Mata kuliah Pemikiran Politik Timur
SEMESTER III
SEMESTER III

“KEDUDUKAN ULIL AMRI (IMAM / PEMIMPIN)”
Ringkasan tulisan ini berdasarkan Buku : Mujar Ibn, Syarif, et al. “Fiqh Siyasah, doktrin dan pemikiran politik Islam”. 2008. Erlangga : Jakarta.
1.
DEFINISI
ULIL AMRI
Baik didalam Al-Qur’an maupun sunnah, terdapat
isyarat mengenai pentingnya memilih seorang pemimpin atau lazim disebut didalam
Al-Qur’an sebagai Ulil Amri. Didalam
firman Allah yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepada pengertian ulil
amri, yakni :
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rasulnya dan ulil amri
(pemerintah) diantara kamu” (QS. 4 An-Nisa : 59).
Dalam memahami makna ulil amri, dikalangan mufassir
(pakar agaa Islam) terjadi variasi interpretasi. Ahmad Mushtafa Al Maraghi
mengatakan bahwa ulil amri merupakan mereka yang terdiri dari pada umara,
hakim, ulama, panglima perang, dan semua pimpinan yang menjadi rujukan umat
dalam masalah yang bertalian dengan kebutuhnan dan kemaslahatan umum.
Sementara pakar ulama lain, seperti Muhammad Abduh
menjelaskan bahwa ulil amri adalah orang-orang yang ahl al halli wa al aqdi, yakni orang-orang yang mempunyai pengaruh
dikalangan masyarakat, misalnya ; panglima, ulama, para pemimpin negara, dan
tokoh-tokoh bangsa, para pemimpin partai, redaktur surat kabar yang islami, dan
para pelopor kemerdekaan.
Dan Al Syaukhani berpendapat bahwa ulil amri adalah
mereka yang terdiri dari para hakim, dan setiap penguasa yang tunduk kepada
aturan syariat, bukan kepada aturan thagut
(iblis).
Sementara dalam pandangan kaum Syi’ah berpendapat
bahwa ulil amri merupakan para imam mas’hum
(infallible), seseorang yang
mutlak, seseorang yang sempurna. Dalam hal ini, kaum Syi’ah berpendapat bahwa
hanya Nabi yang dapat menjadi ulil amri.
Dengan kata lain, ulil amri bagi kaum Syi’ah adalah orang-orang yang ditunjuk
oleh Allah. Dan tak ada satu orangpun
yang dapat menggantikannya, kecuali ia diutus Allah.
Berdasarkan pendapat para mufassir tersebut diatas
dapat dipahami bahwa beberapa dari mereka berpendapat, bahwa presiden atau
kepala negara termasuk pula dalam kategori ulil amri, yang menurut bunyi surat
An-Nisa ayat 59 tersebut, wajib ditaati setelah Allah dan Rasulnya.
Perintah untuk menaati ulil amri, menurut Wahbah Al
Zuhali, terdapat isyarat bahwa umat islam wajib hukumnya memilih ulil amri.
Pentingnya mengangkat seorang kepala negara / pemimpin, salah satunya juga
berdasarkan pada Hadis nabi berikut,
yakni :
“Tidak boleh
tiga orang berada disuatu tempat dimuka bumi ini, kecuali (bila) mereka memilih
salah seorang diantaranya sebagai pemimpinnya”. (HR. Ahmad).
Berdasarkan surat An-Nisa ayat 59 dan hadis riwayat
Imam Ahmad tersebut diatas, dapat dipahami bahwa seyogyanya jabatan kepala
negara itu tidak boleh dibiarkan vakum, meskipun hanya satu hari. Sebab bila
sampai vakum, akan mendatangkan bahaya yang besar, menurut pandangan Musthafa
Hilmi.
2.
HUKUM
DAN KEDUDUKAN ULIL AMRI
Menurut pandangan hukum islam, terdapat lima
kategori khusus yang lazim disebut al
ahkam al khamsah, yakni :
1. Wajib
/ wujub / fardhu
2. Sunnah
/ mandub/ nadb
3. Haram
/ tahrim / mahzhur,
4. Makruh/
karahah, dan
5. Ibahah/jawaz/
mubah
Memilih pemimpin / kepala negara / ulil amri menjadi
perdebatan kemudian diantara para ulama, mengenai kategori manakah ulil amri
dapat dimasukkan.
Menurut semua pandangan ulama sunni, syi’ah, dan
murjiah, mengangkat kepala negara adalah wajib hukumnya, oleh sebab itu, jika
meninggalkannya akan menimbulkan dosa.
Sementara menurut golongan Najdat, mengangkat kepala
negara hukumnya adalah mubah. Artinya, itu
tergantung kepada kehendak umatnya atau rakyat tersebut, akan memutuskan
memilih kepala negara atau tidak. Sebab tidak ada satupun argumentasi atau
hadis yang dengan jelas memerintahkan harus memiliki ulil amri atau malah
melarangnya.
Hal senada juga didukung oleh sebagian kecil
pengikut Mu’tazilah, karena menurut mereka, mengangkat kepala negara / pemimpin
tidak perlu sama sekali, apabila umat manusia telah tunduk dan patuh kepada
peraturan dan setia kepada kebenaran. Namun, apabila umat tersebut bersikap
sebaliknya, yakni menyimpang dari garis kebenaran dan berdampak kepada
timbulnya anarki, maka barulah seorang kepala dibutuhkan kedudukannya.
Menurut kaum Sunni, mengangkat kepala negara, juga merupakan
suatu kewajiban berdasarkan syariat atau agama, karena mereka mengutip firman
Allah (Q.S 4, An-Nisa : 59), hadis nabi (H.R Ahmad), dan ijma’ sahabat dan tabi’in.
yaitu dalil yang diduga disepakati pada saat Abu Bakar berpidato dimasjid
bertepatan dengan pelantikannya oleh seluruh umat Islam, guna mempertegas
pembaitannya yang telah dilakukan oleh para sahabat senior di Saqifah Vani
Syaidah dalam pidato pengukuhannya, yang diantaranya Abu Bakar menyatakan
sebagai berikut :
“Wahai
sekalian manusia, siapa yang menyembah Muhammad, kini Muhammad telah wafat.
Tapi siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah itu kekal selama-lamanya.
Maka setelah Muhammad wafat, harus ada seseorang yang melanjutkan
perjuangannya.”.
Dari jawaban ini, kaum Sunni menganggap telah
terjadi consensus mengenai kewajiban mengenai pengangkatan ulil amri tersebut,
hal itulah yang menjadi alasan bagi kaum Sunni bahwa pengangkatan kepala negara
wajib hukumnya. Hal itu juga didukung
oleh kaum Syi;ah, menurut kaum Syi’ah, pengangkatan kepala negara merupakan
rukun agama.
Dan menurut kaum Mu’tazillah, pengangkatan kepala
merupakan kebutuhan manusia yang cenderung hidup bermasyarakat. Dalam pergaulan
itu amat rentan dan dimungkinkan terjadinya perselisihan, pertikaian, konflik,
penindasan, pertumpahan darah, atau pembunuhan, pada saat seperti itulah,
naluri manusia mendambakan tampilnya orang-orang tertentu yang akan menjadi “juru selamat” dan
melindungi mereka dari kemungkinan-kemungkinan serupa itu.
Dengan begitu, kehadiran seorang pemimpin dalam
suatu komunitas merupakan condition qua
non. Artinya secara akhli atau berdasarkan rasio, sudah dapat dipastikan
kemestian adanya seorang pemimpin. Karena itu, kendatipun wahyu tidak turun
menyangkut eksistensi seorang pemimpin, maka berdasarkan rasio atau akalnya
manusia, sudah pasti akan timbul eksistensi ingin menjadi pemimpin atau
memiliki pemimpin tersebut.
Oleh sebab banyaknya kaum yang menganggap bahwa
pemilihan pemimpin merupakan hal yang penting kedudukannya, maka disepakati
bahwa mengangkat pemimpin dianggap sebagai suatu kewajiban berdasarkan wahyu
dan syariat.
Dan sesuai dengan hukum yang telah disepakati
mengenai pengangkatan ulil amri, maka jelaslah, bahwa kedudukan ulil amri
begitu penting didalam suatu hubungan masyarakat / sosial.
Para ulama zaman nabi juga merasakan bahwa kedudukan
ulil amri amat penting, karena ulil amri dapat menjadi perantara antara Allah
dan hamba-hambanya. Dan manusia yang paling agung menurut mereka, juga adalah
manusia yang dapat menjadi perantara antara Allah dan hamba-hambanya. Oleh
sebab itu, mematuhi ulil amri, serta
menaati ulil amri adalah juga wajib hukumnya. Seperti juga dikutip dalam surat
QS. 4 An-Nisa : 59.
Dan tentu saja, ulil amri yang patut ditaati adalah
ulil amri yang patut dijadikan seorang
ulil amri, menjalankan kewajiban dan tugas-tugasnya sebagaimana semestinya
dengan baik. Seperti ; menyiarkan berita kepada umatnya (seperti dikutip dalam
firman Allah; QS. an-Nisa`: 83), menjadi contoh baik bagi umatnya /
masyarakatnya, bijak dalam membuat kewenangan, dan sebagainya.
BAB
III
KESIMPULAN
Kedudukan ulil amri memang tidak secara jelas diterangkan didalam Al-Quran maupun terdapat
dalam hadis-hadis. Sehingga tidak dapat dipastikan, apakah kedudukan ulil amri
penting bagi lingkungan umat / masyarakatnya.
Akan tetapi, jika ditinjau kembali, didalam struktur
sosial, bermasyarakat, tentu saja terdapat kesulitan-kesulitan, seperti ;
konflik-konflik sosial yang seringkali terjadi didalam masyarakat. Oleh sebab
itu, dibutuhkan wadah / alat / perantara yang dapat menjadi panutan masyarakat,
penyiar berita, dan penengah sehingga tidak terjadi konflik-konflik sosial
diantara umat / masyarakatnya.
Oleh sebab itu, walaupun tidak tertulis didalam
hadis ataupun AL-qur’an, dapat disadari secara logika pula, bahwa sejatinya
kita memang membutuhkan seorang ulil amri ditengah masyarakat. Walaupun tidak
ditunjuk oleh Allah S.W.T. Dan merupakan kewajiban pula bagi umat / masyarakat
untuk menaati ulil amri tersebut.
PS: (again) this is one of many paperwork that i specially made for my friend. keep in read :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar