Sabtu, 01 Maret 2014

Resume: Sejarah Cina Kontemporer


Mata kuliah Politik Pembangunan Pemerintahan Negara Asia Timur
SEMESTER II
  




SEJARAH CINA KONTEMPORER : DARI NUR HA CI SAMPAI DENG XIAO PING
By: W.D Soekisman


Mancuria Dalam Pemerintah Nasionalis

Mancuria merupakan bagian terpencil di daerah Timur Laut China yang sudah ada sejak abad XVII dan menjadi incaran dari ekpansionaisme Rusia (sekarang Uni Soviet) dan Jepang, hal itu disebabkan oleh karena kekayaan alamnya yang melimpah dan letaknya yang berada diantara Kerajaan Rusia, Korea, dan Kerajaan Jepang.
Pada saat Dr. Sun Yat Sen berhasil menumbangkan dinasti Qing pada tahun 1912, yang dilanjutkan dengan usaha Jiang Kai Shek untuk menyatukan seluruh daerah China, maka Manchuria yang berada dibawah kekuasaan raja perang Zhang Zo Lin sudah sejak lama disusupi oleh pengaruh-pengaruh Uni Soviet dan Jepang. Sejak tahun 1896 kerajaan Rusia telah memperoleh hak membangun jalan kereta api, sedangkan kerajaan Jepang juga telah memperoleh hak untuk menguasai jazirah Liao Dong di Manchuria bagian Selatan. Sejak itu pula, Jepang menempatkan tentara pendudukannya diujung jazirah Liao Dong, oleh sebab itu, tentara tersebut dikenal dengan nama Tentara Guan Dong.
Desember 1925, terjadi beberapa gerakan menentang Raja Perang Zhang Zo Lin di Manchuria, pasukan Jepang yang berkedudukan di Liao Dong akhirnya dikerahkan ke ibukota Manchuria. Sementara itu, pasukan Ekspedisi ke utara yang dipimpin oleh Jiang Kai Shek telah semakin mendekati kota Beijing dan membuat pihak Jepang gelisah jika seluruh wilayah di China akan jatuh ketangan Pemerintah Nasionalis China, maka Jepang akan lebih sulit untuk memaksakan kehendaknya kepada China.
Pada pertengahan 1926 Zhang Xue Liang menggantikan posisi ayahnya sebagai Raja Perang Manchuria. Maka, pihak  Jepang segera berusaha untuk mempengaruhi raja perang baru tersebut untuk melawan Pemerintah Nasionalis, Jepang bahkan mengulurkan militernya apabila Zhang Xue Liang diserang. Jepang juga mengirimkan 2 perwiranya untuk menguasai seluruh wilayah Manchuria untuk dijadikan pertahanan terhadap Uni Soviet.
Namun  ternyata, Zhan Xue Liang memendam dendam atas kematian ayahnya, ia merasa bahwa pihak Jepanglah yang telah membunuh ayahnya, maka ia pun mengibarkan bendera Negara Republik Nasionalis China pada tahun 1928. Dengan demikian, maka telah terwujudlah apa yang telah dicita-citakan oleh Dr. Sun Yat Sen, yaitu bahwa seluruh wilayah China akan bersatu sebagai satu China. Dan kemudian, sebagai penghargaan atas dikibarkannya bendera tersebut, Zhan Xue Liang diangkat menjadi Panglima Daerah Militer Timur Laut Manchuria oleh Jiang Kai Shek.
Sejak saat itu, rasa nasionalisme China semakin meningkat. Terjadi pemboikotan terhadap barang-barang produksi Jepang sehingga pihak Jepang menderita kerugian yang cukup besar. Namun, sesungguhnya, masih ada beberapa bagian lainnya di China yang masih belum menjadi kekuasaan Pemerintah Nasionalis china, yaitu : Mongolia, Xian Jiang, dan Tibet.
Tidak hanya dengan Jepang, China juga mengalami hubungan kurang menyenangkan dengan Uni Soviet. Pada bulan Mei 1929, Zhan Xue Liang atau dikenal dengan “Marsekal Kuda mulai menggerakkan pasukannya untuk menangkapi para pejabat Uni Soviet disepanjang The Chinese Eastern Rail Way, serta menguasai segenap instalasi telekomunikasi, bahkan gedung Konsulat Uni Soviet di Mukden. Hal itu membuat Komisaris Luar Negeri Karakhan mengajukan protes terhadap Pemerintah Nasionalis China dan menuntut agar segera mengembalikan hak-hak istimewa Uni Soviet di Manchuria, dan hal itu justru ditanggapi Jiang Kai Shek dengan memerintahkan si Marsekal Kuda bersama 60.000 pasukannya bergerak ke daerah perbatasan China-Uni Soviet.
Sehingga, pada bulan November 1929 terjadilah pertempuran antara kedua pasukan tersebut. Dari segi jumlah, pasukan Marsekal Kuda lebih besar jumlahnya daripada pasukan Uni Soviett yang dipimpin oleh Blucher. Namun, dari segi kecanggihan peralatan perang yang digunakan, pasukan Marsekal Kuda tidak dapat mengalahkan pasukan Blucher, dan akhirnya pada tanggal 22 Desember 1929, peperangan tersebut dimenangkan oleh pasukan Blucher, yang secara otomatis membuat  Pemerintah Nasionalis harus memenuhi tuntutan Uni Soviet tersebut.
Pada pertengahan tahun 1931 terjadi 3 peristiwa yang memau sengketa antara China dan Jepang. Yakni, yang pertama adalah terjadinya sengketa antara petani China dan sekelompok imigran Korea yang berdatangan di Manchuria atas prakarsa Jepang. Sebagai akibat dari sengketa ini maka di Korea meletus peristiwa pembunuhan terhadap penduduk China di Korea, yang kemudian ditanggapi oleh China dengan memboikot seluruh barang-barang buatan Jepang
Dan yang kedua adalah peristiwa pembunuhan Kapten Nakamura seorang ahli pertanian yang bertugas di Manchuria oleh Pemerintah China yang mengatakan bahwa Kapten Nakamura menolak permintaan petugas keamanan China untuk menunjukkan kartu tanda pengenalnya, lalu kemudian malah melarikan diri, dan oleh sebab itulah ia ditembak mati. Namun, pihak Jepang tidak terima, dan akhirnya pada bulan September 1931, bom meletus di Stasiun kereta api The South Manchurian Railway yang berada didalam kekuasaan Jepang, dan pada tanggal 18 September 1931 kota Mukden diduduki tentara Jepang “Guan Dong”. Dan akibatnya, pemerintah China mengadukan Jepang kepada Liga Bangsa-Bangsa atas dasar Jepang telah menyelesaikan permasalah internasional dengan jalan perang yang tidak seharusnya.
Dalam waktu 10 hari, Liga Bangsa-Bangsa telah menanggapi pengaduan tersebut dan kemudian menyerukan kepada pemerintah Jepang agar menarik mundur pasukannya dari Mukden. Namun ternyata pemerintah Jepang sendiri tidak kuasa mengendalikan tentara Guan Dong, dan hal itu mengakibatkan pihak China merasa bahwa pengaduan mereka tidak memberikan hasil apapun, dan akhirnya pihak China memilih untuk terus mencoba melawan agresi militer Jepang dengan cara mempertinggi intensitas boikotnya terhadap barang buatan Jepang.
Sebagai akibatnya, maka jumalah ekspor barang-barang Jepang ke China dalam jangka waktu dua bulan saja menurun hingga 80%, dan membuat pukulan kuat bagi perekonomian Jepang. Dan untuk mematahkan gerakan boikot tersebut, pemerintah Jepang lalu mendaratkan pasukannya di Shanghai dan mengirimkan suatu kapal perang pada tanggal 28 Januari 1932 dan kemudian terjadilah pertempuran sengit selama sebulan yang diakhiri secara mengejutkan oleh pihak Jepang yang tiba-tiba menghentikan pertempurannya di Shanghai dan menarik seluruh pasukannya diwilayah itu.
Liga Bangsa-Bangsa masih terus berusaha untuk menangani masalah Machuria tersebut dengan mengirim suatu komisi di bawah pimpinan Lord Lyton seorang Raja Muda Inggris untuk India pada April 1932 yang pada pokoknya menyebutkan bahwa tentara Jepang dan pejabat-pejabat sipil Jepang telah mendominasi Manchuria.
Sebagai tanggapan terhadap Laporan Komisi Lyton tersebut, tentara Guan Dong justru menyerbu kota-kota besar di Manchuria yang masih dikuasai oleh pemerintah China, hingga akhirnya pada bulan Maret 1933, Jepang menyatakan keluar dari Liga Bangsa Bangsa.
Agresi Jepang terhadap Manchuria ternyata berkelanjutan hingga wilayah Mongolia. Tekanan-tekanan dari pasukan Jepang memaksa Marsekal Muda, Zhang Xue Liang, untuk mengalihkan pasukannya dari Manchuria, dengan menjalankan hijrah kesebelah Selatan Tembok Besar. Pemerintah China yang tidak berdaya untuk menghentikan agresi Jepang tersebut, akhirnya terpaksa menerima tuntutan pihak Jepang untuk menandatangani “Perjanjian Tang Gu” pada tanggal 31 Mei 1933 yang menentukan bahwa ; garis perbatasan Manchuria akan dinyatakan sebagai daerah bebas militer bagi Jepang, tentara Jepang juga dibenarkan menggunakan pesawat terbang atau cara-cara lain utnuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, termaksud ; dan pemerintah China wajib menjamin pengamanannya, serta kepolisian China harus bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban wilayah kekuasaan China yang bersangkutan.
Mengetahui bahwa pemerintah China dapat dipaksa menuruti kemauan Jepang dengan hanya kekuatan senjata, dan dunia internasional bahkan tidak berdaya untuk menghalanginya, maka tentara Guang Dong mulai tidak menghiraukan kebijakan pusatnya di Tokyo, dan kemudian mendirikan Negara Mancuguo, dan yang diangkat menjadi kaisar adalah Henri Pu Yi, mantan kaisar Xuan Dong (1900-1912) dari Dinasti Qing dengan gelar Kaisar Kang De.
Segala agresi dan penguasaan terhadap negara Mancuguo oleh Jepang ternyata belum berhenti sampai disitu, mereka masih ingin mengamankan lambung Barat dari Manchuria dari ancaman Uni Soviet, oleh karena itu, Jepang kemudian berhasrat untuk menguasai Mongolia Dalam yang rencananya akan dijadikan sebagai daerah penyangga.
Sama dengan aksinya dalam merebut Manchuria, Jepang juga menggunakan sengketa demi sengketa demi tujuannya yang ingin melebarkan sayap hingga Mongoloa. Dan lagi-lagi, tanpa dapat dicegah oleh pemerintah China dan dunia internasional, Jepang kemudian mendesak Dewan Mongolia Dalam agar seluruh wilayah Mongolia Dalam dimasukkan kedalam kekuasaan Negara Mancuguo. Dan akhirnya, pada bulan Juli 1935, Jepang berhasil masuk kedalam jajaran pemerintah daerah Mongolia Dalam.
Hal tersebut membuat perseteruan terjadi antara Mongolia Dalam dan Mongolia Luar (kawasan Mongolia yang sudah jatuh ketangan Uni Soviet pada tahun 1921), maka terjadilah aksi saling tembak menembak antara Mongolia Dalam dan Mongolia Luar secara bertubi-tubi yang lama kelamaan semakin tajam, hingga sampai pada pertempuran dengan mengerahkan pasukan berlapis baja dan pesawat udara. Dan pada bulan Maret 1936, pertempuran tersebut dilanjutkan oleh pasukan Uni Soviet dan pasukan Jepang yang meliputi ribuan tentara. Hingga akhirnya, pertempuran tersebut selesai dengan Jepang yang menghentikan agresinya terhadap Mongolia Luar dan merasa puas dengan hanya Mongolia Dalam saja.


Subversi Komunis 
Pada tanggal 1 Agustus 1927 terjadi perebutan kekuasaan antara buruh dan tani dari Partai Komunis terhadap Pemerintah Daerah Kota Nan Chang dibawah pimpinan kader-kader komunis seperti Zhu De dan Ho Lung.
Pertempuran tersebut mengalami kegagalan, karena pasukan Jiang Kai Shek ternyata menunjukkan keunggulan senjata dan keterampilan bertempurnya atas pasukan buruh dan tani. Partai Komunis China menganggap bahwa peristiwa tersebut sebagai kelahiran Tentara Merah. Karena korban jiwa dalam pertempuran tersebut menelan korban yang tidak sedikit jumlahnya.
Sementara itu, di Propinsi Hu Nan – China tengah, Mao Ze Dong juga melancarkan suatu pemberontakan kaum tani yang serupa dan juga mengalami kegagalan. Sejak itu, Partai Komunis China bergerak dibawah tanah kembali. Mao Ze  Dong kemudian mengembangkan strategi perang gerilya dengan pedesaan sebagai daerah andalannya yang kemudian menjadi kekuatan yang merongrong kelangsungan hidup Pemerintah Republik Nasionalis China.
Pada bulan Januari 1929 diadakan rapat di Nanking untuk mempertimbangkan jumlah angkatan bersenjata 2.250.000 orang yang dinilai sebagai beban yang terlalu berat bagi anggaran belanja negara. Mereka akhirnya sepakat untuk memperkecil kekuatan angkatan bersenjata. Namun pada rapat berikutnya, pada Januari 1929, Jiang Kai Shek tidak mau mengurangi jumlah pasukannya, karena ia bermaksud untuk memperkuat pasukan intinya.
Tak hanya itu, Partai Komunis China juga tak luput dari kendala-kendala yang cukup berat. Sejak mengalami kegagalan dalam menyerang kota Nan chang (1 Agustus 1927), komite sentral menyembunyikan diri di dalah satu daerah konsesi asing dalam kota Shang Hai. Mao Ze Dong dan beberapa kader lainnya juga telah mengundurkan diri ke daerah pedesaan diperbatasan Provinsi Hunan.
Namun, berbeda dengan Komite sentral, Mao Ze Dong dan para pengikutnya yang belajar dari kekalahan. Mereka mengundurkan diri kedaerah pedesaan diperbatasan provinsi Hunan, namun mengembangkan kembali pasukan baru menjadi Tentara Merah gaya baru. Serangan-serangan Tentara Merah tumbuh dan berkembang dengan pesat, dan ditujukan pada satuan-satuan kecil dari Tentara Nasionalis sehingga membuat Jiang Kai Shek menyebut mereka sebagai “banditisme” karena segala tindakan Tentara Merah merupakan tindakan yang mengganggu keamanan. Dan mendorongong Jiang Kai Shek membentuk Pasukan Anti Banditisme pada tahun 1930, yang terdiri atas 12 divisi. Pasukan Anti Banditisme menginginkan agar segera membasmi habis Pasukan Tentara Merah dalam waktu 6  bulan dengan keunggulan senjatanya, namun ternyata kemampuan bersembunyi Tentara Merah dapat mengimbangi keunggulan Pasukan Anti Banditisme sehingga justru dalam waktu 2 bulan saja, Pasukan Anti Banditisme telah mengalami kerugian dalam 2 divisi. Hal itu membuat Presiden Jiang Kai Shek kembali menambah 10 divisi lagi kedalam Pasukan Anti Banditisme untuk memperkuat pasukan tersebut. Penambahan pasukan Anti Banditisme membuat para Tentara Merah mendapatkan pukulan berat, namun mereka tetap dapat mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Dan justru pada saat itulah Mao Ze Dong mentakbiskan daerah-daerah yang dikuasai kaum gerilyawan komunis sebagai “Wilayah Soviet China”.
Pada tanggal 7 November 1931, Mao Ze Dong menyelenggarakan Konres Soviet China pertama di kota Rui Jin, yang mengundang para biro politik dari Komunis Sentral Partai Komunis China. Dipersidangan tersebut para utusan biro politik mengecam perang gerilya yang dianut Mao Ze Dong sebagai cara yang ketinggalan zaman, dan mendesaknya agak melakukan perang regular, selain itu, kebijakan Mao dinilai oportunis, pragmatis, dan egaliter. Tetapi hasil pimpinan Mao Ze Dong dalam melawan Tentara Nasionalis China nyatanya meraih hasil yang tidak dapat dibantah. Oleh sebab itu, ia memperoleh banyak dukungan
Sementara itu, pihak Pemerintah Nasionalis China menjumpai berbagai masalah politik. Agresi Jepang semakin menjalar. April 1933, pasukan Jepang di Manchuria melintasi Tembok Besar dan memasuki Provinsi Ho Bei serta menduduki ibu kotanya, Beijing. Pemerintah Nasionalis China akhirnya menyatakan perang terhadap Jepang. Dan untuk mencegah laju geraknya agresi tersebut, maka ditandatanganilah Perjanjian Tang Gu (31 Mei 1933).
Pada kesempatan itu, Mao Ze Dong yang menjadi semakin berpengaruh, bersikeras hendak menganut perang terbuka. Akibat segala pergolakan tersebut, akhirnya Jiang Kai Shek menghentikan permusuhan terhadap kaum komunis, dan menggalang persatuan untuk melawan agresi Jepang.
Namun perang dengan Jepang menjadi semakin sulit dihadapi. Sejak pertengahan 1935 kaum militeris di Jepang semakin besar pengaruhnya terhadaap penentuan politik luar negeri. Kebetulan dalam pada itu perkembangan politik didunia internasional adalah sedemikian cepatnya, sehingga juga memberikan pengaruh besar terhadap China.
Di Jerman, Adolf Hitler berkuasa dalam mengembangkan Nazi-isme, di Italia terdapat Benito Musolini yang mengembangkan fasisme. Kedua-duanya kemudian menciptakana persekutuan dengan Pemerintah militeris Jepang.
Dalam menanggapi kekuatan-kekuatan fasis militeris tersebut, Josef Stalin sebagai pimpinan Partai Komunis terbesar didunia menyerukan kepada segenap Partai komunis agar mengadakan pendekatan dengan segala kekuatan nasional masing-masing untuk kemudian diajak melawan fasisme.
Atas seruan tersebut, maka pada akhir 1935, partai Komunis China mengeluarkan “Manifesto 1 Agustus” yang pada pokoknya menyerukan agar tak ada lagi perselisihan dengan sesame China, dan kemudian bersatu untuk melawan agresi Jepang. Namun, hal itu ditanggapi dengan tidak baik oleh Jiang Kai Shek, Jiang merasa bahwa partai komunis harus dihabisi terlebih dahulu, baru selanjutnya dapat melawan agresi tersebut. Oleh sebab itu, akhirnya, Jiang Kai Shek ditangkap dengan tuntutan ; yang pada pokoknya bahwa Jiang Kai Shek harus setuju dengan keputusan Manifesto 1 Agustus, yaitu dengan menghentikan perang saudara, dan bersama-sama membentuk kesatuan melawan agresi Jepang.


Front Persatuan China Melawan Agresi Jepang
 Sesuai dengan perkembangan atas keputusan bersatunya Tentara Merah dan Partai Komunis China tersebut, pada awal 1937, Pemerintah Nasionalis membentuk suatu Dewan Pertahanan Nasional yang kemudian diganti namanya menjadi Dewan Politik Rakyat. Uni Soviet juga ikut memberikan bantuan kepada Pemerintah Nasionalis berupa dana sebesar 75 juta Rubel.
Perang China – Jepang tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik dunia internasional. Pasukan Jerman yang dipimpin oleh Hitler mulai melakukan serangan-serangannya dan akhirnya berhasil menundukkan wilayah-wilayah yang kemudian dimasukkan kedalam wilayah jajahan Jerman. Hal itu membuat Perdana Inggris menyatakan perang terhadap Jerman yang dianggap telah tidak menepati janji untuk “Tidak Saling Menyerang” lagi, dan pernyataan perang itu juga diikuti oleh Perancis, Belanda dan Belgia.
Memperhatikan bahwa negara-negara kolonialis Eropa Barat tengah sibuk dalam suasana perang, Jepang mulai mengambil kesempatan untuk mengincar daerah-daerah jajahan di Asia Tenggara yang kaya akan bahan mentah dan energy.
Kemudian Jepang mulai mengadakan pendekatan dengan Uni Soviet, sehingga akhirnya ditentukan bahwa Jepang telah mengakui Republik Rakyat Mongolia, dan ni Soviet mengakui negara Mancuguo. Diikuti langkah Jepang berikutnya, yaitu mendesak agar Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) agar bersedia menjual lebih banyak bahan mentah dan minyak bumi kepada Jepang. Namun, permintaan tersebut ditolak, dan mengakibatkan Jepang segera melancarkan serangan udara secara mendadak terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl harbor pada 7 Desember 1941, yang menjadi awal dari Perang Dunia II.
Pada Perang Dunia II, oleh karena Pemerintah Nasionalis China berpihak kepada negara-negara sekutu, maka perang China dan Jepang semakin memiliki ruang  lingkup yang luas. Bantuan senjata, dana dan personil dari para negara-negara sekutu kemudian mengalir kepada Pemerintah Nasionalis China, dan sekaligus menempatkan Tentara Merah kepada kedudukan yang tidak dianggap, karena mereka tidak memperoleh apapun dari bantuan tersebut.
Hal itu menyebabkan terjadinya gejala-gejala keretakan dalam Front Persatuan China tersebut, akibatnya terjadi tata cara berperang yang kian berbeda dan mengakibatkan bertambahnya keretakan Front Persatuan tersebut. Dengan demikian, maka menjelang kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, maka front persatuan China justru berkembang kearah konfrontasi antara 2 kekuatan politik dan militer China.


Berdirinya Republik Rakyat China
Republik Rakyat China pertama kali di proklamasikan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China, Mao Ze Dong, pada tanggal 1  Oktober 1949 di Beijing berdasarkan keputusan Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China dalam siding yang diselenggarakan antara tanggal 21 hingga 30 September 1949.
Sejak berdirinya Republik Rakyat China (RRC) tersebut, terbentuklah 2 lembaga induk politik, yaitu ; Negara Republik Rakyat China dan Partai Komunis China. Partai Komunis China bergerak dalam ruang lingkup kehidupan antar Partai Komunis didunia, sedangkan Republik Rakyat China bergerak dalam ruang lingkup kehidupan antar negara dunia.
Sebelum dibentuknya Undang-Undang Dasar, maka RRC menggunakan Program Berama hasil rumusan sidang pleno Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China pada tanggal 29 September 1949 sebagai Undang-Undang Dasar Sementara.
Segera setelah negara RRC diproklamasikan, Uni Soviet menyatakan pengakuannya terhadap RRC (2 Oktober 1949) yang selanjutnya diikuti oleh negara-negara Eropa Timus, bahkan kemudian disusul oleh negara-negara Eropa bagian Barat. Dan sebaliknya, pada bulan januari 1950, RRC mengakui Vietnam sebagai Republik Demokrasi Vietnam. Dengan demikian, membuktikan bahwa RRC disambut baik kehadirannya dalam kehidupan bangsa-bangsa dunia.
Sebagai lazimnya sebuah negara baru, RRC mencurahkan terutama perhatiannya kepada keutuhan wilayah, konsolidasi kekuasaan, dan pencegahan terhadap bahaya luar negeri. Karena pada saat itu, masih terdapat beberapa daerah yang dikuasai oleh sisa-sisa unsur Pemerintahan Nasionalis.
Dan dalam usahanya untuk menanggulangi bahaya dari luar negeri, RRC pertama-tama mengadakan pendekatan dengan Uni Soviet. Hal itu dikarenakan, selain Uni Soviet merupakan negara tetangga terdekat, namun mereka juga sama-sama berasaskan Marxisme Leninisme. Selain itu, juga terdapat berbagai peninggalan sejarah yang merupakan kepentingan bersama, antara lain; kota-kota pelabuhan Port Arthur dan Dairen yang masih dikuasai oleh Uni Soviet.
Demikianlah, maka pada setelah 4 bulan RRC diproklamasikan, Mao Ze Dong berangkat ke Moskow untuk mengadakan perundingan dengan perdana Menteri Uni Soviet, Josef Stalin, yang memakan waktu 2 bulan penuh karena perundingan tersebut berlangsung dengan cukup a lot, namun akhirnya berhasil menghasilkan :
a.       Perjanjian persahabatan dan saling membantu antara Uni Soviet dan RRC
b.      The Chinese Eastern Railway yang melintang di Manchuria diberikan kembali kepada RRC
c.       Diberikannya dana bantuan sebesar US$ 300 juta beserta tenaga ahli dalam rangka pembangunan industri dan angkatan bersenjata.
Yang dengan demikian RRC akan dapat meletakkan dasar-dasar pembangunan jangka pendek yang diperlukan untuk mengembangkan konsolidasi politik dan ekonominya diawal kehidupan.
Sekembalinya dari Moskow, Mao Ze Dong segera mulai mencurahkan perhatiannya pada penertiban dan pengembangan dalam negeri China. Dibentuklah suatu kebijakan untuk para buruh dan tani, seperti ; kebijakan penggunaan tanah yang dibentuk pada tanggal 28 Junni 1950 (Landreform Law), yaitu kebijakan untuk menyita seluruh lahan milik tuan tanah, yang kemudian dibagikan secara merata kepada petani penggarap tanah.
27 Agustus 1950, pesawat terbang Angkatan Udara Amerika Serikat mulai menghujani daerah perbatasan RRC dan Korea Utara dengan bom, hal ini terkait dengan Perjanjian Pertahanan Bersama Korea dengan Amerika Serikat, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa negara Korea akan menjadi pangkalan militer bagi Amerika. Namun hal itu menimbulkan ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan, hingga terbentuk bentrokan senjata pada tanggal 25 Juni 1950, karena salah satu dari pihak Korea tersebut tidak setuju dengan keputusan sepihak dari perjanjian tersebut, karena sebenarnya Korea telah terbagi atas dua wilayah Korea.
Dan hal itu  kemudian ditanggapi oleh Dewan Keamanan PBB untuk segera mengadakan sidang istimewa, dan mengutus Jenderal Mac Arthur sebagai Panglima PBB untuk masalah Korea tersebut. Tetapi tindakan Mac Arthur dalam membom Korea diperbatasan antara Korea dan China, menyebabkan pihak China ikut menentang Amerika Serikat dalam rangka membela Korea Utara.
Maka, pada tanggal 25 Oktober 1950, Jenderal Peng De Huai mengerahkan sejuta Tentara Sukarelawan China untuk memasuki Korea dan melawan pasukan Amerika, yang menyebabkan PBB kemudian mengutuk RRC. Oleh karena perang tersebut, maka penyerahan kembali Port Arthur dan Dairen kepada RRC terpaksa ditunda untuk beberapa tahun dengan alasan keamanan.
Keterlibatan RRC dalam Perang Korea menempatkan dirinya sebagai negara yang agresif dimata dunia, sekaligus sebagai negara yang kekuatannya juga harus diperhitungkan didunia, mengingat betapa unggulnya cara mereka dalam mempertahankan diri dari serangan persenjataan Amerika Serikat.
Setelah selesainya pelaksanaan gerakan-gerakan massa yang pada hakikatnya adalah tindakan pembersihan terhadap musuh-musuh komunisme ditengah-tengah masyarakat, maka RRC telah merasa dirinya mencapai kemantapan nasional. Sebagai kelanjutan dari hasil-hasil tersebut, pemerintah RRC mulai mencurahkan perhatiannya pada pembangunan nasional.
Dewan Perancangan Nasional kemudian merumuskan Rencana Pembangunan Nasional Lima Tahun I (1953-1957) yang pada pokoknya merencanakan :
1.      Mengutamakan pembangunan industri berat, dengan sasaran 694 proyek industrim untuk dikerahkan 58,2 % dari modal  yang tersedia
2.      Membangun sarana perhubungan, pos dan telekomunikasi (19,2% dari modal)
3.      Pembangunan Agraria, kehutanan, dan persediaan air (7,6% dari modal) serta mengembangkan koperasi pertanian
4.      Pembangunan dibidang pendidikan, kebudayaan, dan kesehatan (7,2% dari modal).
5.      Disamping pembangunan dibidang materiil, juga perlu ditingkatkan indoktrinasi ideology negara RRC, yaitu ; Marxisme Leninisme, dan pemikiran Mao Ze Dong.
Selain itu, konsumsi bahan makanan dan pakaian dibatasi, setiap orang diberi kartu jatah sandang pangan yang mencantumkan beberapa gram beras, gula, dan lauk pauk perhari. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar sandang pangan dapat dikendalikan dan dapat diedarkan secara adil dan merata. Selain itu, juga mengurangi terjadinya pemborosan dan konsumsi secara berlebihan dari golongan ekonomi yang kuat, serta mencegah bahaya kelaparan. Dan Rencana Pembangunan Lima Tahun I itu ternyata memang mencapai hasil yang cukup memuaskan. Produksi meningkat, dan selain itu, pengendalian sandang pangan juga menciptakan meningkatnya ketertiban umum. Hal itu menyebabkan masyarakat menjadi yakin, bahwa mereka akan setapak demi setapak mencapai masa depan yang cerah, namun beberapa masyarakat golongan ekonomi kuat memang merasa tak nyaman dan dibatasi kehidupannya.
Tetapi, hasil positif atas Pembangunan Lima Tahun lebih besar dibandingkan hasil negative dari pendapat-pendapat terganggunya kehidupan masyarakat golongan ekonomi atas. Pembangunan Lima Tahun juga memberikan kemungkinan untuk mengembangkan politik luar negeri yang bernada perdamaian dan persahabatan antar bangsa. Antara lain, adalah ; hubungan RRC dengan China, yang dimulai dengan kehadiran delegasi RRC di Indonesia dibawah “Semangat Bandung” dan politik “Hidup Berdampingan Secara Damai” dimanfaatkan RRC untuk melakukan perundingan mengenai masalah kewarganegaraan berganda bagi Penduduk China yang berada di Indonesia, namun hal tersebut tidak disambut baik oleh Presiden Soeharto yang masih bersikeras bahwa takkan ada bangsa asing yang dapat melakukan perdagangan di Indonesia.
Namun, pada tahun-tahun awal setelahnya, banyak sarjana RRC yang mulai mengeluh bahwa kedudukan politik lebih diunggulkan daripada kedudukan prestasi akademik. Maka pada bulan Juni 1956, Mao Ze Dong memberikan kebebasan bagi kaum cendekiawan untuk mengeluarkan pendapatnya.
Hal tersebut menimbulkan banyaknya kritik dan kecaman yang bermunculan atas dasar dianggapnya bahwa orang-orang partai, terlalu ikut campur dalam urusan ilmu pengetahuan. Para mahasiswa mulai mencela Partai Komunis karena dianggap menjalankan kekuasaan tunggal tanpa menaruh kepentingan terhadap kepentingan rakyat luas dan unsur-unsur non komunis.  Kebebasan bersuara yang diberikan oleh Mao Ze Dong ternyata membuat mereka tak dapat dikendalikan. Dan akhirnya pada akhir April 1957, Mao mulai melancarkan gerakan pembersihan terhadap para pemrotes tersebut.
Dan pada akhir tahun 1957, Mao Ze Dong mengadakan perjalanan keberbagai desa dan pedalaman untuk menilai situasi dan kondisi masyarakat, yang akhirnya membuat Mao mencetuskan gagasan baru untuk menempatkan rakyat dikota-kota dan desa-desa yang telah dibagi dalam regu-regu kerja di asrama-asrama agar mempermudah pengaturan kehidpannya serta pengerahan dalam pekerjaan masing-masing, serta lebih mempermudah pencatatannya.
Dengan demikian maka lambat laut dapat dihilangkan perbedaan cultural antara desa dan kota, setiap orang dapat dipekerjakan sebagai  petani maupun buruh pabrik. Dan untuk kesekian kalinya, Partai Komunis China melakukan tindakan yang khas dan belum pernah terdapat dinegara-negara lainnya.
Tak berhenti sampai disitu, pada Januari 1958, Komunis China mencetuskan gagasan suatu peningkatan ekonomi. Dan pada Juni 1958, Mao Ze Dong mulai menetapkan suatu sasaran produksi 10,7 juta ton untuk tahun pertama. Dan untuk mencapai sasaran tersebut, dilakukan dua tindakan dasar, yakni : dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, serta membangun pabrik-pabrik baja dan tambang besi sebanyak-banyaknya.
Atas dasar instruksi tersebut, maka segenap Pemerintah Daerah mulai mendesak para pengusaha setempat untuk mendirikan pengecoran besi sebanyak mungkin. Rakyat massa juga dikerahkan untuk mengumpulkan besi tua dan segala alat dari besi yang tidak mutlak diperlukan untuk dilebur dalam pengecoran tersebut.
Gerakan tersebut diperhitungkan dalam waktu 10 tahun akan memberikan hasil yang akan mengejar produksi industri Inggris. Gerakan ini dinamakan “Gerakan Loncatan Jauh Kedepan” yang dijalankan bertepatan saat berakhirnya Pembangunan Lima Tahun I dan menginjak awal Pembangunan Lima Tahun II (1957-1962).
Pada pertengahan 1959, Pemerintah RRC mengumumkan berita mengejutkan, yakni bahwa hasil produksi industri RRC telah melampau 50% dari sasaran akhir 1959. Diumumkan pula mengenai betapa besarnya volume ekspor RRC kenegara-negara Asia dan Afrika. Eropa barat dan Eropa Timur bahkan mencatat adanya peningkatan dagangnya dengan RRC. Dan sejak 1958, Jepang juga aktif mengimpor biji besi dan batu bata dari RRC, yang seluruhnya senilai US$ 300 juta.
Akan tetapi, disamping seluruh kesuksesan tersebut, terjadi kekosongan barang-barang kebutuhan dipasaran dalam negeri, bahan makanan pun kemudian kurang dari kebutuhan seharusnya. Hal itu menyebabkan kegelisahan bagi rakyat lapisan bawah, dan kemudian meningkat sampai kekalangan pimpinan Pemerintah dan Partai Komunis China.
Hal itu disebabkan oleh terlalu banyaknya proyek-proyek pembangunan dan dalam pelaksanaannya terkesan terlalu tergesa-gesa, akibatnya terjadi bencana banjir besar dan modal invsetasi yang terlalu tinggi sehingga melampaui kemampuan. Selain itu, terlalu banyak produksi dalam negeri yang diekspor sehingga pasar domestic menjadi kekurangan barang.
Sementara itu, demi untuk tujuan memperkokoh kekuatan dalam negeri, RRC berusaha menjalankan politik luar negeri yang berasaskan prinsip membela bangsa-bangsa yang tertindas. Politik luar negeri RRC tersebut pada dasarnya adalah sebagai usaha untuk mendorong bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk mengobarkan revolusi melawan imperialism pada umumnya, serta melawan pemerintah nasional masing-masing yang dinilai reaksioner.
RRC akhirnya mengadakan perencanaan penyelengaraan Konferensi Asia-Afrika II sebagai salah satu bentuk dari usaha tersebut. Namun, karena terlalu menggebu-gebu, politik tersebut ternyata malah mendatangkan banyak kendala. Tetapi RRC tetap gigih meneruskan usahanya tersebut.
Diantara kendala-kendala tersebut adalah munculnya pergolakan yang dikenal sebagai “Revolusi Kebudayaan”. Revolusi Kebudayaan adalah kelanjutan dari adu kekuatan antara kekuatan aliran-aliran dogmatis dan pragmatis. Hal ini diawali oleh terbitnya majalah Tentara Pembebasan Rakyat terbitan Shanghai edisi November 1965 yang melancarkan kritik terhadap suatu seni drama karangan Wu Han yang berjudul :”Hai Rui di dipecat dari jabatannya”.
Kritikan tersebut dianggap mengandung unsure-unsur anti partai, yang berisfat kapitalis, dan feudal. Masalah itu kemudian diajukan pada Sidang Komite Sentral Partai Komunis (21 Desember 1965) hingga ditanggapi langsung oleh Mao Ze Dong. Drama terhadap pemecatan Hai Rui adalah suatu  sindiran terhadap pemecatan Marsekal Peng De Huai pada tahun 1959, dan dinilai dektruktif karena dapat mempengaruhi rakyat untuk menyimpulkan bahwa kebijaksanaan Mao Ze Dong terhadap Peng De Huai adalah suatu kesalahan.
Juni 1966, Partai Komunis berseru kepada para mahasiswa untuk memobilisir rakyat massa untuk digerakkan memberatas seni budaya yang hendak merobak diktatur proletar menjadi kepemimpinan borjuis. Mahasiswa turun ke jalanan dengan mengenakan pita dilengan bertuliskan “Pengawal Merah”.
Sementara itu, Mao Ze Dong telah meresmikan suatu tim Revolusi Kebudayaan dengan Chen Bo Da sebagai ketuanya. Namun, para mahasiswa tetap melancarkan gerakan-gerakan mereka, dengan melancarkan kritik-kritik bahkan mencoret-coret tembok-tembok. Gerakan mahasiswa itu semakin menjadi-jadi, sehingga Tentara Pembebasan Rakyat terpaksa diturunkan untuk menangkap mereka . Namun pemberontakan justru terjadi semakin menjadi-jadi, sehingga Panglima Daerah Militer Timur Laut turut mengambil tindakan untuk memulihkan ketertiban umum, yang kemudian membentuk Dewan Revolusi yang terdiri atas para tentara, pemerintah sipil, serta rakyat revolusioner. Dan akhirnya, pada tanggal 31 Januari 1967 terbit Harian Rakyat yang menyatakan bahwa bentrokan telah dapat dikendalikan.
Hal itu memperlihatkan bahwa lebih dari satu dasa warsa RRC diguncangg berbagai pergolakan besar, yaitu : Gerakan Loncatan Jauh Kedepan, dan Revolusi Kebudayaan adalah dua yang terbesar diantaranya.
Dengan demikian, Mao Ze Dong akhirnya memutuskan untuk menyelenggarakan Kongres Partai Komunis dengan tujuan pokok untuk menegaskan sikap politiknya dan menertibkan jajarannya.
Kongres itu berlangsung pada tanggal 1 April 1969, dengan Mao Ze Dong sebagai ketua sidangnya.  Kongres tersebut  diawali dengan disampaikannya Laporan Politik oleh Lian Biao mengenai masalah-masalah yang telah terjadi selama berdirinya RRC tersebut, yang kemudian dinilai menjadi dokumen penting bagi ajaran Marxisme-Leninisme-dan Pikiran Mao Ze Dong, serta merupakan tuntutan bagi Revolusi Kebudayaan.
Selanjutnya, Kongres mengadakan pemilihan anggota Komite Sentral baru. Diantara 279 anggota Komite Sentral Partai Komunis yang terpilih, terdapat 123 tenttara atau 44%, dan diantara 21 anggota Biro Politik terdapat 4 marsekal dan 6 jenderal, ditambah istri dari Lin Biao. Seluruhnya adalah mantan tokoh-tokoh Revolusi Kebudayaan. Dan acara penutupan ditandai dengan pengukuhan Anggaran Dasar baru dari Partai Komunis China (14 April 1969).
Pada bulan Agustus 1970  diselenggarakan kembali sidang ke-2 yang diselenggarakan di Lu Shan pada bulan Agustus 1970. Pada sidang tersebut, Mao menyodorkan rancangan Undang-Undang Dasar RRC yang baru, dimana lembaga Kepresidenan RRC tidak tercantum. Pada kesempatan tersebut, Lin Biao menyatakan keberatannya, didukung oleh Zhen Bo Dan (seorang mantan puncak pimpinan Revolusi Kebudayaan dan Sekretaris Pribadi Mao), Jenderal Huang Yong Sheng (Kepala Staff Umum Angkatan Bersenjata), Qui Hui Zo (Wakil Kepala Staff Umum), dan Li Zo Peng (Komisaris Polisi Angkatan Laut). Oleh sebab itu, penyelesaian Rancangan Undang-Undang Dasar RRC menjadi berkepanjangan, karena harus disahkan oleh Kongres Rakyat China.
Akibat pertentangan pendapat antara Lin Biao dan Mao, Lin Biao memutuskan untuk sebelum Mao Ze Dong menangkapnya, maka ia harus terlebih dahulu melakukan perebutan kekuasaan, karena Mao Ze Dong dianggap menjadi pemimpin yang dogmatis dan sewenang-wenang, karena telah berulangkali menangkap orang-orang yang bertentangan pendapat dengannya.
Pada awal 1971, kelompok  pemberotank muncul di Shanghai. Namun, dikarenakan oleh wibawa dan keterampilan Mao dalam menangani masalah politik, pasukan pemberontakan Lin Biao semakin terpencil menjadi semakin terpencil. Lin Biao pun berusaha melarikan diri dengan meminta disediakan pesawat terbang menuju ke Uni Soviet. Akan tetapi, karena kekurangan bahan bakar, maka pesawat tersebut mengadakan pendaratan darurat didekat Bandar udara Under Khan didaerah republic Rakyat Mongolia. Dan karena pendaratan tersebut tidak berjalan dengan baik, maka pesawat tersebut meledak dan menewaskan seluruh penumpangnya  (13 September 1971).
Sementara itu, rekan-rekan pemberontakan Lin Biao yang masih berada di RRC ditangkap dengan tuduhan ; menentang Partai Komunis China, kontra revolusioner, menentang Mao Ze Dong, dan mengadakan hubungan gelap dengan pihak negara asing.


Garis Baru Partai Komunis
Selain bernafsu untuk mengakhiri keterbelakangan China secepatnya sejak diproklamasikannya RRC pada tahun 1949, RRC juga bernafsu untuk menjadi pimpinan dari negara-negara berkembang. Sementara itu, RRC juga tengah sibuk dalam konfrontasinya dengan Uni Soviet yang mengerahkan 50 divisi pasukannya disepanjang garis perbatasan.
Setelah Revolusi Kebudayaan berakhir dan tindakan maker Lin Biao dapat dipadamkan, maka Mao Ze Dong menunjukkan kecendrungan memperbaiki ekonomi dan politik negara kembali, dan berusaha menggalang persahabatan internasional terutama guna menanggulangi tekanan dari Uni Soviet.
Sebagai langkah awal, Mao memanfaatkan perundingan berskala RRC-Amerika Serikat dengan perantara Duta Besar masing-masing di Warsawa dengan ajakan untuk menciptakan hubungan antara China dan Amerika.
1970, Presiden Richard Nixon menyambut hal itu dengan suasana baik, dan menyatakan kehendakannya untuk menarik tentara Amerika dan Vietnam. Enam bulan kemudian, berlangsunglah kunjungan regu ping pong Amerika ke RRC, bahkan pada Ulang Tahun kemerdekaan RRC, wartawan juga ikut berkunjung untuk meliput perayaan di RRC tersebut.
Perkembangan pendekatan RRC dan Amerika Serikat terasa demikian cepat, dan membawa pengaruh pula terhadap Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Oktober 1971, ditandai dengan diakuinya RRC oleh PBB untuk menjadi anggotanya. Negara yang awalnya dituding sebagai negara agresif dan dianggap menghantui dunia karena ulahnya untuk mengobarkan revolusi dunia, secara mendadak telah menjadi negara pemegang hak VETO di PBB.
Dan pada tanggal 28 Februari 1972 dikeluarkanlah Pernyataan Bersama RRC – Amerika Serikat, yang pokok-pokoknya adalah sebagai berikut :
1.      Amerika Serikat dalam menjalankan perannya dalam Perang Vietnam tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri Vietnam, dan tetap akan memenuhi janjinya untuk membantu Korea Selatan.
2.      RRC menghendaki penarikan segenap tentara asing ke negara masing-masing dan agar Korea Selatan dan Korea Utara menjadi satu sesuai dengan yang disarankan oleh Korea Utara.
3.      Kedua belah pihak menyadari terdapatnya perbedaan dalam system sosial dan politik luar negeri, sehingga tidak mungkin untuk mencapai persetujuan di segala bidang.
4.      Mengenai masalah  Taiwan, pihak RRC menilainya sebagai suatu kendala bagi hubungan RRC dengan Amerika Serikat
5.      Amerika Serikat mengakui prinsip hidup berdampingan secara damai rumusan Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Sebagai tindak lanjut dari kunjungan Presiden Amerika, Richard Nixon sebagai pengesah Pernyataan Bersama RRC dan Amerika Serikat, RRC juga memulihkan hubungan dagangnya dengan negara-negara Eropa Barat dan Jepang. Dan pada tanggal 25 September 1972 Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka berkunjung ke Beijing. Sikap rendah diri yang ditunjukkan oleh Kakuei Tanak itu disambut oleh Perdana Menteri Zhou En Lai dengan membatalkan tuntutan RRC atas pampas an perang terhadap Jepang. Dan selanjutnya, keduanya mencapai persetujuan yang pada pokoknya berisi tentang :
1.      Keadaan tidak normal RRC-Jepang akan berakhir terhitung mulai tanggal diumumkan persetujuan ini.
2.      Jepang mengaku Pemerintah RRC sebagai Pemerintah China satu-satunya.
3.      RRC menegaskan bahwa Taiwan merupakan wilayah yang tak terpisahkan dari China
4.      Pemerintah RRC dan Pemerintah Jepang menciptakan hubunga diplomatic terhitung mulai tanggal 29 September 1972
5.      Demi persahabatan RRC-Jepang, maka pemerintah RRC membatalkan tuntutannya atas pampas an perang terhadap Jepang
6.      Kedua belah Pemerintah yang bersangkutan akan berusaha menciptakan hubungan persahabatan yang langgeng berdasarkan 5 prinsip hidup berdampingan secara damai.
7.      Normalisasi hubungan RRC-Jepang tidak ditujukan terhadap negara lain, dan kedua belah pihak tidak akan menciptakan hegemoni di kawasan Asia-Pasifik dan akan menentang usaha negara lain yang menciptakan hegemoni.
Perjanjian ini segera diikuti oleh pemutusan hubungan diplomatic oleh Taiwan terhadap Jepang (April 1974). Namun demikian tidak lama kemudian, baik Taiwan maupun Jepang bersepakat untuk mempertahankan kelangsungan hubungan dagangnya yang meliputi sekitar US$ 2 milyar pertahun.

Kongres Partai Komunis China Selanjutnya
Ketegangan politik sebagai akibat dari Peristiwa Lin Biao tanggal 13 September 1973 lalu ternyata belum dapat diatasi sepenuhnya. Kongres X hanya berlangsung selama 4 hari, yaitu pada tanggal 24 hingga 28 September 1973, yang pertama-tama membentuk presidium.
Kongres Komite Sentral X ini sangat penting karena pada waktu itu sedang terjadi pergulatan antara kelompok penganut aliran radikal dan penganut aliran moderat. Mao Ze Dong kemudian mengutus Wang Hung Wen untuk menyampaikan laporan mengenai Perombakan Anggaran Dasar Partai Komunis China, yang didalam laporannya menekankan bahwa Partai Komunis China akan tetap berpegang teguh pada teori Marxisme-Leninisme-serta pemikiran Mao Ze Dong. Berdasarkan uraian Wang Hong Wen tersebut, maka secara otomatis telah menghapus segala rumusan yang memiliki sangkut paut dengan Lin Biao.
Kongres juga kemudian memilih anggota Komite Sentral yang baru,  yang tampak nyata bahwa terjadi pengecilan perwakilan Tentara Pembebasan Rakyat sebagai anggota Komite Sentral. Hal itu dilatarbelakangi “Peristiwa Lin Biao” yang mayoritas telah melibatkan Menteri Pertahanan serta para Angkatan Bersenjata dalam tindakan makarnya.
Segera setelah Komite Sentral X berakhir, Zhou En Lai tidak membuang waktunya untuk menghidupkan kembali Rencana Lima Tahun ke-4. Dalam Rencana Lima Tahun ke-4 ini lebih ditekankan kepada sarana-sarana ekonomi dan pendidikan nasional yang ditata dan diberlakukan kembali fungsinya. Dalam pelaksanaannya, Rencana Lima Tahun dikecam dengan berbagai alasan, diantaranya ; mengecam Partai Komunis China yang menganut ajaran Konfusius, serta mengkaitkan segala bentuk kecaman tersebut dengan Lin Biao.

Menurut Undang-Undang Dasar RRC, maka Kongres harus diselenggarakan setiap 5 tahun. Akan tetapi sejak Kongres Rakyat Nasional III diselenggarakan pada tahun 1965, negara RRC dilanda pergolakan politik yang amat hebat, yaitu Revolusi Kebudayaan dan Peristiwan Lin Biao. Oleh karena itu, maka antara Kongres III dan IV terdapat tenggang waktu 10 tahun.
Zhou En Lai yang usianya semakin  rapuh yang ditunjuk untuk menyampaikan laporan Karya Pemerintah RRC, yang pertama-tama menjelaskan alasan mengapa terjadi tenggang waktu yang sangat panjang antara Kongres rakyyat Nasional III (1965) dan Kongres Rakyat Nasional IV (1975) yaitu akibat 2 peristiwa besar yang menghadang RRC belakangan itu.
Namun demikian, walaupun terjadi banyak kendala, Pemerintah RRC masih tetap berhasil meraih sasaran-sasaran programnya yang memuaskan di bidang politik, ekonomi, maupun diplomatic.
Hasil dibidang politik adalah berupa kesinambungan revolusi yang mengarahkan pemerintah RRC kehaluan “kiri” dan bahwa rakyat massa terus mempejari pikiran Mao Ze Dong, dan bahwa jajaran Dewan Revolusi baik ditingkat pusat maupun daerah terdiri atas pola tri tunggal (unsure tua, tengah baya, dan mudsa) sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Mao Ze Dong, demi dihapuskannya jurang antara generasi tua dan generasi muda. Ditekankan pula agar diantara kekuatan-kekuatan sosial digalang dalam suatu front persatuan termasuk kaum China perantauan yang patriotic.
Dibidang ekonomi, didapatkan hasil berupa angka-angka produksi tahun 70-an yang melebihi angka-angka produksi tahun 60-an. Dalam hal ini, Zhou meletakkan landasan bagi rencana pembangunan ekonomi terpadu, yaitu : Tahap I, adalah pengembangan system industri yang mandiri bagi tahun 80-1n, sedangkan tahap II adalah, modernisasi dibidang pertanian, industri, pertahanan nasional, serta ilmu dan teknologi yang harus dicapai sebelum abad XX berakhir. Rancangan Zhou En Lai dibidang ekonomi ini juga merupakan embrio dari rencana modernisasi 4 bidang yang kemudian akan menjadi garis besar haluan Negara RRC.
Dibidang diplomatic, Zhou En Lai melaporkan bahwa politik luar negeri yangdianut RRC pada dasarnya tidak berbeda dengan yang dilaporkannya pada kongres Partai Komunis X (1973) hanya saja tekanan nya berbeda. Dalam hal ini, Zhou En Lai menekankan bahwa situasi internasional dalam keadaan yang amat buruk, sehingga tidak mungkin diciptakan perdamaian.
Zhou En Lai meramalkan bahwa dunia akan menuju puncak Revolusi. Selanjutnya Zhou juga mengutarakan bahwa “Dunia Ketiga” merupakan kekuatan pokok dalam melawan kolonialisme, imperialism dan hegemonisme, khususnya mengenai hubungan antara RRC dan Amerika Serikat. Zhou menilai hubungan RRC dengan Amerika akan tetap mengalami perkembangan yang baik selama Komunike Shanghai tahun 1972 dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Acara berikutnya meliputi masalah perombakan Undang-Undang Dasar Negara RRC yang dilator belakangi oleh keinginan Mao Ze Dong pada tahun 1970 yang pernah mengambil prakarsa untuk merumuskan perombakan Undang-Undang Dasar tersebut.
Tahun 1976 menjadi penanda titik-titik dari kehidupan politik RRC, yaitu dengan meninggalnya 3 tokoh legendaries China, yaitu ; Mao Ze Dong, Zhu De, dan En Zhou Lai, hal itu juga terkait pada usia mereka yang memang sudah terlalu tua.
Tidak lama kemudian 4 orang tokoh aliran dogmatis radikal yang pernah memegang pimpinan Revolusi Kebudayaan yang dikenal sebagai 4 serangkai,  yaitu l Jiang Qing, Yao Wen Yuan, Wang Hong Wen, dan Chang Chun Qiao ditangkap oleh Ketua Partai Komunis China Hua Gou Feng. Aliran konserfatif dan aliran pragmatis berhasil mendesak Partai Komunis China, Hua Gou Feng untuk memulihkan Deng Xiao Ping pada semua jabatan semula. Sejak itulah maka aliran pragmatis moderat menjadi semakin berpengaruh. Dalam suasana politik seperti itulah maka Partai Komunis maupun Pemerintah RRC mulai memikirkan untuk mengejar ketinggalan dibidang pembangunan yang telah terhambat oleh satu dasa warsa Revolusi Kebudayaan dan berbagai pergolakan politik lainnya. Maka demikianlah, pada tanggal 12 September 1977 Perencanaan Negara mulai merumuskan Garis-Garis Besar Pembangunan Sosialis.
Pada pokoknya mengutarakan bahwa titik berat dari pembangunan nasional RRC diletakkan dibidang pembangunan ekonomi, seperti yang telah diajukan Perdana Menteri Zhou En Lai dalam laporannya kepada Kongres  Rakyat Nasional II tahun 1975.
Adapun momentum yang amat menentukan mengenai modernisasi RRC adalah Sidang Pleno III Komite Sentral ke-11 bulan Desember 1978, yang memutuskan bahwa Revolusi Kebudayaan dinyatakan berakhir, dan bahwa kemudian segala upaya akan dipusatkan pada pelaksanaan Modernisasi Sosialisasi.
Dalam rencana pembangunan ekonomi terpadu tersebut yang mendapat prioritas pertama adalah bidang pertanian, oleh karena pertanian dinilai sebagai sendiri ekonomi nasional China yang dalam dasa warsa terakhir mengalami kerusakan berat. Disamping itu, 80% dari rakyat China hidup dipedesaan. Harga beras produksi petani wajib dijual kepada Pemerintah sebanyak 20%, serta ditetapkan pula bahwa untuk selanjutnya segenap peraturan akan didasarkan pada penalaran. Perindustrian akan dikembangkan serta angkutan akan dipulihkan. Dan guna mendukung rencana pembangunan ekonomi tersebut, maka ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendidikan pada umumnya akan mendapatkan perhatian khusus juga.
Rencana Pembangunan Nasional RRC itu kemudian dikenal dengan sebutan “Modernisasi 4 Bidang” yang diarahkan oleh Deng Xiao Ping pada 16 Januari 1980. Adapun tujuan dari Modernisasi   Empat Bidang yang dijelaskan oleh Deng Xiao Ping adalah untuk meningkatkan nilai perkapita China dari US$ 200 menjadi US$ 1000 pada akhir abad XX. Dalam pelaksanaannya, Deng Xiao Ping juga berpedoman kepada acuan menganut jalan sosialis, dengan konsekuensi bahwa Partai Komunis China harus memiliki kepemimpinan dan menjadi daya penggerak dari segenap pekerjaan, serta menguasai keterampilan professional dalam arti bahwa para Kader Partai Komunis haruslah ahli didalam bidang masing-masing dan menguasai ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibidang pertahanan nasional juga dituntut profesionalisme, dan dalam perang dibutuhkan berbagai keterampilan perang, dan logistic.
Sejak diberlakukannya Modernisasi 4 Bidang tersebut, menunjukkan RRC yang selama ini menutup diri terhadap dunia luar mulai membuka diri dengan menarik penanam modal asing. Dan untuk kepentingan tersebut, pada tahun 1980, diciptakan Zona Ekonomi Khusus diprovinsi Guang Dong, dan di Provinsi Fu Jian. Diikuti dengan dibukanya Zona Ekonomi Khusus di Pulau Hai Nan (pulau terbesar di RRC) pada tahun 1984, yang tak lama kemudian juga disusul oleh kota-kota besar lainnya, seperti ; Shanghai, Ta Lian, Tian Jin, Ning Bo, dan Kanton. Puluhan ribu mahasiswa juga telah dikirimkan ke Amerika Serikat untuk  menuntut ilmu.
22 Oktober 1984, Deng Xiao Ping dalam pidatonya mengatakan bahwa menjelang tahun 2000, ketika RRC sudah menjadi semakin kuat, maka 5% Gross National Product akan diperuntukkan bagi Tentara Pembebasan Rakyat. Dan dengan anggaran belanja pertahanan negara yang akan meliputi US$ 50 milyar maka angkatan bersenjata RRC juga akan dapat mempunyai bom atom, peluru kendali, dan peralatan canggih. Sebaliknya, Tentara Pembebasan Rakyat akan dikurangi 25%, namun tetap tak mempengaruhi jumlah tentara RRC yang merupakan tentara dengan jumlah terbesar didunia.
Untuk selanjuutnya, tentara tidak lagi akan dikerahkan diluar tugas-tugas khusus kemiliteran, seperti tugas kekaryaan diperusahaan atau pertanian, kecuali jika benar-benar diperlukan guna menanggulangi bencana nasional atau hal-hal bersifat darurat. Kemudian, secara berturut-turut para pemimpin Partai Komunis dan RRC akan mengadakan kunjungan ke luar negeri.
Dari kegiatan-kegiatan diplomatic tersebut, RRC memperoleh bantuan teknologi yang tidak sedikit. Di Amerika Serikat pada Januari 1984, Wakil Perdana Menteri Li Peng dan Menteri Energi John Herrington telah menandatangani perjanjian kerja sama dibidang ilmu dan teknologi nuklir. Dan dua minggu kemudian RRC dapat membeli peralatan guna membangun pabrik meriam dan mesiu, 24 helikopter Sirosky, dan 3 kapal perusak.
Sejak tahun 1985, volume perdagangan RRC dengan luar negeri meningkat pesat ; dengan Jepang naik 32% hingga mencapai US$ 16,5 milyar, dan dengan Amerika meningkat hingga 26% atau US$ 8, 1 milyar. Dan pada bulan November 1985, RRC mengadakan transaksi dengan berbagai pabrik pesawat terbang terkemuka, seperti ; Mc. Donnel Douglas, Boeing, Gruman, dan Nortrop yang meliputi US$ 598 juta. Kemudian, selanjutnya, Kongres Amerika Serikat membatalkan larangan mengenai bantuan kepada RRC.
Pemerintah Inggris memberikan kredit ekspor sejumlah $ 350 juta guna pembelian turbin dan generator. Dengan Jerman telah diadakan kontrak dengan Kraftwerk Union A.G untuk membangun suatu proyek tenaga nuklir disebelah Barat kota Shanghai. Dan dengan belanda diadakan kontrak dengan N.V Philips untuk membangun pabrik televise berwarna di Nan Jing dan Jiang Su.
Bagi RRC, pelaksanaan Politik Modernisasi yang disatu pihak menggunakan penanaman modal asing, tetapi dilain pihak ingin tetap mempertahankan prinsip-prinsip komunisme, hal itu tentu saja akan menimbulkan beraneka ragam masalah bermunculan.
Terbukti pada awal tahun 1985 aliran konservatif mulai mengkritik aliran reformis atas menurunnya produksi pangan, sedangkan terlalu cepatnya perkembangan industri, mengakibatkan kekurangan energy, bahan mentah fasilitas pengangkatan, dan kenaikan harga-harga.
Perdana Menteri Zhao Zi Yang melaporkan kepada Kongres Rakyat Nasional 27 Maret 1985 mengenai program modernisasi tidak semuanya berjalan dengan mulus. Dalam waktu singkat, memang berbagai kalangan di Zona Ekonomi Khusus berhasil menikmati kenaikan taraf hidup yang mencolok, tetapi hal itu juga menjadi pemicu hinggapnya “penyakit” masyarakat kapitalis liberal, yaitu; korupsi, dan inflasi.
Oleh sebab itu, mulai bulan November 1985, Partai Komunis China berusaha untuk meluruskan jalannya Modernisasi 4 bidang dengan mengadakan operasi terhadap para pejabat yang korup. Pada bulan itu juga terjadi demonstrasi mahasiswa yang mengecam Jepang sebagai “aggressor ekonomi”. Sekretaris Jenderal Partai Komunis, Hu Yo Bang dituduh mempunyai hubungan erat dengan perdana menteri Jepang, Yashiro Nakasone. Untuk meredakan ketegangan ini, Hu Yo Bang mengutus beberapa pembantunya untuk mengadakan dialog dengan para mahasiswa.
Desember 1986 berbagai ibukota kembali dilanda demonstrasi mahasiswa yang menuntut dilaksanakannya demokrasi. Polisi mencoba membubarkan kaum demonstran, tetapi hari berikutnya malah membuat jumlah para demonstran semakin membengkak. Pemerintah RRC mulai memperingatkan bahwa demonstrasi tanpa izin akan menerima tindakan tegas. Deng Xiao Ping pun sampai mengadakan Sidang Komisi Militer Pusat (11-25 Desember 1986).
Didalam Sidang Komisi Militer Pusat, Tentara Pembebasan Rakyat merasa kecewa terhadap keputusan Hu Yao Bang yang dinilai terlalu bertenggang rasa menghadapi apa yang disebut “liberalisasi borjuis”, mereka kecewa akan tindakan Hu Yao Bang yang dinilai kurang tegas member perhitungan kepada para mahasiswa. Akhirnya, Hu Yo Bang meletakkan jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis China, yang kemudian digantikan oleh Zhaong Zi Yang, mantan Perdana Menteri RRC, dan kemudian jabatan Perdana Menteri RRC dipercayakan kepada Li Peng.
Tahun 1987, terjadi demontrasi kembali. 2000 mahasiswa memasuki lapangan Tian An Men dipusat kota Beijing. Berbeda dengan masa-masa lalu, maka dalam suasana yang kalut tersebut, RRC justru menyelenggarakan Kongres Rakyat Nasional VII pada bulan Maret 1988.
Perdana Menteri Li Peng menyampaikan laporannya mengenai karya Pemerintah RRC yang terlalu tergesa-gesa dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi, menyebabkan terjadinya inflasi. Dan dalam menetapkan  kebijakan ekonominya, Pemerintah RRC menyatakan akan mengurangi anggaran belanja, menunda pembangunan proyek-proyek baru, dan menutup perusahaan yang menggunakan energy dan  bahan mentah yang berlebihan. Sistem Perpajakan baru akan diberlakukan guna mengurangi kesenjangan sosial, Gaji buruh dikota-kota juga telah dinaikkan. Dan pada sidang itu pula lah diangkat Jenderal Yang Shang Kun sebagai presiden RRC. Dengan demikian, dari perkembangan tersebut, nampak jelas bahwa sikap politik Partai Komunis telah ditetapkan. 



PS: this is my friend homework i mad when we were still sit on 2nd Semester. Actually, Politics and Government of East Asian is one of my fav course at International Relation Studies. I always concern and interest learn about Asia, because lot of unique thing hide in there, its different when ur studying Western politics, it was tend to war, too formal. Politics and Government of East Asian is just like cannot be separated to their culture and unique history. just enjoy to explore this things :) <3 hope u too


PS II: Besides, i bit surprised, because this book is really old. the book cover, the writing style also shown u how old this book. But it really still stored, and used as course material, even u can easily find it in a big library on the city. It also shown u, that this old book is still use, and recommend for studying international relation. This probably because at this time, there's no one want to write or interest to discuss this anymore. Hope it will in the future :). Or, at least a new edition or version with more easy language :D because, honestly, old books have more difficult level to understand then read the English edition.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...