Mata kuliah Pemikiran Politik Timur
SEMESTER III
SEMESTER III

"Konsep Penting
Pemerintahan Islam (Imamah dan Negara, Ahl Al-Hall Wa Al-Aqd, dan Wizarah)"
Ringkasan tulisan ini berdasarkan Buku :
- Rahmat, Imdadun. M, et al. “Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas”. 2003. Erlangga : Jakarta
- Yaqub, Ali Mustafa. “Islam Masa Kini”. 2008. Penerbit Pustaka Firdaus : Jakarta.
1.
IMAMAH
DAN NEGARA
Istilah Imamah pertama kali dalam Islam digunakan oleh Nabi SAW untuk
menunjuk pemimpin (Imam)
sepeninggalannya. Beliau kemudian menunjuk Imam Ali sebagai penggantinya /
pemimpin masyarakat setelah nabi wafat. Pengertian mengenai imamah sendiri telah menunjukkan bahwa
didalam ilmu politik Islam tak hanya dititik beratkan kepada ayat-ayat
Al-Quran, namun juga sejarah / mengandung nilai historis.
Didalam Al-Qur’an ketika itu
belum menjelaskan mengenai pergantian pemimpin umat/masyarakat ketika Nabi SAW
wafat. Nabi SAW sendirilah yang menunjuk sahabatnya Imam Ali sebagai
pengantinya kemudian. Namun sebelum Nabi SAW wafat, tentunya beliau tidak
sembarangan menentukan calon penggantinya. Imam Ali kemudian diberikan
pendidikan, masukan-masukan, pemikiran-pemikiran, dan sebagainya, yang kemudian
persoalan imamah ini dihadiskan oleh
umat-umat nabi dan menjadi bagian penting didalam konsep penting pemerintahan
Islam[1].
Didalam Al-Qur’an hanya dibahas
mengenai tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang imam/ pemimpin, yakni :
Pertama,
seorang Imam adalah panutan dan contoh praktis yang sejati yang akan memperagakan
ajaran-ajaran agama, baik dalam sisi akidah, akhlak dan praktik amaliah.
Kedua,
seorang Imam adalah tempat berujuk dalam segala urusan dan masalah keagamaan.
Seluruh masalah agama harus diambil darinya. Sebagaimana seluruh arahannya harus
ditaati, tidak boleh dibantah dan dilanggar, sebab ia ma'shum.
Ketiga,
seorang Imam memiliki kewenangan dalam memimpin umat dalam skala sosial,
politik dan membimbing ke arah yang serasi dengan kesempurnaan kehidupan ukhrawi-nya
di sisi Allah.
Keempat, imamah
ialah kewenangan dan kemampuan untuk berbuat dan memberi pengaruh pada sistem
alam dengan izin Allah.
Nabi SAW beranggapan bahwa
masalah Imamah / pemimpin merupakan
hal paling penting didalam konsep pemerintahan Islam, karena Islam bukanlah
agama yang individualistik, harus ada yang memimpin / dipercayai untuk
menguatkan Islam itu sendiri. Namun Nabi SAW juga mengatakan bahwa imamah / pemimpin selain untuk memelihara
agama, tetapi juga untuk mengatur kehidupan dunia.
Kemudian dalam beberapa saat kemudian, mulai
dikembangkan pengertian mengenai imamah oleh para penafsir-penafsir agama.
Masing-masing memiliki penafsiran sendiri-sendiri mengenai karakteristik
pemimpin / imam yang baik bagi umat / masyarakatnya. Secara garis besar,
karakteristik / criteria imamah menurut penafsiran Islam adalah :
·
Memiliki Ilmu Agama
Dalam artian, tidak hanya sekedar
beragama dan mengerti mengenai agama, tetapi juga mampu mengamalkan serta
membagikannya terhadap orang lain[2].
Hal ini ditafsirkan sebagai karakter penting dalam menjadi seorang pemimpin,
atas dasar hadis nabi SAW yang menyebutkan bahwa “seorang ulama / ahli waris, haruslah mewariskan ilmu, bukan dinar atau
dirham”.
·
Khasy’yah
Bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia
lakukan. Hal ini dilatarbelakangi oleh
sikap Nabi yang ketika menjadi seorang pemimpin tidak pernah lari dari
kewajiban dan tanggung jawabnya. Oleh karena ini, khasy’ah merupakan syarat yang juga penting bagi seorang pemimpin /
imamah.
·
Zuhud
Zuhud
bukan berarti tidak boleh mencintai dunianya, tetapi tidak boleh ‘terlalu’
mencintai dunianya. Dalam artian, seorang pemimpin tidak boleh bermewah-mewah,
tampil terlalu mencolok, dan sebagainya, sehingga ia tak lagi mementingkan
pelayanannya terhadap umat / rakyatnya.
Hal ini ditafsirkan berdasarkan firman
Allah, Al-Qashass 77 yang menyatakan bahwa “Tidak
layak seseorang bersikap terlalu mencintai dunianya, hidup bermewah-mewah,
setelah dunia itu berhasil dikuasainya”.
Pentingnya sikap Zuhud juga tercermin dari sikap prilaku Nabi ketika menjadi seorang
pemimpin, yang selalu rendah hati dan tak pernah bermewah-mewah. Ratu Bilqis
bahkan telah memberikannya berlimpahruah kekayaan, untuk menguji Nabi, namun
Nabi tak pernah tergoda oleh nafsu duniawinya. Hal itu menjadikan nabi semakin
dicintai oleh umat-umatnya.
·
Akrab dengan Rakyat
Kecil
Perilaku Nabi yang selalu dekat dengan siapa saja,
membuatnya sangat dicintai rakyatnya. Termasuk, rakyat-rakyat kecil, yang
sebenarnya sangat memerlukan perlindungan. Nabi seringkali menyempatkan dirinya
berada ditengah-tengah rakyat kecil, dan berkumpul di mesjid-mesjid mendekatkan dirinya dengan rakyat-rakyat
kecil. Hal itu lah yang membuat hal ini
ditafsirkan penting bagi seorang pemimpin untuk dilakukan.
·
Empat Puluh Tahun
Memang tidak seluruh Nabi diangkat
menjadi pemimpin / dipercayai oleh Allah menjadi seorang pemimpin ketika telah
berumur empat puluh tahun. Nabi Isa, adalah nabi yang satu-satu nya diangkat
menjadi pemimpin sebelum ia berumur empat
puluh tahun.
Namun para ulama Islam masa kini
menganggap, umur empat puluh tahun merupakan salah satu karakteristik imamah
yang cukup penting. Hal itu dikatakan cukup penting, karena menurut mereka,
umur empat puluh tahun, adalah umur yang paling matang bagi seseorang, dimana
ia tidak lagi memiliki kegejolakan jiwa dan ketidakstabilan kepribadian.
Pada usia inilah umumnya, seseorang dianggap
telah mendapatkan istiqamah
(ketenangan jiwa), kemapanan kepribadian, sehingga layak menjadi panutan
kaumnya.
·
Bersifat Ma’sum
Ma’sum (terpisah
dari dosa-dosa), dalam artian merupakan sifat yang sesuai dengan hukum Allah,
yakni : bertanggung jawab, amanah, menghormati, murah hati, zunub, terutama
jujur. Kejujuran amat penting didalam watak seorang pemimpin bagi Islam.
2.
AHL AL-HALL WA AL-AQD
Ketika Nabi SAW menunjuk Imam
Ali sebagai imam pengganti beliau, dilakukan
perundingan secara musyawarah. Namun, tentu saja musyawarah tersebut tidak
dilakukan oleh seluruh masyarakat / umat Nabi SAW ketika itu, karena jumlahnya
sangat banyak.
Maka istilah Ahl Al Hall Wa Al
Aqd kemudian digunakan ketika itu. Al
Hall Wa Al Aqd merupakan lembaga-lembaga / kumpulan masyarakat yang
ditunjuk oleh kelompok-kelompok yang mewakili rakyat (DPR).
Karakteristik wakil rakyat / al hall wa al aqd dalam Islam yakni :
-
Telah mendapatkan kepercayaan dari umatnya /
masyarakatnya
-
Berpengalaman terhadap urusan-urusan rakyat
-
Dinyatakan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang
terjadi didalam masyarakat
-
Memiliki sikap-sikap istiqamah seperti : berprilaku adil, berilmu pengetahuan, berwawasan,
ariv, berakhlak, jujur, bijaksana, serta
tidak melanggar perintah Allah dan Sunnah Rasul.
Secara harfiah, Ahl al-hall wal al-‘aqd berarti
orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqh siyasah merumuskan
pengertian Ahl al-hall wal al-‘aqd Sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk
memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata
lain, Ahl al-hall wal al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan
menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.
3.
WIZARAH
Kata “wizarah”
terambil dari kata al-wazr yang
berarti al-tsuql atau berat.
Dikatakan demikian, karena seorang wazir memikul beban tugas-tugas kenegaraan
yang berat. Kepadanyalah dilimpahkan
sebagian kebijakasanaan-kebijaksanaan pemerintahan dan pelaksanaannya. Dalam
bahasa Arab dan Persia modern, wazir mempunyai
pengertian yang sama dengan menteri yang mengepalai departemen dalam
pemerintahan. Dalam first encyclopedia of
islam, kata wizarah atau wazir ini diadopsi dari bahasa Persia. Dan
menurut Kitab Zend Avesta, kata ini berasal dari “ziciria”, yang berarti orang
yang memutuskan, hakim.
Dari pengertian – pengertian ini dapat ditarik
pemahaman bahwa wazir/ wizarah
merupakan pembantu kepala negara (raja atau Khalifah) dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Sebab, pada dasarnya, kepala negara sendiri tidak mampu
menangani seluruh permasalahan politik dan pemerintahan tanpa bantuan orang
–orang yang terpercaya dan ahli di bidangnya masing-masing. Karenanya, kepala
negara membutuhkan bantuan tenaga dan pikiran wazir, sehingga sebagian persoalan-persoalan kenegaraan yang berat
tersebut dapat dilimpahkan ketangan kanan kepala negara dalam mengurus
pemerintahan.
Pengertian wazir
sebagaii pembantu dalam pelaksanaan suatu tugas digunakan Al-Quran ketika
menyebutkan tugas Nabi Harun membantu Nabi Musa dalam melaksanakan dakwahnya
kepada Fir’aun, sebagaimana tercantum dalam QS.Furqon:35, yakni ; ”Dan Kami jadikan saudaramu,Harun sebagai
pembantunya dalam (menghadapi Fir’aun)”.
Namun, wizarah
bukanlah suatu yang baru dan terdapat pada pemerintahan Islam saja. Wizarah telah ada sejak zaman pra-Islam.
Wizarah ini telah dikenal jauh pada
masa Mesir Kuno, Bani Israil dan Persia Kuno. Hal ini membuktikan bahwa seorang
wakil pemimpin / wizarah merupakan suatu hal
yang penting didalam suatu system politik / pemerintahan.
Dalam sejarah Islam, pengertian wazir sebagai
pembantu dapat dilihat dari peranan yang dimainkan oleh Abu Bakar dalam
membantu tugas-tugas kerasulan dan kenegaraan Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar
memainkan peranan penting sebagai partner setia Nabi Muhammad. Diantara yang
tercatat dalam sejarah adalah kesetiaannya menemani Nabi Muhammad hijrah dari
Mekah ke Madinah. Sesampai di Madinah, Abu bakar juga disamping tentunya
sahabat-sahabat lainnya sering dijadikan sebagai teman dalam musyawarah
memutuskan berbagai persoalan umat. Pada saat-saat terakhir kehidupan Nabi, Abu
Bakar pun menjadi pengganti Nabi untuk mengimami umat Islam shalat berjama’ah. Peranan
yang sama juga dimainkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab. Ketika Abu Bakar menggantikan
kedudukan Anbi sebagia khalifah, ‘Umar adalah pembantu setia Abu Bakar.
Kepadanya Abu Bakar menyerahkan urusan pengadilan (al-qadha’).
KESIMPULAN
Sistem politik Islam sebenarnya
sama saja dengan sistem politik pada umumnya, hanya saja sistem politik Islam
berkiblat / condong kearah ayat-ayat Al Qur’an, hadis, firman Allah, serta
sejarah-sejarah dan perilaku-perilaku Nabi. Justru karena adanya kesamaan
karakter tersebutlah, maka ilmu politik dapat juga dicabangkan menjadi ilmu
politik Islam.
Beberapa kesamaan yang dapat ditarik antara politik dengan politik Islam,
ialah : karakter pemilihan pemimpin, pembentukan lembaga negara, serta wakil
pemimpin (Imamah, ahl al – hall wa all
aqd, dan wizarah). Diantaranya adalah : memiliki ilmu agama, akrab dengan rakyat kecil,
tidak hidup bermewah-mewah, mampu melayani rakyat, memiliki kestabilan
kepribadian, adil, dan sebagainya.
Namun didalam politik Islam tidak terdapat unsur paksaan untuk memahami
idiologi Islam itu sendiri. Karena sebenarnya didalam ayat Al-Qur’an itu
sendiri diterangkan bahwa karena formalisasi makna keislaman sebagai ketundukan
kepada Allah dengan sepenuh hati akan kehilangan maknanya, karena semua
peribadatan haruslah muncul dari kehendak sendiri, bukan karena rasa takut
terhadap sangsi dan hukuman aparat
negara. Oleh sebab itu, didalam perkembangannya, tidak banyak negara yang
menganut Islam sebagai dasar dunia politiknya (kecuali negara-negara Islam),
termasuk Indonesia.
[1] Kaum Syiah membuat hadis yang diawali
dengan “Walimu hanyalah Allah..”, sementara kaum Sunni Walimu hanyalah Allah,
Rasul-Nya dan mereka yang beriman yang menegakkan salat, membayar zakat seraya
rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)
[2] Lihat : “Psikologi Agama”, Jalaludin : 2007, Bab 6 : Kriteria Orang
yang Matang Beragama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar