MK :
Ideologi dan Ketahanan Pancasila
SEMESTER : II
KONTRA - IDEOLOGI NASIONALIS
Sebuah
kondisi berbahaya apabila nasionalisme demokrasi dan imperialisme ditanamkan
dalam hubungan internasional pada saat ini. Gagasan yang menyatakan bahwa
penanaman ideologi nasionalisme dan imperialisme merupakan strategi efektif
untuk dipergunakan saat ini, hanyalah sebuah keyakinan naïf tentang keinginan
untuk mencapai kemajuan otomatis, karena pada dasarnya ideologi nasionalisme
demokrasi dan imperialism hanyalah sebuah warisan masa lalu yang berlebihan. Melalui
teori pencerahan pada abad ke-19, membuktikan kekuatan langsung dari kecerdasan
pengetahuan manusia, serta dapat melahirkan teknologi-teknologi luar biasa,
dikonfirmasikan oleh teori evolusi Darwin yang menunjukkan bahwa manusia
mengalami kemajuan (meskipun teori Darwin tidak sepenuhnya disepakati oleh beberapa
pihak manusia). Sebagaimana pula yang terjadi pada nasib gerakan perdamaian
yang muncul pada akhir abad ke-19. Pada topik ini, para sarjana
mengklasifikasikan kedalam dua perbedaan, yakni antara pasifisme dan pasificisme.
Kelompok
pasifisme pada intinya menegaskan
suara terhadap pentingnya melestarikan individu, yang berdasarkan kepada
nilai-nilai agama, kepercayaan, atau hati nurani, dan oleh sebab itu pula
pengambilan hidup seseorang dalam situasi apapun tidak diperkenankan. Penegasan seperti ini dapat pula disebut
sebagai suatu ideologi. Meskipun pandangan mereka mempengaruhi terjadinya
perbedaan pandangan dengan berbagai penegak hukum sah di dunia, akan tetapi
dalam hubungan internasional, peran mereka tidak terlihat. Perbedaan dengan
kelompok pasificisme adalah bahwa pasificisme dalam hal advokasi
perdamaian dalam konteks sosial politik terlihat lebih memiliki kepedulian, pasificisme misalnya, mengajarkan
reformasi kelembagaan untuk mencegah atau menghapuskan perang. Terhadap
ideologinya, kaum pasificisme memang
terlihat cenderung mendesakkan semangat ideologinya, akan tetapi mereka juga
menyiratkan penerimaan parsial realitas dalam daya saing internasional.
Dalam
prakteknya, perang untuk tujuan perolehan keadilan atau perang defensive,
sering pula disebut sebagai sebuah tindakan “patriotik” atau sering juga
disebut sebagai “pasifisisme politik”, sebutan ini pertamakali diperkenalkan
oleh kritikus filosofi abad ke-18 yakni Machiavelli, yang ditegaskan kembali
pada abad berikutnya seorang internasionalis liberal pengikut Machiavelly,
yakni Cobden dan Gladstone, yang menjabarkan bahwa “pasifisisme” ialah sebuah
istilah yang identik menunjuk kepada kekuatan pendorong seperti kekuatan yang
mendorong gerakan kedamaian tahun 1914.
Akan
tetapi, tidak hanya pada saat kebangkitan nasionalisme yang memberikan kelompok
internasionalis pasificistic sebuah tanda peringatan. Pada masa pemerintahan
neo-mercantilisme juga dinyatakan bahwa hal itu perlu dilakukan untuk
merangsang perkembangan industri nasional oleh kontrak persenjataan, karena
pada prediksinya, perlombaan senjata pada masa selanjutnya akan lebih merusak
daripada konflik yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Ivan
Bloch, seorang pengusaha Eropa Timur menulis sebuah karya mengesankan, terdiri
atas 6 bagian, dan untuk pertamakali diterbitkan di Rusia, berjudul The Future of War (1898) yang
menggambarkan perang sebagai suatu ‘goncangan tatanan sosial’ yang umum terjadi
dan tidak mungkin dihilangkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai kasus
peperangan dan konflik yang tidak dapat atau sulit untuk dipadamkan, meskipun
terdapat peran-peran dari gerakan-gerakan perdamaian.
Sebagaimana
pula ditulis oleh seorang wartawan Inggris, Norman Angell pada tahun 1909
berjudul Optical Illusion, yang
kembali dimunculkan pada tahun berikutnya dengan perluasan judul menjadi The Great Illusion. Angell menggambarkan
bahwa setelah perang persenjataan berakhir, akan muncul jenis perang baru,
dengan kata lain, perang sesungguhnya belum berakhir. Angell menggambarkan
argumennya tersebut sebagai jenis perang modern atau “Ilusi (illusion)”, Angell menyatakan bahwa
jenis perang ini memberikan keuntungan kepada semua pihak, baik yang menang,
maupun yang kalah, yang pada dasarnya sama saja, karena peperangan modern memberikan
sebuah ketergantungan pada semua struktur perekonomian nasional. The Great Illusion menjadi buku terlaris
pada tahun 1913, dengan terjualnya dua juta eksemplar, dan oleh sebab itu
menjadikan Angell sebagai penulis yang mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian. Argumen
Angell pada dasarnya menegaskan bahwa “apabila perang tidak mendatangkan sebuah
keuntungan atau manfaat, maka mustahil seorangpun dalam lingkup rasional dunia
internasional mulai melakukannya”, rasa “puas” saja merupakan sebuah alasan
irasional dalam suatu keadaan memicu perang.
Perang
Besar kemudian terjadi dan membuktikan argumen Bloch dan Angell adalah benar. Namun
hal tersebut tidak menyurutkan semangat perjuangan gerakan perdamaian. Akan
tetapi titik kepada tradisi dan masa depan liberalisme internasionalisme tampak
lebih kuat tertanam, terutama di Inggris. Inggris menghidupkan liberalisme
dalam kebijakannya, selain itu, mereka juga menghidupkan kembali kritik yang
pertama kali disuarakan oleh Paine dan Bentham mengenai kerahasiaan keputusan
diplomatik yang terselubung. Liberalisme mencapai puncaknya sekitar tahun 1912,
sekaligus menjadi rumor akan munculnya struktur Anglo-Perancis, serta menjadi
latar belakang terjadinya kampanye diplomasi demokratis (diplomasi terbuka),
dan menjadi ceruk dalam program yang dicanangkan oleh Presiden AS Woodrow
Wilson untuk mereformasi politik internasional paska Perang Dunia I.
Berawal
dari kelompok oposisi pasificistic
nasionalisme hingga nasionalisme popular dan armaments (persenjataan), keduanya menjungjung nilai moral dan
pragmatisme; sedangkan kelompok sosialis yang muncul adalah bentuk oposisi yang
lebih tegas dan bergerak berdasarkan kepada ideologi. Gerakan sosialis merupakan
gerakan yang juga besar, dengan pengecualian dikawasan Inggris hingga Amerika. Gerakan
ini terbentuk bersumber dari doktrin yang dituliskan dalam karya-karya Karl
Marx. Akan tetapi pemahaman dan argument mengenai “nasionalisme”, perang dan
perdamaian, semuanya masih terlihat ambigu.
Hingga pada tahun 1848, Marx menyatakan kepercayaannya bahwa
nasionalisme bagi kelas pekerja akan lenyap dengan keberhasilan revolusi
proletar, argument Marx ini kemudian terkenal dalam “Manifesto Komunis” (1848)
yang pada dasarnya menekankan bahwa “apabila pekerja tidak memiliki Negara
untuk membela, maka Negara juga tidak dapat mengambil dari apa yang mereka
tidak punya”. Marx dalam hal ini menentang adanya nasionalisme yang berkembang
didunia, akan tetapi hingga 35 tahun sisa hidupnya, Marx tidak dapat
menghindari bukti bahwa rasa nasionalisme memang memiliki peran popular
didunia. Marx hanya mengklaim bahwa hal itu hanya bentuk atau fase
suprastruktur masyarakat borjuis.
Aspek
pertentangan yang diajukan paham Marxisme kemudian melahirkan “sosialis
internasional”, yang pertama kali muncul pada tahun 1864-1876, yang memiliki
pandangan lebih romantis, dan menyentuh, berbeda dengan paham Marxis
sebelumnya. Akan tetapi antara Sosialis Internasional I dengan Sosialis Marxis,
keduanya sama-sama menentang kuat politik global yang terjadi saat ini. Pada
tahun 1889 muncul paham Sosialis Internasionalis II, dengan cakupan pemahaman
lebih luas dan meliputi segala macam pemikiran sosialis yang ada. Akan tetapi
kemunculan paham Sosialis Internasionalis II bertepatan dengan bangkitnya
nasionalisme popular dan imperialisme, sehingga sejak awal, Sosialis
Internasionalis II memiliki kondisi lebih rumit daripada sosialis
sebelumnya. Sosialis mengutuk adanya
pengeluaran untuk militer dan tentara, Sosialis memvonis hal tersebut sebagai
bentuk tirani domestik dan agresi luar negeri. Sosialis lebih menyetujui
tindakan pertahanan milisi rakyat yang dipelopori oleh kaum revolusioner
Amerika dan direalisasikan oleh Perancis pada tahun 1793 dan Jerman pada tahun
1813. Kemunculan Marxisme revisionis atau reformis membuat kesan terdalam pada
periode abad ke-19 terhadap perang dan perdamaian.
Pada
tahun 1904 dalam Kongres Amsterdam isu reformisme Sosialis mencuat dan
penolakan Marxis reformis ortodoks memenangkan suara mayoritas. Kemenangan
selanjutnya juga diperoleh dalam kongres Stuttgart pada tahun 1907. Resolusi
Amsterdam dan Stuttgart menjadi sebuah kertas nyata wujud keberhasilan bagi
kaum Marxis Ortodoks. Kebangkitan Sosialis tersebut pada dasarnya ingin
memperjuangkan percepatan serta penghapusan sistem dan aturan yang diciptakan
oleh kapitalis kelas. Sebagian besar partai sosialis terus mengejar jalan
evolusi menuju sosialisme dengan cara konstitusional.
Jerman
pada tahun 1912, muncul partai Sosialis paling sukses dan kuat yakni Sozialistische Partei Drutschlandg
(SPD). Angka-angka perolehan pemilu yang diperoleh SPD menunjukkan seberapa
penuhnya SPD sedang diintegrasikan kedalam struktur politik dan masyarakat di
Reich, Jerman. Salah satu tanda nyatanya ialah adopsi partai-partai tradisional
terhadap nilai-nilai nasionalis Jerman. Akan tetapi dengan keberadaan nyata Negara
Rusia yang menganut penuh sistem Sosialis, dan dinobatkan sebagai “juara
kekejaman, kebiadaban, serta musuh dari semua kebudayaan manusia”, memunculkan
ketakutan terhadap akan terwujudnya otokrasi, bahkan kebencian dalam masyarakat
terhadap paham Sosialis. Bahkan muncul anggapan bahwa, apabila memerangi dan
berhasil mengalahkan Rusia, maka sama saja artinya bagi kekalahan demokrasi sosial.
Citra terhadap paham Sosialis kemudian semakin memburuk terutama setelah
gagalnya Revolusi Rusia pada tahun 1905.
Beberapa
masyarakat Sosialis kuat di Jerman kemudian mengungkapkan bahwa mereka memiliki
kecendrungan nasionalis yang berbeda arahnya dengan sosialis Rusia. Akan tetapi
pernyataan tersebut tidak menutup hambatan berkembangnya kaum sosialis di
Jerman dan Perancis. Pertentangan muncul terhadap pola pemikiran dan hati
dihampir terjadi semua Negara pada tahun
1914, dan mengakibatkan gagalnya Sosialis pada abad ke-19, dan sebaliknya
memudahkan masuk dan berkembangnya Konservativisme dan Liberalisme, dengan
membawa paham “Demokrasi Baru”. Namun pada dekade setelah Perang Dunia I,
Negara diasumsikan menganut idiologi Marxis-Leninisme secara total.
Meskipun
agitasi anti-perang sebelum tahun 1914 oleh kedua sosialis dan pacificists
tidak efektif, dua gerakan tersebut tidak kurang mengatur panggung untuk
pertandingan pascaperang ideologis internasional. Sementara Marxis ortodoks
lebih cenderung mengarah kepada arah pemikiran Leninisme, kritikus liberal
politik kekuasaan menaruh harapan mereka kepada Woodrow Wilson. Leninisme dan
Wilsonianisme akan menawarkan dunia yang dilanda perang dengan dua resep berbeda
untuk suatu tatanan internasional yang baru.
Jumlah Kata : 1. 373 kata
I made this in my 2nd Semester, this is the first step i learn how to arrange word by "pharafrase" and pick a good word when translate. Thats why this not really perfect to read. But... can help you little bit. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar