Minggu, 23 Februari 2014

Book Resume : M Imdadun, Ali Mustafa Yaqub


Mata kuliah Pemikiran Politik Timur
SEMESTER III
  



"Konsep Penting Pemerintahan Islam (Imamah dan Negara, Ahl Al-Hall Wa Al-Aqd, dan Wizarah)"




Ringkasan tulisan ini berdasarkan Buku : 

  • Rahmat, Imdadun. M, et al. “Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas”. 2003. Erlangga : Jakarta
  • Yaqub, Ali Mustafa. “Islam Masa Kini”. 2008. Penerbit Pustaka Firdaus : Jakarta. 
1.    IMAMAH DAN NEGARA
Istilah Imamah pertama kali dalam Islam digunakan oleh Nabi SAW untuk menunjuk pemimpin (Imam) sepeninggalannya. Beliau kemudian menunjuk Imam Ali sebagai penggantinya / pemimpin masyarakat setelah nabi wafat. Pengertian mengenai imamah sendiri telah menunjukkan bahwa didalam ilmu politik Islam tak hanya dititik beratkan kepada ayat-ayat Al-Quran, namun juga sejarah / mengandung nilai historis.
Didalam Al-Qur’an ketika itu belum menjelaskan mengenai pergantian pemimpin umat/masyarakat ketika Nabi SAW wafat. Nabi SAW sendirilah yang menunjuk sahabatnya Imam Ali sebagai pengantinya kemudian. Namun sebelum Nabi SAW wafat, tentunya beliau tidak sembarangan menentukan calon penggantinya. Imam Ali kemudian diberikan pendidikan, masukan-masukan, pemikiran-pemikiran, dan sebagainya, yang kemudian persoalan imamah ini dihadiskan oleh umat-umat nabi dan menjadi bagian penting didalam konsep penting pemerintahan Islam[1].
Didalam Al-Qur’an hanya dibahas mengenai tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang imam/ pemimpin, yakni :
Pertama, seorang Imam adalah panutan dan contoh praktis yang sejati yang akan memperagakan ajaran-ajaran agama, baik dalam sisi akidah, akhlak dan praktik amaliah.
Kedua, seorang Imam adalah tempat berujuk dalam segala urusan dan masalah keagamaan. Seluruh masalah agama harus diambil darinya. Sebagaimana seluruh arahannya harus ditaati, tidak boleh dibantah dan dilanggar, sebab ia ma'shum.
Ketiga, seorang Imam memiliki kewenangan dalam memimpin umat dalam skala sosial, politik dan membimbing ke arah yang serasi dengan kesempurnaan kehidupan ukhrawi-nya di sisi Allah.
Keempat, imamah ialah kewenangan dan kemampuan untuk berbuat dan memberi pengaruh pada sistem alam dengan izin Allah.
Nabi SAW beranggapan bahwa masalah Imamah / pemimpin merupakan hal paling penting didalam konsep pemerintahan Islam, karena Islam bukanlah agama yang individualistik, harus ada yang memimpin / dipercayai untuk menguatkan Islam itu sendiri. Namun Nabi SAW juga mengatakan bahwa imamah / pemimpin selain untuk memelihara agama, tetapi juga untuk mengatur kehidupan dunia.
Kemudian dalam beberapa saat kemudian, mulai dikembangkan pengertian mengenai imamah oleh para penafsir-penafsir agama. Masing-masing memiliki penafsiran sendiri-sendiri mengenai karakteristik pemimpin / imam yang baik bagi umat / masyarakatnya. Secara garis besar, karakteristik / criteria imamah menurut penafsiran Islam adalah :
·           Memiliki Ilmu Agama
Dalam artian, tidak hanya sekedar beragama dan mengerti mengenai agama, tetapi juga mampu mengamalkan serta membagikannya terhadap orang lain[2]. Hal ini ditafsirkan sebagai karakter penting dalam menjadi seorang pemimpin, atas dasar hadis nabi SAW yang menyebutkan bahwa “seorang ulama / ahli waris, haruslah mewariskan ilmu, bukan dinar atau dirham”.
·           Khasy’yah
Bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia lakukan. Hal ini dilatarbelakangi  oleh sikap Nabi yang ketika menjadi seorang pemimpin tidak pernah lari dari kewajiban dan tanggung jawabnya. Oleh karena ini, khasy’ah merupakan syarat yang juga penting bagi seorang pemimpin / imamah.
·           Zuhud
Zuhud bukan berarti tidak boleh mencintai dunianya, tetapi tidak boleh ‘terlalu’ mencintai dunianya. Dalam artian, seorang pemimpin tidak boleh bermewah-mewah, tampil terlalu mencolok, dan sebagainya, sehingga ia tak lagi mementingkan pelayanannya terhadap umat / rakyatnya.
Hal ini ditafsirkan berdasarkan firman Allah, Al-Qashass 77 yang menyatakan bahwa “Tidak layak seseorang bersikap terlalu mencintai dunianya, hidup bermewah-mewah, setelah dunia itu berhasil dikuasainya”.
Pentingnya sikap Zuhud juga tercermin dari sikap prilaku Nabi ketika menjadi seorang pemimpin, yang selalu rendah hati dan tak pernah bermewah-mewah. Ratu Bilqis bahkan telah memberikannya berlimpahruah kekayaan, untuk menguji Nabi, namun Nabi tak pernah tergoda oleh nafsu duniawinya. Hal itu menjadikan nabi semakin dicintai oleh umat-umatnya.
·           Akrab dengan Rakyat Kecil
Perilaku Nabi yang selalu dekat dengan siapa saja, membuatnya sangat dicintai rakyatnya. Termasuk, rakyat-rakyat kecil, yang sebenarnya sangat memerlukan perlindungan. Nabi seringkali menyempatkan dirinya berada ditengah-tengah rakyat kecil, dan berkumpul di mesjid-mesjid  mendekatkan dirinya dengan rakyat-rakyat kecil. Hal itu lah yang membuat hal  ini ditafsirkan penting bagi seorang pemimpin untuk dilakukan.
·      Empat Puluh Tahun
Memang tidak seluruh Nabi diangkat menjadi pemimpin / dipercayai oleh Allah menjadi seorang pemimpin ketika telah berumur empat puluh tahun. Nabi Isa, adalah nabi yang satu-satu nya diangkat menjadi pemimpin  sebelum ia berumur empat puluh tahun.
Namun para ulama Islam masa kini menganggap, umur empat puluh tahun merupakan salah satu karakteristik imamah yang cukup penting. Hal itu dikatakan cukup penting, karena menurut mereka, umur empat puluh tahun, adalah umur yang paling matang bagi seseorang, dimana ia tidak lagi memiliki kegejolakan jiwa dan ketidakstabilan kepribadian.
Pada usia inilah umumnya, seseorang dianggap telah mendapatkan istiqamah (ketenangan jiwa), kemapanan kepribadian, sehingga layak menjadi panutan kaumnya.
·      Bersifat Ma’sum
Ma’sum (terpisah dari dosa-dosa), dalam artian merupakan sifat yang sesuai dengan hukum Allah, yakni : bertanggung jawab, amanah, menghormati, murah hati, zunub, terutama jujur. Kejujuran amat penting didalam watak seorang pemimpin bagi Islam.

2.     AHL AL-HALL WA AL-AQD
Ketika Nabi SAW menunjuk Imam Ali sebagai imam pengganti beliau, dilakukan perundingan secara musyawarah. Namun, tentu saja musyawarah tersebut tidak dilakukan oleh seluruh masyarakat / umat Nabi SAW ketika itu, karena jumlahnya sangat banyak.
Maka istilah Ahl Al Hall Wa Al Aqd kemudian digunakan ketika itu. Al  Hall Wa Al Aqd merupakan lembaga-lembaga / kumpulan masyarakat yang ditunjuk oleh kelompok-kelompok yang mewakili rakyat (DPR).
Karakteristik wakil rakyat / al hall wa al aqd dalam Islam yakni :
-       Telah mendapatkan kepercayaan dari umatnya / masyarakatnya
-       Berpengalaman terhadap urusan-urusan rakyat
-       Dinyatakan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi didalam masyarakat
-       Memiliki sikap-sikap istiqamah seperti : berprilaku adil, berilmu pengetahuan, berwawasan, ariv, berakhlak, jujur, bijaksana,  serta tidak melanggar perintah Allah dan Sunnah Rasul.

Secara harfiah, Ahl al-hall wal al-‘aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqh siyasah merumuskan pengertian Ahl al-hall wal al-‘aqd Sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata lain, Ahl al-hall wal al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.

3.    WIZARAH
Kata “wizarah” terambil dari kata al-wazr yang berarti al-tsuql atau berat. Dikatakan demikian, karena seorang wazir memikul beban tugas-tugas kenegaraan yang berat.  Kepadanyalah dilimpahkan sebagian kebijakasanaan-kebijaksanaan pemerintahan dan pelaksanaannya. Dalam bahasa Arab dan Persia modern, wazir mempunyai pengertian yang sama dengan menteri yang mengepalai departemen dalam pemerintahan. Dalam first encyclopedia of islam, kata wizarah atau wazir ini diadopsi dari bahasa Persia. Dan menurut Kitab Zend Avesta, kata ini berasal dari “ziciria”, yang berarti orang yang memutuskan, hakim.
Dari pengertian – pengertian ini dapat ditarik pemahaman bahwa wazir/ wizarah merupakan pembantu kepala negara (raja atau Khalifah) dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebab, pada dasarnya, kepala negara sendiri tidak mampu menangani seluruh permasalahan politik dan pemerintahan tanpa bantuan orang –orang yang terpercaya dan ahli di bidangnya masing-masing. Karenanya, kepala negara membutuhkan bantuan tenaga dan pikiran wazir, sehingga sebagian persoalan-persoalan kenegaraan yang berat tersebut dapat dilimpahkan ketangan kanan kepala negara dalam mengurus pemerintahan.
Pengertian wazir sebagaii pembantu dalam pelaksanaan suatu tugas digunakan Al-Quran ketika menyebutkan tugas Nabi Harun membantu Nabi Musa dalam melaksanakan dakwahnya kepada Fir’aun, sebagaimana tercantum dalam QS.Furqon:35, yakni ; ”Dan Kami jadikan saudaramu,Harun sebagai pembantunya dalam (menghadapi Fir’aun)”.
Namun, wizarah bukanlah suatu yang baru dan terdapat pada pemerintahan Islam saja. Wizarah telah ada sejak zaman pra-Islam. Wizarah ini telah dikenal jauh pada masa Mesir Kuno, Bani Israil dan Persia Kuno. Hal ini membuktikan bahwa seorang wakil pemimpin / wizarah merupakan suatu hal  yang penting didalam suatu system politik / pemerintahan.
Dalam sejarah Islam, pengertian wazir sebagai pembantu dapat dilihat dari peranan yang dimainkan oleh Abu Bakar dalam membantu tugas-tugas kerasulan dan kenegaraan Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar memainkan peranan penting sebagai partner setia Nabi Muhammad. Diantara yang tercatat dalam sejarah adalah kesetiaannya menemani Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah. Sesampai di Madinah, Abu bakar juga disamping tentunya sahabat-sahabat lainnya sering dijadikan sebagai teman dalam musyawarah memutuskan berbagai persoalan umat. Pada saat-saat terakhir kehidupan Nabi, Abu Bakar pun menjadi pengganti Nabi untuk mengimami umat Islam shalat berjama’ah. Peranan yang sama juga dimainkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab. Ketika Abu Bakar menggantikan kedudukan Anbi sebagia khalifah, ‘Umar adalah pembantu setia Abu Bakar. Kepadanya Abu Bakar menyerahkan urusan pengadilan (al-qadha’).

KESIMPULAN 
   Sistem politik Islam sebenarnya sama saja dengan sistem politik pada umumnya, hanya saja sistem politik Islam berkiblat / condong kearah ayat-ayat Al Qur’an, hadis, firman Allah, serta sejarah-sejarah dan perilaku-perilaku Nabi. Justru karena adanya kesamaan karakter tersebutlah, maka ilmu politik dapat juga dicabangkan menjadi ilmu politik Islam.
Beberapa kesamaan yang dapat ditarik antara politik dengan politik Islam, ialah : karakter pemilihan pemimpin, pembentukan lembaga negara, serta wakil pemimpin (Imamah, ahl al – hall wa all aqd, dan wizarah). Diantaranya adalah : memiliki ilmu agama, akrab dengan rakyat kecil, tidak hidup bermewah-mewah, mampu melayani rakyat, memiliki kestabilan kepribadian, adil, dan sebagainya.
Namun didalam politik Islam tidak terdapat unsur paksaan untuk memahami idiologi Islam itu sendiri. Karena sebenarnya didalam ayat Al-Qur’an itu sendiri diterangkan bahwa karena formalisasi makna keislaman sebagai ketundukan kepada Allah dengan sepenuh hati akan kehilangan maknanya, karena semua peribadatan haruslah muncul dari kehendak sendiri, bukan karena rasa takut terhadap  sangsi dan hukuman aparat negara. Oleh sebab itu, didalam perkembangannya, tidak banyak negara yang menganut Islam sebagai dasar dunia politiknya (kecuali negara-negara Islam), termasuk Indonesia.



[1] Kaum Syiah membuat hadis yang diawali dengan “Walimu hanyalah Allah..”, sementara kaum Sunni Walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan mereka yang beriman yang menegakkan salat, membayar zakat seraya rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)

[2] Lihat : “Psikologi Agama”, Jalaludin : 2007, Bab 6 : Kriteria Orang yang Matang Beragama



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...