Minggu, 23 Februari 2014

Book Resume: Christoper Rudolph: Membangun Rezim Aristokratik: Politik atas Pengadilan Kejahatan Perang (Constructing an Atrocities Regime)



Mata kuliah Hukum Internasional
SEMESTER V
 


Cristopher Rudolph
Constructing an Atrocities Regime


Dari fenomena “ladang pembunuhan” yang terkenal di Kamboja, hingga kebrutalan yang terjadi di Sierra Leone, merupakan hasil dari konflik yang muncul oleh kelompok etnis dan kelompok-kelompok identitas lainnya yang dipicu oleh orientasi rasa marah, dan keinginan manusia untuk mendapatkan keadilan.

Sebagai respon untuk menanggapi laporan kekejaman yang terjadi di Bosnia, Kosovo, dan Rwanda, komunitas internasional telah mendirikan lembaga yang mengatur tentang kejahatan perang, yang fungsinya juga untuk menyelidiki kejahatan perang yang terjadi, hingga proses mengadili pelaku kejahatan perang tersebut.Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) adalah pengadilan permanen yang dibentuk untuk melakukan berbagai upaya memperluas rezim.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperluas rezim kekejaman dengan membentuk sebuah pengadilan permanen. Berdirinya Mahkamah Pidana Internasional, mendapat banyak sekali dukungan, karena tidak hanya berfungsi sebagai sarana memegang pelaku kekejaman akuntabel, tetapi juga sebagai mekanisme perdamaian dengan membangun keadilan dan memajukan rekonsialisasi didaerah yang dilanda perang. Sebagaimana pula dinyatakan oleh Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeline Albright, bahwa “Pada akhirnya sangat sulit untuk memiliki perdamaian dan rekonsialisasi tanpa keadilan”.

Berkaitan dengan hal tersebut, Rudolf dalam tulisannya ini berusaha untuk mengidentifikasi dan menganalisis hambatan politik serta hambatan prosedural dalam membangun berbagai sutau rezim kekejaman yang efektif dengan memeriksa norma-norma kemanusiaan, kepentingan strategis Negara kuat, dan faktor-faktor birokrasinya. Dalam tulisannya, Rudolf berpendapat bahwa meskipun gagasan humaniter-liberal telah menciptakan tuntutan berkaitan aksi politik, proses dalam menghadapi tindakan brutal dalam perang telah didominasi oleh realpolitic – yakni, tetap didominasi oleh kepentingan strategi Negara paling kuat. Oleh sebab itu, penulis menganggap bahwa dengan memahami kepentingan politik dan hambatan procedural yang terkait, maka komunitas internasional dapat melakukan penyesuaian kelembagaan dalam desain dan implementasi dari kekejaman rezim untuk menjembatani kesenjangan antara ideal-politic dan real-politic.

Perang telah dipandang sebagai suatu konsisten terhadap hukum alam, meskipun beberapa pendapat kaum liberal menganggap bahwa perang adalah tindakan bar-bar.  Saat ini, pada periode modern, tindakan perang suatu Negara terbatas oleh norma saling menghormati kedaulatan nasional antar Negara. Bahkan sejak 1945, telah ada aturan yang disebut sebagai “yuridiksi domestic” yang berisi tentang hak asasi manusia. Ini telah menjadi bukti bahwa dunia internasional telah menciptakan standar yang lebih ketat dalam membatasi perilaku internasional, termasuk dalam hal konflik bersenjata.



IDE / GAGASAN, KEPENTINGAN, DAN LEMBAGA



Dalam tulisannya, Rudolf membagi analisisnya kedalam tiga kasus, yakni kasus yang terjadi di Bosnia, Rwanda, dan Kosovo. Kasus-kasus ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tantangan politik, hukum, dan prosedural, terlepas dari adanya pengaruh dan kepentingan negara besar. Kasus di Bosnia mengungkapkan hambatan politik sebagai awal didirikannya hukum internasional, sementara kasus yang terjadi di Rwanda dan Kosovo menggambarkan kedua proses dinamika legalisasi dan efek pembelajaran institusional. Dalam tiga kasus tersebut juga mengungkapkan kemampuan kemampuan pencegahan yang terbatas atas rezim kekejaman.



ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) DI BOSNIA


            ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) atau Pengadilan Kriminal Internasional, yang terjadi di Yugoslavia lama, menggambarkan kesulitan politik terkait dengan mendirikan sebuah rezim internasional, dimana kepentingan strategis Negara-negara kuat tidak secara langsung dipertaruhkan. Kasus ini sangat penting mengingat keinginan awal Pengacara Internasional adalah untuk membentuk suatu rezim yang berlandaskan hard-law (hukum keras), yakni sebuah jawaban yang dianggap dapat mengatasi real-politic dengan menghilangkan perbedaan yang terdapat antar Negara kuat dan Negara lemah (kesetaraan dibawah hukum), sekaligus dapat menantang gagasan lama tentang Negara berdaulat.  Namun, dalam penciptaan hard-law tersebut, terdapat beberapa hambatan hukum, dan didalam kasus ICTY akan menggambarkan bagaimana kepentingan strategis Negara-negara kuat (melalui Dewan Keamanan PBB) membentuk proses pelembagaan dan penggunaanya.

Tahap awal Perang Yugoslavia adalah pada tahun 1990 – 1991, komunitas internasional tampak berniat untuk mempertahankan intergritas wilayah Yugoslavia, namun tampak ragu untuk terlibat dalam konflik kawasan tersebut, karena memiliki kaitan terhadap meletusnya Perang Dunia I. Pada tahap awal perang ini, peristiwa kekejaman pertama yang terjadi ialah ketika terjadi pembantai masyarakat muslim di Bosnia oleh para Serbia. Setelah itu terjadi aksi pembantaian berturut-turut lainnya, sebagaimana pernah juga dilakukan oleh Nazi dalam program “pembersihan etnis” di Bosnia. 44% penduduk di Bosnia adalah muslim, 42,5% adalah etnis asli Serbia, 5,6% Kroasia, 5,7% etnis campuran Bosnia dan Serbia, 2,2% etnis lainnya. Total penduduk sebelum pembantaian tersebut adalah 112.470. Setelah pembantaian pada bulan Juni 1993, jumlah penduduk Kroasia menurun dari 6.300 menjadi 3.169, sementara populasi Serbia meningkat dari 47.745 orang hingga 53.673 orang. Komunitas internasional kemudian mengganggap bahwa penyebab terjadinya kekejaman tersebut adalah orang-orang Serbia.

PBB sebagai pengadilan internasional memiliki kewenangan untuk mengatasi konflik di Bosnia tersebut. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi untuk membentuk ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia)/ Pengadilan Kriminal Internasional khusus menangani masalah konflik yang terjadi di Negara Yugoslavia lama. ICTY dibentuk untuk menuntut empat kelompok yang terlibat dalam konflik yang terjadi di Bosnia tersebut, yang dinilai telah melakukan 4 pelanggaran, yakni : 1) Pelanggaran Konvensi Jenewa 1949 (pasal 2) mengenai kematian; 2) Pelanggaran Hukum atau Kebiasaan Perang (pasal 3); 3) Genosida (pasal 4), dan; 4) Kejahatan terhadap Kemanusiaan (pasal 5).

Tantangan pertama bagi ICTY ialah dalam menetapkan pedoman untuk keadilan dan struktur kelembagaan, berdasarkan pertimbangan Pengacara Internasional untuk menjadi komponen kunci dari legitimasinya. Pembentukan ICTY sebagaimana jaksa internasional nyatakan bahwa “Jika pengadilan diperlukan, untuk membawa rasa keadilan bagi para korban dalam konflik internasional, maka dengan demikian pengadilan akan turut campur dan muncul dorongan yang kuat untuk membentuk badan hukum khusus sebagai jawaban keseriusan menanggapi konflik tersebut”.

Selain itu, konflik yang terjadi di Bosnia merupakan tantangan baru bagi pengadilan internasional. Karena sebelumnya, penanganan kejahatan perang hanya mencakup situasi konflik bersenjata internasional, bukan mencakup kejahatan hak asasi manusia, sebagaimana kasus penganiayaan dan pemerkosaan yang terjadi di Bosnia. Oleh sebab itu, muncul pengkategorisasian kejahatan perang, “Pelanggaran Berat” bagi konflik bersenjata internasional, dan “Pelanggaran Tidak Berat” mencakup pembantaian atau pemerkosaan sebagaimana terjadi di Bosnia oleh orang-orang Serbia.

