Mata kuliah Pemikiran Politik Timur
SEMESTER III
SEMESTER III

“Religi Tokugawa”
Ringkasan tulisan ini berdasarkan Buku : Robert N Bellah, 1985 "Religi Tokugawa"
1.
SISTEM
POLITIK
Sistem politik Jepang pada masa
Tokugawa, merupakan masukan yang kuat dari nilai kesetiaan. Pemerintahan
Tokugawa merupakan langkah maju yang cukup jauh
dalam generallisasi serta perluasan kekuasaan di Jepang, tetapi tidak
berhasil menciptakan struktur kekuasaan yang rasional dan terpadu seperti pada
masa Meiji (1868).
Ada dua keterbatasan pokok dalam
generalisasi kekuasaan Tokugawa. Pertama adalah tingkat kebebasan yang tetap
dimiliki oleh tuan-tuan feodal, khususnya thozama
(adipati yang menyerah kepada kekuasaan Tokugawa setelah kemenangan terakhir
leyasu), atau tuan-tuan tanah kawasan luar.
Dalam banyak hal, han atau wilayah feodal
merupakan satuan politik yang lebih penting daripada bangsa. Semua kota besar
dibawah kendali langsung keshogunan[1]
Tokugawa; dan ini merupakan daerah inti yang kokoh bagi seluruh bangsa,
tetapi dalam kenyataan masi terdapat daerah-daerah yang luas yang penting yang tidak diintegrasikan dengan daerah inti
tersebut.
Kesetiaan yang begitu sentral dalam masa Tokugawa,
masih tetap kabur karena keterbatasan-eterbatasan yang ada pada generalisasi
kekuasaan yang telah diterangkan diatas. Para samurai diharapkan untuk setia
kepada shogun, dan bagi masyarakat
umum diharuskan untuk setia kepada Kaisar. Namun, meski kekaburan yang
berkaitan dengan otoritas politik penting dan punya akibat-akibat yang berarti,
itu semua tidak mempengaruhi cara merumuskan hubungan individu dan kelompok dengan otoritas
politik.pemerintahan pada masa Tokgawa jelas memiliki pengaruh sehingga dapat
memaksa rakyat agar patuh, namun justru hal itulah yang menarik secara
sosiologis, karena masyarakat justru melakukan kepatuhan dengan sukarela.
Masyarakat memperoleh kepuasan tersendiri melalui
indetifikasi diri sebagai anggota dari
negara, mereka ikut melibatkan diri dalam pretise dan makna negara, dan dengan
demikian mereka secara sukarela memenuhi tuntutan-tuntutan penguasa negara.
Masyarakat Jepang pada masa Tokugawa cenderung menganggap kepentinngan nefara
identik dengan kepentingan dirinya sendiri.
Proses identifikasi seperti ini cenderung menjadi
sanngat kuat, ketika tujuan-tujuan system yang diperjuangkan dan dicapai oleh
penguasa negara terumuskan secara jelas dan bermanfaat bagi semua. Sebaliknya,
identifikasi akan cenderung sangat terganggu jika penguasa negara tidak
mempunyai tujuan, kecuali semata-mata konservatif dan hanya peduli dengan usaha
mempertahankan kekuasaan.
Didalam perpolitikan masa Tokugawa juga identik
dengan sistelm perbedaan kelas. Dimana seseorang yang berjasa luar biasa pada
negara akan meraih gelar samurai sebagai balas jasa, sehingga kemudian ia akan
mendapatkan fasilitas khusus untuk samurai, seperti status kepemilikan tanah,
dan kehormatan, system birokrasi di Jepang pada saat itu juga diambil
berdasarkan kelas samurai.
Tetapi status sebagai Samurai hanya mendapatkan
pretise bukan kekayaan, sehingga kaum kelas samurai justru semakin lama semakin
miskin, sementara kaum pedagang (yang merupakan kelas terendah dalam struktur
kelas masyarakat Jepang) malah semakin kaya, karena mereka tidak mendapatkan
pretise, tetapi cenderung kekayaan. Namun, yang menarik adaah keduanya ternyata
tidak menimbulkan penyerangan system nilai sentral dalam usaha untuk menemukan keseimbanan. Tidak
terdapat ideology borjuis yang secara
langsung menyerang ideology “feodal” pada masa Tokugawa.
2.
EKONOMI
Talcott Parsons menyatakan
bahwa penyebaran transaksi tukar menukar
melalui penggunaan uang ”merupakan syarat terpenting terintegrasikannya ekonomi
secara mantap menjadi satu sistem dan pemisahannya secara tegas dari subsistem
lain dalam masyarakat.
Alat tukar menukar atau jual beli dalam lingkup nasional untuk
pertama kalinya dibakukan pada masa Tokugawa.
Pertanian tetap merupakan
sumber kekayaan sepanjang periode ini. Unit produksinya adalah pertanian
keluarga para petani kecil; dan kalau ada, hanya sedikit sekali yang berkembang
menjadi pertanian ”kapitalis”. Metode yang digunakan masih tradisional meski
hasil produksinya relatif tinggi, hal ini terjadi berkat tenaga buruh tani dalam
jumlah besar yang menjadi ciri umum pertanian padi di Timur.
Gologan samurai digaji dalam
bentuk beras, tetapi sebagian harus ditukar dengan uang untuk membeli keperluan
selain beras. Samurai umumnya tidak dapat melakukan kerja yang produktif,
karena alasan kelas sehingga mereka cenderung sepenuhnya bergantung terhadap
gaji saja.
Sementara golongan pengrajin
kota dan pedagang tentu saja sepenuhnya masuk menjadi bagian ekonomi uang. Dan
terakhir, adalah kelompok yang baru muncul yaitu ”para kapitalis pedesaan”,
yang biasanyaadalah petani kaya yang membuat sake atau industri tekstil.
Kelompok terakhir ini pada
umumnya adalah para pekerja tanpa keahlian walaupun ada juga pekerja
berkeahlian. Hubungan ditentukan sepenuhnya oleh ikatan uang tunai, bukan oleh
”ikatan kesetiaan”, sehingga cenderung bertentangan dengan sistem nilai Jepang.
Kebutuhan akan modal untuk
memenuhi kebbutuhan belanja sangatlah besar dalam ekonomi seperti yang berlaku
di jepang pada masa Tokugawa. Para petani miskin yang sudah menghabiskan cadangannya
sebelum panen berikut harus meminjam kepada lintah darat untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menjadikan kegiatan peminjaman uang skala
kecil menyebar luas didesa dan kota. Baik daimyo
(tuan tanah penguasa Han),maupun
samurai juga seringkali menghadapi hal yang sama, karena penghasilan mereka
telah habis sebelum masa panen berikutnya datang.
Namun, ketika memberikan
pinjaman kepada prajurit / samurai, cenderung seringkali justru mengalami
kerugian, karena seringkali hutang tersebut dianggap lunas oleh pemerintah,
karena dianggap sebagai sumbangan kepada prajurit karena keuangan mereka
terjepit.
Sumber daya alam tidak
berlimpah di Jepang, tetapi bahkan yang sedikit itu pun tidak dieksploitsi sepenuhny pada masa Tokugawa.
Tanah digarap dengan sangat intensif dan sejumlah besar areal baru dibuka pada
masa itu, sedemikian sehingga sedikit saja yang masih tertinggal pada masa
modern. Hal ini membuktikan bahwa standarisasi telah berlaku secara luas pada
masa itu. Barang-barang rumah tangga lainnya juga dibuat dalam ukuran standar, sebagaimana juga pakaian.
Standarisasi seperti itu jelas sangat membantu diterapkannya sistem satu harga
secara dini.
Dengan melihat sistem
nilai yang berlaku, persaingan bebas
tidak lagi bernilai, dan perkumpulan yang partikularistik akan tersebar luas
dibidang ekonomi.
3.
SISTEM
INTEGRASI
Pelembagaan hak milik
berkembang cukup baik. Hak kepemilikan tanah dtidak dapat dialihkan, tetapi
dengan hukum universal ketentuan ini menjadi berlaku hanya diatas kertas, dan
pada kenyataannya tanahh banyak diperjualberlikan.
Masa Tokugawa menyaksikan awal
dari sistem kedudukan sosial tau jabatan modern. Kelompok-kelompok status inti,
yakni ; prajurit, petani, pengrajin dan pedagang merupakan kedudukan-kedudukan
sosial. Dengan demikian, kewajiban seseorang untuk tetap memegang statusnya
dalam arti menyadari tempatnya dalam hirarki ”feodal” yang ada berbaurhampir
tanpa terasa dengan kewajiban untuk melaksanakan ”tugas keseharian”.
Masa Tokugawa menjadi saksi
bermulanya suatu sistem jabatan yang jauh lebih kompleks dari yang dicerminkan
dalam klasifikasi status bersegi empat yang sederhana. Birokrasi mulai
dikembangkan. Kantor-kantor juga mulai diisi berdasarkan pertimbangan
kemampuan, menetapkan ketentuan tertentu, dan melakukan seleksi, meskipun
kelompok yang dapat melakukan seleksi juga dibatasi.
Didalam keluarga, masyarakat
Jepang pada masa Tokugawa juga sangat penting. Keluarga atau ie dianggap sebagai faktor dasar dalam
kepatuhan yang berlangsung didalam negara tersebut. Mematuhi kepala keluarga
merupakan faktor penting didalam proses menghormati keluarga. Kepala
keluarga juga bertanggung jawab atas
segala tindakannya terhadap anggota kelompok keluarganya, jika tidak terjadi
hubungan kepatuhan antara anggota keluarga tersebut, maka sebagai
ancamannya, anggota keluarga tersebut tidak akan menerima harta gono-gini atau hak atas warisan, yang
tidak hanya dikeluarkan oleh keluarga tersebut, tetapi juga harta yang
dikeluarkan dari desa.
Namun pada prinsipnya, harta
warisan keluarga hanyalah diberikan kepada seorang anak laki-lakinya, atau pada
prinsip promogenitur (diberikan
kepada anak sulung laki-laki). Namun dapat juga diberikan kepada anak atau
anggota keluarga berikutnya jika anak laki-laki tersebut tidak melakukan tugasnya
sebagai anak dengan baik.
KESIMPULAN
Masa Tokugawa merupakan masa religius bagi masyarakat Jepang, hal
ini berkaitan dengan segala aktivitas yang dilakukan masyarakat Jepang pada
masa Tokugawa (1600-1868) berkaitan
dengan kepercayaan dan kepatuhannya terhadap religi.
Segala aktivitas politik,
ekonomi, dan budaya, segalanya dikaitkan dengan ketakutan masyarakat Jepang
terhadap dosa-dosa. Tetapi perlu diketahu, setelah meneliti secara keseluruhan,
terlihat bahwa kepatuhan dan ketaatan masyarakat Jepang pada masa Tokugawa.
Tidak hanya takut terhadap
Tuhan, tetapi juga kepada negara, pemerintah, dan Kekaisaran. Namun, menarik
secara sosiologis, bahwa masyarakat Jepang melakukan segala hal itu secara suka
rela. Kepatuhan kepada kekaisaran, dianggap
masyarakat Jepang sebagai salah satu cara berterimakasih atas segala
yang telah negara berikan kepada mereka.
Kebanggaan dan kesukarelaan
masyarakat Jepang terhadap negaranya didorong atas segala prestasi Jepang yang
telah berhasil diraih ketika masa Tokugawa, seperti perkembangan dalam bidang
ekonomi, budaya, dan politik. Prestasi Jepang dalam mengembangkan negaranya,
membuktikan bahwa kesetiaan terhadap agama sangatlah berpengaruh sebagai
motivasional untuk membawa perkembangan.
PS: However, this paper i work is for helping my friend workpaper too (again??!). then... the topic is very interesting. "Pemikiran Politik Timur" is always being one of my favorite discipline in international relation studies. All is just like travelling in to the past, of orient culture, and history. again! book is a window to the world :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar