Mata kuliah Hukum Internasional
SEMESTER V
Cristopher Rudolph
Constructing an Atrocities Regime

Dari fenomena “ladang pembunuhan” yang terkenal di Kamboja,
hingga kebrutalan yang terjadi di Sierra Leone, merupakan hasil dari konflik
yang muncul oleh kelompok etnis dan kelompok-kelompok identitas lainnya yang
dipicu oleh orientasi rasa marah, dan keinginan manusia untuk mendapatkan
keadilan.
Sebagai respon untuk menanggapi laporan kekejaman yang
terjadi di Bosnia, Kosovo, dan Rwanda, komunitas internasional telah mendirikan
lembaga yang mengatur tentang kejahatan perang, yang fungsinya juga untuk
menyelidiki kejahatan perang yang terjadi, hingga proses mengadili pelaku
kejahatan perang tersebut.Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) adalah pengadilan permanen yang
dibentuk untuk melakukan berbagai upaya memperluas rezim.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperluas rezim
kekejaman dengan membentuk sebuah pengadilan permanen. Berdirinya Mahkamah
Pidana Internasional, mendapat banyak sekali dukungan, karena tidak hanya
berfungsi sebagai sarana memegang pelaku kekejaman akuntabel, tetapi juga
sebagai mekanisme perdamaian dengan membangun keadilan dan memajukan
rekonsialisasi didaerah yang dilanda perang. Sebagaimana pula dinyatakan oleh
Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeline Albright, bahwa “Pada
akhirnya sangat sulit untuk memiliki perdamaian dan rekonsialisasi tanpa
keadilan”.
Berkaitan dengan hal tersebut, Rudolf dalam tulisannya ini
berusaha untuk mengidentifikasi dan menganalisis hambatan politik serta
hambatan prosedural dalam membangun berbagai sutau rezim kekejaman yang efektif
dengan memeriksa norma-norma kemanusiaan, kepentingan strategis Negara kuat,
dan faktor-faktor birokrasinya. Dalam tulisannya, Rudolf berpendapat bahwa meskipun
gagasan humaniter-liberal telah menciptakan tuntutan berkaitan aksi politik,
proses dalam menghadapi tindakan brutal dalam perang telah didominasi oleh realpolitic – yakni, tetap didominasi
oleh kepentingan strategi Negara paling kuat. Oleh sebab itu, penulis
menganggap bahwa dengan memahami kepentingan politik dan hambatan procedural
yang terkait, maka komunitas internasional dapat melakukan penyesuaian
kelembagaan dalam desain dan implementasi dari kekejaman rezim untuk
menjembatani kesenjangan antara ideal-politic
dan real-politic.
Perang telah dipandang sebagai suatu konsisten terhadap
hukum alam, meskipun beberapa pendapat kaum liberal menganggap bahwa perang
adalah tindakan bar-bar. Saat ini, pada
periode modern, tindakan perang suatu Negara terbatas oleh norma saling
menghormati kedaulatan nasional antar Negara. Bahkan sejak 1945, telah ada
aturan yang disebut sebagai “yuridiksi domestic” yang berisi tentang hak asasi
manusia. Ini telah menjadi bukti bahwa dunia internasional telah menciptakan
standar yang lebih ketat dalam membatasi perilaku internasional, termasuk dalam
hal konflik bersenjata.
IDE / GAGASAN, KEPENTINGAN, DAN LEMBAGA
Dalam
tulisannya, Rudolf membagi analisisnya kedalam tiga kasus, yakni kasus yang
terjadi di Bosnia, Rwanda, dan Kosovo.
Kasus-kasus ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tantangan politik,
hukum, dan prosedural, terlepas dari adanya pengaruh dan kepentingan negara
besar. Kasus di Bosnia mengungkapkan hambatan politik sebagai awal didirikannya
hukum internasional, sementara kasus yang terjadi di Rwanda dan Kosovo
menggambarkan kedua proses dinamika legalisasi dan efek pembelajaran
institusional. Dalam tiga kasus tersebut juga mengungkapkan kemampuan kemampuan
pencegahan yang terbatas atas rezim kekejaman.
ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) DI BOSNIA
ICTY
(International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia) atau Pengadilan Kriminal Internasional, yang terjadi di
Yugoslavia lama, menggambarkan kesulitan politik terkait dengan mendirikan
sebuah rezim internasional, dimana kepentingan strategis Negara-negara kuat
tidak secara langsung dipertaruhkan. Kasus ini sangat penting mengingat
keinginan awal Pengacara Internasional adalah untuk membentuk suatu rezim yang
berlandaskan hard-law (hukum keras),
yakni sebuah jawaban yang dianggap dapat mengatasi real-politic dengan menghilangkan perbedaan yang terdapat antar Negara
kuat dan Negara lemah (kesetaraan dibawah hukum), sekaligus dapat menantang
gagasan lama tentang Negara berdaulat. Namun, dalam penciptaan hard-law tersebut, terdapat beberapa hambatan hukum, dan didalam
kasus ICTY akan menggambarkan bagaimana kepentingan strategis Negara-negara
kuat (melalui Dewan Keamanan PBB) membentuk proses pelembagaan dan
penggunaanya.
Tahap awal Perang Yugoslavia adalah
pada tahun 1990 – 1991, komunitas internasional tampak berniat untuk mempertahankan
intergritas wilayah Yugoslavia, namun tampak ragu untuk terlibat dalam konflik
kawasan tersebut, karena memiliki kaitan terhadap meletusnya Perang Dunia I. Pada
tahap awal perang ini, peristiwa kekejaman pertama yang terjadi ialah ketika
terjadi pembantai masyarakat muslim di Bosnia oleh para Serbia. Setelah itu
terjadi aksi pembantaian berturut-turut lainnya, sebagaimana pernah juga
dilakukan oleh Nazi dalam program “pembersihan etnis” di Bosnia. 44% penduduk
di Bosnia adalah muslim, 42,5% adalah etnis asli Serbia, 5,6% Kroasia, 5,7%
etnis campuran Bosnia dan Serbia, 2,2% etnis lainnya. Total penduduk sebelum
pembantaian tersebut adalah 112.470. Setelah pembantaian pada bulan Juni 1993,
jumlah penduduk Kroasia menurun dari 6.300 menjadi 3.169, sementara populasi
Serbia meningkat dari 47.745 orang hingga 53.673 orang. Komunitas internasional
kemudian mengganggap bahwa penyebab terjadinya kekejaman tersebut adalah
orang-orang Serbia.
PBB sebagai pengadilan internasional
memiliki kewenangan untuk mengatasi konflik di Bosnia tersebut. Berdasarkan Bab
VII Piagam PBB, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi untuk membentuk ICTY (International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia)/ Pengadilan Kriminal Internasional khusus menangani
masalah konflik yang terjadi di Negara Yugoslavia lama. ICTY dibentuk untuk
menuntut empat kelompok yang terlibat dalam konflik yang terjadi di Bosnia
tersebut, yang dinilai telah melakukan 4 pelanggaran, yakni : 1) Pelanggaran
Konvensi Jenewa 1949 (pasal 2) mengenai kematian; 2) Pelanggaran Hukum atau
Kebiasaan Perang (pasal 3); 3) Genosida (pasal 4), dan; 4) Kejahatan terhadap
Kemanusiaan (pasal 5).
Tantangan pertama bagi ICTY ialah
dalam menetapkan pedoman untuk keadilan dan struktur kelembagaan, berdasarkan
pertimbangan Pengacara Internasional untuk menjadi komponen kunci dari
legitimasinya. Pembentukan ICTY sebagaimana jaksa internasional nyatakan bahwa
“Jika pengadilan diperlukan, untuk membawa rasa keadilan bagi para korban dalam
konflik internasional, maka dengan demikian pengadilan akan turut campur dan
muncul dorongan yang kuat untuk membentuk badan hukum khusus sebagai jawaban
keseriusan menanggapi konflik tersebut”.
Selain itu, konflik yang terjadi di
Bosnia merupakan tantangan baru bagi pengadilan internasional. Karena
sebelumnya, penanganan kejahatan perang hanya mencakup situasi konflik
bersenjata internasional, bukan mencakup kejahatan hak asasi manusia,
sebagaimana kasus penganiayaan dan pemerkosaan yang terjadi di Bosnia. Oleh
sebab itu, muncul pengkategorisasian kejahatan perang, “Pelanggaran Berat” bagi
konflik bersenjata internasional, dan “Pelanggaran Tidak Berat” mencakup
pembantaian atau pemerkosaan sebagaimana terjadi di Bosnia oleh orang-orang
Serbia.