Namun, hal baru tersebut sekaligus menciptakan tantangan baru dan paling mendesak bagi ICTY, yakni dalam menangkap dan menahan para terdakwa konflik. Banyak dari para otak penghasut perang tersebut telah ditahan oleh para sekutu dan kemudian diadili. Namun ICTY memulai strategi dengan tidak melakukan penahanan terhadap para terdakwa. Tindakan ini jelas, karena pengadilan ad hoc sendiri telah menyatakan bahwa mengenai permasalahan terdakwa konflik dalam suatu kawasan, adalah hak bagi pengadilan kawasan tersebut sendiri yang menangani penahanannya. Untuk itu, elemen penting dalam prosedur penahanan tersangka tersebut, sepenuhnya tergantung kepada Negara yang sedang berperang, atau Negara pihak ketiga yang terlibat dalam perang tersebut. Namun, kenyataan ini juga sekaligus membawa tantangan lain, dalam prosesnya pengadilan internasional mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat internasional, namun sedikit sekali dalam penegakannya. Hal tersebut menjadikan badan pengadilan internasional menjadi tidak efektif dalam menciptakan keamanan internasional.

Pada tanggal 1 Maret 2001, kemudian hambatan awal tersebut telah mengalami perubahan. 35 terdakwa ditahan oleh Unit Penahanan ICTY dan menunggu dibawa kepersidangan. 12 kasus telah berhasil disimpulan melalui tahap banding. Slobodan Milosevic, Presiden Serbia, yang dianggap sebagai dalang konflik tersebut ditangkap oleh polisi Yugoslavia dan selanjutnya diekstradisi ke Den Haag pada 28 Juni 2001. Peristiwa ini tentu menjadi tonggak baru bagi rezim pengadilan. Milosevic adalah kepala Negara pertama yang diadili oleh pengadilan.

Pengalaman ICTY di Balkan mengungkapkan bahwa kesulitan tidak hanya dalam hukum dan prosedur merancang sebuah rezim memerangi kekejaman, akan tetapi juga pengaruh dari Negara-negara kuat selama proses pelembagaan. Peran Negara-negara kuat digunakan ICTY sebagai sarana menanggapi panggilan konflik dalam lingkup politik, seperti yuridiksi, pengangkatan hakim dan kepala jaksa, aspek kunci dari desain, dan sebagainya.



KEJAHATAN GENOSIDA DI RWANDA


            Pada tahun 1994 rezim kekejaman diperpanjang ke Rwanda. Kasus ini menunjukkan dua hal, yakni : 1) kepentingan kekuatan besar dalam mempengaruhi proses pembentukan rezim; 2) negosiasi medan politik antara hukum “hard” dan “soft” adalah suatu proses dinamis yang melibatkan derajat pembelajaran kelembagaan.  Mengingat besar lingkup kekejaman yang dilakukan di Rwanda, maka fleksibilitas peran lembaga internasional dibutuhkan. 

Kekerasan yang terjadi di Rwanda membesar pada tahun 1980an hingga awal 1990an. Pada tanggal 6 April 1994, pesawat yang membawa Juvenal Habyarima (Presiden Rwanda) dan Cyprieyamin Ntaryamira (Presiden Burundi) ditembah jauh di Kigali, Rwanda. Etnis Hutu kemudian menuduh pemberontak Tutsi dari Front Patriotik Rwanda sebagai pelakunya, dan dalam beberapa menit terjadi aksi saling bantai di Rwanda. Pengawal Presiden membunuh semua orang-orang Tutsi yang mereka temui.  Pada bulan April, Mei, dan Juni 1994, diperkirakan setengah penduduk Rwanda dari 7,5 juta penduduk tak bersalah terbunuh, dengan beberapa diantaranya memilih untuk pergi dari Rwanda. Sebagaimana terjadi pada konflik etnis di Yugoslavia lama, pemerintah Barat enggan turut campur dalam konflik ini.

Dewan Keamanan PBB kemudian membentuk Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR/ International Criminal Tribunal for Rwanda) pada tanggal 8 November 1994. Namun badan ini dibentuk dengan yuridiksi waktu yang lebih spesifik, yaitu hanya mencakup periode 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994, dengan ruang lingkup yang juga dibatasi pada peristiwa-peristiwa temporal dan peristiwa terkait pembunuhan Presiden Habyarimana.

