Selasa, 25 Maret 2014

(Contoh) Critical Review

Didalam buku “Non-Western International Relations Theory – Perspectives on and beyond Asia” saduran Amitav Acharya dan Barry Busan mencoba memperkenalkan seperti judulnya, yakni ; adanya teori hubungan internasional non-barat yang mengangkat perspektif dalam ruang lingkup Asia. Bagaimana teori ini bertahan dalam serangan teori barat, dan memperkenalkan apa itu teori hubungan internasional bukan barat?. Buku ini terdiri atas 10 bab, yang secara garis besar dapat saya gambarkan sebagai berikut:
Dimulai dengan bab pertama yang menyebutkan bahwa penulis buku ini terinspirasi oleh pemikiran Martin Wight (1966: 20) yang membahas mengenai “mengapa tidak ada teori hubungan internasional”. Wight membahas mengenai apa itu teori hubungan internasional? Mengapa begitu penting? Apa pengaruhnya? Dan ia juga mengkritik bahwa pemahaman mengenai teori hubungan internasional ini masih sangat rendah, dan letaknya masih kabur dan tidak sistematis. Oleh karena itu, Wight melakukan perbandingan terhadap dua teori dalam melakukan penelitian tersebut , yakni teori politik dan teori internasional.  
Dalam buku saduran Acharya dan Busan ini juga membahas mengenai “tidak adanya teori hubungan internasional” dan juga ikut membahasnya melalui jalur yang dilakukan Wight, akan tetapi dalam buku ini lebih mengarah kepada jalur teori politis. Dan pembahasannya juga lebih spesifik, mengarah kepada teori hubungan internasional non-barat.
Dalam pemikiran Wight juga terpusat kepada pesan bahwa teori hubungan internasional merupakan teori yang menjadi acuan aturan dalam tujuan untuk memperoleh kemajuan hidup yang baik. Teori ini muncul berdasarkan faktor historis / sejarah / pengalaman suatu Negara, seperti ; perang. Perang dipercaya sebagai suatu konflik yang terjadi berulang, dengan kata lain, segala kejadian yang terjadi dalam dunia internasional dipercaya Wight sebagai suatu hal yang pernah terjadi sebelumnya, dan oleh sebab itu proses penangannannya juga tidak berbeda jauh. Hal ini berlaku juga dengan keadaan internasional yang lainnya, semuanya berkaitan dengan kejadian historis.
Dimulai dengan pembahasan mengenai apa itu teori hubungan internasional non-barat, apa kaitannya dengan teori hubungan internasional barat, dan apa penyebab gagalnya teori ini berkembang menjadi teori hubungan internasional yang bersifat global.
Dan dalam buku ini dinyatakan bahwa pemikiran Wight merupakan sebuah pemikiran yang bersifat umum, dan terjadi dominan hanya dalam ruang lingkup Negara-negara Barat, tanpa memperhatikan sebenarnya terdapat hubungan internasional lain, seperti di Negara-negara Timur, yang apabila dikaji memiliki suatu kerumitan dan bersifat lebih kompleks, dan perbedaan ini penting untuk dipahami, karena banyak sekali faktor-faktor besar lainnya yang dapat mempengaruhi teori hubungan internasional ini, selain faktor-faktor dalam perspektif dunia Barat.
Dalam teori hubungan internasional Barat, mereka tidak memperhatikan ada sumber lain selain sejarah seperti ; Thucydides, Hobbes, Machiavelli, Kant  dan sebagainya, padahal sebenarnya ada faktor lain yang juga memiliki pengaruh kuat dalam hubungan internasional suatu Negara. Dalam hal ini, teori hubungan internasional yang berkembang di Asia-Pasifik adalah teori-teori yang bersifat relijius, klasik, politik, ataupun militer, seperti ; pengaruh ajaran Konfusius, Kaultia dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan contoh misalnya pada tahun 1980-1990an, gagasan dan pikiran paham Konfusianisme tentang communitarianism sering dikutip sebagai basis dari suatu perspektif 'Nilai-Nilai Asia', paham ini berkembang dan mempengaruhi mayoritas masyarakat Asia, dan terbukti mampu membentengi mereka dari pengaruh serangan liberal barat.
Dan mengapa penulis memilih Negara Timur sebagai perbandingan dengan Barat, karena Negara-negara Timur juga memiliki kekuatan-kekuatan besar pada masanya, dan saat ini Negara-negara Timur tengah memacu perkembangan Negara-negara Barat. Selain itu, jika dilihat dalam faktor historis, Negara-negara Timur memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenai pengembangan negaranya. Selain itu, didalam buku ini juga dibahas mengenai adanya teori hubungan internasional Islam atau berdasarkan perspektif Negara Timur Tengah. Negara ini juga penting mendapatkan perhatian apabila dilihat dari kepemilikan sejarahnya yang panjang.
Beberapa ahli / pemikir teori hubungan internasional mengatakan bahwa, meskipun kuat pengaruh hubungan internasional non-barat ini, teori ini tetap tidak dapat berkembang, dikarenakan kendala-kendala, salah satunya yakni ; kendala bahasa. Seperti yang kita ketahui, Negara Barat memiliki peran / kuasa dominan dalam dunia internasional, bahasa yang digunakan juga dominan merupakan bahasa asing Negara Barat, seperti ; Inggris. Oleh sebab itu, proses pengenalan teori hubungan internasional Barat lebih mudah dan lancer daripada proses pengenalan teori hubungan internasional non-barat, sehingga walaupun ada, teori hubungan internasional non-barat ini masih tersembunyi oleh dominannya teori hubungan internasional barat. Selain itu, secara historis / perkembangannya teori hubungan internasional barat lebih bersifat umum / universal, berbeda dengan teori hubungan internasional non barat yang umumnya hanya berlaku kepada Negara itu saja.
Misalnya dalam pandangan Negara Cina terhadap dunia. Dalam memandang dunia, Cina membagi dua fokus perhatian, yakni kepercayaan Maoisme dan paham doktrin Nixon, yang keduanya menyebutkan / memberikan keyakinan pada masyarakat Cina bahwa segala kebijakan dan tindakan yang dibuat akan selalu mendapatkan balasan / dampak dari Yang Maha Kuasa, hal ini tentu saja berbeda dengan teori Barat yang lebih mengarah kepada cara mereka memahami dunia bahwa segala yang terjadi selalu berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Negara Cina kemudian berkembang dan memiliki citra yang patut diperhatikan dalam dunia Internasional. Cina mulai menjadi Negara besar dan tidak dapat diremehkan. Oleh sebab itu, sejarah dan segala tentang Cina kemudian menarik untuk diperbincangkan. Banyak Negara ingin berhasil seperti Cina. Dan masyarakat Cina juga berkembang menjadi masyarakat intelektual dan telah bertaraf internasional, banyak anak bangsanya telah belajar dinegara Barat, menguasai bahasa internasional, dan malah menerbitkan buku-buku penting bagi dunia internasional. Oleh sebab itu, apabila dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya, mengenai ‘teori hubungan internasional non-barat masih tersembunyi karena masalah bahasa’, sebenarnya sudah bukan alasan kuat lagi. Dan dalam bab buku ini disebutkan, 3 alasan baru mengenai mengapa teori hubungan internasional non-barat, khususnya dalam perspektif Negara Cina belum muncul / tidak berkembang hingga saat ini, yaitu :
  1. Tidak adanya suatu kesadaran akan internasionalisme tetapi tetap bertahan dengan system anak sungai
Dalam pikiran intelektual tradisional Cina, internasionalisme bukanlah sesuatu yang melekat di dalam diri masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat China berpandangan bahwa konsep dunia ataupun Negara merupakan sesuatu yang luas, tidak terbatas dan tidak boleh melibatkan ego seseorang di dalamnya karena kekaisaran merupakan pusat dari Negara itu sendiri
Pandangan ini dipraktekkan dalam sistem anak sungai yang merupakan sistem terpusat dan diatur oleh kaisar Cina dari tahun 221 SM ke awal 1800-an. Kekaisaran Cina memegang dominasi kekuasaan, menjaga stabilitas dan menyediakan mekanisme untuk interaksi antara negara-negara. Sistem berlangsung tanpa banyak perubahan selama 2.000 tahun. Cina, sebagai negara yang paling kuat dan paling maju di wilayah ini, memainkan peran besar dalam menjaga perdamaian dan perdagangan, menyediakan barang publik dan mengatur sistem.
Sistem yang berkembang di China memiliki ciri yang menekankan pada perbedaan status sosial. Perbedaan status merupakan prinsip penataan sistem sungai yang berkembang di China. Sistem ini menekankan bahwa China merupakan pusat pemerintahan dan keberadaan Negara lain bukanlah sesuatu yang penting. Hal ini diperkuat oleh pemikiran Konghucu mengenai pengertian 'negara' yang di definisikan sebagai sebuah “keluarga. Sehingga Negara dapat dikategorikan sebagai keluarga besar.
Sistem semacam ini tidak memiliki ruang untuk kehidupan internasional. Selain itu masyarakat China tidak memiliki kesadaran dalam menata kehidupan internasional sehingga teori yang menyangkut hubungan internasional dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak penting untuk dikembangkan.
  1. Terlalu dominannya teori Barat
Dalam kepercayaan Cina terhadap hal relijiusnya yang berpengaruh terhadap Negaranya, terdapat suatu kendala untuk mewujudkannya menjadi suatu teori hubungan internasional dunia, yakni ; bahwa pemikiran Cina tersebut tidak banyak dimengerti terutama oleh orang-orang bukan Cina, tidak mengerti sejarah Cina, atau penganut ajaran Cina tersebut. Sehingga mereka akan kesulitan memahami apa yang sering disebut Cina sebagai kaitan manusia-alam-dan dunia diatas mereka. Hal ini pernah diuji cobakan pada abad ke-19, ketika Negara Cina mengalami modernisasi tepatnya setelah terjadinya Perang Opium (masuknya obat-obatan terlarang ke Cina), dan teori hubungan internasional barat mulai diketemukan dengan teori hubungan internasional Cina, akan tetapi usaha mempersatukan keduanya gagal, karena hal yang disebutkan tadi.
  1. Kurangnya bantuan teoritis inti yang keras
Inti keras yang dimaksudkan disini adalah suatu pendukung yang memiliki pengaruh kuat dalam suatu teori untuk mendukung teori tersebut. Oleh sebab itu, inti keras ini sangat penting bagi berdirinya suatu teori. Dan dalam hal ini, tradisi Cina memiliki inti keras yang sangat jauh berbeda komponennya dengan teori hubungan internasional.
Akan tetapi seiring perkembangan zaman, para pemikir Cina mulai menunjukkan semangat mereka untuk membangun kembali jati diri masyarakat Cina yang sempat hilang. Bebrbagai studi hubungan internasional dikembangkan oleh intelektual Cina tersebut, teorinya kemudian didiskusikan menggunakan sudut pandang para pemikir Cina tersebut.
Selain itu, masyarakat Cina dianggap masih meraba-raba atau ragu akan prinsip hubungan internasional ini, karena berbeda proses pemikiran. Akan tetapi, penulis buku ini menganggap bahwa masalah sebenarnya mengapa tidak ada teori hubungan internasional Cina adalah karena hubungan Negara Cina itu sendiri yang tidak pernah baik dengan masyarakat internasional sejak 150 tahun yang lalu. Terutama pada decade 1840 dan 1980, hubungan Cina dengan dunia internasional semakin buruk dan tidak ada upaya atau solusi dalam memperbaiki kerenggangan hubungan tersebut. Perang Dingin, dan masalah idiologi juga turut menyumbangkan terjadinya kesulitan hubungan Cina dengan masyarakat internasional, oleh sebab itu apabila Cina ingin kemudian dipertimbangkan menjadi suatu teori hubungan internasional tersendiri, maka terlebih dahulu ia harus ikut bergabung dalam komunitas masyarakat / dunia internasional.
Selain itu Jepang juga merupakan Negara yang patut dipertimbangkan teori hubungan internasionalnya, karena pada prinsipnya, Negara-negara kuasa sering menghasilkan teori hubungan internasional. Dan Jepang, merupakan Negara yang diakui memiliki kuasa terutama dibidang ekonomi dunia, semenjak berakhirnya Perang Dunia II.
Akan tetapi, sebagai Negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah AS, perkembangan teori hubungan internasional Jepang menjadi terhambat oleh kekuatan AS yang terlalu besar.
Namun, menarik untuk dibahas mengenai perkembangan teori hubungan internasional Jepang ini. Dan dalam buku ini, perkembangan teori hubungan internasional Jepang dimulai dari tahun 1868 hingga 2005, dan terbagi atas beberapa periode, yakni :
1.      Periode yang muncul setelah 1945
Pada periode ini, Jepang terpengaruh kepada militer dan kolonialisasi, periode ini sebenarnya telah muncul pada tahun sebelum 1945, akan tetapi semakin menguat ketika setelah 1945. Pengaruh militer ini sangat besar dan terlihat dalam setiap corak masyarakat Jepang, termasuk dalam pengambilan suatu keputusan Negara, selalu memiliki pengaruh dengan militer dan kolonialisasi. Kepentingan Negara akan alat-alat perang juga semakin meningkat pada decade setelah 1945. Militer otomatis menjadi sebuah tradisi, proses pembelajaran di Jepang saat itu juga berpusat kepada tujuan militer, bukan kepada social dan lain sebagainya.
2.       Periode Marxisme (1920)
Tradisi Marxisme ini sangat kuat pada decade 1920 hingga 1960-an, Tradisi ini dihubungkan dengan konsepsi ilmu social “Oposisi Swissen Schaft” atau ilmu pengetahuan oposisi. Pada saat itu, Jepang berdasarkan Marxismenya memberikan/menyampaikan analisa politisnya dengan memberikan suatu pewarnaan kritis kepada pengamatan atas peristiwa politis dan pengenalan penyimpangan yang meninjau idiologis. Decade Marxis ini sering juga digambarkan sebagai periode shakai kagaku (ilmu social) bagi masyarakat Jepang.
Pada 1960, perkembangan paham Marxis ini semakin melebar, terbukti dengan jabatan-jabatan Negara saat itu didominasi oleh penganut-penganut fanatic Marxis atau para sarjana beraliran Marxis. Segala kebijakan baik politik, ekonomi maupun hubungan internasional Jepang saat itu berdasarkan pemikiran Marxisme. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, pengaruh kuat Marxis mulai mengendur, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak penganut Marxis berubah haluan menjadi post-marxis, post-modernism, ataupun feminism. Masyarakat Jepang mulai semakin kritis dan mulai memiliki pemikiran sendiri-sendiri.
3.      Tradisi Historis
Tradisi ini bertahan hingga saat ini, tradisi historis merupakan tradisi yang mempercayai dan memberikan perhatian kepada aspek sejarah Negara. Dalam hal ini, hubungan internasional Jepang mulai dikaitkan kepada pengetahuan terhadap sejarah literature perkembangan Jepang selama ini. Oleh sebab itu, peran sejarawan Jepang meningkat pada periode ini. Mereka dipercaya sebagai sumber pengetahuan dan informasi Jepang.
Beralih kepada teori hubungan internasional dalam perspektif Korea, para pemikir intelektual Korea memiliki pemahaman sendiri-sendiri dalam menganalisa politik regional dan hubungan antar dinasti, nilai moral tertanam sangat kuat dalam diri mereka. Akan tetapi mereka kurang memahami konsep ilmu sosial positif. Sehingga Korea mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sistem internasional modern dalam masa transisi (1876-1910).
Kesulitan beradaptasi ini bagi Caesung Chun disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena tradisi dan norma kekuasaan kaisar menjadikan para sarjana Korea sulit memahami sistem internasional modern, terutama konsep persamaan kedaulatan dan politik non intervensi. Kedua, karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai normatif dan hukum dari suatu sistem internasional, dengan kenyataan yang terjadi di dunia internasional. Invasi yang terjadi terhadap teritorial Korea, membuktikan bahwa hukum tidak bisa menjamin kedaulatan pada saat itu. Dan Ketiga, Korea mengadopsi sistem negara modern bertepatan dengan masa imperialis barat. Bagi para imperialis, kedaulatan nasional hanya milik negara kuat, dan keadaan Korea pada saat itu tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai negara berdaulat. Hal ini dibuktikan dengan sia-sianya perwakilan Korea pada Konferensi Perdamaian Den Haag (1907) dan Versailles (1919), karena yang dihadapi dalam pertemuan tersebut adalah negara-negara imperialis.
Akan tetapi hubungan internasional Korea tidak dapat dikatakan tidak berjalan, karena sejak tahun 1945 Korea yang bebas dari jajahan Jepang dan imperialis Barat yang menjajah sebelum Jepang, mulai menjalankan hubungan internasionalnya, sehingga diakui sebagai negara berdaulat oleh masyarakat internasional. Masa awal studi HI di Korea Selatan, ditandai dengan berkurangnya pengaruh akademisi Jepang dan bertambahnya dominasi karya ilmiah pemikiran barat. Dan sejak tahun 1950, para sarjana Korea menggunakan teori-teori Barat untuk menganalisa hubungan internasional yang terjadi di Semenanjung Korea. Kurangnya jumlah intelektual dan drastisnya perkembangan studi HI, serta pecahnya Perang Korea membuat para sarjana Korea mulai berpikir bagaimana menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, seperti pembangunan negara, pembagian wilayah teritorial, dan kebijakan luar negeri.
Pengaruh Barat sangat kuat dalam perkembangan hubungan internasional Korea, hal itu pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab terbelakangnya teori hubungan internasional Korea. Meskipun para intelektual Korea mulai memperhatikan hal ini, dan mulai mengembangkan pemikiran mereka sendiri tanpa terpengaruh teori Barat, namun teori tersebut masih jauh tertinggal daripada teori Barat.
Kendala yang terjadi dalam Negara Korea, hampir serupa dengan kendala perkembangan hubungan internasional yang terjadi di India. Pengaruh Barat sangat kuat, dan selain itu, hampir mirip juga dengan kendala perkembangan hubungan internasional Cina, masyarakat India cenderung tidak tertarik untuk memperhatikan teori ini. Hubungan internasional dianggap tidak memiliki teori, tidak dapat dirubah, dan dapat dilihat begitu saja di media massa.
Masyarakat India, seperti masyarakat Cina, lebih tertarik untuk memperhatikan masalah Negara mereka; perekonomian, politik, atau infrastruktur. Dan kalaupun ingin mengembangkan sebuah teori hubungan internasional, India memiliki keterbatasan dalam hal dana, infrastruktur dan sebagainya. Dengan kata lain, India belum mampu untuk menanggapi hal selain mengembangkan negaranya terlebih dahulu.
Berbeda dengan kendala yang dialami Korea dan India yang sulit mengalami perkembangan karena terhambat oleh pengaruh mereka selama ini dengan Amerika, Indonesia justru mengalami hambatan dalam perkembangan teori hubungan internasional non-barat justru karena terlalu tergantung dan dibawah pengaruh negaranya sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pengaruh dominant etnik dalam Negara Indonesia, seperti etnik Jawa yang selama ini berperan dominan di Indonesia.
Pengaruh etnik, budaya dan suku dalam Negara Indonesia sangat rumit sehingga sulit untuk dikembangkan. Akan tetapi, dalam buku ini disebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teori hubungan internasionalnya sendiri, karena berdasarkan pengalamannya seperti pada masa Orde Baru, Indonesia terbukti memiliki keefektifan untuk menjadi Negara kuasa, selain itu SDM dan SDA-nya juga tersedia dalam jumlah banyak, dan takbanyak dimiliki oleh Negara-negara lain. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan kemudian adalah pengelolaannya. Oleh sebab itu, membicarakan mengenai teori hubungan internasional dalam perspektif Indonesia menarik untuk dibahas. Selain itu, factor relijius, khususnya Islam juga mempengaruhi sejarah perkembangan teori hubungan internasional dalam lingkup Negara Indonesia.
Selain yang telah saya jabarkan diatas, terdapat lagi beberapa uraian menarik menyangkut teori hubungan internasional non-barat ini. Seperti, pandangan dunia Islam mengenai teori hubungan internasional yang apabila dilihat juga memiliki potensi untuk menjadi teori hubungan internasional yang menjadi acuan dunia. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa apabila dikaitkan dengan agama, suatu teori akan bersifat sangat sensitive, tidak semua masyarakat internasional merupakan masyarakat penganut ajaran Islam, sehingga dalam perkembangannya, Islam akan sulit menjadi teori dunia.
 Buku ini memang memiliki keunggulan tersendiri, yakni mampu memaparkan masalah secara sistematis mulai dari teori, contoh kasus, simpulan, hingga preskripsi-preskripsi dan kritikan penulis itu sendiri dalam memandang masalah-masalah tersebut. Serta melengkapinya dengan memberikan contoh-contoh kasus sebagai contoh aplikasi dari teori yang bersifat abstrak.
Akan tetapi menurut saya, alangkah lebih baik apabila dalam penulisan buku ini, tidak hanya mengandung contoh yang signifikan, gaya bahasa yang mudah dipahami, kritik penulis dan alur cerita yang lengkap, tetapi juga mencantumkan solusi bagaimana menanggulangi masalah dalam bab-bab tersebut. Seperti; cara bagaimana agar teori hubungan internasional non barat ini dapat berkembang, dan tidak lagi mengalami keterbelakangan?.
Memang dalam beberapa bab, seperti bab yang membahas mengenai teori hubungan internasional dalam perspektif Negara Indonesia dicantumkan solusi mengenai cara agar teori hubungan internasional Indonesia dapat berkembang, yakni dengan mengelola lebih baik segala potensi yang berlebih dalam Negara Indonesia tersebut. Akan tetapi, menurut saya, solusi yang dijabarkan belum terlalu spesifik, dan tidak lengkap.

Jumlah kata : 2.704 kata


Did you ever got task about making "Critical Review"??? So. This is one of my critical review task example. I got this when i'm still sitting at 6th Semester on International Relation Studies. I hope this will help you also to understand how to make or doing your critical review task. Anyway, for short remembering, critical review is basically, just like resume or summary, but you must entering your critics or opinion on it. XoXo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...