Namun, hal baru tersebut sekaligus
menciptakan tantangan baru dan paling mendesak bagi ICTY, yakni dalam menangkap
dan menahan para terdakwa konflik. Banyak dari para otak penghasut perang
tersebut telah ditahan oleh para sekutu dan kemudian diadili. Namun ICTY
memulai strategi dengan tidak melakukan penahanan terhadap para terdakwa. Tindakan
ini jelas, karena pengadilan ad hoc
sendiri telah menyatakan bahwa mengenai permasalahan terdakwa konflik dalam
suatu kawasan, adalah hak bagi pengadilan kawasan tersebut sendiri yang
menangani penahanannya. Untuk itu, elemen penting dalam prosedur penahanan
tersangka tersebut, sepenuhnya tergantung kepada Negara yang sedang berperang,
atau Negara pihak ketiga yang terlibat dalam perang tersebut. Namun, kenyataan
ini juga sekaligus membawa tantangan lain, dalam prosesnya pengadilan
internasional mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat internasional, namun
sedikit sekali dalam penegakannya. Hal tersebut menjadikan badan pengadilan
internasional menjadi tidak efektif dalam menciptakan keamanan internasional.
Pada tanggal 1 Maret 2001, kemudian
hambatan awal tersebut telah mengalami perubahan. 35 terdakwa ditahan oleh Unit
Penahanan ICTY dan menunggu dibawa kepersidangan. 12 kasus telah berhasil
disimpulan melalui tahap banding. Slobodan Milosevic, Presiden Serbia, yang
dianggap sebagai dalang konflik tersebut ditangkap oleh polisi Yugoslavia dan
selanjutnya diekstradisi ke Den Haag pada 28 Juni 2001. Peristiwa ini tentu
menjadi tonggak baru bagi rezim pengadilan. Milosevic adalah kepala Negara
pertama yang diadili oleh pengadilan.
Pengalaman ICTY di Balkan
mengungkapkan bahwa kesulitan tidak hanya dalam hukum dan prosedur merancang
sebuah rezim memerangi kekejaman, akan tetapi juga pengaruh dari Negara-negara
kuat selama proses pelembagaan. Peran Negara-negara kuat digunakan ICTY sebagai
sarana menanggapi panggilan konflik dalam lingkup politik, seperti yuridiksi,
pengangkatan hakim dan kepala jaksa, aspek kunci dari desain, dan sebagainya.
KEJAHATAN GENOSIDA DI RWANDA
Pada tahun 1994
rezim kekejaman diperpanjang ke Rwanda. Kasus ini menunjukkan dua hal, yakni : 1)
kepentingan kekuatan besar dalam mempengaruhi proses pembentukan rezim; 2)
negosiasi medan politik antara hukum “hard”
dan “soft” adalah suatu proses
dinamis yang melibatkan derajat pembelajaran kelembagaan. Mengingat besar lingkup kekejaman yang
dilakukan di Rwanda, maka fleksibilitas peran lembaga internasional
dibutuhkan.
Kekerasan yang terjadi di Rwanda
membesar pada tahun 1980an hingga awal 1990an. Pada tanggal 6 April 1994,
pesawat yang membawa Juvenal Habyarima (Presiden Rwanda) dan Cyprieyamin
Ntaryamira (Presiden Burundi) ditembah jauh di Kigali, Rwanda. Etnis Hutu
kemudian menuduh pemberontak Tutsi dari Front Patriotik Rwanda sebagai
pelakunya, dan dalam beberapa menit terjadi aksi saling bantai di Rwanda. Pengawal
Presiden membunuh semua orang-orang Tutsi yang mereka temui. Pada bulan April, Mei, dan Juni 1994,
diperkirakan setengah penduduk Rwanda dari 7,5 juta penduduk tak bersalah
terbunuh, dengan beberapa diantaranya memilih untuk pergi dari Rwanda. Sebagaimana
terjadi pada konflik etnis di Yugoslavia lama, pemerintah Barat enggan turut
campur dalam konflik ini.
Dewan Keamanan PBB kemudian
membentuk Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR/ International Criminal
Tribunal for Rwanda) pada tanggal 8
November 1994. Namun badan ini dibentuk dengan yuridiksi waktu yang lebih
spesifik, yaitu hanya mencakup periode 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember
1994, dengan ruang lingkup yang juga dibatasi pada peristiwa-peristiwa temporal
dan peristiwa terkait pembunuhan Presiden Habyarimana.
Oleh
karena kasus di Bosnia memiliki beberapa kesamaan dan kaitan dengan kasus yang
terjadi di Rwanda, untuk mempromosikan konsistensi antara kedua pengadilan ad hoc, dengan pertimbangan untuk
membangun kejelasan panutan, norma yang jelas dan sesuai – Pasal 12 dalam
Undang-Undang menetapkan bahwa ICTY berfungsi sebagai ruang untuk kasus-kasus
banding yang diajukan, dan selain itu juga untuk mendorong konsistensi dalam
penyelidikan kasus-kasus tersebut. Pasal 15 dalam Undang-Undang memperjelas
dengan menyatakan bahwa jaksa kepala ICTY juga akan merangkum fungsi sebagai
kepala jaksa di ICTR. Pasal 12 Undang-Undang juga menetapkan bahwa ruang
banding yang dipergunakan ICTY juga akan berfungsi sebagai ruang untuk
kasus-kasus yang dihadapi oleh ICTR. Penanganan dan proses yang diadopsi oleh
ICTR dari ICTY, hal ini karena struktur ICTY dianggap sebagai strutur dasar
yang paling tepat sebagai pilihan kebijakan dalam menangani kasus pelanggaran
hak asasi manusia yang besar.
Kasus
di Rwanda kemudian berakhir dengan ditahannya 44 tersangka oleh PBB di Arusha,
Tanzania pada 22 Februari 2001. Dalam penyelesaiannya, ICTR lebih sukses
daripada ICTY. Selain itu, penahanan profil tinggi Negara juga dilakukan di
Rwanda, yakni dengan ditahannya mantan komandan militer Rwanda. Adanya ICTY dan
ICTR menjadi pintu pembuka untuk ajudikasi internasional dalam konflik
internal, memperluas yuridiksi pengadilan, dan hukum internasional terhadap
isu-isu yang secara tradisional telah ditangguhkan oleh kedaulatan nasional.
Akan
tetapi, permasalahan di Rwanda juga memiliki beberapa kendala yang berbeda
dengan kasus di Bosnia. Pemerintah Rwanda melakukan penolakan terhadap apa yang
dibentuk dan dilakukan oleh Dewan PBB, mereka mengirimkan surat yang berisikan
pernyataan bahwa tindakan PBB akan menghambat dan membatasi kemampuannya untuk
mencapai rekonsialisasi dalam negeri. Akan tetapi surat tersebut ditolak, hal
ini dikarenakan Dewan PBB menanggap Pemerintah Rwanda tidak melakukan
kontribusi apapun dalam menangani masalah ini. Sebagai alasan untuk tetap
menentang tindakan yang dilakukan pengadilan internasional, Pemerintah Rwanda
kemudian menetapkan Undang-Undang Organik Penuntutan Pelanggaran pada tanggal 1
Oktober 1990. Undang-undang tersebut berisikan mengenai tindakan
pengklasifikasian penjatuhan hukuman tersangka genosida dalam 4 kategori sesuai
dengan tingkat kesalahan, dan hukuman terberat diberikan kepada otak pelaku,
yakni hukuman mati. Akan tetapi netralitas undang-undang tersebut diragukan
oleh PBB, bahwa ada kemungkinan tersangka bisa lolos dari hukuman apabila
ditangani oleh pihak nasional. Ketangguhan pemerintah Rwanda dalam menolak
turut campurnya PBB dalam masalah internal mereka menjadi kendala tersendiri
bagi ICTR.
ICTY DI KOSOVO
Aplikasi lebih lanjut dari sistem pengadilan
internasional menjadi penting pada tahun 1999 sebagai perang etno-nasionalis
yang pecah antara kelompok etnis nasional Albania dan tentara Serbia. Jumlah
korban awal dari perang ini hanya mencapai 2.500 orang, namun perpecahan
berlanjut hingga tindakan “pembersihan etnis” yang dilakukan oleh orang-orang
Serbia, setelah periode gagalnya Perundingan Rambouillet. Perang berlanjut
hingga serangan udara yang dilakukan NATO yang menelan korban sangat banyak,
penyiksaan, dan pemerkosaan terjadi dimana-mana, serta masyarakat mulai
melakukan pengungsian meninggalkan Negara mereka.
Pada tanggal
29 September 1999, diumumkan bahwa yuridiksi ICTY akan turun menangani masalah
perang etnis tersebut, berlandaskan undang-undang yang telah dibentuk pada
pengalaman konflik etnis sebelumnya di Bosnia dan Rwanda. Turut campurnya ICTY
dalam konflik Kosofo juga dilatar belakangi oleh sorotan terhadap tindakan
pengadilan Kosovo sendiri yang dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah
tersebut. Akan tetapi berbeda dengan keberhasilan ICTY di Rwanda, keadaan di
Kosovo tidak menggembirakan. Akan tetapi ini menjadi kasus penting untuk
mengukur kemampuan pengadilan internasional untuk membentuk tindakan Negara,
menjadi manfaat lain dalam taktis mengadili pelaku kejahatan tingkat rendah,
dan keberhasilan setelah sebelumnya berhasil diterapkan dalam konflik Bosnia
dan Rwanda.
Kesulitan
yang dihadapi dalam konflik di Kosovo adalah dalam menangkap pelaku-pelaku
tindak kejahatan tersebut, selain itu tidak adanya dukungan sama sekali dari
pemerintah Kosovo. Mereka menyangkal bahwa tindakan yang mereka lakukan
merupakan tindakan pelanggaran HAM, mereka menyatakan bahwa itu adalah tindakan
pembelaan yang dilakukan setelah selama ini merasa terancam hidup di Kosovo.
Mereka menyatakan bahwa awal kedatangan mereka ke Kosovo adalah sebagai niatan
baik untuk membangun Kosovo yang multi-etnis, akan tetapi tujuan tersebut tidak
tercapai karena sikap permusuhan yang dilakukan leh kelompok-kelompok etnis di
Kosovo. Dan penangkapan-penangkapan yang dilakukan ICTY di Kosovo bukan meredam
konflik nasional Negara tersebut, nyatanya justru memicu
pemberontakan-pemberontakan lainnya dari kelompok Serbia.
Konflik
etnis di Kosovo menunjukkan keterbatasan rezim kekejaman dalam mempromosikan
rekonsiliasi nasional Negara-negara. Konflik ini menjadikan pengalaman penting
dalam sejarah pengembangan sebuah rezim kekejaman yang lebih layak.
KEADILAN DI ASIA TENGGARA
ICTY tidak
hanya bertahan tetapi telah menjabat sebagai model dalam menanggapi masalah
dalam pengadilan ad hoc lainnya.
Menunjukkan bahwa peran kejahatan perang ajudikasi adalah alat kebijakan yang
berhasil. Meskipun, dalam setiap penanganannya tetap ada kendala-kendala menuju
keberhasilan. Selain itu, tanpa intervensi Negara-negara kuat, maka rezim
kekejaman tidak memeliki kekuatan.
KAMBOJA
Telah diperkirakan bahwa lebih dari
satu juta warga Kamboja meninggal akibat eksekusi, penyiksaan, penyakit, atau
kelaparan pada tahun 1975 -1979 dibawa rezim Khmer Rouge; perkiraan mencapai 2
miliar warga kamboja dinyatakan meninggal. Ini menjadi momentum institusional
dari kekejaman rezim yang telah mendorong PBB kemudian membentuk mekanisme
judicial khusus menangani masalah Kamboja. Berbeda dengan masalah rezim
kekejaman di Negara sebelumnya, pada masalah yang terjadi di Kamboja, terdapat
beberapa kepentingan antar beberapa Negara kuat yang merupakan anggota Dewan
Keamanan PBB dengan Pemerintah Kamboja. Meskipun dalam komitmennya PBB
menegaskan bahwa tindakan mereka tidak terkait kepada kepentingan strategis
Amerika Serikat.
Akan tetapi beberapa catatan publik menunjukkan fakta lain,
sebagaimana ditulis oleh William Dowell “banyak Negara, termasuk Amerika
Serikat, telah menggunakan Rouge Khmer untuk mengejar kepentingan politik
mereka di Kamboja, meskipun mereka enggan untuk membicarakan kepentingan
tersebut”. Hal tersebut terkait kepada beberapa tindakan yang dilakukan di
Kamboja yang mengarah kepada Negara-negara tersebut, seperti tindakan
pengeboman yang dilakukan secara rahasia oleh Amerika Serikat di Kamboja, dan
lain sebagainya. China misalnya, rezim kekejaman di Kamboja telah memberikan
dapak ketakutan akut bagi China, terkait gambaran rumit untuk menjadi anggota
dalam organisasi perdagangan dunia (WTO). Konflik yang terjadi di Kamboja
memberikan dampak bagi terhambatnya kepentingan China. Mengingat iklim politik saat itu, awalnya
Beijing ingin menjalin hubungan mitra dengan Kamboja, akan tetapi akibat
konflik tersebut, hubungan keduanya terekspos masyarakat internasional, dan
Beijing tampak enggan terhadap perannya dalam mendukung rezim Khmer. Adanya
kepentingan didalam kasus Kamboja ini kemudian menimbulkan keraguan bagi
pemerintah Kamboja.
PS: Please dont just lazy to read the real one. do not just copy paste this. it wouldnt make u smart! :) Love to Share, HRnola.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar