Minggu, 23 Februari 2014

Book Resume : China – Naga Raksasa Asia : Zaenurrofik


Mata kuliah Pemikiran Politik Timur
SEMESTER III
  


“Otoriterisme Hsun Tzu,  Otoriterisme kaum legalis, Pengaruh eklektisme pada Dinasti Han, Buddisme dan Neo Confucianisme”



Ringkasan tulisan ini berdasarkan Buku : Zaenurrofik, A. “China – Naga Raksasa Asia”. 2008. Garasi House Book : Jogjakarta
Tim Redaksi Driyakarya. “Jelajah Hakikat Pemikiran Timur”. 1993. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta


Otoriterisme Hsun Tzu
Dalam pemikiran para filsuf Konfusianisme kuno terdapat dua pandangan yang bertolak belakang mengenai konsep jen shing[1], yaitu dua pendapat fisuf dalam karya  Mencius dan Hsun Tzu. Perbedaan penganalisaan mengenai Mencius dan Hsun Tzu sangat bertolak belakang, misanya ; Mencius melukiskan hsing (kodrat) sebagai suatu kumpulan tendensi permanen aspek-aspek. Sementara Hsun Tzu beranggapan bahwa hsing tersusun atas keinginan-keinginan.
Dalam karya Hsun Tzu  diarahkan segala pembicaraannya mengenai etika yang tidak seimbang dengan barang yang ada dan keinginan manusia. Sementara keseimbangan harus dicapai dengan memeilih keinginan untuk mencapai kestabilan organisasi sosial. Keseimbangan tersebut dimungkinkan dengan adanya perbedaan tingkat sosial (fen) yang mengatur keinginan selektif, yang dipertahankan dengan melaksanakan kewajiban yang berasal dari rasa moral. Maka membentuk organisasi sosial adalah unik bagi manusia, karena suatu ciri dikaitkan dengan rasa moral manusia.
Bila ciri tersebut dilihat sebagai bawaan sejak lahir, tampak terdapat kontradiksi dengan interpretasi tradisional konsepsi Hsuntzu mengenai hsing sebagai tempat banyak kejahatan. Namun, dalam bagian akhir  karyanya, konsep hsing dalam Hsuntzu tampak tidak berkembang sebagai sesuatu yang jahat, melainkan kepada sesuatu yang tidak berkembang. Hsuntzu mengatakan ”Hsing adalah titik awal dan materi biasa, tindakan yang terarah atas penghalusan dan kemuliaan. Tanpa hsing tidak dapat menjadi sesuatu yang baik”.
Netralitas hsing yang tidak berkembang dalam pemikiran hsuntzu membuat sebuah organisasi sosial dalam masyarakat tidak dapat bertindak langsung sesuai dengan perintah rasa moral pada dirinya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan konsep aMencius yang mempertahankan pendapatnya bahwa tendensi-tendensi bawaan / hsing perlu sampai pada praktik-praktik tindakan moral  tertentu dan bahwa akal budi evaluatif hanya sebagai pengarah tendensi-tendensi tersebut sebagaimana mestinya.
Menurut Hsuntzu, konstansi perilaku manusia yang mengambil bagian dalam organisasi sosial didasarkan pada aspek hsing, yakni : akal budi manusia yang memiliki kemampuan bawaan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Akal budi bawaan berperan untuk mengatur dan memerintah untuk bertindak, sesuai dengan kodrat perasaan, yakni harus diatur dengan menghormati apa yang ingin dilakukan.
Dalam pemikiran Hsuntzu segala aktivitas-aktivitas dan organ-organ, seperti ; akal, telinga, mata, dan sebagainya, telah terlebih dahulu memiliki hsing / dipengaruhi. Namun dalam perkembangannya  mengenai organisasi sosial, Hsuntzu mulai mengembangkan konsepnya sehingga tak lagi bertentangan dengan Mencius, yakni : manusia diciptakan dan dapat mengembangkan dirinya dengan akal budi (wei). Namun, didalam mengambil pendekatan-pendekatan, kedua pandangan ini masih tetap bertentangan. Hsuntzu lebih mengarah kepada manusia aktual dan kondisi sosial, sementara Mencius mengarah kepada bentuk idealnya.


Otoriterisme Kaum Legalis
Pengaruh Eklektisme Pada Dinasti Han
Eklektisme didalam kamus besar bahasa Indonesia, merupakan paham atau aliran filsafat yang mengambil yang terbaik dari semua sistem yang ada.
Sementara Dinasti Han adalah salah satu dari dinasti-dinasti China yang berkuasa lama saat itu (awal abad ke-3 SM hingga tahun 220), dan merupakan dinasti yang paling berpengaruh di China sepanjang sejarahnya. Dinasti han adalah yang meletakkan dasar-dasar nasionalitas China, mewarisi penyatuan China dari dinasti sebelumnya (Dinasti Qin). Dinasti Han didirikan oleh Liu Bang, seorang petani yang memenangkan peperangan saudara dengan saingannya Xian Yu. Dinasti Han juga merupakan dinasti terkuat di China.
Eklektisme yang amat berpengaruh di China pada dinasti Han adalah Taoisme dan Konfusianisme.
Taoisme pada mulanya merupakan suatu filsafat yang diturunkan dari ajaran Lao Tse, yang hidup pada abad ke-6 SM dan ajaran Chuang Tzu yang hidup pada abad ke-4 SM. Taoisme menekankan keselarasan antara manusia dengan alam dan menjungjung perilaku pasif. Setelah berabad-abad, filsafat ini akhirnya menjadi suatu kepercayaan (agama), dan dibawah pengaruh Buddhisme, memiliki dewa, kuil, dan pendeta sendiri.
Taoisme memisahkan alam manusia dengan ruh. Meskipun pembebasan ruh (jiwa) merupakan tujuan puncaknya, penganut Taoisme terlibat dalam penyelidikan dunia fisik. Keterlibatan inilah yang mendorong para Taois kedalam ilmu kimia semu untuk mencari zat pembebas yang akan membawanya kepada kehidupan yang abadi.
Dalam Tao sangat kental menyebutkan tentang ‘misteri’ dan menjaga ‘kemisterian’ sesuatu, sehingga tak patut untuk  dipertanyakan. Berbeda dengan Konfusianisme, ajaran Taoisme menekankan bahwa segala pencapaian kebahagiaan dan kedamaian manusia dengan menaati hukum adalah sikap yang merugikan. Konsep Yin dan Yang ditekankan oleh ajaran Tao. Yin dan Yang yang selaras akan menghasilkan keselerasan hidup dan harmoni.
Dan dalam persepsi ajaran Tao, negara yang ideal adalah negara yang mempunyai seorang pemimpin yang bijaksana. Bijaksana seorang pemimpin bagi Tao, adalah pemimpin yang tidak melakukan apa-apa, karena menurut Tao, penderitaan bukanlah akibat dari belum banyaknya perbuatan yang dikerjakan, tetapi justru karena telah terlalu berbuat banyak. Semakin banyak hukum dibuat, maka semaki banyak penjahat dan pencuri. Sementara Konfusianisme justru berpendapat bahwa pemimpin  haruslah berbuat banyak bagi rakyatnya.
Ajaran Tao terlihat ingin sekali agar setiap orang bertindak layaknya anak kecil. Karena hidup anak kecil, merupakan contoh hidup yang ideal. Anak-anak memiliki sedikit pengetahuan dan keinginan. Penguasa seharusnya juga mencintai semua orang, seperti anak kecil tersebut. Ia tidak membuat masyarakatnya merasa diterangi, tetapi merasa mereka dijaga agar mereka tetap ‘tidak tahu’ atau sederhana dan murni.
Ajaran Taoisme mengambil peran amat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di China, pada masa perkembangan ajaran Tao pada Dinasti Han, perkembangan sastra berkembang pesat, hal ini  dilatarbelakangi oleh penyebar agama Tao, yakni Lao Tse yakni seorang sastrawan yang membuat kitab yang hingga saat ini digunakan sebagai kitab utama ajaran Tao, yakni kitab yang diberi nama dengan namanya sendiri; Lao Tse, yang hanya terdiri dari 2800 karakter.

Budhisme dan Neo Confucianisme
Secara umum, China dikenal sebagai negara yang menjaga tradisi dan agamanya dengan baik. Masyarakat China menganggap, agama memiliki spirit yang berkaitan dengan cara manusia memperlakukan kehidupan ekonominya, sehingga dinamika ekonomi-politik China dipengaruhi oleh perkembangan agamanya.
Menurut kepercayaan agama, China adalah politeisme (menyembah banyak Dewa) bukan monoteisme (menyembah satu tuhan), dan pemujaan bagi arwah leluhur nenek moyang merupakan praktik agama yang tertua di China (kecuali pada masyarakat China yang menganut agama Islam atau Kristen).
Oleh karena latar belakang kehidupannya dipengaruhi oleh Agama dan segala aktivitasnya dilatarbelakangi oleh Agamanya, maka pada masa perkembangannya, China didatangi oleh banyak sekali agama, termasuk diantaranya adalah Budha dan Neo Confusianisme.
Buddhisme masuk ke China dari India sekitar permulaan Zaman Kristen. Buddha lalu menjadi agama besar dan tersebar luas meskipun banyak pendeta Konfusianisme menyesalkan pengaruh agama Buddha, namun mereka tidak dapat menghentikan penyebarannya.
Salah satu alasannya adalah karena sejak Dinasti Han yang terakhir (abad ke-2) hingga abad ke-6, di China tidak terdapat kedamaian dan persatuan yang menyebabkan banyak orang mencari naungan dibawah Buddhisme, karena didalam biara Buddha, orang tidak perlu merisaukan berbagai masalah dunia yang tidak terpecahkan, dengan membaca kitab, melakukan doa, dan bersemedi. 
Buddhisme yang berkembang di China adalah Buddha Mahayana yang mengajarkan bahwa setiap orang dapat ke surge melalui kepercayaan dan kesucian. Jika Konfusianisme mengabaikan masalah kehidupan setelah kematian, Buddhisme menawarkan jalan keluar bagi mereka yang cemas terhadap “dunia lain”. Pada umumnya, Buddhisme memiliki banyak dewa atau ruh, tetapi di China, citra Dewi Kuan Yin (Dewi Kemurahan) merupakan dewa yang paling dikagumi, terbukti dari ditemukannya banyak sekali patung didalam setiap rumah atau kuil.
Dalam perdebatan dengan Khonghucu dan Daoists, Buddha terampil ditampung ajaran mereka dengan persyaratan budaya dan kebutuhan rohani masyarakat Cina, segera merebut pikiran orang dan menjadi kuat dalam membentuk kembali dari lanskap politik dan agama. Berdasarkan kajian teks-teks tertentu dan sintesis pemahaman India dan Cina, dibedakan pemikir Buddhis dan para pengikut mereka menciptakan berbagai sekolah doktrin Buddhis, yang Tiantai, Huayan, Chan, dan Pure Tanah adalah sangat penting dan berpengaruh dalam mencari keharmonisan dan kesatuan antara tiga ajaran, Konghucu, Taois, dan Buddha teoretisi dan praktisi sadar dieksplorasi dan membenarkan rasionalitas tubuh salah satu dari tiga ajaran (san jiao yi ti). Konfusius, Laozi, dan Buddha diakui sebagai fountainheads tiga tradisi religio-etis, berbeda dari satu sama lain dan belum menjadi sama pada intinya.
Hal ini menyatakan bahwa dalam suplemen bersama mereka, tiga ajaran semua dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan politik, etika, pribadi, sosial, dan spiritual masyarakat. Interaksi antara Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme menjadi subyek utama dan arus utama saat ini dalam perkembangan selanjutnya pemikiran Cina.
Neo Confusianisme tertanam dalam pengembangan terpisahkan dari "tiga tradisi," umat Khonghucu dari Song (906-1279) dan Ming (1368-1644) dinasti menghidupkan kembali ajaran-ajaran Konfusius tradisional dalam merespon tantangan dari berbagai garis keturunan filosofis, terutama yang Buddhisme dan Taoisme. Karya-karya mereka atau komentar tentang teks Konfusianisme sebelumnya mengungkapkan cakrawala baru bagi filsafat Konfusianisme, berinovasi pemahaman etika, dan menempatkan prinsip-prinsip moral dan politik atas dasar metafisik dan metaethical memikirkan kembali tentang Ultimate Agung (Tai ji), surga (tian), Prinsip Surga (Tian li), kekuatan material (qi), dan hati / pikiran (xin).
Dari pemikir mani periode ini, Cheng Yi (1033-1107) dan Zhu Xi (1130-1200) memimpin jalan ke penalaran rasional tentang realitas prinsip-prinsip dan norma-norma Konfusianisme, sedangkan Lu Jiuyuan (1139-1193) dan Wang Shouren (1472-1523) disukai identifikasi idealis antara hati manusia / pikiran dan kebajikan sosial dan antara pengetahuan dan tindakan. Umum untuk kedua jenis belajar Konfusianisme, bagaimanapun, adalah penekanan pada kemanusiaan dan self-budidaya, menunjuk ke arah attainability dari sagehood oleh semua. Membentuk kembali sebagai pembelajaran baru Jalan Konfusianisme, yang dikenal sebagai Neo-Konfusianisme di Barat, Konfusius pikir menjadi ideologi negara dan dasar filosofis kehidupan Cina dan berpikir sampai awal abad kesembilan belas.



[1] Suatu analisis mengenai istilah-istilah lain yang kadang-kadang menunjukkan sesuatu seperti hsing (kodrat)







PS: Actually, i made this (again) for my friends. yes. i really like to help everybody. And also, its just besides, i really love to read. Book is a window for the world (thats true quotes). it was like i am on the journey back to China history. :) enjoy!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...