Oleh karena kasus di Bosnia memiliki beberapa kesamaan dan kaitan dengan kasus yang terjadi di Rwanda, untuk mempromosikan konsistensi antara kedua pengadilan ad hoc, dengan pertimbangan untuk membangun kejelasan panutan, norma yang jelas dan sesuai – Pasal 12 dalam Undang-Undang menetapkan bahwa ICTY berfungsi sebagai ruang untuk kasus-kasus banding yang diajukan, dan selain itu juga untuk mendorong konsistensi dalam penyelidikan kasus-kasus tersebut. Pasal 15 dalam Undang-Undang memperjelas dengan menyatakan bahwa jaksa kepala ICTY juga akan merangkum fungsi sebagai kepala jaksa di ICTR. Pasal 12 Undang-Undang juga menetapkan bahwa ruang banding yang dipergunakan ICTY juga akan berfungsi sebagai ruang untuk kasus-kasus yang dihadapi oleh ICTR. Penanganan dan proses yang diadopsi oleh ICTR dari ICTY, hal ini karena struktur ICTY dianggap sebagai strutur dasar yang paling tepat sebagai pilihan kebijakan dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia yang besar.

Kasus di Rwanda kemudian berakhir dengan ditahannya 44 tersangka oleh PBB di Arusha, Tanzania pada 22 Februari 2001. Dalam penyelesaiannya, ICTR lebih sukses daripada ICTY. Selain itu, penahanan profil tinggi Negara juga dilakukan di Rwanda, yakni dengan ditahannya mantan komandan militer Rwanda. Adanya ICTY dan ICTR menjadi pintu pembuka untuk ajudikasi internasional dalam konflik internal, memperluas yuridiksi pengadilan, dan hukum internasional terhadap isu-isu yang secara tradisional telah ditangguhkan oleh kedaulatan nasional.

Akan tetapi, permasalahan di Rwanda juga memiliki beberapa kendala yang berbeda dengan kasus di Bosnia. Pemerintah Rwanda melakukan penolakan terhadap apa yang dibentuk dan dilakukan oleh Dewan PBB, mereka mengirimkan surat yang berisikan pernyataan bahwa tindakan PBB akan menghambat dan membatasi kemampuannya untuk mencapai rekonsialisasi dalam negeri. Akan tetapi surat tersebut ditolak, hal ini dikarenakan Dewan PBB menanggap Pemerintah Rwanda tidak melakukan kontribusi apapun dalam menangani masalah ini. Sebagai alasan untuk tetap menentang tindakan yang dilakukan pengadilan internasional, Pemerintah Rwanda kemudian menetapkan Undang-Undang Organik Penuntutan Pelanggaran pada tanggal 1 Oktober 1990. Undang-undang tersebut berisikan mengenai tindakan pengklasifikasian penjatuhan hukuman tersangka genosida dalam 4 kategori sesuai dengan tingkat kesalahan, dan hukuman terberat diberikan kepada otak pelaku, yakni hukuman mati. Akan tetapi netralitas undang-undang tersebut diragukan oleh PBB, bahwa ada kemungkinan tersangka bisa lolos dari hukuman apabila ditangani oleh pihak nasional. Ketangguhan pemerintah Rwanda dalam menolak turut campurnya PBB dalam masalah internal mereka menjadi kendala tersendiri bagi ICTR.

ICTY DI KOSOVO

                Aplikasi lebih lanjut dari sistem pengadilan internasional menjadi penting pada tahun 1999 sebagai perang etno-nasionalis yang pecah antara kelompok etnis nasional Albania dan tentara Serbia. Jumlah korban awal dari perang ini hanya mencapai 2.500 orang, namun perpecahan berlanjut hingga tindakan “pembersihan etnis” yang dilakukan oleh orang-orang Serbia, setelah periode gagalnya Perundingan Rambouillet. Perang berlanjut hingga serangan udara yang dilakukan NATO yang menelan korban sangat banyak, penyiksaan, dan pemerkosaan terjadi dimana-mana, serta masyarakat mulai melakukan pengungsian meninggalkan Negara mereka.

                 Pada tanggal 29 September 1999, diumumkan bahwa yuridiksi ICTY akan turun menangani masalah perang etnis tersebut, berlandaskan undang-undang yang telah dibentuk pada pengalaman konflik etnis sebelumnya di Bosnia dan Rwanda. Turut campurnya ICTY dalam konflik Kosofo juga dilatar belakangi oleh sorotan terhadap tindakan pengadilan Kosovo sendiri yang dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut. Akan tetapi berbeda dengan keberhasilan ICTY di Rwanda, keadaan di Kosovo tidak menggembirakan. Akan tetapi ini menjadi kasus penting untuk mengukur kemampuan pengadilan internasional untuk membentuk tindakan Negara, menjadi manfaat lain dalam taktis mengadili pelaku kejahatan tingkat rendah, dan keberhasilan setelah sebelumnya berhasil diterapkan dalam konflik Bosnia dan Rwanda.

                    Kesulitan yang dihadapi dalam konflik di Kosovo adalah dalam menangkap pelaku-pelaku tindak kejahatan tersebut, selain itu tidak adanya dukungan sama sekali dari pemerintah Kosovo. Mereka menyangkal bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan pelanggaran HAM, mereka menyatakan bahwa itu adalah tindakan pembelaan yang dilakukan setelah selama ini merasa terancam hidup di Kosovo. Mereka menyatakan bahwa awal kedatangan mereka ke Kosovo adalah sebagai niatan baik untuk membangun Kosovo yang multi-etnis, akan tetapi tujuan tersebut tidak tercapai karena sikap permusuhan yang dilakukan leh kelompok-kelompok etnis di Kosovo. Dan penangkapan-penangkapan yang dilakukan ICTY di Kosovo bukan meredam konflik nasional Negara tersebut, nyatanya justru memicu pemberontakan-pemberontakan lainnya dari kelompok Serbia.
                     
                    Konflik etnis di Kosovo menunjukkan keterbatasan rezim kekejaman dalam mempromosikan rekonsiliasi nasional Negara-negara. Konflik ini menjadikan pengalaman penting dalam sejarah pengembangan sebuah rezim kekejaman yang lebih layak.


KEADILAN DI ASIA TENGGARA

                   ICTY tidak hanya bertahan tetapi telah menjabat sebagai model dalam menanggapi masalah dalam pengadilan ad hoc lainnya. Menunjukkan bahwa peran kejahatan perang ajudikasi adalah alat kebijakan yang berhasil. Meskipun, dalam setiap penanganannya tetap ada kendala-kendala menuju keberhasilan. Selain itu, tanpa intervensi Negara-negara kuat, maka rezim kekejaman tidak memeliki kekuatan.

KAMBOJA


Telah diperkirakan bahwa lebih dari satu juta warga Kamboja meninggal akibat eksekusi, penyiksaan, penyakit, atau kelaparan pada tahun 1975 -1979 dibawa rezim Khmer Rouge; perkiraan mencapai 2 miliar warga kamboja dinyatakan meninggal. Ini menjadi momentum institusional dari kekejaman rezim yang telah mendorong PBB kemudian membentuk mekanisme judicial khusus menangani masalah Kamboja. Berbeda dengan masalah rezim kekejaman di Negara sebelumnya, pada masalah yang terjadi di Kamboja, terdapat beberapa kepentingan antar beberapa Negara kuat yang merupakan anggota Dewan Keamanan PBB dengan Pemerintah Kamboja. Meskipun dalam komitmennya PBB menegaskan bahwa tindakan mereka tidak terkait kepada kepentingan strategis Amerika Serikat.

 Akan tetapi beberapa catatan publik menunjukkan fakta lain, sebagaimana ditulis oleh William Dowell “banyak Negara, termasuk Amerika Serikat, telah menggunakan Rouge Khmer untuk mengejar kepentingan politik mereka di Kamboja, meskipun mereka enggan untuk membicarakan kepentingan tersebut”. Hal tersebut terkait kepada beberapa tindakan yang dilakukan di Kamboja yang mengarah kepada Negara-negara tersebut, seperti tindakan pengeboman yang dilakukan secara rahasia oleh Amerika Serikat di Kamboja, dan lain sebagainya. China misalnya, rezim kekejaman di Kamboja telah memberikan dapak ketakutan akut bagi China, terkait gambaran rumit untuk menjadi anggota dalam organisasi perdagangan dunia (WTO). Konflik yang terjadi di Kamboja memberikan dampak bagi terhambatnya kepentingan China.  Mengingat iklim politik saat itu, awalnya Beijing ingin menjalin hubungan mitra dengan Kamboja, akan tetapi akibat konflik tersebut, hubungan keduanya terekspos masyarakat internasional, dan Beijing tampak enggan terhadap perannya dalam mendukung rezim Khmer. Adanya kepentingan didalam kasus Kamboja ini kemudian menimbulkan keraguan bagi pemerintah Kamboja. 




PS: Please dont just lazy to read the real one. do not just copy paste this. it wouldnt make u smart! :) Love to Share,  HRnola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...