Minggu, 23 Februari 2014

Perbandingan Sistem Politik : Perbandingan Struktur dan Wewenang Badan Eksekutif Negara Australia & Indonesia Berdasarkan Model Pemerintahan yang dianutnya


Mata kuliah Perbandingan Sistem Politik
SEMESTER III
  


 Perbandingan Struktur dan Wewenang Badan Eksekutif Negara Australia & Indonesia Berdasarkan Model Pemerintahan yang dianutnya



1.    LEMBAGA EKSEKUTIF AUSTRALIA (Negara dengan sistem pemerintahan Parlementer
Dalam sistem politik Australia, penyelenggara kekuasaan eksekutif tertinggi adalah Perdana Menteri dan menteri-menteri yang disebut juga sebagai Dewan Eksekutif Federal. Sekalipun peran mereka sangat vital, Konstitusi tidak pernah menyebut deskripsi tugas-tugas mereka. Keberadaan mereka dalam sistem politik Australia sebenarnya hanya bersandarkan pada konvensi mengenai pemerintahan yang bertanggung jawab.
Secara konstitusional, kekuasaan eksekutif, justru, dipegang oleh gubernur jenderal, berdasarkan searan-saran dari Dewan Eksekutif. Dewan Eksekutif sendiri adalah menteri-menteri yang terdiri dari beberapa anggota parlemen dari  partai mayoritas didalam majelis rendah (House of Representative), dan yang memimpinnya disebut PM.
Sekalipun demikian, tak dapat disangkal bahwa PM dan menteri-menteri tetap memegang kekuasaan pemerintahan dan pertimbangan mengenai peran mereka tetap penting dalam studi mengenai politik Australia. 

A.  KEDUDUKAN GUBERNUR JENDERAL
Kedudukan gubernur jenderal sangat unik dalam perpolitikan Australia. Secara konstitusional, gubernur jenderal memegang kendali kekuasaan dalam pemerintahan Australia. Hal tercantum dalam Bab II Konstitusi Australia yang terdiri atas sepuluh pasal (61-70).
Seperti yang tercantum pada pasal 61 yakni menyatakan bahwa ”kekuasaan eksekutif federal berada ditangan Ratu dan diselenggarakan oleh gubernur-jenderal sebagai wakil Ratu, yang bertugas melaksanakan dan memelihara Konstitusi dan semua  UU Federal”.
Kekuasaan Gubernur-Jenderal tersebut juga termasuk mengangkat pejabat-pejabat negara  untuk melaksanakan tugas-tugas departemen federal. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa para ”pejabat” tersebut adalah menteri-menteri yang merupakan anggota Dewan Eksekutif Federal, dengan kedudukan sebagai menteri Kerajaan bagi negara federal Australia, dengan masa jabatan selama masa tugasnya sebagai anggota parlemen.
Ketentuan lainnya juga menegaskan bahwa gubernur-jenderal mempunyai kekuasaan mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat negara lainnya, kecuali bila pengangkatan tersebut berdasarkan suatu UU, didelegasikan oleh gubernur jenderal kepada pejabat berwenang lainnya.
Dan satu ketentuan lainnya menyebutkan bahwa gubernur-jenderal adalah panglima Angkatan Laut dan Angkatan Bersenjata Federal. Dengan demikian jelaslah bahwa diatas kertas, gubernur-jenderal merupakan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan eksekutif di Australia.
Bila diringkas, maka kekuasaan konstitusional gubernur-jenderal meliputi :
  1. Meminta persidangan parlemen
  2. Membubarkan majelis rendah, dalam  jangka waktu maksimum yang ditetapkan dan meminta    penyelenggaraan pemilu
  3. Mengesahkan RUU (usulan-usulan legislatif) yang disahkan kedua majelis, agar menjadikannya berkekuatan hukum (legislasi yang berlaku)
  4. Mengontrol pemerintahan eksekutif, dan
  5. Membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan ketentuan undang-undang

Akan tetapi, berdasarkan konvensi mengenai pemerintahan yang bertanggung jawab, penyelenggaraan pemerintahan berasa dibawah kewenangan PM (Perdana Menteri) dan menteri-menteri. Semua kekuasaan konstitusional tersebut boleh dilaksanakan Gubernur-Jenderal hanya setelah mendapatkan saran dari Dewan Eksekutif Federal.
Oleh karena itu, dalam pasal 63 ketentuan tersebut dipertegas lagi, yakni ditafsirkan bahwa gubernur-jenderal bertindak berdasarkan saran dari Dewan Eksekutif Federal. Dan oleh sebab itu pula, kekuasaan konstitusional gubernur-jenderal disebut juga ”reserve power”. Sementara itu, kekuasaan pemerintahan diselenggarakan oleh PM dan menteri-menteri berdasarkan konvensi pemerintahan yang bertanggung jawab. Konvensi pemerintahan yang bertanggung jawab adalah konvensi yang bertanggung jawab untu diadopsi dari konvensi yang berlaku dalam sistem pemerintahan Westminster, dan telah diselenggarakan oleh koloni-koloni Australia sebelum diberlakukannya Konstitusi Australis 1901.
Dengan demikian, kekuasaan gubernur jenderal hanya bersifat seremonial dan formalitas. Pada masa-masa awal federasi, sidang-sidang kabinet mempunyai kekuatan hukum bila dihadiri oleh gubernur-jenderal. namun, saat ini pertemuan-pertemua tersebut hanya bersifat formalitas, dimana UU yang sudah disahkan parlemen baru dapat diberlakukan bila sudah memperoleh persetujuan Gubernur Jenderal (Royal Assent).
Akan tetapi, pada dasarnya hanya gubernur jenderallah yang dapat memberikan kekuatan hukum, melalui persetujuannya, bagi setiap tindakan pemerintah. Hal ini, antara lain seperti pengesahan UU, pengangkatan dan pemecatan pejabat pemerintah, dan lain-lain.
Kehadiran Gubernur Jenderal diperlukan hanya pada waktu-waktu tertentu saja, seperti pembukaan masa sidang pertama dari setiap parlemen yang baru dibentuk. Dengan demikian, ketidakmampuan seorang gubernur jenderal bekerja sama dengan pemerintah yang berkuasa dapat menimbulkan komplikasi dalam penyelenggaraan kekuasaan eksekutif.
Hal tersebut dapat terlihat dari penyebab krisis kontitusional pada tahun 1975, dimana Gubernur Jenderal Sir John Kerr menggunakan kekuasaan konstitusionalnya untuk memecat PM Whitlam. Yang pada dua tahun sebelumnya, Sir John Kerr justru diangkat oleh PM Whitlam untuk mengisi jabatan tersebut. Krisis ini merupakan krisis konstitusional yang terbesar sepanjang sejarah federasi Australia, dan tetap tidak terselesaikan.


B.  KEKUASAAN DAN TANGGUNG JAWAB PERDANA MENTERI
Kedudukan PM dan menteri-menteri (kabinet) tidak pernah teercantum dalam Konstitusi, karena telah disepakati oleh para perumus konstitusi bahwa tidak perlu mencatat berbagai konvensi yang berlaku di Westminster, yang sebagian besar telah diambil dan dilaksanakan dalam lembaga-lembaga legislatif dikoloni masing-masing. Kedudukan PM dan menteri-menteri hanya ditulis dalam kerangka ketentuan yang khusus, dengan menyebutkannya sebagai Dewan Eksekutif Federal.
Sekalipun tidak pernah disebut dalam konstitusi, tidak perlu diragukan bahwa peranan PM sangat sentral dalam perpolitikan Australia. PM adalah kepala pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan eksekutif sehari-hari. PM menjadi pusat perhatian media dalam panggung politik Australia, sehingga segala aktifitas PM cepat diketahui dan tersebar didalam masyarakatnya.
Dalam menjalankan pemerintahan, PM memegang kekuasaan yang sangat besar, beberapa kekuasaan diselenggarakan bersama dengan menteri-menteri, tetapi beberapa kekuasaan penting lainnya dilakukan secara sepihak.
Salah satu kekuasaan penting yang dimiliki PM adalah memilih menteri-menteri. Segera setelah memenangkan pemilu. Didalam struktur partai Australia, yakni Partai Liberal dan Partai Buruh memiliki perbedaan dalam cara mengangkat menteri-menteri.
Salah satu peran utama seorang PM adalah menyeleksi menteri-menteri yang akan membantunya dalam melaksanakan pemerintahan. Oleh karena itu, dalam memilih menteri-menterinya, PM Liberal umumnya menggunakan kekuasaan tersebut untuk memnempatkan pendukung-pendukung setianya kedalam jajaran menteri.
Akan tetapi terdapat beberapa ketentuan yang harus dipenuhi PM Liberal dalam mengangkat menteri-menteri, yakni, seorang PM Liberal harus yakin bahwa setiap negara bagian mempunyai perwakilan dalam jabatan menteri. Dan ketentuan terakhir yang harus dipertimbangkan seorang PM Liberal adalah membagi portfolio kedalam para mitra koalisinya.
Sementara PM Partai Buruh yang secara tradisional mencurigai kepemimpinan yang terlalu besar kekuasaannya, menggunakan caucus dalam memilih menteri-menterinya. Dan oleh sebab itu dalam kewenangan untuk merisafel kabinet juga dipegang oleh causus.
Kekuasaan penting lainnya dari seorang PM tanpa membedakan partainya, adalah menetapkan waktu pelaksanaan pemilu. Berbeda dengan negara lainnya, Australia memberikan kekuasaan kepada PM untuk menentukan kapan  pemilu akan dilaksanakan.
Ketentuan Konstitusi menetapkan bahwa majelis rendah (HoR) dapat melaksanakan tugasnya selama tiga tahun sejak sidang pertamanya, dan tidak boleh melebihi batas waktu tersebut. Tetapi bisa dibubarkan sebelum habis masa baktinya oleh gubernur jenderal (pasal 28). Dengan demikian, sebuah pemilu harus diselenggarakan setiap tiga tahun sekali, namun PM dapat meminta penyelenggaraan pemilu tersebut.
Oleh sebab itu, PM harus mampu mempertimbangkan waktu yang tepat untuk melaksanakan pemilu. Keputusan untuk melaksanakan pemilu lebih awal, pada umumnya dilakukan PM bila telah menimbang bahwa kekuatan oposisi sedang berada dalam keadaan tidak solid dan terpecah-pecah.
Kewenangan lainnya yang dimiliki oleh PM adalah melakukan koordinasi terhadap administrasi maupun kebijakan-kebijakan pemerintah. Melalui departemen yang dipimpinnya, Department of Prime Minister and Cabinet (PMC), seorang PM tidak hanya mengkoordinasikan, melainkan juga dapat mengontrol kebijakan-kebijakan departemen lainnya. Terdapat beberapa Divisi dalam Departemen PMC, yang bertugas membuat dan mencarikan alternatif kebijakan yang ’membayangi’ kebijakan-kebijakan dari kementerian lainnya.
Kekuasaan penting lainnya adalah bahwa PM memiliki kekuasaan untuk mengangkat pejabat-pejabat negara(power of appointments). Salah satu yang terpenting dalam hal ini adalah pengangkatan Gubernur Jenderal, Hakim-hakim Pengadilan Tinggi, dan para Duta Besar.
Masih menjadi bagian dari kekuasaan pengangkatan, PM juga berwenang untuk mengangkat anggota-anggota komite kabinet, komisi-komisi tertentu, satuan-satuan tugas, serta daftar penerima anugrah kerajaan, yang seringkali memerlukan tanda tangan PM (atau menteri-menteri).
Jumlah komite kabinet ditentukan oleh PM sesuai dengan prioritas-prioritas kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintahannya. Misalnya, ketika PM Whitlam berkuasa, lima kabinet dibentuk, sementara Pemerintahan Fraser membentuk sembilan komite, Hawke dengan tiga komite tetap (koordinator peninjauan pembelanjaan, urusan parlementer, dan perundang-undangan), serta enam komite fungsional (Industri, Infrastruktur, Kebijakan ekonomi, kebijakan sosial, hukum dan administratif).
Sekalipun memiliki kekuasaan yang begitu beragam dan luas, maka para PM Australia dari partai manapun memiliki sejumlah tanggung jawab yang penting, seperti ; harus memperlihatkan citra bahwa dirinya kompeten, memiliki rasa percaya diri yang tinggi, serta dapat mengendalikan keadaan dalam setiap penampilannya, karena PM merupakan pusat perhatian utama media.
Selain itu, PM juga bertanggung jawab dalam membina hubungan yang baik dengan bara backbencher partainya diparlemen. Karena para backbencher merupakan suatu kekuatan yang mampu membela kepentingan partaim dan kedudukan PM  di parlemen. Dan tanggung jawab lainnya, adalah harus mampu membina hubungan dengan organisasi partainya.

C.  TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB MENTERI
Menteri-menteri Australia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni menteri-menteri kabinet (inner ministers) dan menteri-menteri luar kabinet (outer ministers). Inner minister terdiri dari sejumlah menteri senior yang disebut juga sebagai anggota kabinet, sedangkan outer ministers  terdiri dari sejumlah menteri muda (junior minister) yang akan diundang dalam sidang kabinet bila persoalan yang menyentuh departemen-departemen mereka dibicarakan. Dengan demikian, sejak 1956 tidak seluruh menteri merupakan anggota kabinet.
Salah satu tugas utama para menteri adalah memimpin satu atau beberapa departemen pemerintahan. Selain itu, menteri-menteri juga berwenang membentuk komite-komite departemen, dan perusahaan-perusahaan negara, dalam lingkungan departemennya.
Segera setelah seorang menteri menduduki jabatannya sebagai anggota kabinet, maka ia harus memberikan arahan yang jelas kepada para pejabat senior birokrasi mengenai program-program yang akan dikembangkan oleh pemerintahannya.
Sebagai pemimpin departemen, seorang menteri juga bertindak sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas departemennya. Menteri harus dapat mempertanggung jawabkan segala tindakan dan kebijakan dari departemennya, oleh sebab itu menteri juga harus mengenali semua persoalan yang berada dalam ruang lingkup tugasnya. Melalui kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya, seorang menteri harus benar-benar mengetahui bahwa kepentingan-kepentingan masyarakat sudah diperlakukan secara adil.
Hal lain yang juga merupakan tugas utama para menteri adalah memprakarsai pembuatan RUU. Legislasi yang diajukan oleh menteri-menteri mendapat prioritas pembahasan dibandingkan dengan legislasi yang diajukan oleh anggota-anggota parlemen lainnya (Private members bill). Oleh sebab itu, legislasi yang diajukan menteri-menteri seringkali merupakan kebijakan-kebijakan partai yang kemudian diangkat menjadi legislasi pemerintahan.
Tugas lain yang tak kalah penting adalah bahwa seorang menteri harus memberikan laporan secara teratur kepada partainya, dan kepada parlemen. Hal ini dilatarbelakangi oleh sistem pemerintahan yang diterapkan Australia menganut sistem ”checks and balances” dalam artian bahwa semua orang yang diberikan otoritas atau kewenanan harus membuat pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka. Itulah sebabnya, sebaian besar waktu yang dimiliki oleh menteri-menteri dipergunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anggota-anggota kabinet, anggota-anggota partainya, dan anggota-anggota parlemen.





2.    LEMBAGA EKSEKUTIF INDONESIA (Negara dengan sistem pemerintahan Presidensial)
Dalam sistem presidensial ini maka hidup badan eksekutif tidak bergantung kepada badan legislatif dan badan eksekutif mempunyai masa jabatan tertentu. Menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih melalui kebijaksanaan presiden sendiri tanpa  menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. Dengan demikian pilihan presiden dapat berdasarkan keahlian serta faktor-faktor lain yang dianggap penting.
Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif di Indonesia mengakibatkan kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Selain itu, menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih menurut kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. Dengan demikian, pilihan presiden dapat didasarkan atas keahlian serta faktor-faktor lain yang dianggap penting. Di Indonesia, hal ini diatur dibawah UUD 1945.
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Dinegara-negara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden, beserta menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam arti yang luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.
Dalam sistem presidensial menteri-menteri merupakan pembantu presiden dan langsung dipimpin olehnya, sedangkan dalam sistem parlementer para menteri dipimpin oleh seorang perdana menteri. Dalam sistem parlementer pula perdana menteri beserta menteri-menterinya dinamakan bagian dari badan eksekutif yang bertanggung jawab, sedangkan raja dalam monarki konstitusional dinamakan ”bagian dari badan eksekutif yang tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong)”.
Jumlah anggota badan eksekutif jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah anggota badan legislatif, biasanya berjumlah 20 atau 30 orang. Sedangkan badan legilatif ada yang anggotanya mencapai 1000 orang atau lebih. Badan eksekutif yang kecil dapat bertindak cepat dan memberi pimpinan yang tepat serta efektif; dalam hal ini ia berbeda dengan badan legislatif yang biasanya terlalu besar untuk mengambil keputusan dengan cepat.
Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asas Trias Politika, hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya badan eksekutif dapat bergerak lebih leluasa. Zaman modern telah menimbulkan paradoks bahwa lebih banyak undang-undang yang diterima oleh badan legislatif dan yang harus dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan badan eksekutifnya.
Dalam menjalankan tugasnya, badan eksekutif ditunjang oleh tenaga kerja yang terampil dan ahli serta tersedianya bermacam-macam fasilitas serta alat-alat dimasing-masing kementerian. Sebaliknya keahlian serta fasilitas yang tersedia bagi badan legislatif jauh lebih terbatas. Oleh karena itu, badan legislatif berada dalam kedudukan yang kurang menguntungkan dibanding badan eksekutif. Di beberapa negara baru, keadaan ini cukup mencolok.
Tetapi, keberadaan dan peranan badan legislatif tetap memiliki arti penting didalam negara. Badan legislatif berperan untuk menjaga agar jangan sampai badan eksekutif keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh badan legislatif, dan tetap merupakan penghalang atas kecendrungan yang terdapat pada hampir setiap badan eksekutif untuk memperluas ruang lingkup wewenangnya.


a.  Perkembangan Badan Eksekutif Indonesia

Dalam masa pra-Demokrasi Terpimpin, yaitu November 1945 sampai Juni 1959, presiden serta wakil presiden merupakan bagian dari badan eksekutif yang tidak dapat diganggu gugat, dan menteri-menteri yang dipimpin oleh seorangperdana menteri dan yang bekerja atas dasar asas tanggung jawab menteri. Kabinet menrupakan kabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta, yang karena itu  dinamakan kabinet presidensial.
Jumlah menteri dalammasa sebelum 27 Desember 1949 berkisar 16 (kabinet Sjahrir ke-1) dan 37 (Kabinet Amir Syarifuddin ke-2) orang. Jumlah menteri dalam masa sesudahnya berkisar antara 18 (kabinet Wilopo) dan 25 (kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2) orang. Para menteri dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu menteri inti dan menteri negara, kadang-kadang juga terdapat menteri muda terutama dalam masa sebelum Desember 1949.
Mulai Juni 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali dan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 itu badan eksekutif terdiri atas seorang presiden, wakil presiden, beserta menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut yang membantu presiden dan diangkat serta diberhentikan juga olehnya. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dan presiden merupakan ”Mandataris” MPR. Ia bertanggung jawab kepada MPR dan kedudukannya untergeordnet kepada MPR.
Presiden memegang kekuasaan pemerintah selama lima tahun yang hanya dibatasi oleh peraturan-peraturan dalam Undang-Undang Dasar dimana sesuatu hal diperlukan adanya suatu undang-undang. Selama masa itu presiden tidak boleh dijatuhkan oleh DPR; sebaliknya presiden tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR.
Presiden memerlukan persetujuan dari DPR untuk membentuk undang-undang dan untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dalam keadaan memaksa, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang, maka Peraturan Pemerintah itu kemudian harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya dan presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Sistem checks and balances seperti yang dikenal dalam sistem Amerika Serikat, dimana badan eksekutif dan legislatif, sekalipun bebas satu sama lain, mengadakan check satu sama lain, tidak dikenal dalam sistem Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam masa Demokrasi Terpimpin tidak ada wakil presiden. Sesuai dengan keinginannya untuk memperkuat kedudukannya, Ir. Soekarno oleh MPRS ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup. Begitu pula pejabat teras dari badan legislatif (yaitu pimpinan MPRS dan DPR Gotong Royong) dan dari badan yudikatif (yaitu ketua Mahkamah Agung) diberi status menteri. Dengan demikian jumlah menteri mencapai lebih dari seratus. Selain dari itu, berdasarkan Penetapan Presiden No.14 Tahun 1960, presiden diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam keadaan anggota badan legislatif tidak dapat mencapai mufakat mengenai satu hal atau sesuatu rancangan undang-undang.
Dalam masa Orde Baru, ketetapan MPRS yang memberi kedudukan presiden seumur hidup kepada Ir. Soekarno telah dibatalkan. Dengan ketetapan MPRS No. XXXXIV Tahun 1968 Jenderal Soeharto dipilih oleh MPRS sebagai presiden. Jabatan wakil presiden untuk sementara tidak diisi. Dengan undang-undang ditetapkan bahwa menteri tidak boleh  merangkap menjadi anggota DPR. Jumlah menteri dikurangi menjadi sekitar 23, yang kebanyakan dipilih atas dasar keahlian dalam rangka penyelenggara Rencana Lima Tahun yang menjadi program kabinet.
Sistem presidensial yang digunakan oleh UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar bagi presiden. Disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Hal ini dicantumkan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menunjukkan bahwa telah memberikan kewenangan legislatif yang besar bagi presiden. Ditambah lagi dengan pemberian hak bagi presiden dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU 1945. Kewenangan legislatif lainnya dari badan eksekutif menurut UUD 1945 adalah pengeluaran RUU (Rancangan Undang-Undang) yang juga disebut sebagai hak inisiatif lembaga eksekutif. Pada masa Orde Baru, pengaruh Soeharto memang sangat dominan dan menguat.
Namun setelah masa sesudah Orde Baru, atau dikenal dengan Orde Reformasi, peran-peran politik diubah menjadi lebih demokratis. Praktik-praktik yang kurang demokratik  dihilangkan, dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundangan. UU politik yang baru dan lebih demokratis dikeluarkan pada pertengahan tahun yang sama. UU politik baru menghasilkan Pemilu 1999 yang mendapat berbagai pujian dari dunia internasional karena dianggap sebagai Pemilu yang paling demokratik. Selain itu, pemerintahan daerah juga mengalami demokratisasi dengan dihilangkannya kedudukan kepala daerah sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah.
UUD 1945 pada masa Reformasi hasil amandemen memperkuat sistem presidensial di Indonesia dengan mengadakan pemilihan umum untuk memilih presiden / wakil presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat. Pilpres memperkuat legitimasi presiden karena ia dipilih langsung oleh rakyat seperti DPR. Disamping itu, UUD 1945 hasil amandemen mempersulit pemecatan presiden oleh MPR. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, presiden tidak dapat dipecat karena masalah politik. Presiden hanya dapat dipecat jika melakukan tindakan kriminal, melanggar hukum, atau berkhianat terhadap negara.
Amandemen UUD 1945 mengurangi peranan presiden dalam fungsi legislatif. Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen mengatakan bahwa kekuasaan membentuk UU dipegang oleh DPR. Hal ini tentu bertentangan dengan UUD sebelumnya yang menyebutkan bahwa kekuasaan membentuk UU dipegang oleh Presiden. Setiap RUU harus dibicarakan bersama dengan DPR dan badan eksekutif. Ketentuan baru ini memberikan hak bagi DPR untuk melakukan by pass sehingga RUU sah menjadi UU tanpa menunggu persetujuan Presiden.


