Sekali lagi saya menginformasikan tidak ada pengubahan dalam tulisan ini, dengan kata lain ini hanya blog yang tujuan utamanya adalah menyimpang memory saya mengenai buku-buku yang sudah saya baca selama masa S1 saya yaitu tahun 2009-2011. Terimakasih, selamat mempelajari.
Mata kuliah HUKUM LAUT INTERNASIONAL
SEMESTER PENDEK

RELATION
OF THE LAW OF THE SEA TO OTHER FIELDS OF INTERNATIONAL LAW: THE LAW OF THE SEA
CONVENTION AND THE LAW OF TREATIES & DROITS DE LA MER ET DROITS DE I’HOMME
Budislav Vukas
HUBUNGAN HUKUM LAUT TERHADAP BIDANG LAIN DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Chapter 5
KONVENSI HUKUM LAUT DAN HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
1. PENDAHULUAN
Sebagaimana
yang terdapat didalam Konvensi
PBB tentang Hukum Laut (Konvensi LOS),
hukum tersebut telah dianggap sebagai salah satu perjanjian paling penting,
paling kompleks, dan paling luas yang pernah disimpulkan, oleh sebab itu pula isi
dari perjanjian tersebut menjelaskan berbagai solusi. Meskipun beberapa dari
isi perjanjian tersebut tidak jelas dan membingungkan, akan tetapi Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS III) telah disepakati menjadi landasan hukum laut
internasional.
Akan tetapi, hasil kesepakatan
tersebut mengundang kritik bagi banyak Negara. Perjanjian tersebut dinilai hanya
merupakan perjanjian yang hanya menguntungkan bagi Negara-negara berkembang,
akan tetapi tidak bagi Negara-negara industry, hal ini terkait kepada masalah
ketentuan pada eksplorasi dan eksploitasi area laut dan area area sea-bed internasional. Oleh sebab itu,
pada perjanjian tersebut, kecuali Islandia, Negara-negara industri lainnya
tidak ikut meratifikasi Konvensi.
Dua puluh tahun, PBB melakukan
kegiatan khusus dalam merevisi hukum laut, akan tetapi hasilnya selalu tidak
pernah disukai oleh kedua pihak sekaligus (Negara berkembang dan Negara maju). Pada
tahun 1990, kemudian dilakukan negosiasi antara Negara tersebut, empat tahun
negosiasi yang akhirnya menghasilkan Persetujuan mengenai pelaksanaan Bab XI
Konvensi LOS[1].
Penerapan perjanjian tersebut dimulai pada tanggal 16 November 1994, dengan 125
pihak berpartisipasi dalam ratifikasi perjanjian pada tanggal 1 April 1998, dan
mulai berlaku sejak 28 Juli 1996, dengan total 86 negara berpartisipasi.
Konvensi LOS merupakan elemen luar biasa dalam instrument internasional, yang
merupakan hasil dari sebuah konsekuensi dari UNCLOS III.
2. SUMBER DARI PERJANJIAN HUKUM
Sebelum menangani pertanyaan hukum-dari-perjanjian
khusus, yang paling penting ialah
memperjelas sumber dari hukum perjanjian dalam Konvensi LOS dan instrument
terkait. Selain hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip umum
hukum, terdapat sumber-sumber hukum lainnya, yakni Konvensi, beserta kodifikasi,
diantaranya ialah: Konvensi Hukum Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian tahun
1986, dan Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi
Internasional. Hukum adat internasional (hukum kebiasaan internasiona) juga
telah menjadi dasar dalam sebuah hukum perjanjian antar Negara. Namun, seperti
telah terbukti dan disimpulkan, bahwa didalam Konvensi Wina juga terdapat
sebagia besar aturan yang mengarah serta menyimpulkan mengenai hukum perjanjian
antar subjek hukum internasional lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam
pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina 1969 yang berlaku untuk “perjanjian internasional
yang dibuat antar Negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum
internasional”. Konvensi 1986 juga disebutkan dalam pasal 2 ayat 1, mengenai
perjanjian internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat dalam
bentuk tertulis, serta mengenai organisasi internasional[2]. Kedua Konvensi tersebut
menegaskan apa yang sebelumnya tidak tertulis sebagaimana dalam hukum kebiasaan
internasional atas ketentuan-ketentuannya.
Namun, status kedua Konvensi Wina
tidaklah sama. Konvensi Wina 1969 baru mulai berlaku pada 27 Januari 1980
dengan 84 (21 Mei 1998) negara berpartisipasi. Sementara Konvensi Wina 1986
belum memasuki banding. Oleh sebab itu pula, disebutkan dalam Pasal 4 mengenai
“retroaktif Non Konvensi” tersebut, bahwa “Konvensi hanya akan berlaku seperti
perjanjian antara satu atau lebih Negara dan organisasi internasional saja,
sebelum Konvensi tersebut memasuki banding”. Dengan kata lain, aturan yang
tercantum didalam Konvensi Wina 1986 sebelum memasuki banding akhir, hanya akan
berlaku seperti sebuah perjanjian-perjanjian yang disimpulkan sejauh
pencerminan terhadap hukum kebiasaan internasional, sedangkan aplilkasi
langsungnya dihilangkan dikarenakan fakta Konvensi tersebut belum sah dianggap
telah berlaku. Konvensi Wina 1986 harus terlebih dahulu diuji berdasarkan waktu
berlakunya, serta subjek hukum internasional yang sudah jelas ditetapkan dan
disebutkan sebagai klasifikasi instrument laut.
Chapter 6
HUKUM LAUT DAN HAK MANUSIA
- PENDAHULUAN
Pokok dalam penulisan Bab ini, merupakan
hasil penelitian dan perhatian penulis sendiri, terutama ketika melihat bahwa
sejak dulu, masalah hukum laut terkait secara tidak langsung terhadap hak-hak
manusia. Sebagian penulis Amerika mencatat, bahwa sejak dahulu, lautan telah
menjadi subjek eksploitasi terkait kepada hak-hak manusia. Sebenarnya apabila dilihat
kepada hak-hak manusia, perlindungan kepada sumber daya alam maupun
perlindungan lingkungan laut merupakan hal yang bertentangan. Akan tetapi,
apabila ditinjau lebih lanjut, keduanya memiliki kesinambungan, terutama
dikarenakan oleh ketergantungan manusia terhadap sumber daya alam tersebut,
secara tidak langsung maka manusia tidak dapat bertindak berlebihan untuk
mencapai hak-hak mereka, apabila mereka tidak ingin sumber daya mereka habis, dan
kemudian mereka akan mati kelaparan, atau hidup tidak sehat.
Sebagaimana dengan sumber hukum
internasional lainnya, hukum laut internasional juga memiliki aturan-aturan
yang kemudian diperluas. Beberapa contoh ialah dengan Pertimbangan Pasal 62
Ayat 1, Konvensi Hukum Laut, yang menyatakan pertimbangan bahwa Negara Pantai
telah mendukung sumber daya hayati optimal dalam ZEE. Pasal 210 ayat 1 juga
berisi mengenai aturan yang mewajibkan Negara mengadopsi hukum dan peraturannya
terkait pencegahan, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut
atau dumping. Meskipun pada
realitanya, aturan-aturan tersebut masih belum cukup untuk melindungi
sumberdaya laut, karena seiring dengan hal tersebut pula, industri semakin
berkembang, dan dampaknya terhadap lautan tetap sangat besar. Akan tetapi,
pertimbangan-pertimbangan tersebut menunjukkan upaya terhadap kesadaran manusia
akan ketergantungan nya dalam sumber daya alam tersebut, dibandingkan dengan
aturan sebelumnya yang terlihat belum muncul kesadaran terhadap kepentingan
perlindungan sumberdaya terkait kehidupan manusia sendiri, terlihat dari
aturan-aturannya yang dahulu lebih terfokus kepada eksploitasi dan pemenuhan
hak-hak manusia terhadap kepemilikan sumber daya alamnya.
2.
KESELAMATAN PRIBADI DI LAUT
Mengenai
navigasi, aktivitas maritime tertua, ada beberapa ketentuan didalam konvensi
yang bertujuan untuk melindungi kehidupan dan keselamatan hidup dilaut. Aturan
utama dalam arah ini tercantum dalam Pasal 94, yang juga menjelaskan mengenai
tugas Negara Bendera. Dalam Pasal 94 tersebut dijabarkan daftar mengenai
beberapa tindakan yang harus diambil Negara Bendera untuk memastikan
keselamatan di laut. Langkah-langkah tersebut meliputi: a) konstruksi dan
peralatan kapal; b) komposisi kapal; c) kondisi kerja dan pelatihan awak; d) penggunaan
sinyal pemeliharaan komunikasi dan pencegahan tabrakan. Selain langkah-langkah
tersebut, Negara Bendera kapal harus memastikan keselamatan selama berada dilautan.
Konvensi juga mewajibkan kepada siapa saja untuk membantu serta meningkatkan
pembentukan dan operasi penelitian penyelamatan permanen, dengan menjamin dan
meningkatkan keamanan yang efektif terkait keamanan maritime dan penerbangan. Aturan
tersebut secara khusus diperluas dalam ZEE dan laut lepas.
[1] Law of the Sea Bulletin, Special
Issue IV, Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea, Office of Legal
Affairs, 16 November 1994.
[2] Eight preambular paragraph of the 1969 Convention; fifteenth
preambular paragraph of the 1986 Convention.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar