Sabtu, 01 Maret 2014

Resume: Brunei: The ASEAN Connection: Donald E. Weatherbee


Mata kuliah Politik Pembangunan Pemerintahan Negara Asia Tenggara
SEMESTER IV
  




BRUNEI: THE ASEAN CONNECTION
By: Donald E. Weatherbee


Meskipun tidak ada mekanisme formal untuk aksesi yang belum diumumkan, telah diperkirakan bahwa Brunei dalam Kesultanannya akan menjadi anggota ke-6 dari Asosiasi Bangsa-Bansa Asia Tenggara (ASEAN) di tahun 1984,  setelah Brunei resmi memperoleh kedaulatan penuh atas urusan eksternalnya. Proses pengambilan keputusan (decission making process) formal dan informal (musyawarah)   yang mengarah kepada konsesus (mufakat) merupakan karakteristik khusus dari ASEAN. Oleh sebab itu pencalonan Brunei sebagai anggota ke-6 ASEAN juga diputuskan melalui musyawarah (perundingan) dan mufakat, dan akan diumukan pada pertemuan tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN pada bulan Juni 1981 di Manila. Pada saat itu, Brunei yang diwakili oleh adik Sultan, yakni Pangeran Mohammad Bolkiah, hadir sebagai "pengamat", beliau sekaligus diprediksikan akan menjadi Perdana Menteri Pertama Brunei. Dalam pidatonya pada Konferensi, Pangeran Mohammad menyatakan harapan Brunei untuk menjadi anggota ASEAN setelah kemerdekaan penuh nya berhasil dicapai. 

Bergabungnya Brunei di ASEAN akan menandai pembesaran pertama ASEAN sejak lima pendiri ASEAN yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina menandatangani Deklarasi Bangkok 1967. Selain Brunei, Sri Lanka juga merupakan salah satu negara yang potensial. Sri Lanka bahkan secara terbuka melakukan kampanye untuk menunjukkan keinginannya bergabung kedalam keanggotaan ASEAN, akan tetapi dalam isu bergabungnya Sri Lanka dalam keanggotaan ASEAN ternyata membangkitkan perundingan, salah satunya ialah terkait dengan Papua Nugini. Disamping itu, pencalonan Brunei sebagai kandidat tampaknya memenuhi segala kualifikasi, dan secara geografis potensial karena merupakan bagian dari wilayah inti Malaysia - Indonesia di Asia Tenggara, serta memiliki kesamaan budaya yakni Melayu dan Islam, memiliki kesamaan bahasa, serta adat istiadat. Dan yang terpenting ialah persepsi bahwa antara Indonesia dan Malaysia terkait keamanan dan stabilitas regional memerlukan penggabungan Brunei ke dalam kerangka ASEAN. Status pencalonan Brunei tentu sangat diprioritaskan mengingat ia memiliki unsur pemenuhan kepentingan/ kebutuhan politik negara anggota ASEAN.

Brunei itu sendiri merupakan sebuah negara kecil, namun merupakan penghasil minyak bumi yang dahulunya merupakan salah satu yang terbesar di Nusantara Melayu di Abad ke-17 hingga 19. Sampai pada akhirnya pada tahun 1888 Brunei dijajah oleh protektorat Inggris, dan kemudian mendominasi serta membagi-bagi wilayah Brunei, serta mendirikan industri minyak seperti Sarawak Brook atau North Borneo Company. Ditambah lagi dengan ditunjuknya Residen Inggris sebagai penasihat Sultan pada tahun 1904. Penunjukkan Residen Inggris sebagai penasihat sekaligus Komisaris Tinggi ini berada dibawah Perjanjian 1959, hingga akhirnya pada 1971 diubah untuk dapat menyediakan secara penuh pemerintahan sendiri.

Luas keseluruhan Brunei adalah 2.226 mil2 yang seluruh wilayahnya tidak sepenuhnya saling berdekatan. Distrik Utara Temburong (503 mil2) terletak terpisah dengan wilayah Brunei lainnya oleh proyeksi Teluk Brunei yang merupakan bagian dari Divisi Sarawak ke Lima atau biasa dikenal dengan sebutan Limbang. Kira-kira 1000 mil2 diangkut oleh Raja Brooke pada tahun 1890, setelah protektorat ditetapkan, meskipun hal itu tidak pernah disetujui oleh pemerintahan Brunei. Masalah ini pernah diangkat oleh Sultan Sir Omar Ali Saifudin pada tahun 1967, dan dilanjutkan oleh anaknya Sultan Sir Muda Hassanal Bolkiah, yang secara tegas dan terbuka dalam pidatonya di radio pada tahun 1970 menyatakan "Brunei dan Limbang tidak dipisahkan, karena Limbang adalah milik Brunei". Pada peta Brunei, tidak menunjukkan batas antara Brunei dan distrik Limbang dari Sarawak.

Menurut sensus, penduduk Brunei pada tahun 1981 hanya berkisar 192.000 jiwa, 34.000 lebih sedikit jumlahnya dari perkiraan populasi pada tahun 1980. Sekitar seperempat populasi di Brunei adalah etnis Cina, dan lebih dari 30.000 lainnya adalah masyarakat yang tidak jelas kewarganegaraannya. Dalam nota Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan antara Inggris dan Brunei 1979 disebutkan mengenai pengaturan warga negara termasuk pengertian akan tanggung jawab Inggris kepada warga lindungan Inggris yang tinggal di Brunei di hapuskan, dan orang-orang yang telah memiliki tempat tinggal permanen di Brunei akan dapat terus bertempat tinggal dan akan diberikan sertifikan internasional terkait identitas untuk tujuan perjalanan. Namun demikian, banyaknya komunitas Cina yang tinggal di Brunei memberikan kegelisahan kepada masyarakat Brunei pribumi, khususnya apabila diberikan status kewargaraan dan hak atas tempat tinggal, hal ini tentu akan mengancam hak masyarakat asli Brunei. 

Masyarakat Brunei memiliki tingkat pendapatan per kapita tertinggi di kawasan ASEAN, lebih dari US $ 11.000 pertahun. Angka ini tentu saja mengilustrasikan kekayaan relatif Brunei sebagai negara penghasil minyak, dan dengan populasi yang sangat kecil, sehingga mempengaruhi distribusi pendapatan di negara tersebut. Dalam serangkaian Rencana Lima Tahun Brunei, investasi besar telah dibuat dalam hal kesejahteraan, sosial, dan infrastruktur ekonomi. Dolar Brunei setara dengan Dolar Singapura dan bernilai sekitar US $ 0,48. Pemerintah juga memberikan beberapa kebijakan berupa dukungan subsidi harga rendah bagi masyarakat menengah kebawah untuk makanan dan bahan bakar. 

Kekayaan Brunei terutama bersumber kapada kegiatan dari Brunei Shell Petroleum, dimana pemerintah Brunei memegang 50% saham ekuitas. Sejak sumur pertama mulai memompa di lapangan Seria pada tahun 1929, BSP telah menghasilkan hampir 1,7 juta barel minyak. Cadangan yang diberikan adalah lebih dari 1,6 juta barel. Saat ini tingkat produksi adalah sekitar 180.000 barel per hari, ini dapat dijadikan sebagai cadangan selama dua puluh tahun. Produksi minyak mencapai tingkat tertinggi di tahun 1979, yakni sebesar 268.000 barel per hari, setelah pada akhirnya dibentuk kebijakan untuk memotong/ mengurangi produksi minyak yakni sebesar 27% pada tahun 1980 dan 1981. Keputusan untuk mengurangi produksi tampaknya telah didasarkan pada pertimbangan pasar dan sudah ada surplus yang besar pemerintah dari pendapatan. Meskipun Brunei dalam standar OPEC masih merupakan produsen minyak yang tergolong kecil (peringkat ke-23 dunia) namun tingkat konsumsi Brunei juga tidak membutuhkan terlalu banyak minyak. Selain minyak, Brunei juga merupakan sumber dari gas alam. Gas dari sumur lepas pantai dipompa ke pabrik pencairan terbesar di dunia di Lumut, bersama-sama dimiliki oleh pemerintah Brunei, Brunei Shell, dan Mitsubishi. Lebih dari lima juta ton gas alam cair (LNG) per tahun diekspor ke Jepang dengan kontrak selama dua puluh tahun (sejak 1992). Brunei, setelah Indonesia, merupakan pemasok utama Jepang dalam produk gas alam. Cadangan gas Brunei diperkirakan 109 meter kubik atau setara energi lebih besar dari cadangan minyak.

Pada tahun 1980, total ekspor Brunei tercatat sebesar B $ 9,7 miliar, di antaranya minyak dan gas alam menyumbang 99%. Ekspor minyak mentah Brunei terutama kepada 9 negara yakni: Jepang (59%), Singapura (10,5%); Amerika Serikat (10,4%); Afrika Selatan (7,8%), Thailand (6,4% o) Filipina (1,7%) , dan Australia dan Selandia Baru masing-masing kurang dari 1%. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...