Minggu, 23 Februari 2014

Book Resume: RELATION OF THE LAW OF THE SEA TO OTHER FIELDS OF INTERNATIONAL LAW: THE LAW OF THE SEA CONVENTION AND THE LAW OF TREATIES & DROITS DE LA MER ET DROITS DE I’HOMME : BUDISLAV VUKAS

Saya mengingatkan kembali pada blog ini saya sudah memposting ulang terkait Hukum Laut Internasional sebanyak 3x. Jika anda memiliki kesulitan mencari referensi buku terkait kajian Hukum Laut Internasional anda bisa scroll blog saya untuk menemukan 2 postingan lama saya.
Sekali lagi saya menginformasikan tidak ada pengubahan dalam tulisan ini, dengan kata lain ini hanya blog yang tujuan utamanya adalah menyimpang memory saya mengenai buku-buku yang sudah saya baca selama masa S1 saya yaitu tahun 2009-2011. Terimakasih, selamat mempelajari.


Hasil gambar untuk ELATION OF THE LAW OF THE SEA TO OTHER FIELDS OF INTERNATIONAL LAW budislav vukas

Mata kuliah HUKUM LAUT INTERNASIONAL
SEMESTER PENDEK
 


RELATION OF THE LAW OF THE SEA TO OTHER FIELDS OF INTERNATIONAL LAW: THE LAW OF THE SEA CONVENTION AND THE LAW OF TREATIES & DROITS DE LA MER ET DROITS DE I’HOMME

Budislav Vukas




HUBUNGAN HUKUM LAUT TERHADAP BIDANG LAIN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Chapter 5
KONVENSI HUKUM LAUT DAN HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
1. PENDAHULUAN
Sebagaimana yang terdapat didalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (Konvensi LOS), hukum tersebut telah dianggap sebagai salah satu perjanjian paling penting, paling kompleks, dan paling luas yang pernah disimpulkan, oleh sebab itu pula isi dari perjanjian tersebut menjelaskan berbagai solusi. Meskipun beberapa dari isi perjanjian tersebut tidak jelas dan membingungkan, akan tetapi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS III) telah disepakati menjadi landasan hukum laut internasional.
Akan tetapi, hasil kesepakatan tersebut mengundang kritik bagi banyak Negara. Perjanjian tersebut dinilai hanya merupakan perjanjian yang hanya menguntungkan bagi Negara-negara berkembang, akan tetapi tidak bagi Negara-negara industry, hal ini terkait kepada masalah ketentuan pada eksplorasi dan eksploitasi area laut dan area area sea-bed internasional. Oleh sebab itu, pada perjanjian tersebut, kecuali Islandia, Negara-negara industri lainnya tidak ikut meratifikasi Konvensi.
Dua puluh tahun, PBB melakukan kegiatan khusus dalam merevisi hukum laut, akan tetapi hasilnya selalu tidak pernah disukai oleh kedua pihak sekaligus (Negara berkembang dan Negara maju). Pada tahun 1990, kemudian dilakukan negosiasi antara Negara tersebut, empat tahun negosiasi yang akhirnya menghasilkan Persetujuan mengenai pelaksanaan Bab XI Konvensi LOS[1]. Penerapan perjanjian tersebut dimulai pada tanggal 16 November 1994, dengan 125 pihak berpartisipasi dalam ratifikasi perjanjian pada tanggal 1 April 1998, dan mulai berlaku sejak 28 Juli 1996, dengan total 86 negara berpartisipasi. Konvensi LOS merupakan elemen luar biasa dalam instrument internasional, yang merupakan hasil dari sebuah konsekuensi dari UNCLOS III.


2. SUMBER DARI PERJANJIAN HUKUM
Sebelum menangani pertanyaan hukum-dari-perjanjian khusus, yang paling penting ialah memperjelas sumber dari hukum perjanjian dalam Konvensi LOS dan instrument terkait. Selain hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip umum hukum, terdapat sumber-sumber hukum lainnya, yakni Konvensi, beserta kodifikasi, diantaranya ialah: Konvensi Hukum Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian tahun 1986, dan Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional. Hukum adat internasional (hukum kebiasaan internasiona) juga telah menjadi dasar dalam sebuah hukum perjanjian antar Negara. Namun, seperti telah terbukti dan disimpulkan, bahwa didalam Konvensi Wina juga terdapat sebagia besar aturan yang mengarah serta menyimpulkan mengenai hukum perjanjian antar subjek hukum internasional lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina 1969 yang berlaku untuk “perjanjian internasional yang dibuat antar Negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional”. Konvensi 1986 juga disebutkan dalam pasal 2 ayat 1, mengenai perjanjian internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat dalam bentuk tertulis, serta mengenai organisasi internasional[2]. Kedua Konvensi tersebut menegaskan apa yang sebelumnya tidak tertulis sebagaimana dalam hukum kebiasaan internasional atas ketentuan-ketentuannya.
Namun, status kedua Konvensi Wina tidaklah sama. Konvensi Wina 1969 baru mulai berlaku pada 27 Januari 1980 dengan 84 (21 Mei 1998) negara berpartisipasi. Sementara Konvensi Wina 1986 belum memasuki banding. Oleh sebab itu pula, disebutkan dalam Pasal 4 mengenai “retroaktif Non Konvensi” tersebut, bahwa “Konvensi hanya akan berlaku seperti perjanjian antara satu atau lebih Negara dan organisasi internasional saja, sebelum Konvensi tersebut memasuki banding”. Dengan kata lain, aturan yang tercantum didalam Konvensi Wina 1986 sebelum memasuki banding akhir, hanya akan berlaku seperti sebuah perjanjian-perjanjian yang disimpulkan sejauh pencerminan terhadap hukum kebiasaan internasional, sedangkan aplilkasi langsungnya dihilangkan dikarenakan fakta Konvensi tersebut belum sah dianggap telah berlaku. Konvensi Wina 1986 harus terlebih dahulu diuji berdasarkan waktu berlakunya, serta subjek hukum internasional yang sudah jelas ditetapkan dan disebutkan sebagai klasifikasi instrument laut.

