Minggu, 23 Februari 2014

Book Resume : Syarif Mujar Ibn, et al, . “Fiqh Siyasah, doktrin dan pemikiran politik Islam”.


Mata kuliah Pemikiran Politik Timur
SEMESTER III
  

                     “KEDUDUKAN ULIL AMRI (IMAM / PEMIMPIN)



Ringkasan tulisan ini berdasarkan Buku : Mujar Ibn, Syarif, et al. “Fiqh Siyasah, doktrin dan pemikiran politik Islam”. 2008. Erlangga : Jakarta.


 1.             DEFINISI ULIL AMRI
Baik didalam Al-Qur’an maupun sunnah, terdapat isyarat mengenai pentingnya memilih seorang pemimpin atau lazim disebut didalam Al-Qur’an sebagai Ulil Amri. Didalam firman Allah yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepada pengertian ulil amri, yakni :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rasulnya dan ulil amri (pemerintah) diantara kamu” (QS. 4 An-Nisa : 59).
Dalam memahami makna ulil amri, dikalangan mufassir (pakar agaa Islam) terjadi variasi interpretasi. Ahmad Mushtafa Al Maraghi mengatakan bahwa ulil amri merupakan mereka yang terdiri dari pada umara, hakim, ulama, panglima perang, dan semua pimpinan yang menjadi rujukan umat dalam masalah yang bertalian dengan kebutuhnan dan kemaslahatan umum.
Sementara pakar ulama lain, seperti Muhammad Abduh menjelaskan bahwa ulil amri adalah orang-orang yang ahl al halli wa al aqdi, yakni orang-orang yang mempunyai pengaruh dikalangan masyarakat, misalnya ; panglima, ulama, para pemimpin negara, dan tokoh-tokoh bangsa, para pemimpin partai, redaktur surat kabar yang islami, dan para pelopor kemerdekaan.
Dan Al Syaukhani berpendapat bahwa ulil amri adalah mereka yang terdiri dari para hakim, dan setiap penguasa yang tunduk kepada aturan syariat, bukan kepada aturan thagut (iblis).
Sementara dalam pandangan kaum Syi’ah berpendapat bahwa ulil amri merupakan para imam mas’hum (infallible), seseorang yang mutlak, seseorang yang sempurna. Dalam hal ini, kaum Syi’ah berpendapat bahwa hanya Nabi yang  dapat menjadi ulil amri. Dengan kata lain, ulil amri bagi kaum Syi’ah adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah. Dan tak ada satu  orangpun yang dapat menggantikannya, kecuali ia diutus Allah.
Berdasarkan pendapat para mufassir tersebut diatas dapat dipahami bahwa beberapa dari mereka berpendapat, bahwa presiden atau kepala negara termasuk pula dalam kategori ulil amri, yang menurut bunyi surat An-Nisa ayat 59 tersebut, wajib ditaati setelah Allah dan Rasulnya.
Perintah untuk menaati ulil amri, menurut Wahbah Al Zuhali, terdapat isyarat bahwa umat islam wajib hukumnya memilih ulil amri. Pentingnya mengangkat seorang kepala negara / pemimpin, salah satunya juga berdasarkan  pada Hadis nabi berikut, yakni :
Tidak boleh tiga orang berada disuatu tempat dimuka bumi ini, kecuali (bila) mereka memilih salah seorang diantaranya sebagai pemimpinnya”. (HR. Ahmad).
Berdasarkan surat An-Nisa ayat 59 dan hadis riwayat Imam Ahmad tersebut diatas, dapat dipahami bahwa seyogyanya jabatan kepala negara itu tidak boleh dibiarkan vakum, meskipun hanya satu hari. Sebab bila sampai vakum, akan mendatangkan bahaya yang besar, menurut pandangan Musthafa Hilmi.




2.    HUKUM DAN KEDUDUKAN ULIL AMRI

Menurut pandangan hukum islam, terdapat lima kategori khusus yang lazim disebut al ahkam al khamsah, yakni :
1.      Wajib / wujub / fardhu
2.      Sunnah / mandub/ nadb
3.      Haram / tahrim / mahzhur,
4.      Makruh/ karahah, dan
5.      Ibahah/jawaz/ mubah

