Mata kuliah Pemikiran Politik Timur
SEMESTER III
SEMESTER III

“Otoriterisme Hsun Tzu, Otoriterisme kaum legalis, Pengaruh eklektisme pada Dinasti Han, Buddisme dan Neo Confucianisme”
Ringkasan tulisan ini berdasarkan Buku : Zaenurrofik, A. “China – Naga Raksasa Asia”. 2008. Garasi House Book : Jogjakarta
Tim
Redaksi Driyakarya. “Jelajah Hakikat
Pemikiran Timur”. 1993. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Otoriterisme
Hsun Tzu
Dalam pemikiran para filsuf Konfusianisme kuno terdapat
dua pandangan yang bertolak belakang mengenai konsep jen shing[1],
yaitu dua pendapat fisuf dalam karya
Mencius dan Hsun Tzu. Perbedaan penganalisaan mengenai Mencius dan Hsun Tzu
sangat bertolak belakang, misanya ; Mencius melukiskan hsing (kodrat) sebagai suatu kumpulan tendensi permanen
aspek-aspek. Sementara Hsun Tzu beranggapan bahwa hsing tersusun atas keinginan-keinginan.
Dalam karya Hsun Tzu
diarahkan segala pembicaraannya mengenai etika yang tidak seimbang
dengan barang yang ada dan keinginan manusia. Sementara keseimbangan harus
dicapai dengan memeilih keinginan untuk mencapai kestabilan organisasi sosial. Keseimbangan
tersebut dimungkinkan dengan adanya perbedaan tingkat sosial (fen) yang mengatur keinginan selektif,
yang dipertahankan dengan melaksanakan kewajiban yang berasal dari rasa moral.
Maka membentuk organisasi sosial adalah unik bagi manusia, karena suatu ciri
dikaitkan dengan rasa moral manusia.
Bila ciri tersebut dilihat sebagai bawaan sejak lahir,
tampak terdapat kontradiksi dengan interpretasi tradisional konsepsi Hsuntzu
mengenai hsing sebagai tempat banyak
kejahatan. Namun, dalam bagian akhir
karyanya, konsep hsing dalam
Hsuntzu tampak tidak berkembang sebagai sesuatu yang jahat, melainkan kepada
sesuatu yang tidak berkembang. Hsuntzu mengatakan ”Hsing adalah titik awal dan materi biasa, tindakan yang terarah
atas penghalusan dan kemuliaan. Tanpa hsing
tidak dapat menjadi sesuatu yang baik”.
Netralitas hsing
yang tidak berkembang dalam pemikiran hsuntzu
membuat sebuah organisasi sosial dalam masyarakat tidak dapat bertindak
langsung sesuai dengan perintah rasa moral pada dirinya. Hal ini tentu bertolak
belakang dengan konsep aMencius yang mempertahankan pendapatnya bahwa
tendensi-tendensi bawaan / hsing
perlu sampai pada praktik-praktik tindakan moral tertentu dan bahwa akal budi evaluatif hanya
sebagai pengarah tendensi-tendensi tersebut sebagaimana mestinya.
Menurut Hsuntzu, konstansi perilaku manusia yang
mengambil bagian dalam organisasi sosial didasarkan pada aspek hsing, yakni : akal budi manusia yang
memiliki kemampuan bawaan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dan
bagaimana melakukannya. Akal budi bawaan berperan untuk mengatur dan memerintah
untuk bertindak, sesuai dengan kodrat perasaan, yakni harus diatur dengan
menghormati apa yang ingin dilakukan.
Dalam pemikiran
Hsuntzu segala aktivitas-aktivitas dan organ-organ, seperti ; akal, telinga,
mata, dan sebagainya, telah terlebih dahulu memiliki hsing / dipengaruhi. Namun dalam perkembangannya mengenai organisasi sosial, Hsuntzu mulai
mengembangkan konsepnya sehingga tak lagi bertentangan dengan Mencius, yakni :
manusia diciptakan dan dapat mengembangkan dirinya dengan akal budi (wei). Namun, didalam mengambil
pendekatan-pendekatan, kedua pandangan ini masih tetap bertentangan. Hsuntzu
lebih mengarah kepada manusia aktual dan kondisi sosial, sementara Mencius
mengarah kepada bentuk idealnya.
Otoriterisme
Kaum Legalis
Pengaruh
Eklektisme Pada Dinasti Han
Eklektisme didalam kamus besar bahasa Indonesia,
merupakan paham atau aliran filsafat yang mengambil yang terbaik dari semua
sistem yang ada.
Sementara Dinasti Han adalah salah satu dari
dinasti-dinasti China yang berkuasa lama saat itu (awal abad ke-3 SM hingga
tahun 220), dan merupakan dinasti yang paling berpengaruh di China sepanjang
sejarahnya. Dinasti han adalah yang meletakkan dasar-dasar nasionalitas China,
mewarisi penyatuan China dari dinasti sebelumnya (Dinasti Qin). Dinasti Han
didirikan oleh Liu Bang, seorang petani yang memenangkan peperangan saudara
dengan saingannya Xian Yu. Dinasti Han juga merupakan dinasti terkuat di China.
Eklektisme yang amat berpengaruh di China pada dinasti
Han adalah Taoisme dan Konfusianisme.
Taoisme pada mulanya merupakan suatu filsafat yang
diturunkan dari ajaran Lao Tse, yang hidup pada abad ke-6 SM dan ajaran Chuang
Tzu yang hidup pada abad ke-4 SM. Taoisme menekankan keselarasan antara manusia
dengan alam dan menjungjung perilaku pasif. Setelah berabad-abad, filsafat ini
akhirnya menjadi suatu kepercayaan (agama), dan dibawah pengaruh Buddhisme,
memiliki dewa, kuil, dan pendeta sendiri.
Taoisme memisahkan alam manusia dengan ruh. Meskipun
pembebasan ruh (jiwa) merupakan tujuan puncaknya, penganut Taoisme terlibat
dalam penyelidikan dunia fisik. Keterlibatan inilah yang mendorong para Taois
kedalam ilmu kimia semu untuk mencari zat pembebas yang akan membawanya kepada
kehidupan yang abadi.
Dalam Tao sangat kental menyebutkan tentang
‘misteri’ dan menjaga ‘kemisterian’ sesuatu, sehingga tak patut untuk dipertanyakan. Berbeda dengan Konfusianisme,
ajaran Taoisme menekankan bahwa segala pencapaian kebahagiaan dan kedamaian
manusia dengan menaati hukum adalah sikap yang merugikan. Konsep Yin dan Yang
ditekankan oleh ajaran Tao. Yin dan Yang yang selaras akan menghasilkan
keselerasan hidup dan harmoni.
Dan dalam persepsi ajaran Tao, negara yang ideal
adalah negara yang mempunyai seorang pemimpin yang bijaksana. Bijaksana seorang
pemimpin bagi Tao, adalah pemimpin yang tidak melakukan apa-apa, karena menurut
Tao, penderitaan bukanlah akibat dari belum banyaknya perbuatan yang
dikerjakan, tetapi justru karena telah terlalu berbuat banyak. Semakin banyak
hukum dibuat, maka semaki banyak penjahat dan pencuri. Sementara Konfusianisme
justru berpendapat bahwa pemimpin
haruslah berbuat banyak bagi rakyatnya.
Ajaran Tao terlihat ingin sekali agar setiap orang
bertindak layaknya anak kecil. Karena hidup anak kecil, merupakan contoh hidup
yang ideal. Anak-anak memiliki sedikit pengetahuan dan keinginan. Penguasa
seharusnya juga mencintai semua orang, seperti anak kecil tersebut. Ia tidak
membuat masyarakatnya merasa diterangi, tetapi merasa mereka dijaga agar mereka
tetap ‘tidak tahu’ atau sederhana dan murni.
Ajaran Taoisme mengambil peran amat penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan di China, pada masa perkembangan ajaran Tao pada
Dinasti Han, perkembangan sastra berkembang pesat, hal ini dilatarbelakangi oleh penyebar agama Tao,
yakni Lao Tse yakni seorang sastrawan yang membuat kitab yang hingga saat ini
digunakan sebagai kitab utama ajaran Tao, yakni kitab yang diberi nama dengan
namanya sendiri; Lao Tse, yang hanya terdiri dari 2800 karakter.
Budhisme dan Neo Confucianisme
Secara umum, China dikenal sebagai negara yang
menjaga tradisi dan agamanya dengan baik. Masyarakat China menganggap, agama
memiliki spirit yang berkaitan dengan cara manusia memperlakukan kehidupan
ekonominya, sehingga dinamika ekonomi-politik China dipengaruhi oleh
perkembangan agamanya.
Menurut kepercayaan agama, China adalah politeisme
(menyembah banyak Dewa) bukan monoteisme (menyembah satu tuhan), dan pemujaan
bagi arwah leluhur nenek moyang merupakan praktik agama yang tertua di China
(kecuali pada masyarakat China yang menganut agama Islam atau Kristen).
Oleh karena latar belakang kehidupannya dipengaruhi
oleh Agama dan segala aktivitasnya dilatarbelakangi oleh Agamanya, maka pada
masa perkembangannya, China didatangi oleh banyak sekali agama, termasuk
diantaranya adalah Budha dan Neo Confusianisme.
Buddhisme
masuk ke China dari India sekitar permulaan Zaman Kristen. Buddha lalu menjadi
agama besar dan tersebar luas meskipun banyak pendeta Konfusianisme menyesalkan
pengaruh agama Buddha, namun mereka tidak dapat menghentikan penyebarannya.
Salah satu alasannya adalah karena sejak Dinasti Han
yang terakhir (abad ke-2) hingga abad ke-6, di China tidak terdapat kedamaian
dan persatuan yang menyebabkan banyak orang mencari naungan dibawah Buddhisme,
karena didalam biara Buddha, orang tidak perlu merisaukan berbagai masalah
dunia yang tidak terpecahkan, dengan membaca kitab, melakukan doa, dan
bersemedi.
Buddhisme yang berkembang di China adalah Buddha
Mahayana yang mengajarkan bahwa setiap orang dapat ke surge melalui kepercayaan
dan kesucian. Jika Konfusianisme mengabaikan masalah kehidupan setelah
kematian, Buddhisme menawarkan jalan keluar bagi mereka yang cemas terhadap
“dunia lain”. Pada umumnya, Buddhisme memiliki banyak dewa atau ruh, tetapi di
China, citra Dewi Kuan Yin (Dewi Kemurahan) merupakan dewa yang paling
dikagumi, terbukti dari ditemukannya banyak sekali patung didalam setiap rumah
atau kuil.
Dalam perdebatan dengan Khonghucu dan Daoists,
Buddha terampil ditampung ajaran mereka dengan persyaratan budaya dan kebutuhan
rohani masyarakat Cina, segera merebut pikiran orang dan menjadi kuat dalam
membentuk kembali dari lanskap politik dan agama. Berdasarkan kajian teks-teks
tertentu dan sintesis pemahaman India dan Cina, dibedakan pemikir Buddhis dan
para pengikut mereka menciptakan berbagai sekolah doktrin Buddhis, yang Tiantai, Huayan, Chan, dan Pure Tanah
adalah sangat penting dan berpengaruh dalam mencari keharmonisan dan kesatuan
antara tiga ajaran, Konghucu, Taois, dan Buddha teoretisi dan praktisi sadar
dieksplorasi dan membenarkan rasionalitas tubuh salah satu dari tiga ajaran
(san jiao yi ti). Konfusius, Laozi, dan Buddha diakui sebagai fountainheads tiga tradisi religio-etis,
berbeda dari satu sama lain dan belum menjadi sama pada intinya.
Hal ini menyatakan bahwa dalam suplemen bersama
mereka, tiga ajaran semua dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan politik, etika,
pribadi, sosial, dan spiritual masyarakat. Interaksi antara Konfusianisme,
Taoisme, dan Buddhisme menjadi subyek utama dan arus utama saat ini dalam
perkembangan selanjutnya pemikiran Cina.
Neo Confusianisme tertanam dalam pengembangan
terpisahkan dari "tiga tradisi," umat Khonghucu dari Song (906-1279)
dan Ming (1368-1644) dinasti menghidupkan kembali ajaran-ajaran Konfusius tradisional
dalam merespon tantangan dari berbagai garis keturunan filosofis, terutama yang
Buddhisme dan Taoisme. Karya-karya mereka atau komentar tentang teks
Konfusianisme sebelumnya mengungkapkan cakrawala baru bagi filsafat
Konfusianisme, berinovasi pemahaman etika, dan menempatkan prinsip-prinsip
moral dan politik atas dasar metafisik dan metaethical memikirkan kembali
tentang Ultimate Agung (Tai ji), surga (tian), Prinsip Surga (Tian li),
kekuatan material (qi), dan hati / pikiran (xin).
Dari pemikir mani periode ini, Cheng Yi (1033-1107)
dan Zhu Xi (1130-1200) memimpin jalan ke penalaran rasional tentang realitas
prinsip-prinsip dan norma-norma Konfusianisme, sedangkan Lu Jiuyuan (1139-1193)
dan Wang Shouren (1472-1523) disukai identifikasi idealis antara hati manusia /
pikiran dan kebajikan sosial dan antara pengetahuan dan tindakan. Umum untuk
kedua jenis belajar Konfusianisme, bagaimanapun, adalah penekanan pada
kemanusiaan dan self-budidaya, menunjuk ke arah attainability dari sagehood
oleh semua. Membentuk kembali sebagai pembelajaran baru Jalan Konfusianisme,
yang dikenal sebagai Neo-Konfusianisme di Barat, Konfusius pikir menjadi
ideologi negara dan dasar filosofis kehidupan Cina dan berpikir sampai awal
abad kesembilan belas.
[1] Suatu analisis mengenai istilah-istilah lain yang kadang-kadang
menunjukkan sesuatu seperti hsing
(kodrat)
PS: Actually, i made this (again) for my friends. yes. i really like to help everybody. And also, its just besides, i really love to read. Book is a window for the world (thats true quotes). it was like i am on the journey back to China history. :) enjoy!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar