Hubungan Internasional
Semester Pendek
Mata kuliah Hukum Laut Internasional

Didalam buku karya Jeremy Moon Peter
Malanczuk yang berjudul “Akehurst’s
Modern Introduction to International Law : 7th revised edition” pada
bab 12 yang berjudul Sources of
International Law yang membahas mengenai sumber-sumber dalam hukum internasional,
akan saya jadikan sumber tugas ringkasan mata kuliah Hukum Laut Internasional.
Kata hukum memiliki berbagai macam
interpretasi[1];
dalam artian pertama, hukum merupakan suatu aturan yang dilatar belakangi oleh
faktor sejarah atau pengalaman, didalam hukum itulah kemudian dijelaskan fakta
yang berisi peraturan yang mengikat tak terpengaruh oleh ruang maupun waktu,
contohnya; Hukum yang mengatur tentang buruh dan serikat buruh di Belanda yang
berasal dari adopsi Hukum Romawi, dalam hukum yang tak terikat ruang dan waktu
inilah, hukum dapat dijadikan sebagai undang-undang yang sah yang tidak
mengikat norma sosial atau moral lainnya (de
lege lata). Sementara dalam hukum internasional, sumber yang paling dominan
adalah adopsi dari hukum-hukum adat, dengan ketentuan yakni sebagai berikut :
a) Konvensi
internasional. Baik yang umum maupun yang khusus, aturan ditetapkan denga tegas
dan dikui oleh negara-negara peserta.
b) Kebiasaan
internasional, sebagai bukti dari praktek hukum yang diterima oleh masyarkat.
c) Prinsip-prinsip
umum hukum diakui oleh negara sipil.
d) Keputusan
pengadilan dan ajaran humas paling berkualitas diberbgai bangsa, sebagai salah
satu yang sangat bearti untuk penetuan hukum.
Ketentuan ini biasanya diterima sebagai
constitusi daftar sumber-sumber hukum internasional. Namun, Secara jelas,
sumber-sumber hukum dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.
Perjanjian-perjanjian
Suatu pengadilan internasional, pernah
berbicara tentang ‘konvensi intenasional’ baik yang bersifat umum maupun
khusus, apakah menetapkan aturan yang tegas dan diakui oleh Negara?. Dunia itu adalah sebuah ‘konvensi’ yang
berarti perjanjian, dan merupakan satu-satunya makna yang terdapat dalam hukum internasional, dan
hubungannya dengan masyarakat umum, ini adalah kajian utama mahasaiswa yang
sangat membingungkan yang dikenal dengan konvensi dan konferensi, atau campuran
antar konvensi hukum internasional dan konferensi, dimana konstitusinya juga
terdapat dalam hukum konstitusi inggris. Istilah lain yang digunakan konvensi
sebagai sinonim yakni; perjanjian-perjanjian atau jenis lain dari perjanjian,
seperti perjanjian, pakta, pemahaman, protocol, pigam, undang-undang, tindakan,
deklarasi, keterlibatan, pengaturan, kesepakatan, peraturan dan provision.
Beberapa kata ini memiliki makana penting (yaitu, dapat mengetahui suatu
perjanjian), yang menciptakan masalah terminologi bahkan lebih membingungkan.
Perjanjian paling penting dalam hukum
internasional. Praktek koleksi penerbitan perjanjian yang disimpulkan oleh
negara atau kelompok negara dimulai dari tahun ke-dua abad ke-tujuh belas.
koleksi paling penting, bahwa berbagai judul, sampai perang dunia kedua,
dimulai oleh Von Martens GF pada tahun 1771 dengan judul ‘de recueil des principaux treaties’. Sesuai dengan Article 102
piagam PBB, lebih dari 33.000 perjanjian terlah terkumpul menjadi satu. Beribu
bangsa diantaranya disebut multilateral. Seperti kolektivisme telah berganti
menjadi ‘laissez faire’. Sejumlah
besar masyrakat telah tunduk pada peraturan dan pemerintah untuk intergovernmet
ketika mereka melampui batas-batas nasional. Teknologi modern, komunikasi dan
perdagangan telah membuat negara lebih mandiri daripada sebelumnya dan lebih
bersedia untuk menerima aturan mengenai berbagai macam masalah ekstradisi
keprihatinan umum pridana, peraturan keselamatan untuk kapal dan pesawat,
bantuan ekonomi, hak cipta, standarisasi, rambu-rambu jalan,
perlindungan,investasi asing, isu lingkungan dan sebagainya, peraturan telah
ditetapkan dalam perjanjian, dengan hasil bahwa hukum internasional telah
berkembang diluar semua rekomendasi dalam 140 tahun terakhir ( meskipun harus
ditunjjukan bahwa sebagian besar aturan yang berlaku khusus untuk dibahas dalam
buku teks biasa dalam hukum internasional).
Perjanjian adalah instrument penting
dalam hubungan internasional, dan kerjasama biasanya melibatkan perubahan
posisi negara (misalnya negara-negara kaya memberikan uang kepada negara-negara
miskin). Seringkali perjanjian dijadikan sebagi titik tolak utama dalam
perubahan yang dilupakan banyak orang yang menganggap hukum internasional yang
memaksa dasarnya conservative. Kecendrungan umum, terutama sekali setelah
perang dunia kedua, telah meningkatkan peran perjanjian dalam pembuatan hukum
internasional, sebagian sebagai solusi untuk kontroversi yang ada antara
diantara beragam kelompok negara yang validitas masyarakatnya mematuhi
peraturan.
Beberapa perjanjian telah dimulai untuk
mengganti hukum adat. Dimana da kesepakatan tentang aturan hukum adat, yang
mereka rundingkan berdasarkan perjanjian atas tidak kesetujuan atau
ketidakpastian, negara cendrung menyelesaikan masalah dengan cara kompromi atau
mengambil dalam bentuk perjanjian. Misalnya, modal negara pengekspor telah
menyimpulkan beberapa perjanjian bilateral 1000 mempromosikan dan melindungi
investasi asing untuk memperjelas kerangka hukum yang relevan.
Perjanjian adalah pelayanan untuk
menghentikan semua yang bekerja di hukum internasional. Perjanjian ini Sering
sekali menyerupai perjanjian dalam sistem hukum nasional, tetapi perjanjian ini
juga dapat melakukan fungsi yang ada dalam sistem nasional yang dilakukan oleh
undang-undang, dengan cara mengakkan , atau dengan hubungan nasional. Didalam
sistem hukum, tindakan parlemen legislative dianggap sebagai sumber hukum,
namun bukan perjanjian perjanjian hanyalah transaksi illegal. (perjanjian
menciptakan hak dan kewajiban hanya untuk pihak-pihak yang melakukan
perjanjian, yang sangat sedikit jumlahnya dan umumnya disepakati bahwa ‘sumber
hukum’ berarti sumber aturan yang berlaku untuk sejumlah orang yang besar
kumpulannya). Beberapa penulis telah mencoba untuk menyatakan bahwa perjanjian
harus dianggap sebagai sumber hukum internasional. Jika mereka hanya menyerupai
undang-undang nasional di masyarakat, yaitu, jika mereka memaksakan kewajiban
yang sama pada semua pihak perjanjian internasional dan berusaha untuk mengatur
prilaku para pihak atas suatu periode Perjadengan waktu yang lama. Perjanjian
semacam ini disebut hukum perjanjian (treaties-lois)
dan tujuan mereka adalah menyimpulkan kesepakatan mengenai prinsip-prinsip
hukum universal yang substansive (yaitu perjanjian HAM konvensi genosida). Berdasarkan
perjanjian ini (traits-contract), yaitu
perjanjian yang menyerupai kontrak, (misalnya, sebuah perjanjian dimana suatu
negara yang sepakat untuk meminjamkan sejumlah uang kenegara lain). Hal ini
bukan sumber hukum) tetapi hanya transaksi hukum. Dalam hukum internasional,
setip negara dapat masuk kedalam perjanjian, temasuk mencakup hal mebuat hukum
perjanjian. Dalam semua perjanjian internasional, termasuk hukum yang mebuat
perjanjian, hanya berlaku untuk negara-negara yang setuju dengan mereka, oleh
sebab itu, biasanya para pihak yang melakukan perjanjian menyebutnya sebagai
‘kontrak perjanjian’.
b.
Adat
Unsur Adat atau kebiasaan merupakan
unsur kedua dalam sumber hukum internasional seperti yang tercantum dalam
undang-undang pengadilan internasional, keadilan ‘Kebiasaan Internasional’ merupakan
sebuah bukti yang diterima oleh masyarakat, sebagaimana ditegaskan oleh ICJ
dalam contoh kasus Nikagarua, kebiasaan didasari oleh dua elemen, yakni
‘praktek umum’ dan ‘hukum yang diterima
(opinion juris)’.
Untuk mencari bukti adanya atau
digunakannya hukum adat dalam hukum internasional dapat dilihat dari Bukti
utama dalam praktek aktual negara, dan gambaran kasar dari praktek negara yang
telah dikumpulkan dari media. Bentuk laporan, surat kabar dari tindakan yang
diambil oleh negara, dan dari kalimat yang dibuat oleh pemerintah kepada
parlemen, pres, di konfrensi internasional dan pertemuan organisasi
internasional, dan juga membentuk hukum negara merupakan keputusan pengadilan,
karena legislative dan yudikatif dari bagian negara seperti halnya eksekutif.
Bukti yang berharga juga dapat ditemukan
dalam sumber-sumber dokumentar yang di produksi oleh PBB. Dan kadang-kadang kebiasaan
hukum juga ditemukan dalam tulisan-tulisan pengacara internasional, dan
penilaian dari pengadilan nasional dan internasional. Yang disebutkan sebagai
subsidiary yang berarti sebagai penetuan aturan hukum dalam pasal 38 (1) (d)
dari undang-undang pengadilan internasional.Perjanjian yang sama dapat menjadi
bukti hukum kebiasaan.tapi harus mengambil kesimpulan dari perjanjian aturan-aturan
hukum adat, terutama yang bilateral. Contoh yang baik banyak terdapat (tetapi
tidak semua) dalam ketentuan pada tahun 1969 Konvensi Wina tentang hukum
perjanjian. Keadaan sepertinya tidak terikat oleh perjanjian, tetapi oleh hukum
adat. Oleh karena itu, jika dapat menghasilkan bukti lain untuk menunjukkan
perjanjian yang menggambarkan hukum adat yang dapat mengabaikan aturan yang
dinyatakan dalam perjanjian. Namun tetap saja, hukum adat tidak dapat menjadi
satu-satunya sumber hukum internasional, karena seiring berjalannya waktu,
hukum adat juga perlu disesuaikan, diganti, direvisi untuk mengikuti arah
perkembangan waktu, seperti dalam contoh Deklarasi hukum maritime yang
dikeluarkan oleh negara-negara penadatanganan Perjanjian Paris, kepastian perubahan
peraturan disesuaikan dengan kondisi kerusakan perairan. Penangkapan barang
selundupan di musuh, kecuali kapal perang. Juga diperlukan blockade efektif dan
didukung oleh kekuatan yang cukup.
Dalam memasukkan unsure hukum adat dalam
sumber hukum internasional juga perlu ditinjau secara psikologis (opinio iuris sive necessitatis atau singkatnya ; opinion juris), yakni
menyimpulkan dengan mengajukan beberapa pertanyaan sederhana, seperti apa yang
terjadi jika dilakukan hukum ini terhadap Negara-negara bagian? Dan apakah
mereka akan menyetujuinya atau tidak menyetujuinya?. Karena harus dipastikan,
sebelum hukum itu dibentuk, selain harus mendapatkan persetujuan, dipastikan
juga Negara lain percaya terhadap hukum tersebut agar mau menjalaninya, dan
tidak bersifat memaksa karena Negara yang tidak setuju menjadi tertekan. Dengan
kata lain, praktek negara
saja tidak cukup, harus menunjukkan bahwa itu adalah disertai dengan keyakinan
bahwa itu mencerminkan kewajiban hukum. Misalnya, ada perbuatan yang dilakukan
kebiasaan internasional, seperti bendera hormat menyapa kapal asing di laut
lepas, atau di bidang upacara dan protokol, yang semata-mata didorong oleh
sopan santun atau tradisi, 'tetapi tidak oleh rasa hukum tugas’. Perilaku seperti itu hanya didasarkan pada apa yang
disebut 'golongan' atau 'courtoisie'
dalam hubungan antara negara.
Hukum adat memiliki mekanisme yang membangun
perubahan. Jika negara-negara sepakat bahwa aturan harus diubah, aturan baru
dalam hukum internasional adat yang didasarkan pada praktek baru negara-negara
dapat muncul sangat cepat, sehingga undang-undang tentang luar angkasa
berkembang sangat cepat setelah satelit buatan pertama diluncurkan. Jika jumlah
negara yang mendukung perubahan, atau jumlah negara menolak perubahan, kecil,
mereka mungkin akan segera jatuh ke sejalan dengan praktek mayoritas. Kesulitan
sesungguhnya datang ketika negara-negara yang mendukung perubahan dan
negara-negara menolak perubahan tersebut cukup merata keseimbangan. Dalam hal
ini perubahan sulit dan lambat, dan perselisihan dan ketidakpastian tentang
hukum dapat bertahan untuk waktu yang lama sampai konsensus baru muncul,
seperti, misalnya, dalam perselisihan tentang lebar laut teritorial. Contoh
lain adalah kasus legalitas senjata nuklir di mana ICJ ditemukan:
“Munculnya,
sebagai lex lata, dari aturan adat khusus yang melarang penggunaan senjata
nuklir seperti itu terhambat oleh ketegangan terus antara opinio juris baru
lahir di satu sisi, dan kepatuhan masih kuat untuk praktek pencegahan di sisi
lain”.
Namun,
adakalanya unsur adat bisa dimasukkan kedalam sumber hukum internasional secara
‘instant’, oleh sebab itu, sering juga dikatakan dalam beberapa permasalahan
mengenai ‘hukum adat instant’ atau 'spontane droit' ini[2].
Pandangan ini dikonfirmasi oleh jurispudensi dari ICJ.
Di laut utara kasus Continental Shelf
pangadilan mengaskan bahwa ‘suatu kebutuhan’ akan sangat diperlukan bahwa dalam
periode yang singkat, meskipun mungkin praktek negara, termasuk negara pengaruh
secara luas. Dengan kata lain, pengurangan kebutuhan waktu-elemen seimbang
dengan penekanan kuat pada ruang lingkup dan sifat praktik negara. penolakan
implisit yang lebih jelas, kebisaan dari lahirnya doktrin dapat ditemukan dalam
kata-kata berikut dari pengadilan dalam kasus Nikaragua.
Fakta bahwa negara menyatakan pengakuan mereka
terhadap aturan-aturan tertentu tidak cukup bagi pengadilan untuk
mempertimbangkan ini sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional seperti
undang-undang pasal 38, pengadilan harus memenuhi itu sendiri bahwa keberadaan
aturan dalam iuris opini negara
diterima.
c.
Prinsip-prinsip
Umum Hukum
Dalam Hukum internasional yang tercantum dalam
undang-undang pengadilan internasional, sumber hukum yang diakui ketiga adalah;
“Keadilan”, keadilan adalah ’prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa
yang beradab. Sebagaimana juga dinyatakan dalam pasal piagam PBB dan dalam
undang-undang mahkamah permanen kehakiman, untuk memberikan solusi dalam kasus
dimana perjanjian hukum dan hukum adat.
Menurut sebagian besar Negara, prinsip keadilan
sebagai prinsip umum hukum, merupakan prinsip-prinsip umum hukum yang tidak
begitu banyak sumber hukum sebagai metode menggunakan sumber perpanjangan
aturan dengan analogi menyimpulkan adanya prinsip-prinsip luas dari aturan yang
lebih spesifik dengan cara penalaran inductive dan sebagainya. Dan menurut sebagian
Negara sisanya, menyatakan bahwa keadilan berasal dari prinsip-prinsip umum
hukum (prinsip-prinsip umum hukum nasional). Hukum internasioanal dapat diisi
oleh prinsip-prinsip pinjaman yang umum untuk semua atau sebagian besar sistem
hukum nasional peraturan tertentu hukum biasanya bervariasi dari negara tetapi
prinsip-prinsip dasar yang sering mirip.
Tidak semua prinsip-prinsip umum yang diterapkan
dibatang bentuk praktek sistem hukum domestic dan internasional telah
dipindahkan ketingkat internasional dan diakui, beberapa didasarkan pada ‘keadilan’ umum untuk
semua sistem hukum (seperti prinsip-prinsip itikad baik[3],
estoppel dan proporsionalitas). lain halnya menerapkan logika familiar untuk
pengacara. (seperti aturan lex speciallis
deroget legi priori). dan kategori lain adalah berkaitan dengan sifat
tertentu dari masyarakat internasional seperti yang diungkapan dalam
prinsip-prinsip ius cogens[4]. Oleh karena itu,
transplantasi nyata prinsip hukum nasional ketingkat internasional adalah
terbatas pada jumlah aturan procedur, seperti hak atas pemeriksaan yang adil di
dubio pro reo, penolakan keadilan[5]
atau kelelahan pengobatan local, dan beberapa prinsip substantive seperti presipsi
dan bertangung jawab atas kesalahan mekanisme yang terjadi transformasi seperti
dalam praktek berjalan melalui pikiran hakim internasional atau penengah yang
harus memutuskan kasus tertentu. Ini dikenal sebagai peran kreatif dari hakim
yang sama sekali tidak aneh bagi sistem hukum internasional. Disisi lain
kesulitan untuk membuktikan bahwa prinsip umum bagi sebagian besar atau semua
sistem hukum tidak begitu besar seperti yang mungkin dibayangkan. Sistem hukum
dikelompokkan dalam keluarga hukum dikebanyakan negara berbahasa Inggris sangat
smiliar hanya karena para pemukim mengambil denganmereka hukum mereka tahu
seperti hukum dinegara-negara Amerika Latin yang paling sangat mirip.
Prinsip-prinsip
umum hukum telah terbukti paling berguna dalam area ’baru’ dari hukum
internasional. Ketika sistem hukum internasional modern mulai berkembang pada
abad ketujuh belas dan keenam belas, para penulis seperti; Groutious yang banyak
menggambarkan Hukum Romawi[6]
dalam tulisannya dan jalur keluarga Romawi masih dapat dideteksi dibanyak
aturan yang kini telah berubah menjadi hukum adat (contohnya, mengenai
terjadinya kepemilikan dari judul untuk wilayah).
Pada abad kesembilan
belas arbitrase internasional, yang sebelumnya jarang terjadi, menjadi lebih
umum, dan kebutuhan untuk aturan prosedur peradilan dipenuhi dengan meminjam
prinsip-prinsip dari hukum nasional (misalnya, prinsip bahwa pengadilan adalah
kompten untuk memutuskan wheter atau tidak telah jurisdiction dalam kasus
keraguan, dan prinsip bahwa klaim dibawa kepengadilan setelah penundaan yang
tidak masuk akal harus dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak dapat diterima dalam
hukum internasional abad ini, telah datang untuk mengatur kontrak-kontrak
tertentu yang dibuat oleh individu atau perusahaan dengan negara-negara atau
organisasi internasional untuk kontrak contoh kerja di organisasi internasional,
dan konsensi minyak, perjanjian dan hukum adat mengandung beberapa aturan yang
berlaku untuk seperti topic dan kesenjangan telah diisi oleh jalan lain untuk
prinsip-prinsip umum hukum komersial dan administrative, yang dipinjam dari
sistem hukum nasional. Misalnya, pengadilan administratif internasional, yang
mencoba perselisihan antara organisasi internasional dan staf mereka.
Telah diterapkan secara konsisten prinsip, dipinjam
dari hukum nasional, bahwa seorang pejabat harus diberitahu tentang terhadapnya
dan harus diberi kesempatan untuk membalas criticisms. Mereka dalam kasus
‘kontrak diinternasionalisasikan’ antara perusahaan negara dan asing, tujuan
mengacu (dari sudut pandang perusahaan investasi) lebih memilih untuk percaya.
Kebijaksanaan arbiter untuk untuk menemukan aturan-aturan hukum yamg relevan
secara kreatif, bukannya pada belas kasihan dari negara tertular legislative
nasional. Namun, harus remembered bahwa lingkungan dihukum internasional, dan
prinsip which beroprasi sangat berbeda dari satu dimana operatas hukum
nasional, dan prinsip-prinsip hukum nasional dapat digunakan untuk mengisi
kesengajaan dalam hukum internasional hanya jika mereka cocok dengan lingkungan
internasional. Seperti dicatat oleh hakim McNair dalam kasus Selatan Afrika Barat.
Cara dimana hukum internasional meminjam dari sumber ini tidak dengan cara
mengimpor ‘kunci,saham,dan barel’ lembaga-lembaga hukum swasta, siap pakai dan
sepenuhnya penerapan ‘prinsip-prinsip umum hukum’. Akhirnya, harus menunjukkan
bahwa masalah cuaca pengadilan internasional oblged untuk mengisi kesenjangan
dalam hukum internasional substantive dalam rangka untuk menyediakan
‘commplenes’ dari sistem hukum, untuk membuat sebuah keputusan beton dan dengan
demikian menghindari menyatakan non liquid (masalah ini tidak jelas) tetap
controversial. Menarik untuk dicatat bahwa ICJ yang agak meyakinkan opini
penasehat dalam legalitas kasus senjata nuklir tidak membuat setiap penggunaan
prinsip-prinsip umum hukum yang diakui dalam semua sistem hukum.
Pada
kenyataannya, apa pengadilan telah dilakukan dalam keputusan ini adalah yang
diucapkan seorang liquit non pada isu sentral atas dasar ketidakpastian
dinegara saat ini hukum internsional dan aktual, hal itu sekaligus menyampaikan
bahwa konsep non liqueit adalah tidak
sehat bagi suatu fungsi peradilan dan perjalanan pegadilan yang keliru, jika mereka mau mengaku non liqueit dalam setiap kasus tertentu. Dalam satu hukum
internasional tidak selalu ditemukan. Aturan yang jelas dan spesifik siap untuk
setiap situasi bisa diterapkan didunia internasional, tapi setiap situasi
internasional adalah mampu menyelesaikan masalah.
PRINSIP-PRINSIP
LAIN YANG MUNGKIN DALAM SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL.
Selain perjanjian-perjanjian, hukum adat (kebiasaan),
dan prinsip-prinsip umum hukum tentang keadilan, terdapat beberapa
prinsip-prinsip lain yang mungkin menjadi sumber-sumber dalam hukum
internasional, yakni seperti adanya peran organisasi Internasional, Soft Law (hukum lunak), dan Keadilan
(Ekuitas), yang ketiganya memiliki hubungan satu sama lain (hirarki).
Peran
Organisasi Internasional dimasukkan kedalam salah satu
sumber hukum internasional setelah peran organisasi internasional itu sendiri
yang mulai diakui
kehadiran, dan peranannya yang besar dalam lingkup internasional, dan oleh
sebab itu memiliki pengaruh sebagai salah satu sumber hukum internasional[7].
Hukum Lunak juga
memiliki potensi untuk dijadikan sumber lain dalam sumber-sumber hukum
internasional[8],
apabila dikaitkan dengan kontroversi tentang status
deklarasi tertentu dan resolusi organisasi internasional. Munculnya
'hukum lunak' juga berkaitan dengan kenyataan bahwa negara dalam perjanjian sering tidak (belum) ingin mengikat
diri secara hukum, tetapi tetap ingin mengadopsi dan menguji aturan-aturan tertentu dan prinsip-prinsip
sebelum mereka menjadi hukum. Hal ini sering memfasilitasi konsensus yang lebih sulit
untuk mencapai pada instrumen
'hukum keras'. "Hukum
lunak" mungkin juga relevan dari perspektif sosiologi hukum internasional berkaitan dengan proses pembentukan hukum
adat atau hukum perjanjian dan
isu terkait 'legitimasi' dalam sistem hukum internasional.
Dan
yang ketiga adalah ; Ekuitas, ekuitas
merupakan “keadilan”, berbeda dengan ekuitas dalam pembahasan dan ruang lingkup
sebelumnya, yakni keadilan dalam prinsip-prinsip umum hukum, "Ekuitas", dalam konteks ini, digunakan tidak dalam arti kata teknis
yang memiliki system hukum
Anglo-Amerika yang menjelaskan perbedaan
antara hukum dan keadilan sebagai badan yang terpisah dari hukum, tetapi sebagai sinonim untuk 'keadilan'. Selain itu, mereka yang melihat ke ekuitas
sebagai sumber hukum internasional
sering tarik tuduhan subyektivisme. Jadi tiga
istilah - 'keadilan', 'keadilan' dan 'hukum alam' - cenderung untuk bergabung
menjadi satu sama lain.
Bahkan selama abad XVI dan XVII, Ekuitas
(keadilan) ini merupakan sumber utama
dari hukum internasional. Dalam
arbiter abad kesembilan belas dan kedua puluh telah sering
diotorisasi untuk menerapkan keadilan
dan kesetaraan serta hukum internasional
(otorisasi seperti itu lebih umum
sebelum tahun 1920 hingga saat ini),
bahkan tanpa adanya otorisasi tersebut, hakim dan arbiter
terkadang melibatkan pertimbangan yang adil[9].
Jumlah
kata : 3,044
[1] R. Bentafor. Customary International Law (1992). 898-905.
[2] Untuk diskusi dari doktrin Italia, lihat F. Munch. A Propos du Droit Spontane. Studi in Onore
de Guiseppe Sperdulii. 1984.
[3] Lihat A. D’Amato. Good Faith.
1995; J. F Connor. Good Faith in
International Law. 1991.
[4] K.J Pitsch. International Law
and Municipal Law. 1995.
[5] S. Verosta. Denial of
Justice. 1992.
[6] D.J Iboetson. The Roman Law
Tradition. 1994.
[7] Untuk diskusi lihat K. Skubiszewski. Resolutions of the U.N General Assembly and Evidence of Custom in
Etudes en I’honneur de R.Ago. 1987 ; B. Sloan. General Assembly Resolutios Revisited (Forty Years After). 1987 ;
C. Economides. Les Actes Institutionnes
International et Les Sources du droit Internatonal. 1988.
[8] Lihat R. Bierzanek. Some
Remarks on “Soft” International Law. 1988 ; C.M. Chinkin. The Challenge of Soft Law : Development and
Change in International Law. 1989 ; P.M Dupuy. Soft Law and the International Law of the Environment. 1991.
[9] Lihat M. Mchurst. Equity and
General Principles of Law. 1976 ; V. Lowe. The Role of Equity in International Law. 1988 ; C.M Fornbad. Equity in Current International Practice.
1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar