Mata kuliah Politik Pembangunan Pemerintahan Negara Asia Timur
SEMESTER II
SEMESTER II

MASYARAKAT, POLITIK, DAN PEMERINTAHAN KOREA
By: Mochtar Mas'oed & Yang Seung Yoon
SEJARAH POLITIK
Menjelang abad ke-20, situasi politik
disekitar Semenanjung Korea cenderung lebih condong ke Jepang daripada ke
Daratan China. Kecendrungan itu disebabkan oleh adanya pandangan kedua negara
tersebut terhadap dunia luar dimana pandangan masing-masing negara itu berbeda
satu sama lain. China masih menganggap dirinya adalah pusat dunia dan percaya
bahwa kebudayaan yang dimilikinya jauh lebih unggul daripada kebudayaan yang
dimiliki oleh dunia luar. Dengan anggapan dan kepercayaan seperti itulah, China
tak mau melihat semua hal yang dikembangkan diluar daratan China, sedangkan
Jepang sebagai negara kepulauan yang tidak memiliki banyak oihan sejak awal
teah mengarah menuju dunia luar melalui
laut.
Bangsa Korea membuka pelabuhanIncheon
bagi negara Barat pertama kali pada tahun 1876. Sejak saat itu, sejarah modern
Korea mengalami perubahan besar, baik sejarah historis maupun politisnya. Ditengah
masa berubahnya periode sejarah itu, gerakan nasionalis me menjadi peristiwa
sejarah politik yang terpenting di Korea. Gerakan untuk membentuk negara rakyat
mulai dijalankan darimasa akhir Dinasti Chosun, diteruskan selama masa
penjajahan Jepang (1910-1945) dan berkembang setelah Korea merdeka.
MASA PENJAJAHAN JEPANG (1910-1945)
Penjajahan Jepang di Korea mulai
berlangsung pada masa akhir Kerajaan Chosun telah menghancurkan kerajaan dan
rakyat. Jepang ingin menguasai Semenanjung Korea yang strategis dan kemudian
ingin memasukkan Semenanjung Korea tersebut sebagai bagian dari wilayah Jepang,
serta kemudian menguasai rakyat Korea dan memasukkan rakyat Korea dalam
struktur masyarakat Jepang. Dengan kata lain, penjajahan Jepang terhadap Korea
didasarkan pada tujuan politis.
Masa penjajahan Jepang di Korea dimulai
dari penggabungan dinasti Chosun pada tahun 1910, yang sebelumnya telah
memotong terlebih dahulu campur tangan China dan Rusia terhadap Semenanjung
Korea tersebut dengan mengadakan perang melawan dua negara besar tersebut.
Didalam masa penjajahannya, terdapat
berbagai perubahan kebijakan penjajahan sepanjang 35 tahun, yaitu antara tahun
1910-1945. Dari awal penjajahannya, Jepang tetap memegang kebijakan “Naesun Ilche” yang menyatakan bahwa
Jepang dan Korea (Chosun) adalah satu badan. Hal itu membuat pihak Jepang
semakin membabi buta melakukan eksploitasi terhadap Korea. Misalnya, pada abad
ke-18 hingga abad ke-19, pihak Jepang seringkali melakukan tukar menukar barang
dengan alasan ‘perdagangan’ terhadap masyarakat Korea, namun tidak dilakukan
secara seimbang.
Eksploitasi ekonomi juga dilakukan
Jepang terhadap Korea dengan cara mengekspor barang-barang industri Jepang yang
murah kepada Korea dan sebaliknya mengimpor barang-barang mentah yang mahal
dari Korea namun dengan harga yang sangat murah.
Pada masa pecahnya Perang Dunia II,
penjajah Jepang semakin lebih mementingkan penanaman modal di Korea daripada
melakukan ekspor-impor industri. Penanaman modal ini dilakukan oleh kaum
kapitalis yang memonopoli keuangan Jepang. Penjajah Jepang, disatu sisi mencoba
menguasai kaum feodal Korea, dan dengan sisi lainnya memasukkan nilai-nilai
kapitalisme kedalam tradisi masyarakat Koreal dan mulai melakukan modernisasi
masyarakat Korea.
Pada masa pecahnya Perang Dunia II, masa
penjajahan Jepang dapat dibedakan menjadi beberapa tahap, yakni :
Pertama,
tahun 1910, penjajah Jepang melakukan kebijakan pemusnahan rakyat Korea yang
membuat Korea dikuasai oleh polisi-polisi militer Jepang. Polisi-polisi militer
itu telah diberikan hak khusus untuk menentukan kehidupan masyarakat Korea,
memberikan mereka hukuman mati, dan lain-lain.
Untuk melawan kebijakan tersebut, maka
pada tanggal 1 Maret 1919, Korea mengobarkan gerakan perjuangan kemerdekaan,
yang dalam waktu singkat meluas hingga keseluruh Semenanjung Korea bahkan
hingga kawasan Manchuria China.
Diwilayah Jepang sendiri, bangsa Korea
sudah mulai membentuk pasukan dan satuan kemerdekaan yang memiliki senjata. Di
sampan itu, organisasi-organisasi keagamaan dan kaum petani juga bergerak mengumpulkan
dana untuk memberikan dukungan bagi gerakan kemerdekaan. Sehingga pada bulan
September 1919, gerakan perjuangan kemerdekaan berhasil mendirikan Pemerintahan
Sementara Korea di Shanghai, China. Pemerintah sementara itu menegakkan
ideology baru untuk mendirikan suatu negara yang menggunakan ideology baru untuk mendirikan suatu negara yang
memakai system republic demokrasi sebagai pengganti system kerajaan.
Akibatnya, pada tahun 1920-an,
Imperialis Jepang mulai memperbaiki kebijakan penjajahannya. Jepang mengumumkan
politik kebudayaan, untuk meredam gerakan kemerdekaan yang dilancarkan Korea.
Tetapi, sebenarnya kebijakan tersebut sama saja dengan kebijakan pemusnahan
rakyat Korea dengan militer tersebut, pada intinya, yang diganti hanyalah
namanya saja.
Namun, pemerintah Jepang mencoba
meyakinkan bahwa kebijakan tersebut tidak sama dengan kebijakan sebelumnya,
karena pada kebijakan kebudayaan ini, pihak Jepang telah mempersilahkan rakyat
Korea untuk memperoleh pendidikan.
Pada tahun 1920-an, ditengah pelaksanaan
kebijakan Politik Kebudayaan tersebut, ideology sosialisme mulai merasuki Korea
dan mengakibatkan terjadinya perpecahan dan menimbulkan pertentangan dua
ideology besar, yaitu kanan dan kiri.
Tahun 1931-1945, Jepang mengobarkan
Perang Manchuria. Kemenangan yang diperoleh oleh Jepang, meningkatkan posisi
Semenanjung Korea secara strategis. Dan sejak saat itu, Jepang menjadikan
Semenanjung Korea sebagai basis logistic perang. Secara otomatis, akhirnya
kebijakan politik budaya dihapuskan, dan Jepang mulai kembali mengeksploitasi
Korea secara besar-besaran. Peralatan makan rakyat Korea yang terbuat dari
logam disita dan dilebur untuk dijadikan senjata perang Jepang. Rakyat Korea
juga dipaksa untuk menggunduli pohon-pohon pinus dan mengambil damarnya untuk
dijadikan bahan bakar kendaraan perang pengganti bensin.
Akibat dari dihapuskannya kebijakan
politik budaya Korea, maka hak untuk mendapatkan pendidikan bagi rakyat Korea
ikut dihapuskan. Jepang melarang Korea mempelajari apapun yang terkait dengan perkembangan
Korea, baik sejarah, huruf Korea, bahasa, maupus peristiwa seni budaya Korea.
Hanya pelajaran mengenai Jepang yang
sengaja diberikan untuk pendidikan rakyat Korea, hal itu dimaksudkan untuk
mendoktrin masyarakat Korea dengan sejarah-sejarah Korea yang sengaja
dimasukkan Jepang sebagai sejarah Jepang. Serta Korea juga hanya diperbolehkan
mempelajari bahasa Jepang. Dan disegala organisasi pendidikan, ditanamkan
pengertian bahwa rakyat Korea adalah rakyat bawahan dibawah raja Jepang.
Jepang juga memaksa bangsa Korea untuk
mengganti nama keluarga mereka menjadi nama keluarga orang Jepang. Hal itu
menunjukkan bahwa pada masa penjajahan Jepang, para imperialis Jepang tidak hanya melakukan eksploitasi
secara ekonomis terhadap Korea tetapi juga menghancurkan tatanan kehidupan
rakyat Korea. Hal itu dilatar belakangi oleh tujuan rakyat Jepang yang
menginginkan negara Jepang dan Korea menjadi satu negara Jepang saja.
Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak
negara-negara baru merdeka mengalami masa revolusi untuk membersihkan
pemerintahan baru yang bersih. Namun Korea tidak mengalami masa revolusi itu.
Setelah berkahirnya masa penjajahan Jepang (1910-1945) dan masa Penguasaan
Sekutu (1945-1948) yang sangat singkat, Korea langsung memulai kembali
pemerintahannya sebagai negara merdeka dengan melanjutkan pemerintahan yang
telah ada sebelumnya tanpa membersihkan unsure-unsur colonial dari
pemerintahannya tersebut.
Dalam proses membentuk pemerintahannya,
Korea mengalami berbagai macam kendala, diantaranya : korupsi, dan para kepala
pemerintahan baru yang sama sekali belum memiliki pengalaman sehingga tidak
tahu harus melakukan apa. Diikuti dengan konflik serta kerusuhan yang
berlangsung sebagai akibat dari permasalahan-permasalahan diatas tersebut.
Pada tanggal 15 Agustus 1948,
diangkatlah Rhee Syngman sebagai Presiden Republik Pertama di Korea. Selama 16
tahun masa penyelenggaraan pemilihan
presiden dan wakil presiden Korea Selatan (akibat Perang Dunia II, Korea telah
terbagi menjadi dua negara, yaitu Korea Utara dan Selatan: Korea Utara dibawah
pemerintahan Uni Soviet, dan Korea Selatan dibawah pemerintahan Amerika
Serikat) berani melanggar Undang-Undang Dasar dengan tujuan agar tetap dapat
memegang pemerintahan Korea sesuai dengan kemauannya sendiri. Presiden Rhee
Syngman menerapkan pemerintahan Machiavelis, yaitu kuasa penuh.
Hal itu menyulut ketidakpuasan mahasiswa
yang kemudian menyebabkan meletusnya revolusi mahasiswa pada tanggal 19 April
1960.
Melalui Revolusi Mahasiswa 19 April
1960, Partai Liberal dan Presiden Rhee Syngman yang berkuasa saat itu diganti
oleh Partai Demokrasi. Dengan pergantian partai politik itu, pemerintahan baru
Korea diwujudkan oleh kekuatan sipil. Setelah meruntuhkan pemerintahan
anti-sipil sebelumnya, pemerintahan Republik Kedua (1960-1961) yang dipimpin
oleh Perdana Menteri Chang Myon meluaskan lingkungan politiknya bagi
partisipasi mayarakat luas.
Akan tetapi, pada masa pemerintahan
Republik Kedua ini tidak memberika banyak langkah-langkah yang berarti, karena
hanya memiliki tujuan untuk mengganti pemerintaha saja. Permasalahan penting
Korea seperti pembagian Semenanjung Korea, hubungan luar negeri dan masalah
kelas dalam masyarakat Korea tidak diperhatikan oleh Chang Myon dan para tokoh
Partai Demokrasi. Hal ini menyebabkan situasi politik Korea semakin memanas.
Yang akhirnya mendorong munculnya kudeta militer pada tahun 1961 yang dipimpin
oleh Jenderal Park Chung Hee, yang berakhir dengan runuhnya kekuasaan
pemerintahan Republik Kedua.
Meskipun demikian, keruntuhan Republik
kedua di Korea mengandung beberapa arti politik, yaitu yang pertama, untuk dapat melaksanakan system
politik yang demokratis, diperlukan keadilan yang didukung oleh efisien system
politik. Dan yang kedua, untuk dapat
mengembangkan demokrasi secara sukses, diperlukan kesesuaian antara kesadaran
kekuatan politik dan tuntutan demokratisasi oleh rakyat. Dan walaupun Republik
Kedua ini hanya berlangsung secara singkat, namun pada masa jabatannya,
pemerintahan itu telah berhasil melaksanakan system parlementer dan system pemerintahan
lokal yang demokratis, organnisasi-organisasi hak-hak manusia juga dikurangi.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan republic kedua
Korea ini telah mencoba memperluas partisipasi dan kebebasan politik rakyat.
Setelah Republik Kedua itu jatuh,
Jenderal Park segera membentuk Badan Eksekutif untuk Pembangunan Nasional dan
selama tiga tahun kemudian, ia memimpin pemerintahan militer.
Namun hal itu juga membawa pengaruh
negative bagi perkembangan politik Korea, karena militer kembali mendominasi
dan menguasai semua kekuatan politik, dan menjadikan politik Korea sebagai
system militer otoriter.
Hingga akhirnya, pada tahun 1963,
dibentuklan Republik Ketiga Korea, yang tujuannya adalah memerima keinginan
rakyat untuk merubah dominasi pemerintahan militer dan membuka masa republic
kembali di negara Korea.
Jenderal Park Chung Hee akhirnya
dinobatkan sebagai Presiden Republik Ketiga Korea. Dan ditangan Presiden Park
Chung Hee, ia memutuskan untuk membentuk pemerintahan dibawah kepemimpinannya
sendiri dengan alasan melangsungkan modernisasi tanah air dan industrialisasi
perekonomian bangsa dibawah system Yu
Shin[1].
Tetapi, walaupun Republik Ketiga Korea
telah berubah kembali menjadi system politik sipil, namun pengaruh militer
tetap terasa kuat, terbukti dari para anggota politiknya adalah orang-orang
militer juga. Hal ini menyebabkan Republik Ketiga ini memiliki legitimasi
politik yang sangat rendah sehingga dalam waktu yang relative singkat telah
menghadapi ancaman dan pertentangan lainnya.
Ancaman dan pertentangan pada masa
Republik Ketiga Korea mencapai puncaknya pada tanggal 26 Oktober 1979, ketika
terjadi peristiwa pembunuhan Presiden Park Chung Hee yang dilakukan oleh Kim
Jae Kyu yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Intelejen Korea. Hal itu
membangkitkan konflik politik yang kian meruncing dan menumpuk selama masa
jabatan Presiden Park Chung Hee tersebut.
Kematian Presiden Park Chung Hee
tersebut justru dijadikan sebagai kesempatan bagi Jenderal Chun Doo Hwan untuk
merebut kekuasaan pemerintahan, sehingga ia dapat memegang kekuasaan politik
Korea baru. Jenderal Chun Doo Hwan mulai menyalahgunakan UUD yang baru agar
dapat dipilih menjadi presiden Korea selanjutnya melalui pemilihan tak
langsung. Dan akhirnya, Jenderal Chun Doo Hwan berhasil menjabat sebagai
presiden selama 7 tahun sampai tahun 1987. Dalam pemerintahannya pada Republik
Kelima Korea, Chun Doo Hwan juga menganut system Yu Shin, sehingga ia dapat
menguasai segala bidang perpolitikan.
Pada masa Republik Kelima jugalah
terdapat adanya pengutamaan bagi kaum teknokrat elit dan pemanfaatan kelompok
militer. Bahkan hingga diakhir masa jabatannya, Presiden Chun mencoba
mewariskan kekuasaan politik yang dipegangnya kepada kolega militernya.
Pewarisan kekuasaan politik itu dilakukan dengan menggunakan cara yang sama
dengan sewaktu pengangkatan dirinya menjadi presiden dahulu.
Menyadari rencana pergantian kepala
negara seperti itu, seluruh rakyat Korea mulai melakukan aksi demontrasi untuk
memperotes rencana tersebut, dan aksi itu memuncak pada akhir bulan Juni 1987.
Dan akhirnya, system pemilihan umum
dilakukan kembali seperti prosedur semula, dengan dipilihnya Roh Tae Woo
sebagai Presiden Republik China keenam Korea. Pada masa pemerintahan ini, badan
legislative dan yudikatif diperkuat, baik kekuatannya maupun sifat otonomnya.
Dengan demikian, system pemerintahan yang terdiri dari tiga badan utama mulai
mencari kembali keseimbangannya.
Selain itu, otonomi pemerintah lokal
dihidupkan kembali setelah selama 3 dasawarsa tidak dilaksanakan di Korea.
Kebebasan pers juga dihidupkan kembali.
Yang dengan demikian, telah menunjukkan bahwa keinginan rakyat telah dipenuhi
oleh pemerintah yang baru tersebut.
Tetapi, selama masa berlangsungnya
Republik Keenam ini juga tak lepas dari
konflik politik yang menjadi semakin tajam karena kebebasan politik yang
mengakibatkan terjadinya persaingan luar biasa diseluruh kalangan politik
Korea. Dan Presiden Roh tampak tidak mampu memenuhidan mengendalikan keinginan
rakyat yang terus meluap seiring dengan desakan demokrasi yang terjadi.
Setelah Presiden Roh diturunkan dari
jabatan kepresidenannya, Kim Young Sam diangkat sebagai penggantinya. Pada masa
pemerintahannya lah terjadi perubahan system politik secara total, yaitu dari
system kekuatan militer ke system kekuatan sipil. Hal itu juga yang
mengisyaratkan perubahan secara revolusioner dalam lingkungan politik Korea. Namun,
penyempurnaan demokrasi dan konsolidasi demokrasi masuh merupakan masalah
terpenting dalam pemerintahan Kim Young Sam.
Dan oleh karena keinginan Kim Young Sam
untuk mewujudkan kestabilan tiga badan pemerintahan terpenting, memperkuat
peranan Badan Pemeriksa Keuangan, serta melaksanakan keinginan elit sipil dan
masyarakat luas, membuat ia terlalu bersemangat dalam mengajukan perubahan
system politik, sehingga menyebabkan terlalu seringnya terjadi perubahan
susunan cabinet, namun tanpa berhasil melaksanakan satu tujuan pun. Dan
akhirnya, masa pemerintahannya hanya berumur lima tahun, usaha presiden Kim
untuk memperbaiki kondisi politik, ternyata malah membawa Korea kedalam kondisi
perekonomian yang parah, karena tidak diperhatikan.
BUDAYA POLITIK KOREA
Budaya politik Korea dicirikan dengan
budaya politik otoriter di mana rakyat tunduk dan memberikan penghormatan
kepada pemerintah. Tanpa tahu apa alasan mereka melakukan penghormatan
tersebut. Akan tetapi, satu hal yang pasti, rakyat Korea sejak zaman dahulu
memang lebih mementingkan urusan kemasyarakatan daripada urusan pribadi.
Dalam budaya politik seperti itulah,
yang menyebabkan hubungan antara kaum elit politik dan rakyat Korea berkembang.
Akibat budaya tersebut, kebijakan politik yang berdasarkan pada prinsip
persetujuan rakyat secara umum dan prinsip pertanggungjawaban semakin dikurangi
dan mulai kehilangan warna aslinya. Paternalisme otomatis berlaku sebagai
prinsip politik Korea.
Kebudayaan Konfusius juga turut
mengambil peran penting dalam budaya masyarakat Korea sejak zaman Kerajaan
Chosun, dan hingga kini, sebagian besar rakyat Korea lebih condong kepada
kewibawaan dan masih menekankan konsep serta idiologi Konfusius. Yang membuat
rakyat Korea menjadi mudah untuk disatukan.
Namun, budaya tersebut berbeda dengan
budaya yang dianut oleh negara-negara lain. Sehingga prinsip demokrasi masih
sulit diterapkan, karena memang rakyat Korea itu sendiri yang masih suka
membela negara dan pimpinannya daripada membela dirinya sendiri.
Namun, walaupun menyadari prinsip
demokratisasi memang tampaknya sangat sulit untuk dikembangkan di Korea, namun
sejak masa penjajahan Jepang berakhir hingga Korea memperoleh kemerdekaannya,
Korea terus berusaha untuk menerapkan system demokrasi tersebut.
Hal itu terbukti dari usaha Korea dalam
menerapkan system pemilihan presiden yang dilaksanakan secara demokratis
melalui pemilihan umum. Namun, tetap saja, budaya mengikuti dan menuruti
kemauan pimpinan, menyebabkan perkembangan demokrasi itu kemudian diselewengkan
sebagai alat untuk memperbesar kekuasaan politik penguasa.
Selain unsure kebudayaan Konfusius,
negara asing juga merupakan factor dalam memandang kenegaraan dan kaum elit
negara Korea. Dimasa-masa lampau, China, Rusia, dan Jepang menjadi pihak-pihak
yang mengganggu perkembangan negara dan bangsa Korea, dan dimasa modern,
Amerika Serikat juga turut serta dalam mencampuri urusan kenegaraan Korea, yang mengakibatkan
terpecahnya wilayah Korea menjadi dua bagian.
Unsur-unsur yang diakibarkan oleh dunia
luar tersebut menyebabkan Korea Selatan cenderung Pro Amerika Serikat dan tidak
memiliki kekuatan otonom dalam menangani urusan luar negeri. Kehadiran dan
campur tangan Amerika Serikat serta penempatan pasukannya untuk menjadikan
Korea sebagai lokasi keamanan militer Korea Selatan dibawah pimpinan Amerika
Serikat, telah dibenarkan Korea Selatan.
Besarnya pengaruh asing tersebut juga
dilatarbelakangi oleh rakyat Korea yang belum terdidik sehingga tidak dapat
menangani urusan-urusan kenegaraan, apalagi yang bersangkutan dengan luar
negeri, sehingga urusan kenegaraan dan hubungan-hubungan luar negeri Korea
masih dilaksanakan oleh pihak asing.
Setelah Korea merdekapun, segenap proyek
pembangunan nasional dikerjakan oleh pemerintah militer Amerika Serikat.
Sehingga, setelah Perang Dunia II berakhir, negara Korea tidak memiliki sifat
mandiri terhadap masalah internasional dan tetap dipengaruhi oleh Amerika Serikat.
Hingga akhirnya terjadi perubahan pada
tahun 1970 yang diawali oleh keresahan masyarakat sipil akan kedudukan mereka
terhadap kekuatan supremasi negara dan masalah ketidak adilan penguasaan
kekayaan nasional. Kekuatan masyarakat sipil ini semakin meningkat karena
masyarakat sipil Korea telah berkembang sebagai hasil dari industrialisasi dan
modernisasi yang tengah berjalan dengan pesat di Korea.
Peristiwa kerusuhan yang kian berkembang
itu lama kelamaan mendorong merebaknya gerakan demokratisasi di Korea Selatan
pada tahun 1987, gerakan tersebut telah berani merongrong kekuasaan yang
absolute. Membuktikan bahwa sudah semakin banyak masyarakat yang berpikirna
demokratis dan tak lagi tergantung kepada kebudayaan.
Peningkatan kekuatan kerusuhan tersebut
juga dilatarbelakangi oleh pemerintah militer-sipil yang telah kehilangan
kewibawaannya bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, sehingga tidak
dapat lagi mengontrol kalangan pengusaha dan kaum buruh dengan ketat. Oleh
sebab itu, kerusuhan buruh kemudian menjadi cirri khas dari pemerintahan masa
Presiden Kim Young Sam.
Selain itu, Kim Young Sam juga telah
merusak seluruh tatanan perekonomian, terbukti dari pada masa sebelumnya, Korea
telah dapat menuju pasar bebas seiring dengan system Putaran Uruguay dan system
perdagangan WTO dimasa globalisasi internasionalisasi. Kalangan pengusaha juga
semakin sulit memperoleh pinjaman dan pada masa pemerintahan Kin juga lah yang
membuat kalangan pengusaha Korea belum memiliki daya saing dalam pasar
internasional. Ditambah lagi, krisis
moneter yang melanda Korea pada masa itu.
Setelah diturnkannya Kim Young Sam dari
jabatan kepresidenannya, Kim Dae Jung diangkat menjadi Presiden selanjutnya. Ia
memegang peran yang berat akibat masa pemerintahannya sebelumnya. Dan untuk
memulihkan perekonomian Korea tersebut, Kim Dae Jung membentuk Komite Nosajung[2] sebagai komite yang langsung dikuasai
oleh kepala negara.
Tujuan dibentuknya Nosajung tersebut adalah untuk mempertemukan aspirasi dari kalangan
perburuhan, pengusaha, maupun pemerintah. Namun dalam pelaksanaanya, Komite nosajung tidak berjalan dengan lancar.
Kaum buruh memiliki suara serta tuntutan keras karena selama ini kelangan
perburuhan telah dapat mengorganisir segenap lapangan perburuhan di Korea, para
pengusaha juga turut mengadakan perselisihan. Hal ini membuat Presiden Kim Dae
Jung (DJ) tidak memiliki banyak pilihan untuk mengontrol kalangan buruh dan
pengusaha tersebut. Namun, usaha Nosajung
ini adalah pertanda awalnya dimulai system demokratisasi yang sebenarnya dalam
masyarakat Korea.
Dan memasuki abad 21, demokratisasi
ditingkat negara dan masyarakat sipil Korea menghadapi banyak kesulitan
sehubungan dengan semakin bervariasinya tantangan liberalisasi dan
internasionalisasi. Usaha untuk mencari jalan tengah dan menyesuaikan semua
unsure melalui prosedur yang disetujui oleh semua orang dalam masyarakat yang
semakin berkembang dengan pesat itu akan menjadi upaya yang benar-benar sulit.
KEPEMIMPINAN
ELIT POLITIK
Karakteristik elit politik Korea
memiliki konsep atau kesadaran bahwa mereka menempati posisi khusus dalam
panggung politik, serta memiliki hak-hak istimewa. Hal itu menyebabkan para
politikus dalam praktek kenegaraannya kerap bertindak sewenag-wenang dan
menyalah gunakan hak-hak istimewa.
Penyalah gunaan hak-hak istimewa tersebut
menjadikan rakyat Korea cenderung memandang elit politiknya sebagai penipu dan
membuat mereka tidak percaya lagi kepada para elit politik yang menjalankan
pemerintahan.
Selain itu, para elit politik Korea juga
memiliki karakteristik suka saling berebut kekuasaan dengan seribu cara yang
sangat Machiavelis, dan cenderung
menyelesaikan masalah dengan mengumpulkan serangan fisik anggota-anggota
politiknya, daripada keahlian politiknya itu sendiri. Dan pada umumnya, seluruh
elit politik memiliki cirri, watak, serta pemikiran yang sama / seragam. Dalam
pengambilan keputusan pun, mereka cenderung mengabaikan suara-suara minoritas,
selain itu mereka juga kurang professional.
FUNGSI
DAN PERANAN PERS
Sejarah penerbitan harian di Korea telah
berlangsung lebih dari satu abad, yang ditandai dengan penerbitan edisi pertama
Harian Kemerdekaan yang disebut Dongnip
Shinmun yang diterbitkan oleh tokoh pejuang kemerdekaan; Suh Jae Pil,
sebagai sarana publikasi resmi Komite Kemerdekaan Korea. Surat kabar itu
merupakan harian non pemerintah yang pertama di Korea.
Walaupun mendapat banyak gangguan dan
tekanan dari pemerintah penjajah Jepang, beberapa harian juga pernah memegang
peranan penting dalam menyadarkan rakyat umum mengenai keadaan yang sebenarnya
terjadi di Korea pada masa itu, serta untuk membangkitkan semangat kemerdekaan
bangsa.
Pada masa penjajahan Jepang, harian
tersebut sering dihentikan, karena fungsi dan perananya sebagai harian anti
pemerintah penjajah Jepang. Harian tersebut juga tak bertahan lama, karena
menghadapi tekanan pemerintah imperialis. Sebaliknya, golongan elit dan masyarakat
umum Korea dimasa penjajahan Jepang sangat menghargai fungsi dan peran harian
tersebut. Tetapi, sayangnya, fungsi dan peran harian tersebut juga seringkali
disalahgunakan oleh kekuatan politik yang muncul setelah Korea merdeka. Meskipun ada perubahan fungsi dan
peranan harian Korea sejak saat itu, namun masyarakt Korea tetap masih
mempercayai fungsi dan peranan harian tersebut hingga sekarang.
Dalam perkembangannnya, Pers dapat
dilihat pada pasa republic pertama dan kedua Korea. Pada masa pemerintahan
baru, kalangan pers Korea segera terpecah berdasarkan 4 isu utama, yakni ; isu
mengenai mantan politikus pro Jepang, yang isinya menyerang mantan politikus
pro Jepang tersebut dan menuntut segera dimunculkan kekuatan politik baru di
Korea.
Isu kedua adalah; isu mengenai
Komunisme, yang isinya menuntut agar Korea bersikap anti komunis, serta bagian
lain menuntut agar Korea pro terhadap Komunis.
Ketiga, adalah isu mengenai keberadaan
pemetintahan militer Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang isinya melarang
keberadaan pemerintahan militer Amerika Serikan di Korea Selatan dan Uni Soviet
di Korea Utara, serta bagian lainnya yang mendukung keberadaan pemerintahan
militer tersebut.
Keempat, isu mengenai dua negara Korea
yang isinya menginginkan kembali Korea Utara dan Korea Selatan bersatu kembali.
Pada masa Perang Korea (1950-1953)
aktivitas harian Korea menjadi terhambat kemunculannya. Fungsi harian Korea
semakin merosot dan dibatasi kepada fungsi yang melaporkan pengumuman dari
markas besar pasukan PBB yang ada di Korea, dan sebagian besar harian yang lain
telah berhenti fungsi dan peranannya.
Setelah Korea merdeka hingga masa akhir
Republik Kedua Korea, fungsi dan peranan kalangan pers dapat memperoleh nilai
positif. Pada masa Republik Kelima Korea, pers diberikan kebebasan, namun
cenderung aktif dalam menentang kebijakan-kebijakan pemerintahan saja, serta
menyertakan pendapat umum didalamnya.
Pada masa Republik Ketiga Korea,
terbentuk perintah kemiliteran pasal 11 yang mencantumkan ara-cara untuk
membersihkan serta membasmi organisasi pers gadungan. Akibat perintah tersebut,
1200 lebih terbitan menghentikan penerbitannya, dan hanya sekitar 485 yang
tetap dibiarkan hidup, termasuk 44 macam terbitan harian, 65 macam terbitan
mingguan, serta 270 macam terbitan bulanan.
Pada tanggal 28 Mei 1961, departemen
Informasi sekali lagi mengumumkan peraturan pers yang lebih ketat, yang
tujuannya agar kalangan pers tidak dapat lagi mengkritik pemerintahan militer.
Pemerintah militer kemudia memperketat pengawasan terhadap kalangan pers untuk
mengontrol fungsi dan peranan pers sebagai sarana informasi masyarakat.
Akibatnya, penerbitan harian menjadi sangat dibatasi dan hanya dimiliki oleh
sejumlah kalangan kapitalis.
Perkembangan pers di masa Republik
Keempat Korea juga masih terbatas dalam
mengumpulkan berita. Tetapi, pengontrolan diserahkan kepada pihak
organisasi per situ sendiri, pemerintah bahkan mengangkat pimpinan wartawan
sebagai juru bicara organisasi pemerintah dan sebagai pengontrol susunan
penyiaran. Dengan demikian, pemerintah dapat mengontrol penyaluran informasi
dari pemerintah maupun masyarakat umum.
Masa Republik kelima, setelah menguasai
kekuatan politik, kelompok militer baru (Jenderal Chun Doo Hwan) segera
melakukan reformasi kalangan pers dan system penguasaannya. Kebijakan pers pada
masa pemerintahan Republik Kelima lebih keras daripada kebijakan-kebijakan pers
selama masa republic yang lain.
Pemerintahan Republic Kelima dengan
paksa melarang sejumah besar wartawan untuk melaksanakan tugas jurnalistik
mereka. Hal itu didorong oleh adanya kekhawatiran pemerintah militer baru
terhadap perkembangan para wartawan yang semakinlama dapat menjadi kekuatan
anti pemerintah.
Dengan pengontrolan pemerintah, isi
berita harian yang terbit menjadi hampir sama, sehingga menyebabkan rakyat umum
semakin lama enggan membaca harian dan lebih condong mendengarkan siaran di
radio. Hingga akhirnya pertengahan masa Republik Kelima, siaran radio juga
akhirnya dimiliki secara pribadi, pemerintah mengambil alih siaran radio Korea.
Namun, setelah memasuki masa Republik
Keenam Korea, kegiatan dan fungsi pers mulai mendapatkan titik terang. Peran
pers menjadi sangat aktif, karena pemerintahan tak lagi mengontrol informasi
dan berita penting yang datang dari kalangan pers internasional. Dengan
demikian, fungsi pers dan peran pers telah memasuki era baru.
Pemerintah Republik Keenam kemudian
menggunakan cara pengawasan kalangan pers melalui modal. Bermacam-macam
kebijakan pengawasan lingkunga pers dilakukan secara tidak langsung. Sejumlah
bisnis konglomerat bersaing untuk memiliki perusahaan pers. Karena, disisi
lain, sejumlah besar kegiatan pers juga muncul kembali dan membanjiri masyarakat
Korea.
KELOMPOK KEPENTINGAN DAN PARTAI POLITIK
Dalam sistem politik yang
demokratis,kelompok kepentingan mempunyai peran yang sangat penting. Pada tahun
1990-an kegiatan aktif kelompok
kepentingan telah menjadi sebuah unsur penting untuk mengembangkan politik
Korea.
Munculnya kelompok kepentingan dan
aktifnya kegiatan mereka menimbulkan
pula efek negatif dalam masyarakat Korea dalam membentuk kerjasamanya.Setelah
memasuki tahun 1990-an, perkembangan masyarakat sipil terus terjadi dan semakin
dikembangkan dalam proses Industrialisasi dan Demokratisasi.
Akhir tahun 1990-an,bersama gerakan
kemasyarakatan di Korea,kelompok kepentingan diperbesar kuantitasnya sementara
fungsi dan peranannya dalam masyarakat sipil pun diutamakan.Adanya persaingan
maupun kerjasama antara kelompok kepentingan tersebut telah meningkatkan
kerjasama,tetapi juga telah memperlihatkan konflik yang sangat tajam.Kelompok
kepentingan Korea yang memiliki karakteristik seperti itu antara lain kelompok
kepentingan masyarakat sipil,perburuhan,kelompok guru,kelompok wanita dan
kelompok kepentingan lingkungan
hidup.Namun di Korea sistem politik masih belum mampu bekerja secara sempurna
dalam menyalurkan kepentingan yang bervariasi.
Sampai saat ini fungsi kelompok
kepentingan di Korea pada umumnya di pusatkan pada badan Eksekutif,mereka juga
belum memberikan pengaruh dan tekanan secara aktif terhadap badan legislatif
dan partai politik untuk menciptakan kepentingannya.Sementara itu partai
politik dan badan Legislatif tidak tidak menganggap kelompok kepentingan
tersebut sebagai pelaku politik yang seimbang Setelah memasuki masa
Reformasi,semua kelompok kepentingan telah menyadari dua hal yaitu,yang pertama
kemenangan melalui persaingan dan perjuangan dalam hubungan baru dan yang kedua
yaitu penetapan dan penyesuaian diri dalam struktur baru antara kelompok
kepentingan badan Legislatif-pemerintah.
Meskipun memberikan pengaruh positif bagi
keseimbangan hubungan antara pemerintah, badan Legislatif,dan kelompok
kepentingan tertentu(buruh,guru dsb).Keberadaan kelompok kepentingan juga dapat
menimbulkan ancaman bagi persatuan rakyat Korea Selatan
Dalam proses perkembangan partai politik
di Korea dibagi dalam 3 tahap, yakni:
1. Masa
Korea merdeka sampai masa pembentukkan pemerintahan Republik Korea
2. Masa
dimulainya pemerintahan Republik Korea sampai masa pembentukkan dua partai
politik besar (partai Liberal dan Partai Demokrat)
3. Masa
setelah berakhirnya penjajahan Partai Liberal dan dimulainya Partai Politik
untuk rakyat umum yang memiliki struktur politik.
PERMASALAHAN PARTAI POLITIK DAN TANTANGAN
Partai-partai
politik Korea memiliki sifat-sifat positif. Namun juga memiliki permasalahan
yang sangat serius. Politik Korea dapat juga disebut sebagai “politik seorang
kepala negara”, dimana partai politik hanya menjadi alat sampinangan untuk
memelihara kelanggengan pemerintahannya. Partai pemerintah dan kepala negara
sangat terkait, sehingga apabila kepala negara diganti maka partai politiknya
juga akan diganti.Sesuai dengan kecendrungan itu, partai pemerintah sangat
berkuasa menyebabkan semua partai oposisi memiliki kekuatan yang lemah.
Di
Korea, pemerintah tidak di ciptakan oleh partai politik, justru pemerintahlah
yang menciptakan partai politik. Hal ini juga menjadi masalah, partai politik
menjadi kurang mampu menjalankan fungsinya. Sementara itu partai politik juga
tidak memiliki sifat politis.
MENCAPAI PARTAI YANG IDEAL
Untuk
mengembangkan partai politik yang ideal di Korea,ada beberapa hal yang harus
diperhatikan :
1. Partai
politik tidak boleh mendukung kepentingan satu orang politikus.
2. Partai
politik harus terus berlangsung dan tidak memiliki kaitan dengan masa jabatan
pemimpin tertinggi.
3. Partai
politik harus menegakkan identitasnya dengan jelas
4. Dapat
memelihara struktur yang stabil serta menjaga sistem kekuasaan anggotanya.
5. Memiliki
kemampuan untuk menghubungkan rakyat dan pemerintah
6. Memilki
struktur atau badan yang dapat mengatur kebijakan pemerintah
7. Meningkatkan
jumlah dan kualitas anggotanya .
PERAN DAN FUNGSI BADAN LEGISLATIF
Korea memiliki 3 badan kenegaraan,salah
satunya yaitu badan Legislatif. Badan Lefislatif Korea dibentuK pada 31 Mei
1948.Pada masa DPR pertama disebut sebagai DPR pembentuk UUD Korea. DPR kelima
pada masa pemerintahan Republik Kedua di
Korea (29Juli 1960-16Mei 1961) menetapkan sistem dua majelis yaitu Min iu won
dan Cham Ui Won (majelis rendah dan majelis tinggi). Kecuali dalam masa yang
singkat itu Korea tetap memelihara sistem satu perwakilan rakyat.Selama
berlangsungnya sejarah legislatif Korea, pembentukkan majelis dan anggotanya
tidak dapat memenuhi penetapan UUD dalam masa jabatannya untuk kelima kalinya.
DPR pertama Korea disebut sebagai DPR
pembentuk Undang-Undang.Fungsi dan peran
DPR sangat luas yaitu:
1. Sebagai
badan Legislatif
2. Memiliki
hak untuk memeriksa pemerintahan
3. Memanggil
menteri kabinet untuk memberikan
keterangan mengenai kebijakan pemerintah
4. Membuka
rapat umum
5. Mendakwah
presiden dan pejabat tinggi pemerintahan
6. Memberikan
persetujuan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat tinggi pemerintahan
7. Melakukan
penyesuaian kebijakan reformasi hak untuk memilih presiden.
Setelah
kudeta yang terjadi pada 16 Mei 1961, melalui perubahan UUD, Republik ketiga
menghidupkan kembali sistem kepresidenan
dan sistem Majelis Tunggal. UUD dimasa Republik ketiga Korea sangat menjatuhkan
martabat rapat kabinet dengan tujuan untuk memperkuat kekuatan presiden.
Setelah dimulainya sistem Yu Shin dan
masa Republik keempat (1972), sistem parlementer jauh lebih baik menambahkan
sifat-sifat negara administratif. Pada masa ini sistem pemilihan anggota DPR
berganti menjadi sistem daerah pemungutan berskala menengah. Kegiatan, fungsi, dan
peranan badan Legislatif di masa Sistem Yu Shin sangat dikurangi dan sangat
tidak bisa berkembang.
Fungsi dan kewibawaan badan Legislatif
sedikit pulih pada masa Republik Kelima.Sistem pengangkatan anggota DPR oleh
Presiden dihapuskan, UUD Republik Kelima menetapkan konstituensi nasional.
UUD dimasa Republik Keenam
memperlihatkan sifatnya sebagai UUD yang telah sedikit Demokratis. Hak khusus
yang dinikmati partai pemerintah hampir semuanya dihapuskan. Pemulihan kembali
hak DPR menjadi dasar bagi DPR.
HUBUNGAN BADAN EKSEKUTIF DAN BADAN LEGISLATIF
Hubungan
antara badan Eksekutif dan badan Legislatif dapat berkembang maju apabila badan
Legislatif dapat mengontrol badan Eksekutif. Walaupun mengalami perubahan,DPR
Korea memilki hak-hak khusus untuk
mengontrol badan Eksekutif, namun disamping itu perwujudan hak-hak tersebut
sering dibatasi.
Perbedaan
badan Eksekutif dan badan Legislatif di Korea masih terlalu besar. Sementara
itu dimata rakyat umum, kemampuan anggota DPR masih belum mencukupi baik dari
segi moral, politis, maupun profesionaismenya.
Untuk
meningkatkan fungsi badan Legislatif Korea, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, diantaranya:
1. Fungsi
dan peran diperkokoh melalui pembukaan DPR sepanjang tahun dan waktu untuk mengadakan rapat anggota DPR jga
diperpanjang.
2. DPR
membatasii hak badan Eksekutif untuk mengajukan
UU.
3. Fungsi
dan peran rapat dalam DPR ditingkatkan dan penetapan peraturan dan pembicaraan
wajib dilakukan melalui rapat tersebut.
4. Profesionalisme
kerja oleh DPR
5. Kepala
DPR memiliki hak istimewa untuk mengontrol semua urusan dalam DPR.
SISTEM BIROKRASI
Sistem Birokrasi Korea pernah mengalami
perubahan kedalam berbagai bentuk berdasarkan sifat pemerintahan dan kebutuhan
lingkungan politik. Republik pertama di Korea jelas memperlihatkan dan
menonjolkan sistem birokrasi yang berfungsi untuk memelihara sistem politiknya,
sedangkan sistem birokrasi dimasa Republik Ketiga, Keempat, dan Kelima bersifat
keras dalam paksaan dan pengembangan negara dan bangsa.
Pada bulan Juli 1987, sistem Birokrasi
telah memasuki era baru dalam hal perubahan sifat sistem itu sendiri.Keadaan
politik yang masih rusuh menyebabkan kalangan pegawai pemerintah dan birokrat
tidak mau aktif bekerja melainkan hanya menerima perintah dari atasan saja.Hal
itu diperkirakan menjadi sebuah kecendrungan penyakit dalam sistem Birokrasi
Korea dimasa transisi.
Sistem
Birokrasi dimasa Republik Pertama
Sistem birokrasi dimasa Republik Pertama
Korea merupakan sistem birokrasi yang berfungsi untuk memelihara struktur
politik pemerintah dan sistem politik. Sistem birokrasi saat itu tidak sempat
menciptakan sistem masyarakat sipil yang lebih makmur baik dari segi ekonomi
maupun dari segi sosial lainnya.
Sistem
Birokrasi dimasa Republik Ketiga, Keempat dan Kelima
Sistem
birokrasi yang digunakan selama masa Republik Ketiga, Keempat dan Kelima adalah
berdasarkan pada budaya militer, yang bersifat otoritarian sehingga golongan
birokrasi semakin menempati posisi tersendiri dalam struktur kemasyarakatan.
Sistem
Birokrasi dimasa Transisi Demokrasi
Memasuki era Republik Keenam, sistem
Birokrasi Korea mengalami perubahan untuk mengganti sistem otoriter dan
menyesuaikan diri menjadi sistem baru.Pemerintah sipil secara positif mencoba
melakukan reformasi sistem politik dan restruktuisasi.
PERMASALAHAN DAN TANTANGAN KEDEPAN
Fungsi dan peran Birokrasi sangat
penting bagi upaya demokratisasi Korea,namun akibat yang ditimbulkanoleh fungsi
dan peran tersebut seringali berlawanan dengan arah demokrasi.Sistem Birokrasi
Korea sampai saat ini tetap berdasarkan ajaran Konfusius, sehingga menyebabkan
sistem Birokrasi mengandung permasalahan yang sangat rumit dan tradisi Korea
masih memperlihatkan kewibawaannya sampai sekarang.
Meluasnya kalangan birokrat dan kekuatan
sistem birokrasi pernah mengurangi kemauan masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahannya sendiri. Korupsi tidak dapat berkurang.Dapat disimpulkan bahwa
sampai saat ini sistem Birokrasi Korea belum mencapai tujuan yang memuaskan
bagi kalangan birokrasi dan masyarakat umum.
Sistem birokrasi Korea saat ini memilki
dua tugas yang sangat penting.Yang pertama ialah melepaskan keinginan untuk
menguasai rakyat umum, dan yang kedua
yaitu mengarah pada sudut pandang yang baru agar dapat melepaskan diri dari
sistem kewibawaan. Untuk memperbaiki arah sistem birokrasi Korea, terlebih
dahulu harus diciptakannya suatu kekuatan otonom pribadi pegawai pemerintah dan
juga keadaan lingkungan yang menguasai pegawai pemerintah.
Urusan dalam sistem birokrasi berkaitan
dengan urusan sehari-hari anggota masyarakat sipil, sehingga setiap anggota
sistem birokrasi tersebut sangat diharapkan memiliki konsep dan kesadaran
sebagai tuan rumah.
PEMERINTAH LOKAL
Sepanjang sejarahnya pemerintah Korea
selalu menerapkan sistem pemerintahan terpusat atau juga disebut sistem Gwan
Chi,dimana negara mengontrol dan menguasai rakyat sipil secara langsung.Pada
masa berikutnya,negeri Korea telah memperlihatkan sedikit pentingnya pemerintahan
lokal.Sistem kerajaan Koryo(Sa Sim Kwan)dan
Keajaan Chosun(Hyank Kak) mengakui keberadaan pemrintahan lokal.
Pada masa Korea merdeka,disusun UU
Otonomi Pemerintahan Lokal.Setelah menghadapi tantangan dan perubahan sistem
politik lokal di masa pemerintahan sipil,Korea telah memasuki era otonomi
pemerintahan lokal. Namun sampai saat ini masih terdapat banyak permasalahan
yang sulit diatasi.
Di awal kemerdekaan Presiden Korea, Rhee
Syngman segera menyusun Undang Undang Otonomi pemerintahan Lokal. UU tersebut
mengalami empat kali perubahan. Pemerintah Republik Pertama berani menjalankan
otonomi pemerintahan lokal dengan maksud mewujudkan demokrasi, namun tujuan
dasar itu beralih menjadi suatu sistem administratif yang dikuasai pemerintah
karena partai pemerintah saat itu (Partai Liberal) mulai menggunakan sistem
otonomi Pemerintahan Lokal sebagai sarana pendukungnya dalam pemilu.
Partai Demokrat yang menguasai
pemerintahan melalui revolusi mahasiswa segera melakukan perbaikan Undang Undang
untuk kelima kalinya. Untuk pertama kalinya anggota DPRD dan kepala pemerintah
daerah dipilih secara langsung melalui pemilu.
Pemerintah Partai Demokrat dimasa
Republik Kedua tidak mampu meningkatkan kekuatannya dalam mengontrol urusan
administrative karena kerusuhan sosial sehingga menjalankan sistem
administratif regional. Dapat dikatakan pada masa ini sistem Pemerintahan Lokal
telah dihilangkan.
Masa Republik Kelima Korea dimulai dari
tekanan terhadap demokratisasi oleh kelompok militer baru yang memanfaatkan
waktu kevakuman kekuasaan.Tidak kuatnya dasar dukungan politik pemerintahan
politik pemerintahan Republik Kelima menyebabkan mereka harus menjalankan
sistem penguasaan sentral yang sangat ketat.
Setelah pemerintahan Republik Keenam
menjalankan pemerintahannya,UU Otonomi
Pemerintahan Lokal segera diperbaiki.Namun dalam masa ini belum terjadi
pemilihan untuk memilih kepala pemerintahan daerah. Masa Republik Keenam
merupakan masa batas bagi kelancaran pelaksanaan otonomi lokal.
Pemerintahan Sipil dipimpin oleh
Presiden Kim Young-Sam,memulai babak baru otonomi lokal.Melalui tiga kali
perbaikan Undang Undang Sistem Otonomi Politik Lokal pemerintah sipil secara
resmi membuka era politik ditingkat lokal. Sistem ekonomi lokal setelah masa
Republik Keenam Korea merupakan sistem gabungan antara unsur sistem kekuasaan
pemerintahan lokal.
Pada
masa ini urusan pemerintahan sangat terbatas dan pemisahan kekuatan politik
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah belum terlaksana secara
sempurna. Adanya pembatasan terhadap otonomi lokal.
Pemerintah pusat Korea memegang
kebijakan untuk menguasai pemerintahan daerah sebagai objek kontrol. Hubungan kerjasama DPRD dan kepala
pemerintah daerah masih belum terwujud. Masalah konflik antara pemerintah daerah
khususnya daerah tingkat dua sangat serius.Masalah kekurangan keuangan
pemerintah daerah juga sangat serius dan hal itu dapat menimbulkan krisis
sistem otonomi politik regional di Korea.
Kecendrungan tiap-tiap kepala
pemerintahan dan anggota DPR untuk menonjolkan partai politiknya masing-masing
seringkali menimbulkan konflik.Cara menyelenggarakan pemilu juga sangat
dibatasi sehingga mereka yang memiliki hak untuk memilih sangat sedikit agar
sejumlah besar yang lain dapat ikut serta memilih dalam pemilihan ditingkat
lokal.
Politik regional harus dikembangkan,baik
pemerintah daerah tidak boleh menggantungkan senua urusan regionalnya kepada
pemerintah pusat,maupun karena adanya hubungan saling kontrol antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah serta
antar pemerintah daerh itu sendiri.
KELANJUTAN HUBUNGAN ANTAR KOREA
Atas dasar terpisahnya Korea menjadi dua
wilayah, kemudian diterbitkanlah suatu bentuk kebijakan, yang dikenal dengan
sebutan “Kebijakan Matahari”, Presiden Kim Dae Jung memilih kebijakan tersebut secara
de facto. Melalui kebijakan ini, pemerintahan
Kim Dae Jung tak henti-hentinya berusaha menciptakan suasana damai
ketimbang suasana konflik.Sebagai tahap pertama untuk menuju era penyatuan
kedua pihak mencoba untuk mengurangi kerugian yang diderita oleh masing-masing
pihak.
Pada dasarnya pemerintahan Korea Selatan
tidak hanya menerima dan mengejar perubahan da kecendrungan masyarakat Internasional yang cepat sekali berubah
setelah masuk tahun 90-an.
Pertemuan puncak antara Presiden Korea
Selatan dan pemimpin tertinggi Korea Utara sangat mengandung arti dalam sejarah pemisahan Korea. Melalui acara puncak
tersebut, kedua Korea memilih cara penyatuan dengan cara hidup bersama secara
damai.
KONSTELASI POLITIK INTERNASIONAL DAN SEMENANJUNG KOREA
Semenanjung Korea kini berada dalam
tahap peralihan dari sistem Perang Dingin menuju sistem peredaan peperangan
dalam konstelasi politik Internasional yang tengah berubah.Korea selatan telah
memperoleh keberhasilan dengan tercapainya normalisasi kerjasama diplomatik
dengan negara-negara sosialis.
Setelah berakhirnya sistem perang
dingin, wilayah Asia Timur menjadi pusat perhatian Internasional. Keadaan ini
membuat wilayah tersebut menjadi persaingan yang ketat oleh Amerika Serikat, Jepang, Rusia
dan Cina.
Berbeda dengan apa yang terjadi pada
masa sistem perang dingin,sejumlah negara disekitar Semenanjung Korea membentuk
hubungan Bilateral dan struktur yang
rumit dan mencakup banyak aspek. Dalam hal ini, hubungan antar Korea serta
permasalahan Semenanjung Korea akan terus dipertanyakan kemampuannya untuk memelihara
perdamaian dan keamanan dalam hubungan kerjasama bilateral.
[1] System politik Yu Shin adalah keunggulan kekuasaan presiden diatas
tiga badan kenegaraan; presiden berhak untuk memilih sepertiga anggota DPR,
membubarkan DPR, memeriksa anggaran belanja badan eksekutif, serta berhak
campur tangan dalam hal pengangkatan dan penurunan mahkamah agung.
[2] Salah satu komite yang langsung dikuasai oleh kepala negara Korea
Selatan, yang terdiri dari perwakilan kaum buruh, para pengusaha, dan
pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar