu
juga berdungsi untuk mempromosikan kepentingan nasional melalui pemahaman,
menginformasikan, dan mempengaruhi publik luar negeri. Diplomasi kebudayaan
secara nyata telah membuka jalan dilakukannya diplomasi dan tawar-menawar yang
positif dilakukan antar pemerintah.
Budaya
Melayu sebagai budaya tertua di Indonesia oleh sebab itu menjadi salah satu
alat penting dalam diplomasi kebudayaan. Promosi kebudayaan Melayu dapat
menjadi strategi untuk mengangkat dan memperkenalkan Indonesia sebagai citra positif
di dunia internasional, serta untuk mencapai Indonesia dalam mencapai
kepentingan nasionalnya.
Ishaq, isjoni. 2002. ”Orang melayu : sejarah, sistem, norma, dan
nilai adat”. Pekanbaru : UNRI Press.
Koentjaraningrat, dkk. 2007. “Masyarakat Melayu dan Budaya
Melayu dalam Perubahan”. Yogyakarta : Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. “Teori Sosiologi Modern; Edisi ke-Enam”.
Jakarta : Prenada Media Group.
Sztompka, Piotr. 2011. “Sosiologi Perubahan Sosial”. Jakarta: Prenada Media Group.
Tengku Admansyah.1987. “Peranan Budaya Melayu sebagai
Sub-Kultur Kebudayaan Nasional”. Medan : Yayasan Karya Budaya Nasional