Chapter 6
HUKUM LAUT DAN HAK MANUSIA
  1. PENDAHULUAN
Pokok dalam penulisan Bab ini, merupakan hasil penelitian dan perhatian penulis sendiri, terutama ketika melihat bahwa sejak dulu, masalah hukum laut terkait secara tidak langsung terhadap hak-hak manusia. Sebagian penulis Amerika mencatat, bahwa sejak dahulu, lautan telah menjadi subjek eksploitasi terkait kepada hak-hak manusia. Sebenarnya apabila dilihat kepada hak-hak manusia, perlindungan kepada sumber daya alam maupun perlindungan lingkungan laut merupakan hal yang bertentangan. Akan tetapi, apabila ditinjau lebih lanjut, keduanya memiliki kesinambungan, terutama dikarenakan oleh ketergantungan manusia terhadap sumber daya alam tersebut, secara tidak langsung maka manusia tidak dapat bertindak berlebihan untuk mencapai hak-hak mereka, apabila mereka tidak ingin sumber daya mereka habis, dan kemudian mereka akan mati kelaparan, atau hidup tidak sehat.
Sebagaimana dengan sumber hukum internasional lainnya, hukum laut internasional juga memiliki aturan-aturan yang kemudian diperluas. Beberapa contoh ialah dengan Pertimbangan Pasal 62 Ayat 1, Konvensi Hukum Laut, yang menyatakan pertimbangan bahwa Negara Pantai telah mendukung sumber daya hayati optimal dalam ZEE. Pasal 210 ayat 1 juga berisi mengenai aturan yang mewajibkan Negara mengadopsi hukum dan peraturannya terkait pencegahan, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut atau dumping. Meskipun pada realitanya, aturan-aturan tersebut masih belum cukup untuk melindungi sumberdaya laut, karena seiring dengan hal tersebut pula, industri semakin berkembang, dan dampaknya terhadap lautan tetap sangat besar. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan tersebut menunjukkan upaya terhadap kesadaran manusia akan ketergantungan nya dalam sumber daya alam tersebut, dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang terlihat belum muncul kesadaran terhadap kepentingan perlindungan sumberdaya terkait kehidupan manusia sendiri, terlihat dari aturan-aturannya yang dahulu lebih terfokus kepada eksploitasi dan pemenuhan hak-hak manusia terhadap kepemilikan sumber daya alamnya.

2. KESELAMATAN PRIBADI DI LAUT
Mengenai navigasi, aktivitas maritime tertua, ada beberapa ketentuan didalam konvensi yang bertujuan untuk melindungi kehidupan dan keselamatan hidup dilaut. Aturan utama dalam arah ini tercantum dalam Pasal 94, yang juga menjelaskan mengenai tugas Negara Bendera. Dalam Pasal 94 tersebut dijabarkan daftar mengenai beberapa tindakan yang harus diambil Negara Bendera untuk memastikan keselamatan di laut. Langkah-langkah tersebut meliputi: a) konstruksi dan peralatan kapal; b) komposisi kapal; c) kondisi kerja dan pelatihan awak; d) penggunaan sinyal pemeliharaan komunikasi dan pencegahan tabrakan. Selain langkah-langkah tersebut, Negara Bendera kapal harus memastikan keselamatan selama berada dilautan. Konvensi juga mewajibkan kepada siapa saja untuk membantu serta meningkatkan pembentukan dan operasi penelitian penyelamatan permanen, dengan menjamin dan meningkatkan keamanan yang efektif terkait keamanan maritime dan penerbangan. Aturan tersebut secara khusus diperluas dalam ZEE dan laut lepas.



[1] Law of the Sea Bulletin, Special Issue IV, Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea, Office of Legal Affairs, 16 November 1994.
[2] Eight preambular paragraph of the 1969 Convention; fifteenth preambular paragraph of the 1986 Convention.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...