Minggu, 05 Februari 2017

Book Review: Robert Jarvis, WEAPONS


"WEAPONS"









Hasil gambar untuk robert jarvis weapon

Robert Jarvis dalam suatu buku menuangkan tulisannya yang membahas tentang "Senjata" berdasarkan pemikirannya akan kegunaan senjata.



Senjata adalah alat kekerasan dalam kondisi ketidakpastian. Konsep mengenai senjata ini muncul pertama kali oleh Thomas Schelling, seorang ahli teori terkemuka selama periode Perang Dingin, yang menyebutkan bahwa salah satu prinsip menyedihkan produktivitas manusia ialah kenyataan bahwa lebih mudah untuk menghancurkan daripada menciptakan.
Senjata adalah alat atau kekuatan untuk menyakiti, dan selain itu ia dapat digunakan sebagai pencegah (untuk meningkatkan biaya segala aggressor yang akan datang menghadapi) atau dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa orang lain agar tunduk kepada seseorang (atau apa yang disebut Schelling sebagai ‘kepatuhan’). Ini adalah ketidak pastian potensi target yang mungkin memiliki motif dan niat terhadap mereka yang memiliki kemampuan materi untuk dapat menyakiti mereka yang berada dibawah kemampuan tersebut dan akan menghembuskan angin spiral dari rasa ketidakpercayaan ataupun ketidak amanan, menciptakan dilemma interpretasi dan respon.

Senjata sebagai symbol yang ambigu

Identifikasi penggunaan senjata sebagai symbol yang ambigu didasari kepada ide Arnold Wolfers didalam artikel yang pertama dipublikasikan pada tahun 1952, tentang  ‘keamanan nasional’ yang dideskripsikannya sebagai ‘simbol yang ambigu’ (1962: 147-65). Wolfers mengatakan bawa ‘formula politik’ tidak memberikan arti yang sama kepada tiap-tiap masyarakat, bahkan tidak memberikan arti yang persis terhadap keseluruhannya, dan Wolfers juga telah mengklasifikasikan ‘keamanan nasional’ sebagai salah satu bagian diantaranya.
Wolfers dalam hal tersebut memberikan perhatiannya terhadap contoh kasus pertumbuhan preoccupation terhadap kemampuan militer pada era kegelapan Perang Dingin, kemudian menulis bahwa apa yang disebut sebagai ‘pengawalan terhadap keamanan nasional’  untuk kebijakan yang sah sebagai pemberian bahwa ini akan dipahami sebagai kebijakan keamanan yang didasarkan kepada kekuasaan, dan kekuatan militer pada saat itu (Wolfers, 1962: 155). Fokus terhadap persenjataan telah dimengerti,  Wolfers berpendapat bahwa karena pencarian untuk keamanan tentu harus menerjemahkan dirinya kedalam sebuah pencarian untuk kekuasaan koersif. Argumennya adalah bahwa keamanan sedang dicari melawan kekerasan eksternal (mungkin bersekutu dengan kekerasan subversif internal) 'tampaknya masuk akal pada pandangan pertama bahwa respon harus terdiri dalam akumulasi dari jenis yang sama berlaku untuk tujuan menolak serangan atau menghalangi seorang calon penyerang (Wolfers 1962: 155, penekanan ditambahkan). Dia tidak memperluas wawasan tentang ambiguitas di jantung keamanan nasional, meskipun beberapa satiris itu, mengolok-olok moto Komando Strategis Udara AS (SAC): "Perdamaian adalah profesi kami. Tujuan dari memelihara perdamaian melalui ancaman nuklir tersentak dalam benak banyak orang (termasuk pembuat Dokter Strangelove), gagasan perdamaian tidak hidup berdampingan dengan mudah dengan niat bersyarat untuk menghancurkan kehidupan beradab di petak besar belahan bumi utara.
Senjata memiliki makna dalam kaitannya dengan konteks dan keyakinan para aktor yang relevan. Senjata dapat menjadi sumber untuk mendapatkan makanan untuk keluarga komunitas pemburu, atau juga dapat menjadi sebuah alat melakukan pembunuhan tak terkendali. Sebagaimana dalam penggunaan “pedang”, pedang dapat dijadikan sebagai instrument atas kasus bunuh diri secara terhormat, atau sebagai tanda salib yang digunakan pada kuburan tentara, atau sebagai alat pada perang. Hal ini yang kemudian disebut sebagai ‘symbol kegunaan yang ambigu’. Penggunaan senjata sebagai symbol yang ambigu dapat dilihat pada contoh Konferensi Perlucutan Senjata Dunia (WDC) pada tahun 1932, dimana penggunaan senjata telah dipegang oleh tangan-tangan yang salah.
Sebenarnya, senjata hanyalah sebuah alat. Sama halnya dengan alat-alat lainnya yang biasa dipergunakan pada keseharian, misalnya penggunaan mobil, yang seharusnya bertujuan sebagai alat transportasi, mempermudah dan menyingkat waktu perjalanan, apabila digunakan oleh orang yang salah, mobil dapat juga digunakan sebagai peralatan yang tujuannya untuk membunuh. Begitupula halnya dengan kegunaan benda-benda lainnya, seperti: api, lilin, dan sebagainya, hanya pelaku kejahatanlah yang tahu betul bagaimana mempergunakan objek-objek tersebut untuk tujuan kejahatannya.
 Oleh sebab itu, keambiguan kegunaan objek-objek tersebut terkait kepada permasalahan hubungan antara psikologis seorang manusia terhadap material-material yang ada padanya. Hubungan psikologi dan material dalam kegunaan dinamiknya terhadap ketidakpercayaan lebih lanjut digambarkan oleh Schelling ketika ia menarik suatu analogi antara pencurian rumah dan rasa takut timbal balik serangan mengejutkan antara negara-negara.
Meskipun pernyataan tersebut tidak berkaitan terhadap masalah dilemma keamanan, akan tetapi dinamikanya dapat menggambarkan secara identik bahwa terdapat keambiguan arti terhadap penggunaan senjata. Kesulitan untuk masuk kedalam ketakutan orang lain, tekanan untuk meningkatkan ancaman ketika berhadapan dengan situasi berbahaya, dan kekuatan ketakutan dalam konteks yang didominasi oleh senjata. Dinamika tersebut tidak boleh dianggap remeh, baik dalam pencurian atau krisis internasional. Selama Perang Dingin, sebagai contohnya, ada risiko perang sengaja atau tidak disengaja, yang dihasilkan dari tekanan teknologi dan salah perhitungan dalam krisis. Ketika periode perlombaan senjata pada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Pakta Warsawa (WP) saling berhadapan di Front Tengah di Eropa, dengan kekuatan destruktif lebih dari dua aliansi dalam sejarah, terjadi penerbangan rudal dalam jangka pendek sebagai respon otomatis kemudian dianggap sebagai perpaduan yang berbahaya. Kemungkinan perang sengaja dan kebetulan pada umumnya dimainkan turun pada saat itu tetapi penelitian selanjutnya telah mengungkapkan bahwa di sini ada penyebab yang solid atas keprihatinan substansial (sebagai contoh, lihat Bracken 1983; Blair 1993; Sagan 1993; Twigge dan Scott 2000).
Dalam kasus dilemma keamanan, masalah persenjataan telah dijabarkan lebih lanjut oleh Robert Jervis kemudian dalam apa yang ia namakan “Model Spiral dan Model Pertahanan” (Spiral Model and Detterence Model).
Model spiral ialah model yang sebagian besarnya sebenarnya merupakan pernyataan kembali dari konsep “Butterfield” mengenai “gagasan ketakutan” yang diperkenalkan oleh Hobbes. Di sini, negara tanpa motif agresif terhadap satu sama lain saling menafsirkan bagaimanapun, tindakan lain sebagai bukti niat bermusuhan. Dan melalui interaksi tidak percaya memperdalam kecurigaan mereka.
Model spiral ini muncul sejak berada dalam pikiran para pengambil keputusan, tetapi fokus materi adalah potensi persenjataan yang terlibat. Akar model spiral untuk Jervis adalah, pengaturan anarkis Hubungan Internasional, tetapi ia menunjukkan bagaimana kedua kelompok tersebut dan dinamika psikologis individu dapat memperburuk ketidakpercayaan (1976: 62-76). Pusat pada model ini adalah ketidakmampuan polisi-keputusan untuk ‘memberi penilaian bahwa tindakan sendiri dapat dilihat sebagai ancaman dan keyakinan bersamaan bahwa permusuhan dan lainnya hanya dapat dijelaskan oleh keagresifannya’, (Jervis, 1976: 75, 1988: 337).
Model spiral dan deterrence Robert Jervis adalah model yang mengarah kepada penetapan kerangka kerja dikotonomis dimana pembuat keputusan diharuskan untuk menentukan situasi mereka dan dalam penafsiran mereka tentang motif Negara lain: apakah mereka didorong secara kooperatif ataukah secara agresif?. Pada model spiral ini sebagian besar merupakan sebuah pernyataan lanjutan dari pernyataan dalam gagasan ketakutan Butterfield’s Hobbesian, yang menyatakan posisi Negara memiliki motif agresif terhadap Negara lain, atau paling tidak telah menafsirkan bagaimanapun tindakan pihak lain sebagai bukti niat bermusuhan. Dan melalui interaksi ketidak percanaan yang mendalami kecurigaan mereka.
Jika model spiral menggemakan konsep Butterfield Jervis, maka model pencegahan (deterrence-model)  menggemakan teori  Herz, argumen bahwa anarki adalah ditandai oleh lebih dari sekedarh hubungan timbal balik (lihat Snyder 1984, khususnya 462, n. 2; Gray 1992: 49-57; Schweller 1996: 117; Glaser 1997: 194-5). Didalam situasi dimana pembuat kebijakan telah memecahkan interpretasi terhadap dilema sehingga negara lain dapat dianggap sebagai aggressor. Jervis menyatakan bahwa postur bijaksana bagi sebuah negara status quo (yaitu, sebuah pencarian hanya untuk menjaga keseimbangan kekuasaan yang ada pada power Internasional) adalah untuk menghindari menunjukkan tanda-tanda kelemahan apapun, konsiliasi atau kurangnya penyelesaian. Untuk melakukan sebaliknya akan memberanikan agresor untuk menekan mendapatkan konsesi lebih banyak dan mendorong kelanjutan dari perilaku mencari kekuasaan (Jervis: 58). Setelah negara telah menunjukkan kelemahannya, Jervis berpendapat bahwa akan sulit untuk untuk Negara tersebut kemudian mengambil tindakan pencegahan korektif (corrective deterrence), bahkan apabila pembuat kebijakan telah menduga kesalahan mereka dan telah mencoba untuk berperilaku lebih tegar. Jika aggressor tidak dibujuk oleh tindakan baru yang ditemukan atas hasil menyelesaikan perdamaian status quo, dan melanjutkan jalan ambisiusnya, maka negara status quo akan dihadapi oleh dua alternatif yang tidak diinginkan: untuk mencoba membuat konsesi lebih lanjut atas tujuan menghindari konflik, atau untuk menarik garis dan risiko perang.
Sementara itu, berdasarkan kepada deterrence model (model pencegahan), aggressor ataupun kekuatan rivisionis (yaitu, Negara-negara yang berusaha untuk mengubah status quo nya) tidak dapat dikonversi menjadi Negara status quo selama berlangsungnya konsesi. Namun, setelah Negara-negara tersebut menyatakan telah berhasil menyelesaikan dilemma interpretasi negaranya, termasuk diantaranya mengenai keyakinannya yang sangat  erat kaitannya dengan aggressor, maka ada dua persyaratan lain untuk menyukseskan model deterrence ini, yakni: 1) aggressor harus yakin bahwa ancaman pencegahan akan diimplementasikan, dan 2) harus percaya bahwa biaya yang harus dibayar akan melebihi biaya yang telah diperkirakan dari agresi.
Model spiral dan deterrence Jervis berisikan pemikiran tentang dilema keamanan, tetapi seperti semua model yang biasa ditemukan dalam kehidupan nyata, model ini muncul berdasarkan latar belakang ilmu pengetahuan ataupun pengalaman pengembang modelnya (1976: 84-113). Tipologi tersebut kemudian menjadi kelemahan tersendiri, dan umumnya kelemahan tersebut terdiri atas tiga keterbatasan, yakni: meremehkan berbagai macam kondisi keamanan yang mungkin saja terjadi dalam anarki, hal tersebut meniadakan kemungkinan bahwa Negara dapat menggunakan kedua model persepsi sebagai respon dalam menghadapi ancaman (yaitu preskriptif sederhana dalam lingkup hidup dunia internasional), dan hal tersebut juga telah mengabaikan kemungkinan adanya beberapa negara yang percaya terhadap konsep bahwa mereka hanya bisa mendapatkan keamanan apabila mereka melakukan expand (perluasan kekuasaan) terhadap Negara lain (hal ini berbasis kepada konsep keamanan yang terlalu sempit)
Akan tetapi model spiral dan deterrence yang dikemukakan oleh Jervis ini menghadapi beberapa kritik dari para ahli lainnya, yakni pertama bahwa pembuat kebijakan akan selalu memberikan secara signifikan arti yang berbeda dalam kemampuan militer Negara ketika menghadapi musuh, dan sebaliknya mereka menganggapnya sebagaimana teman (Wheeler and Booth 1987: 316-17; Buzan and Herring 1998: 86; Wendt 1995: 73). Akibatnya, saran untuk menggunakan baik model spiral maupun deterrence Jarvis tidak muncul dalam kasus antar Negara dalam lingkup ‘bersahabat’. 
Kelemahan kedua dalam tipologi Jervis ialah terkait kepada pilihan yang ditawarkan tersebut, model spiral dan model deterrence berasumsi bahwa konsiliasi seharusnya tidak dapat diuji cobakan dalam situasi pencegahan, atau dalam model deterrence tidak dapat digunakan dalam situasi spiral. Christensen menantang hal tersebut, dan percaya bahwa pilihan antara model deterrence  dan spiral adalah teori yang salah. Christensen berpendapat bahwa keyakinan harus dibangun kedalam ancaman model deterrence, apabila mereka mengancam ataupun memicu paradox keamanan (Christensen, 2002). Jervis memang tidak memberikan teori bahwa ada kemungkinan pemerintah dapat melakukan uji coba dalam menggunakan campuran dari kedua model strategi tersebut. Dalam prakteknya, campuran antara model strategi deterrence maupun spiral jarang sekali dan bahkan jauh dari kemungkinan akan dilakukan dalam sebuah kasus. Kepekaan terhadap bahaya salahnya memilih musuh menjadi teman, membuat sebuah Negara atau aliansi kemudian mencoba mendirikan ataupun menggunakan berbagai langkah-langkah pencegahan; serta pada saat yang sama menimbulkan putusnya hubungan kerjasama secara tidak sadar. Akan tetapi pada contoh kasus strategi Harmel Nato pada tahun 1967, model deterrence digabungkan dengan model reassurance (Howard, 1982-83) tampaknya dapat dilakukan dan justru dapat membentuk postur seimbang dan menuju kearah yang sama (Hacked an Pugliern, 2007)
Kritik ketiga terhadap model spiral dan deterrence Jarvis ini ialah terhadap teori Jarvis yang menyatakan ketergantungan dikotonomi antar Negara sebagai security seekers (pencari keamanan) atau pernyataan bahwa negara memiliki sifat yang ‘serakah’ (Glaser 1994/ 1995, 1997). Yang tidak ditemukan dalam pernyataan tersebut ialah proposisi bahwa pemerintah mungkin percaya bahwa mereka hanya bisa mendapatkan keamanan apabila mereka melakukan expand (perluasan) dengan terhadap oranglain ataupun negara lain (1976: 83, 1978: 187, 1982: 361; lihat juga Glaser 1997). Jack Snyder menyatakan bahwa perilaku mendapatkan keamanan dengan mengorbankan keamanan oranglain (expand) adalah sebuah situasi dilemma keamanan, bukan hanya sebagai sebuah kepercayaan.. Jack (1985: 153, lihat juga Collins 2000: 10-13, 2004: 32-3). Terkait kepada tanggapan Snyder tersebut, penerapan model spiral maupun deterrence akan mampu mengatasi ‘dilema keamanan’ semacam ini, yakni dilemma keamanan yang menyangkut atau berkaitan dengan masalah idiosyncratic, bahkan apabila pembuat keputusan menunjukkan kepekaannya terhadap masalah keamanan oranglain, seperti masalah konsiliasi, akan tetap terhalang dan mengutakmakan keamanan negaranya sendiri (1985: 154-5). Ini adalah sesuatu yang tidak bersedia diterima pemerintah pada 1914, dan sebagai jawaban dari tingginya keuntungan militer terhadap aksi pelanggaran, bersamaan dengan adanya keyakinan bahwa mobilisasi dapat berarti perang, menghasilkan munculnya ketidak amanan spiral dan letusan perang. Namun, hal tersebut akan menjadi salah apabila diperuntukkan dalam mengurangi penjelasan terhadap Perang Dunia I bahwa perang itu dipicu oleh gerakan pencegahan militer yang disalah artikan pihak lain sebagai persiapan untuk serangan (Stevenson 1997: 125-6). Sebaliknya, pandangan mengenai Perang Dunia I telah dianggap sebagai rencana sengaja Jerman akan memunculkan perang sejak semula, dan gerakan pencegahan militer tersebut memang dinyatakan sebagai kedok belaka.
Kesimpulan dari dinamika psikologi pengendalian model spiral adalah ketidakmampuan jelas dari mereka yang memiliki motif defensif dan niat untuk memahami bagaimana orang lain mungkin menganggap mereka sebagai ancaman. Akan tetapi, bertahun-tahun lalu, Klaus Knorr, teoritikus pembeda strategis, menilai bahwa ancaman digambarkan sebagai 'salah satu daerah yang paling primitif dari bangunan sebuah negara' (1976: 97), dan simbolisme ambigu merupakan masalah kunci dalam penilaian ancaman. A J P Taylor dalam hal ini, pernah berargumen bahwa sangat berbahaya bagi keadaan suatu negara untuk menyimpulkan niat politik dari rencana militer '(1964: 13). Budaya organisasi organisasi intelijen hanya salah satu dari serangkaian faktor yang menurunkan penilaian ancaman akurat, dan membuatnya mungkin bahwa daerah ini penting untuk mengatasi secara efektif terhadap interpretasi dilema dan respon tetap seperti 'daerah primitif bangunan sebuah negara'. Selain itu Taylor juga menggambarkan enam faktor berpotensi signifikan, yakni: 1) budaya strategis, 2) layanan antar-persaingan, 3) Politik dalam negeri, 4) penipuan, 5) pengumpulan-informasi, dan 6) hubungan intelijen pemerintah layanan.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...