b.  Wewenang Badan Eksekutif Indonesia

Kekuasaan badan eksekutif mencakup beberapa bidang, yakni :
Ø  Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan perundangan lainnya serta menyelenggarakan administrasi negara
Ø  Legislatif, yaitu membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat hingga menjadi undang-undang
Ø  Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta menjaga keamanan dalam negeri
Ø  Yudikatif, yakni memberi grasi, amnesti, dan sebagainya
Ø  Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.

  
KESIMPULAN 
Didalam struktur pembentukan pemerintahan suatu negara dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang dianut oleh negara tersebut. Dalam hal ini dapat kita lihat dari perbandingan dua negara yang menganut sistem pemerintahan yang berbeda, yakni Australia (parlementer) dan Indonesia (presidensial). Yang secara garis besar dapat kita tarik kesimpulan bahwa berbeda dengan sistem presidensial, dimana menteri-menteri berperan sebagai pembantu presiden, sehingga bertanggung jawab kepada presiden, dalam parlementer, menteri-menteri bukanlah pembantu PM dan tidak bertanggungjawab kepada PM.
Dan didalam sistem pemerintahan Australia dapat kita lihat pula bahwa PM juga bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjaga hubungan baik dengan partainya, sementara didalam hubungan Presiden Indonesia, ia tidak harus menanggapi tanggapan-tanggapan dari  partai-partai.
           

REFERENSI
Budiarjo, Miriam. 2008. ”Dasar-dasar Ilmu Politik”. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Hamid, Zulkifli. 1999. ”Sistem Politik Australia”. PT Remaja Rosdakarya : Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...