Memilih pemimpin / kepala negara / ulil amri menjadi perdebatan kemudian diantara para ulama, mengenai kategori manakah ulil amri dapat dimasukkan.
Menurut semua pandangan ulama sunni, syi’ah, dan murjiah, mengangkat kepala negara adalah wajib hukumnya, oleh sebab itu, jika meninggalkannya akan menimbulkan dosa.
Sementara menurut golongan Najdat, mengangkat kepala negara hukumnya adalah mubah. Artinya, itu  tergantung kepada kehendak umatnya atau rakyat tersebut, akan memutuskan memilih kepala negara atau tidak. Sebab tidak ada satupun argumentasi atau hadis yang dengan jelas memerintahkan harus memiliki ulil amri atau malah melarangnya.
Hal senada juga didukung oleh sebagian kecil pengikut Mu’tazilah, karena menurut mereka, mengangkat kepala negara / pemimpin tidak perlu sama sekali, apabila umat manusia telah tunduk dan patuh kepada peraturan dan setia kepada kebenaran. Namun, apabila umat tersebut bersikap sebaliknya, yakni menyimpang dari garis kebenaran dan berdampak kepada timbulnya anarki, maka barulah seorang kepala dibutuhkan kedudukannya.
Menurut kaum Sunni, mengangkat kepala negara, juga merupakan suatu kewajiban berdasarkan syariat atau agama, karena mereka mengutip firman Allah (Q.S 4, An-Nisa : 59), hadis nabi (H.R Ahmad), dan ijma’ sahabat dan tabi’in. yaitu dalil yang diduga disepakati pada saat Abu Bakar berpidato dimasjid bertepatan dengan pelantikannya oleh seluruh umat Islam, guna mempertegas pembaitannya yang telah dilakukan oleh para sahabat senior di Saqifah Vani Syaidah dalam pidato pengukuhannya, yang diantaranya Abu Bakar menyatakan sebagai berikut :
Wahai sekalian manusia, siapa yang menyembah Muhammad, kini Muhammad telah wafat. Tapi siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah itu kekal selama-lamanya. Maka setelah Muhammad wafat, harus ada seseorang yang melanjutkan perjuangannya.”.
Dari jawaban ini, kaum Sunni menganggap telah terjadi consensus mengenai kewajiban mengenai pengangkatan ulil amri tersebut, hal itulah yang menjadi alasan bagi kaum Sunni bahwa pengangkatan kepala negara wajib hukumnya. Hal  itu juga didukung oleh kaum Syi;ah, menurut kaum Syi’ah, pengangkatan kepala negara merupakan rukun agama.
Dan menurut kaum Mu’tazillah, pengangkatan kepala merupakan kebutuhan manusia yang cenderung hidup bermasyarakat. Dalam pergaulan itu amat rentan dan dimungkinkan terjadinya perselisihan, pertikaian, konflik, penindasan, pertumpahan darah, atau pembunuhan, pada saat seperti itulah, naluri manusia mendambakan tampilnya orang-orang tertentu  yang akan menjadi “juru selamat” dan melindungi mereka dari kemungkinan-kemungkinan serupa itu.
Dengan begitu, kehadiran seorang pemimpin dalam suatu komunitas merupakan condition qua non. Artinya secara akhli atau berdasarkan rasio, sudah dapat dipastikan kemestian adanya seorang pemimpin. Karena itu, kendatipun wahyu tidak turun menyangkut eksistensi seorang pemimpin, maka berdasarkan rasio atau akalnya manusia, sudah pasti akan timbul eksistensi ingin menjadi pemimpin atau memiliki pemimpin tersebut.
Oleh sebab banyaknya kaum yang menganggap bahwa pemilihan pemimpin merupakan hal yang penting kedudukannya, maka disepakati bahwa mengangkat pemimpin dianggap sebagai suatu kewajiban berdasarkan wahyu dan syariat.
Dan sesuai dengan hukum yang telah disepakati mengenai pengangkatan ulil amri, maka jelaslah, bahwa kedudukan ulil amri begitu penting didalam suatu hubungan masyarakat / sosial.
Para ulama zaman nabi juga merasakan bahwa kedudukan ulil amri amat penting, karena ulil amri dapat menjadi perantara antara Allah dan hamba-hambanya. Dan manusia yang paling agung menurut mereka, juga adalah manusia yang dapat menjadi perantara antara Allah dan hamba-hambanya. Oleh sebab itu, mematuhi ulil amri,  serta menaati ulil amri adalah juga wajib hukumnya. Seperti juga dikutip dalam surat QS. 4 An-Nisa : 59.
Dan tentu saja, ulil amri yang patut ditaati adalah ulil  amri yang patut dijadikan seorang ulil amri, menjalankan kewajiban dan tugas-tugasnya sebagaimana semestinya dengan baik. Seperti ; menyiarkan berita kepada umatnya (seperti dikutip dalam firman Allah; QS. an-Nisa`: 83), menjadi contoh baik bagi umatnya / masyarakatnya, bijak dalam membuat kewenangan, dan sebagainya.
BAB III
KESIMPULAN

Kedudukan ulil amri memang tidak secara jelas  diterangkan didalam Al-Quran maupun terdapat dalam hadis-hadis. Sehingga tidak dapat dipastikan, apakah kedudukan ulil amri penting bagi lingkungan umat / masyarakatnya.
Akan tetapi, jika ditinjau kembali, didalam struktur sosial, bermasyarakat, tentu saja terdapat kesulitan-kesulitan, seperti ; konflik-konflik sosial yang seringkali terjadi didalam masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan wadah / alat / perantara yang dapat menjadi panutan masyarakat, penyiar berita, dan penengah sehingga tidak terjadi konflik-konflik sosial diantara umat / masyarakatnya.
Oleh sebab itu, walaupun tidak tertulis didalam hadis ataupun AL-qur’an, dapat disadari secara logika pula, bahwa sejatinya kita memang membutuhkan seorang ulil amri ditengah masyarakat. Walaupun tidak ditunjuk oleh Allah S.W.T. Dan merupakan kewajiban pula bagi umat / masyarakat untuk menaati ulil amri tersebut.


PS: (again) this is one of many paperwork that i specially made for my friend. keep in read :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...