Mata kuliah Komunikasi Internasional
SEMESTER VI
SEMESTER VI

Latar Belakang
Teknik
propaganda telah aktif dilakukan sejak masa lampau. Bahkan pemberian istilah Propaganda mengacu kepada setengah abad
yang lalu, ketika Paus Gregorius XV pada tahun 1622, membentuk suatu komisi
pada kardinal, yaitu Congregatio de
Propaganda Fide, yang bergerak demi tujuan mewujudkan dan menumbuhkan
keimanan Kristiani di antara bangsa-bangsa lain. Misioner dalam komisi tersebut
ditugasi menyebarkan doktrin-doktrin, dengan harapan setiap kelompoknya mampu
menarik beberapa pemeluk baru. Tindakan yang lekat kepada perwujudan tujuan
melalui penyebaran doktrin-doktrin yang mampu mempengaruhi pendengaruhnya, yang
kemudian menjadi karakteristik dalam kegiatan Propaganda.
Seiring
perkembangan zaman, tujuan dalam melakukan propaganda juga semakin beragam, dan
mayoritas mengarah kepada tujuan politik, oleh sebab itu pula aktor propaganda
seringkali identik dengan aktor-aktor politik. Tradisi para pembicara keliling
pada masa lampau, kini berlanjut dalam bentuk pidato-pidato (speech) kandidat Presiden, maupun
aktor-aktor dalam kelompok kepentingan politik. Propaganda juga lekat kaitannya
dengan ilmu sosial. Yakni bagaimana seorang Propagandis mampu mengatur suatu
mekanisme kontrol sosial. Dasar alasan propaganda juga terdapat dalam teori
kontrol sosial, yaitu: kesetiaan politik, kepercayaan religius, pandangan
sosial, kebiasaan, kaidah-kaidah, atau suatu cara hidup.
Jacques
Ellul menyatakan bahwa propaganda adalah suatu alat yang dipergunakan oleh
kelompok yang terorganisasi untuk menjangkau individu-individu yang secara
psikologis dimanipulasi dan digabungkan ke dalam suatu organisasi. Propaganda
adalah suatu gejala kelompok yang erat kaitannya dengan ”organisasi dan
tindakan”, tanpa itu maka propaganda tidak akan dapat secara praktis
dilaksanakan. Propaganda yang efektif hanya akan dapat bekerja didalam suatu
kelompok, pada prinsipnya didalam suatu negara[1].
Namun, hal
terpenting (titik fokus) dalam praktek propaganda menurut Harold Lasswell adalah
: 1) Siapa? Yakni melihat kepada status
pembicara (status komunikator), perbedaan peran membawa perbedaan prestise; 2) Kredibilitas Komunikator, persepsi
pendengar terhadap keahlian, kompetisi, keandalan, kepercayaam autoritas
komunikator; 3) Daya Tarik,
kepercayaan diri, daya tarik, kepribadian, penampilan, memiliki sifat-sifat
tertentu dan membantu proses untuk mempengaruhi lawan bicara; 4) Isi Pesan tetap merupakan instrumen
paling penting dalam melakukan propaganda, bahkan mampu merubah persepsi yang
semula kurang dari faktor-faktor lainnya; 5) Media, seiring perkembangan zaman, terutama era globalisasi,
penggunaan media, serta pemilihan media, merupakan instrumen terpenting pula
dalam proses tercapainya tujuan propaganda, melalui media, proses informasi
lebih mudah tersampaikan.
Selain titik
fokus propaganda yang penting untuk diperhatikan, propaganda diklasifikasikan
kembali kedalam beberapa jenis, yakni: propaganda persuasif umum, dan gaya
retoris (mengandung himbauan-himbauan khusus). Terkait kepada tokoh yang hendak
dianalisis dalam makalah ini, yakni Marthin Luther King, Jr. dapat dilihat
bahwa cerminan propaganda dalam pidato-pidatonya semasa hidup merupakan jenis
propaganda gaya retoris. Propaganda
gaya retoris dalam hal ini juga memiliki berbagai jenis, dan beberapa jenis
yang umum adalah: 1) Eksortif; 2) Legal; 3) Birokratis; 4) Tawar Menawar; 5)
Tertutup/ Terbuka. Marthin Luther King, Jr, penulis kategorikan termasuk
kedalam kategori propaganda gaya retoris – jenis yang eksortif.
Latar Belakang Martin Luther King, Jr.
Marthin
Luther King, Jr. lahir pada tanggal 15 Januari 1929 di Atlanta, Georgia, sebuah
kota di bagian selatan Amerika Serikat. Ia menggunakan nama ayahnya yakni Marthin
Luther King atau biasa dijuluki sebagai Daddy
King. Dady King menduduki tempat
penting dikalangan orang kulit hitam, hal ini terkait pula pada peran Gereja
yang amat penting dalam kehidupan orang-orang kulit hitam di
wilayah selatan Amerika Serikat, sebagai sumber insipirasi dan kenyamanan
orang-orang yang harus menempuh kerasnya kehidupan. Daddy King
adalah seorang pendeta baptis.
Sebagai
seorang pendeta baptis, Daddy King
sangat terampil dalam memberikan khotbah yang memukau pendengarnya. Para jemaat
kadang gemetar mendengar gambaran-gambaran neraka, dan mendapatkan rasa nyaman
ketika pendeta menceritakan tentang surga, dan terdorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik. Para jemaat menunjukkan semangatnya melalui
seruan-seruan keras setelah berakhirnya khotbah. Latar belakang tersebut yang
mungkin memberikan pengaruh terhadap kepiawaian Marthin Luther King, Jr.
menyampaikan pidato-pidato besarnya. Terutama, King kecil diakui telah memiliki
kecerdasan sejak masih berusia lima tahun, dengan hapalannya terhadap kitab
injil.
Peran Daddy King dalam hidup King amat besar,
tidak hanya membawa ia sebagai salah satu tokoh yang mempengaruhi dunia, namun Daddy King memberikan banyak pengaruh
pada pembentukan pola pikir King, khususnya dalam merespon masalah perbedaan
gender. Ayah King bersikap selalu memerangi sistem rasisme tersebut sepanjang
hidupnya. Ia menentang dengan keras, dan bahkan berani untuk menunjukkannya.
Tahun 1947
Marthin Luther King, Jr. Mengikuti jejak ayahnya sebagai pendeta Baptis. Pada
tahun yang berikutnya, Marthin Luther King, Jr. mendapatkan gelar BA dalam
sosiologi dari Moorhouse College, dan dilantik secara resmi sebagai seorang
pendeta Baptis. Ketertarikan King terhadap terwujudnya kesetaraan gender
tercermin dalam buku-buku bacaan dan tokoh-tokoh favoritnya. Tahun 1948, King
masuk Seminari Cronizer di Pennsylvania, dan sejak itu ia mulai sering membaca
karya-karya para teolog yang menulis tentang agama, para filsuf yang menulis
tentang makna hidup, orang-orang yang menulis dan menyatakan bahwa perbudakan
harus dihapuskan. Filsuf yang banyak mempengaruhinya adalah Henry Thoreau
dengan bukunya yang terkenal On the Duty
of Civil Disobedience yang menjelaskan sikapnya menolak rasialisme, dan
ketidakadilan sosial. Mahatma Gandhi juga merupakan tokoh yang menginspirasi
King, dengan teknik perlawanan tanpa kekerasannya, kekuatan jiwa, membakar
kekuatan jiwa rakyat India dalam menentang kekuatan politik dan militer
imperialisme Inggris. Filsafat Mahatma Gandhi mendorong kepercayaan kuat dalam
hati King, bahwa apabila ini bisa berhasil di India, maka ini bisa juga
dilakukan dan berhasil di Amerika Serikat. Filosofi Mahatma Gandhi teknik
perlawanan tanpa kekerasan pula menginspirasi gerakan King yang menekankan
kepada tindakan menentang tanpa bentrokan fisik.
Martin
Luther King, Jr. (1929)-1968) adalah seorang pendukung hak-hak sipil Amerika,
pemimpin kaum kulit hitam dan seorang pendeta baptis. Sebagai seorang pendukung
anti-tindak kekerasan ia dianugrahi Hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1964 dan
menggunakan metode-metode damai, namun penuh tekad untuk memperjuangkan
kesamaan bagi kulit hitam. Ia dibunuh pada tahun 1968, tetapi tetap menjadi
salah satu tokoh berpengaruh dalam kampanye menuntut hak-hak Amerika kulit
hitam; pidatonya yang terkenal adalah ”Saya punya Impian” yang merupakan
himbauan terbesar dan paling mengharukan mengenai hak-hak asasi manusia di abad
ke-20. Marthin Luther King, Jr. kemudian juga menjadi salah satu ikon Amerika.
Pidato
terkenal Marthin Luther King berjudul ”Saya punya Impian” disampaikan di depan
250.000 massa pendukung hak-hak sipil bagi warga kulit hitam di tangga Lincoln
Memorial di Washington, saat memuncaknya rangkaian unjuk rasa kaum kulit hitam
di Washington menuntut lapangan kerja dan kebebasan, di bulan Agustus 1963.
Pidato ini diakui telah menggalang dukungan bagi dihapusnya kebijakan segregasi
(pemisahan pemukiman yang juga diberlakukan untuk pembedaan tempat di berbagai
sarana umum, sepertil bus, WC umum, gedung bioskop, dan sebagainya, berdasarkan
warna kulit) dan mendorong lahirnya Undang-Undang Hak Sipil di tahun 1964 yang
antara lain memberikan hak pilih dalam pemilu kepada kum kulit hitam Amerika.
Latar Belakang Masalah Gender di Amerika
Masalah
gender di Eropa erat kaitannya terhadap diskriminasi sosial terhadap ras kulit
putih sebagai ras yang dianggap unggul, dengan ras kulit hitam yang dinyatakan
sebagai ras budak. Perbudakan sendiri memilih sejarah yang sama tuanya dengan
peradaban manusia. Semua peradaban besar di masa lalu bersandar pada kerja
budak dalam jumlah besar, dan di Eropa pada masa feodal terus bertahan sampai
sekitar tahun 1200an. Oleh sebab itu, pada tahun 1800-an menjadi dekade amat penting
sepanjang sejarah bagi ribuan imigran Eropa, karena pada masa itu adalah
momentum ditandatanganinya Proklamasi Emansipasi, yang menjadi sumber harapan
bagi jutaan budak Negro yang sudah lama menderita ketidakadilan. Momentum itu pun menjadi kebangkitan
yang menggembirakan, yang mengakhiri masa kelam penindasan mereka. Momentum itu
berarti kebebasan, harapan, dan kesempatan memulai hidup baru. Akan tetapi pada
kenyataannya, kaum Negro itu ternyata masih belum bebas, masih terbelenggu oleh
diskriminasi dan jerat-jerat segregasi. Mereka dijual sebagai budak, tanah
mereka direnggut, disekap didalam kapal, status mereka tidak lagi selayaknya
manusia, tetapi justru seperti hewan ternak.
Tetapi
kemudian, muncul kedasaran banyak orang di Amerika Serikat bahwa perbudakan itu
adalah tindakan yang tidak dibenarkan, dan bahwa semua manusia memiliki hak yang
sama untuk hidup dan kebebasan mereka. Muncul kesadaran bahwa tidak ada hak
seseorang untuk memiliki kehidupan oranglain. Akan tetapi kesadaran tersebut
tidak membuat diskriminasi tersebut hilang atau terhapus. Namun, pada
tahun-tahun setelah itu muncul gerakan-gerakan berani yang memperjuangkan hak
kulit hitam mereka. Pada 1860an terjadi perang untuk membebaskan kaum budak
(Perang Saudara). Maka pada tahun 1863, perbudakan berhasil dihapuskan (sebelum
berakhirnya Perang Saudara), dan pernyataan bahwa orang kulit hitam dapat hidup
dengan bebas.
Namun,
penghapusan perbudakan serta pemberian kebebasan bagi budak negro tersebut juga
tidak merubah serta merta status mereka didalam masyarakat. Orang-orang kulit
putih tetap menekankan bahwa mereka adalah ras yang unggul, dan betapapun
pandainya ras kulit hitam, mereka semua tetap hanya mahkluk rendahan. Orang
kulit hitam diidentifikasikan sebagai ras gagal yang suka berbohong, malas, dan
tidak perlu diperlakukan dengan baik. Setelah Perang Saudara, negara-negara
bagian selatan mengeluarkan Undang-Undang yang memisahkan kulit putih dengan
kulit hitam. Undang-Undang ini dikenal sebagai Jim Crow. Undang-Undang ini pada intinya menekankan bahwa ras putih
dan ras hitam tidak dapat berada pada tempat yang sama, mereka tidak dapat
duduk bersama, makan di restoran yang sama, bahkan bermain bersama.
Diskriminasi
dan penindasan tetap terjadi dan sama sekali tidak memperbaiki kehidupan ras
kulit hitam. Setelah Perang Saudara, bahkan muncul sebuah organisasi berbahaya
dengan nama Ku Klux Klan (KKK), organisasi ini memiliki sifat fanatik terhadap
persepsi bahwa ras putih merupakan ras terunggul, dan ras hitam adalah ras yang
gagal. Oleh sebab itu organisasi KKK ini akan membunuh kulit hitam yang
menyentuh atau berinteraksi dengan orang kulit putih. Sebaliknya, KKK
memperbolehkan untuk orang-orang kulit putih menyentuh, melecehkan, dan
menyerang orang-orang kulit hitam. KKK melakukan tindakan kekerasan secara
terbuka, bahkan didukung oleh pejabat-pejabat tinggi Amerika.
Selama bertahun-tahun
kelompok ras kulit hitam tabah melakukan perlawanan berupa kelompok protes
untuk menuntut janji Presiden Abraham Lincoln pada masa Perang Saudara untuk
memberikan kemerdekaan bagi kulit hitam. Akan tetapi tekanan demi tekanan
membuat ras kulit hitam kemudian melakukan tindakan-tindakan perlawanan berupa
kekerasan. Setelah munculnya King, perlawanan-perlawanan fisik mulai berkurang,
karena pidato-pidato King yang berhasil mempengaruhi pendengarnya bahwa mereka
bisa mencapai kemenangan dan tujuan, tanpa perlu membalas melalui tindakan
fisik serupa.
Propaganda Marthin Luther King, Jr.
Peristiwa
yang mendorong King terjun ke dalam kancah perjuangan hak-hak sipil pada tahun
1955, adalah pertemuannya dengan Rosa Parks, wanita tua kulit hitam, yang biasa
menumpang bus Montgomery yang sengaja duduk di kursi yang diperuntukkan bagi
penumpang khusus kulit putih. Ketika pengemudi bus memintanya pindah sesuai
dengan ketentuan hukum segregasi negara bagian, ia menolak dan akhirnya
dipenjarakan. Setelah kejadian itu, King datang ke kota tersebut, dan
menyerukan boikot terhadap bus-bus Montgomery. Setelah menyimak kasusnya selama
lebih dari setahun, Mahkamah Agung memutuskan bahwa hukum segregasi di
Montgomery bertentangan dengan Konstitusi, dan Mahkamah Agung memerintahkan
integrasi (pembayaran di tempat duduk) di semua bus kota. Masalah ini memicu amarah
diseluruh negara, sehingga pidato King pada saat itu pun memicu semangat dan
dukungan perlawanan. Namun, apakah King pada saat itu telah memahami posisi dan
tujuannya dalam sejarah, saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi,
yang jelas adalah, pidato King pada masa itu mempengaruhi semangat juang dan
ikut mewarnai perdebatan tentang hak sipil di masa itu. Meskipun, tragisnya,
moral-moral dan sisipan nilai rohani yang dimasukkan King dalam
pidato-pidatonya justru mengirimkan King menemui ajalnya.
Berikut
merupakan isi dari pidato Marthin Luther King Jr, ”Saya Punya Impian” yang
dibacakan pada tanggal 28 Agustus 1963 di Lincoln Memorial, Washington:
”Dua puluh tahun yang
lampau, seorang tokoh besar Amerika, yang bayang-bayangnya menaungi kita hari
ini, menandatangani Proklamasi Emansipasi. Dekrit bersejarah itu menjadi sumber
harapan bagi jutaan budak negro yang sudah sekian lama menderita ketidak adilan.
Momentum itu pun menjadi kebangkitan yang menggembirakan, yang mengakhiri masa
kelam penindasan mereka”
”Namun seratus tahun
kemudian, kamu Negro ternyata belum bebas!”
”Seratus tahun kemudian,
kehidupan kaum Negro masih dilumpuhkan secara menyedihkan oleh jerat-jerat
segregasi dan belenggu diskriminasi. Seratus tahun kemudian, kaum Negro masih
hidup di pulau kemiskinan yang terpencil di tengah samudera kemakmuran
material. Seratus tahu kemudian, kaum Negro masih merana di sudut-sudut
masyarakat Amerika dan ia sepenuhnya terasing di tanahnya sendiri. Karena itu
kita datang kesini hari ini untuk mendramatisasi kondisi yang serba memalukan
ini”
”Dalam satu sisi bisa
dikatakan kita datang ke Ibukota negara ini untuk menguangkan cek yang kita
terima lama sebelumnya. Ketika para arsitek republik kita ini menuliskan
kata-kata indah dalam Konstitusi dan Deklarasi Kemerdekaan, mereka sebenarnya
menuliskan surat utang yang suatu saat bisa ditagih oleh setiap warga Amerika.
Surat utang itu dinyatakan berlaku untuk semua orang, hitam maupun putih,
sehingga semuanya dijamin dalam hak kebebasan dan hak mengejar kebahagiaan.
Kini jelas bahwa Amerika menyatakan sebagian surat utang itu tidak berlaku,
yakni surat utang atau cek yang diberikan kepada kaum kulit berwarna. Bukannya
memenuhi kewajibannya, Amerika justru memberi kaum Negro sehelai cek kosong,
yang dikembalikan kepaa kita dengan stempel ”Dana Tidak Cukup”.
”Tetapi kita menolak untuk
percaya bahwa Bank keadilan sudah bankrut. Kita menolah untuk percaya bahwa dana
yang tersedia dalam lemari besi kesempatan milik negara ini sudah kosong.
Karena itu, kita tetap datang untuk menguangkan cek tersebut, cek yang akan
memberi kita sebagian kekayaan, kebebasan, dan keamanan keadilan”.
”Kita juga datang ke tempat
khidmat ini untuk mengingatkan Amerika akan mendesaknya situasi yang ada
sekarang ini. Kini bukan saatnya lagi untuk bersabar, mendinginkan situasi
kembali, menenangkan diri, dan menerima pentahapan dari apa yang kita minta. Saat
inilah kita tagih semua janji nyata Demokrasi. Sekaranglah waktunya untuk
bangkit dari kegelapan dan melenyapkan lembah segregasi guna harkat bangsa kita
dari jebakan ketidakadilan rasial ke karang kertas persaudaraan. Sekaranglah
waktunya untuk membuat keadilan bagi semua anak Tuhan menjadi nyata”.
”Akan sangat fatal jika
bangsa ini mengabaikan mendesaknya situasi yang ada. Ini merupakan musim panas
ketidakpuasan sah kaum Negro sampai datangnya musim gugur kebebasan persamaan.
1963 bukanlah akhir, melainkan awal. Mereka yang berharap kaum Negro hanya
menggertak akan kaget menyaksikan konsekuensinya seandainya segala sesuatunya
tetap seperti biasa. Tidak akan ada istirahat atau masa tenang di Amerika
sampai kaum Negro mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya. Gegar perlawanan akan
terus mengguncang landasan negara kita sampai hari cerah keadilan benar-benar
muncul”.
”Namun ada sesuatu yang
harus saya sampaikan kepada orang-orang yang berdiri di pelataran Istana
keadilan ini. Dalam Proses meraih hak yang sudah seharusnya menjadi milik kita,
jangan sampai Anda melakukan kesalahan. Jangan berusaha memuaskan dahaga
kebebasan dengan minum dari cangkir kepahitan dan kebencian. Kita harus
menjalankan perjuangan ini secara bermartabat dan berdisiplin. Kita tidak boleh
membiarkan protes kreatif kita merosot menjadi sekedar kekerasan fisik. Setiap
kali kita harus terus menggantikan dorongan kekerasan fisik dengan kekuatan
jiwa”.
”Militansi baru yang
bergelora di kalangan Negro ini jangan sampai mengakibatkan kebencian di hati
semua orang kulit putih, karena banyak di antara mereka yang sudah merupakan
saudara kita, sebagaimana dapat kita saksikan mereka pun berada bersama kita di
sini; mereka yang belum melihat kenyataan ini harus kita sadarkan bahwa masa
depan mereka terpaut dengan masa depan kita. Kita harus sadarkan mereka bahwa
kebebasan mereka tidak akan terlepas dari kebebasan kita. Kita tidak bisa
berjalan sendirian”.
”Sekali melangkahkan kaki,
kita harus terus melangkah ke depan. Kita tidak bisa berpaling kembali. Ada
yang bertanya kepada para penganjur hak-hak sipil, Kapan kalian terpuaskan?.
Kita tidak akan pernah puas selama kaum Negro terus menjadi korban kebrutalan
polisi. Kita tidak akan puas selama tubuh kita yang kelelahan karena perjalanan
jauh ini tidak boleh beristirahat di motel-motel di sepanjang jalan raya bebas
hambatan atau di hotel-hotel di pusat kota. Kita tidak akan puas selama kaum
Negro di Mississippi tidak boleh ikut pemilu dan kaum Negro di New York tidak
boleh mengajukan calon sendiri untuk dipilih. Tidak, tidak, kita tidak puas dan
tidak akan puas sampai keadilan benar-benar mengalir bagaikan air dan kebenaran
menderas bagaikan arus jeram”.
”Saya tidak menafikan
kenyataan bahwa banyak di antara Anda yang datang ke sini meskipun sedang dalam
proses pengadilan atau penahanan. Sebagian dari Anda malah baru keluar dari
penjara. Sebagian dari Anda datang dari daerah-daerah dimana Anda justru
dipukuli karena memperjuangkan hak, atau menjadi langganan kebrutalan polisi.
Andalah para veteran dalam penderitaan kreatif ini. Teruslah berusaha dengan
keyakinan teguh bahwa semua penderitaan itu pasti akan berakhir. Kembalilah ke
Mississippi, kembalilah ke Alabama, kembalilah ke South Carolina, kembalilah ke
Georgia, kembalilah ke Louisianan, kembalilah ke pemukiman kumuh dan sesak di
kota-kota utara, dengan keyakinan bahwa situasi ini dapat dan pasti akan
berubah. Mari kita bertahan di lembah penderitaan ini, saya perlu tekankan hal
ini, hari ini, sekali lagi sahabat sekalian. Meskipun kita masih terus
mengalami kesulitan hari ini dan esok, saya masih punya impian. Impian yang
berakat kuat pada impian Amerika”.
”Saya punya impian bahwa
suatu hari kelak bangsa ini akan bangkit dan hidup sesuai dengan makna sejati
kredonya: Kami menerima kebenaran bahwa semua manusia diciptakan setara”.
”Saya punya impian bahwa
suatu hari nanti di perbukitan merah Georgia anak-anak para mantan budak dan
anak-anak para mantan pemilik budak bisa duduk bersama di satu meja
persaudaraan”
”Saya punya impian bahwa
suatu hari kelak bahkan negara bagian Mississippi, negara bagian yang begitu
menyengat panas ketidakadilan dan penindasannya, akan berubah menjadi oase
kebebasan dan keadilan”.
”Saya punya impian bahwa
keempat anak saya yang masih kecil suatu hari nanti akan hidup di negara dimana
mereka takkan dinilai dari warna kulitnya melainkan dari karakternya. Saya
punya impian hari ini!”.
”Saya punya impian bahwa
suatu hari nanti, jauh di pedalaman Alabama yang kaum rasisnya begitu kejam,
meskipun Gubernur-nya selalu mengucapkan hal sebaliknya, anak-anak lelaki dan
perempuan kulit hitam akan dapat bergandengan tangan dengan anak-anak lelaku
dan perempuan kulit putih layaknya saudara. Saya punya impian hari ini!”.
”Saya punya impian bahwa
suatu hari nanti setiap lembah akan terjembatani, setiap bukit dan gunung akan
direndahkan, semua tempat kasar akan dihaluskan, dan semua yang bengkok akan
diluruskan, sehingga kemuliaan Tuhan akan terungkap dan dapat disaksikan oleh
semua mahkluk”.
”Inilah harapan kita. Inilah
keyakinan yang akan saya bawa pulang kembali ke Selatan. Dengan keyakinan ini
kita menghadapi gunung penderitaan dengan sebuah batu harapan. Dengan keyakinan
ini kita akan mampu mengubah musik sumbang negara kita menjadi simfoni
persaudaraan yang indah. Dengan keyakinan kita akan bekerja bersama, berdoa
bersama, berjuang bersama, masuk penjara bersama, menuntut kebebasan bersama,
karena kita tahu suatu hari nanti kita pasti bebas. Dan sekaranglah saatnya,
inilah hari ketika semua anak Tuhan dapat menyanyikan bait indah lagu berikut
dan meresapi makna yang sama: Wahai negaraku yang kupuja, tanah indah
kebebasan, kepadamu kubernyanyi. Tanah dimana Ayahku wafat, tanah yang
dibanggakan peziarah, dari setiap sisi gunung, terdengar kumandang kebebasan.
Kalau Amerika hendak menjadi bangsa yang besar, maka bait lagu ini harus menjadi
kenyataan”.
”Maka biarlah kebebasan
berkumandang dari deretan perbukitan New Hampshire. Biarkan kebabasan
berkumandang dari pegunungan perkasa New York. Biarkan kebebasan berkumandang
dari belantara Pennsylvania. Biarkan kebebasan berkumandang di Pegunungan
Rockies yang berselimut salju di Colorado.Biarkan kebebasan berkumandang dari
ngarai-ngarasi California. Bukan hanya itu. Biarkan kebebasan berkumandang dari
Gunung Stone Georgia. Biarkan kebabsan berkumandang dari Gunung Lookout
Tennessee. Biarkan kebebasan berkumandang dari setiap bukit dan anakan bukit
Mississippi, dari setiap sisi gunung, biarkan kebebasan berkumandang!”.
”Dan ketika hal itu terjadi,
ketika kita biarkan kebebasan berkumandang, ketika kita biarkan kebebasan
berkumandang dari setiap desa dan dusun kecil, dari setiap negara bagian dan
setiap kota, kita akan dapat mempercepat datangnya hari dimana semua anak
Tuhan, Hitam dan Putih, Yahudi dan bukan, Protestan dan Katolik, dapat
bergandeng tangan dan menyanyikan bersama kata-kata spiritual Negro kuno, Bebas
akhirnya, Bebas akhirnya. Syukur kepada Tuhan Yang Maha Perkasa. Akhirnya kita
bebas”.
”Anda tahu, beberapa tahun
lalu, saya tengah berada di New York, menandatangani buku pertama yang saya
tulis. Ketika saya duduk menandatangani buku-buku itu, muncul seorang wanita
tua kulit hitam yang gila. Pertanyaan yang saya dengar darinya adalah, Apakah
Anda Marthin Luther King?. Saya tetap menunduk dan menjawab ’ya’. Menit
berikutnya saya merasa ada sesuatu yang menusuk dada saya. Ternyata saya
ditikam oleh wanita gila itu. Saya dilarikan ke Rumah Sakit Harlem. Saat itu
hari Sabtu yang mendung. Dari pemeriksaan sinar X, terlihat bahwa ujung pisau
itu sudah menempel di aorta, arteri utama saya. Kalau aorta Anda sampai
terkena, banjir darah akan Anda alami, dan hidup Anda pun berakhir. Beritanya
muncul di New York Times esok harinya. Disitu dikatakan bahwa kalau saja saya
bersin waktu itu, saya sudah mati. Lalu empat hari kemudian, setelah operasi
yang membedah dada saya dilakukan dan mata pisaunya disingkirkan, saya
diizinkan berkeliling rumah sakit dengan memakai kursi roda. Saya juga
diizinkan membawa sebagian surat yang saya terima. Surat-surat itu dari semua
negara bagian dan dari berbagai penjuru dunia. Saya membacanya serba selintas,
namun adasatu surat yang takkan saya lupakan. Saya sebenarnya juga menerima
surat dari Presiden dari Gubernur New York, tapi saya juga sudah lupa isinya.
Surat yang saya tidak lupakan itu datang dari seorang gadis kecil, siswi White
Plains High School. Isinya mengatakan, Dr. King yang terhormat, saya siswi kelas
sembilan di White Plains High School. Lalu katanya: meskipun tidak penting,
ingin saya sampaikan bahwa saya perempuan kulit putih. Saya baca di koran tentang
musibah yang Anda alami, dan penderitaan Anda. Saya baca juga bahwa kalau Anda
bersin waktu itu, Anda sudah meninggal. Saya menulis surat ini untuk mengatakan
bahwa saya sangat gembira Anda tidak bersin saat itu”.
”Kalau pria dan wanita
menegakkan punggung, mereka akan terus tegak, karena seseorang takkan dapat
menunggangi punggung Anda kalau Anda tidak membungkuk”
”Dan ingin saya katakan,
saya pun gembira tidak bersin saat itu. Sebab kalau saja saya bersin, saya
tidak akan mungkin hadir di tahun 1960 guna menemui para siswa dari berbagai
penjuru wilayah Selatan, termasuk untuk duduk menikmati makan siang bersama.
Dan saya tahu bahwa meskipun sedang duduk, mereka sebenarnya tetap berdiri,
berdiri memperjuangkan impian Amerika yang terbaik. Mereka ikut mengupayakan
agar seluruh bangsa mau kembali ke sumur demokrasi yang digali dalam-dalam oleh
para Bapak Bangsa dalam Deklarasi Kemerdakaan dan Konstitusi.
”Kalau saya bersin saya juga
takkan hadir di tahun 1962, ketika kaum Negro di Albany, Georgia, memutuskan
untuk menegakkan punggung mereka. Kalau pria dan wanita menegakkan punggung
mereka, mereka akan terus tegak karena seseorang takkan dapat menunggangi
punggung Anda kalau Anda tidak membungkuk. Kalau saya bersin saya takkan muncul
di tahun 1963, ketika orang-orang kulit hiam dari Birmingham, Alabama, membangkitkan
kesadaran bangsa ini, dan berusaha mewujudkan Undang-Undang Hak Sipil. Jika
saya bersin, saya takkan berkesempatan di bulan Agustus tahun itu memberi tahu
Amerika tentang impian yang saya miliki. Andaikata saya bersin, saya tidak akan
berada di Selma, Alabama, untuk menyaksikan riuhnya gerakan hak-hak sipil
disana. Jika saya bersin, saya takkan berada di Memphis untuk menyaksikan unjuk
rasa masyarakat setempat guna membela saudara-saudara mereka yang menderita.
Saya sungguh berbahagia saya tidak bersin saat itu”.
”Semua pengalaman itu
memberi tahu saya, bahwa semuanya sudah tidak menjadi masalah sekaranga.
Sungguh tidak penting lagi apa yang terjadi sekarang. Saya meninggalkan Atlanta
pagi ini, dan kami berenam berada di pesawat , siap berangkat, ketika tiba-tiba
pilot mengumumkan lewat pengeras suara, Mohon maaf atas penundaan ini, namun
Dr.King ada bersama kita di pesawat ini. Untuk memastikan semua tas bawaan
telah diperiksa, dan untuk memastikan tidak ada yang salah dengan pesawat ini,
kami harus memeriksa segala sesuatu dengan cermat. Dan kami sudah menjaga
peswat ini semalaman”.
”Lalu saya sampai di
Memphis, mereka memberi tahu saya tentang banyaknya ancaman atau gosip tentang
ancaman terhadap saya. Apa yang akan dilakukan saudara kulit putih kita
terhadap saya?”.
”Ya, saya tidak tahu apa
yang akan terjadi sekarang, yang jelas kita akan menghadapi hari-hari sulit.
Itu semua juga tidak penting lagi bagi saya. Karena saya sudah sampai di puncak
gunung. Dan saya tidak keberatan. Sama dengan orang lain, saya tentu ingin
berumur panjang. Namun hal itu sudah ada yang mengatur dan tidak merisaukan
saya. Saya hanya ingin melakukan kehendak Tuhan. Ia sudah mengizinkan saya
berada di puncak gunung. Dan saya sudah melihat sekeliling dari atas. Saya sudah
melihat tanah yang dijanjikan. Saya mungkin tidak berada disana bersama Anda.
Tetapi saya ingin Anda mengetahui malam ini bahwa kita, sebagai sebuah kaum,
akan memperoleh tanah yang dijanjikan. Dan saya gembira malam ini. Saya tidak
lagi risau tentang apapun. Saya tidak takut kepada siapapun. Mata saya sudah
melihat kebesaran datangnya Tuhan”.
Empat tahun kemudian, pada tanggal 4 April 1968, Marthin Luther King, Jr.,
dibunuh oleh peluru seorang penembak jitu, ketika ia sedang berdiri di balkon
Motel Lorraine di Memphis, Tennessee, saat memimpin sebuah unjuk rasa yang
bersimpati kepada para pekerja pengumpul sampah kota itu yang tengah mogok
kerja. Sehari sebelumnya, King berpidato dan menyebutkan adanya banyak ancaman
dan usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya. Pidato terakhirnya ia tutup dengan
catatan mendalam: ”Saya bahagia sekarang. Saya tidak lagi risau tentang apapun.
Saya tidak takut kepada orang manapun”.
Berdasarkan
isi dalam pidato mendunia yang disampaikan oleh Marthin Luther King, Jr., terlihat
bahwa tindakan King tergolong kedalam jenis propaganda gaya retoris, dengan karakteristik propaganda yang mengungkapkan
imbauan-imbauan khusus[1].
Propaganda gaya retoris juga tergolong dalam banyak jenis, beberapa yang umum
adalah: 1) Ekshortif; 2) Legal; 3) Birokratis; 4) Tawar Menawar; 5) Tertutup/
Terbuka.
1.
Propaganda
jenis Ekshortif memiliki karakteristik mendesak rakyat bahwa ada masalah, bahwa
sesuatu harus dilakukan, dan bahwa mereka harus mengambil tindakan. Misalnya:
berupa demonstrasi penentangan terhadap sebuah sistem, demonstrasi akan
ketidakpuasan terhadap suatu hal, mengkampanyekan tindakan-tindakan perubahan,
menggerakkan banyak orang untuk mendapatkan dukungan.
2.
Propaganda
jenis Legal memiliki karakteristik yakni penggunaan bahasa-bahasa formal yang
biasa dipergunakan dalam persidagangan, konstitusi, pakta, dan sebagainya yang
menggambarkan sebuah keputusan aturan, interpretasi, keabadian yang membenarkan
kepentingan propagandis.
3.
Propaganda
jenis Birokratis memiliki karakteristik yakni uraiannya yang berbelit-belit,
yang dikaitkan dengan kaidah, aturan, dan tindakan kebijakan pemerintah
terhadap masyarakat umum dan terhadap satu sama lainnya. Propaganda jenis ini
oleh sebab itu seringkali menyimpan interpretasi yang bertentangan dan ambigu.
4.
Propaganda
jenis tawar menawar memiliki karakteristik menerima dari kompromi, barter,
balas jasa dan percakapan politik. Menawarkan pemecahan masalah secara praktis
dan dapat diterima, namun oleh sebab itu belum tentu sempurna.
5.
Propaganda
jenis Tertutup/ Terbuka memiliki karakteristik yakni mengacu kepada ucapan yang
penuh kehati-hatian, acuh tak acuh, dan mengontraskan efek dari komunikatornya.
Enggan menyingkapkan secara keseluruhan maksudnya mengadakan tindakan
propaganda tersebut.
Berdasarkan
kelima jenis propaganda gaya retoris, praktek propaganda yang dilakukan oleh
Marthin Luther King, Jr. lebih tepat mengacu kepada jenis ekshortif. Hal ini
terkait kepada karakteristik pidato-pidato yang disampaikan King mengandung
desakan-desakan kepada rakyat bahwa mereka harus sadar dan memperjuangkan hak
mereka sebagai manusia, dalam pidato King juga ditekankan bahwa kesadaran
terhadap penuntutan kesetaraan rasial harus dicapai tanpa adanya kekerasan,
sebagaimana juga pernah dicapai oleh tokoh yang menginspirasinya, yakni Mahatma
Gandhi di India. Melalui pidato-pidatonya, Marthin Luther King menyampaikan
semangat pada ras kulit hitam untuk terus memperjuangkan haknya, jangan
menyerah, dan hiduplah seperti biasanya. Melalui pidato-pidatonya, King
menyuarakan isi hati seluruh orang Negro di Eropa yang tidak puas terhadap
sistem segregasi dan diskriminasi. Pidato King pada saat itu pun memicu
semangat dan dukungan perlawanan bagi para budak-budak Negro untuk
memperjuangkan kebebasan dan haknya sebagai manusia.
KESIMPULAN
Martin
Luther King, Jr. (1929)-1968) adalah seorang pendukung hak-hak sipil Amerika,
pemimpin kaum kulit hitam dan seorang pendeta baptis. Sebagai seorang pendukung
anti-tindak kekerasan ia dianugrahi Hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1964 dan
menggunakan metode-metode damai, namun penuh tekad untuk memperjuangkan
kesamaan bagi kulit hitam. Ia dibunuh pada tahun 1968, tetapi tetap menjadi
salah satu tokoh berpengaruh dalam kampanye menuntut hak-hak Amerika kulit
hitam; pidatonya yang terkenal adalah ”Saya punya Impian” yang merupakan
himbauan terbesar dan paling mengharukan mengenai hak-hak asasi manusia di abad
ke-20. Marthin Luther King, Jr. kemudian juga menjadi salah satu ikon Amerika.
Pidato
terkenal Marthin Luther King berjudul ”Saya punya Impian” disampaikan di depan
250.000 massa pendukung hak-hak sipil bagi warga kulit hitam di tangga Lincoln
Memorial di Washington, saat memuncaknya rangkaian unjuk rasa kaum kulit hitam
di Washington menuntut lapangan kerja dan kebebasan, di bulan Agustus 1963.
Pidato ini diakui telah menggalang dukungan bagi dihapusnya kebijakan segregasi
(pemisahan pemukiman yang juga diberlakukan untuk pembedaan tempat di berbagai
sarana umum, sepertil bus, WC umum, gedung bioskop, dan sebagainya, berdasarkan
warna kulit) dan mendorong lahirnya Undang-Undang Hak Sipil di tahun 1964 yang
antara lain memberikan hak pilih dalam pemilu kepada kum kulit hitam Amerika.
King membuka sejarah baru bagi kehidupan lebih baik orang-orang berkulit hitam
hingga saat ini. Saat ini orang-orang kulit hitam mampu berbaur selayaknya
tanpa perbedaan, dan mampu menduduki posisi-posisi penting dengan
profesi-profesi yang semula tidak akan mungkin pernah dicapai; dokter,
profesor, pengacara, dan sebagainya, menandakan keberhasilan Marthin Luther
King, Jr. dalam mewujudkan kepentingannya yang mendorongnya melakukan
propaganda.
Pidato-pidato
yang disampaikan Marthin Luther King, Jr mempengaruhi dan membawa arti sangat
besar bagi dunia, khususnya bagi orang-orang Negro di Eropa. Karena adanya
unsur pencapaian sebuah maksud atau tujuan, dan penyampaiannya mempengaruhi
orang banyak, maka tindakan yang dilakukan King juga tergolong kedalam sebuah
praktek propaganda. Berdasarkan jenisnya, propaganda King adalah propaganda
jenis gaya retoris – ekshortif, karena memiliki karakteristik mendesak rakyat
bahwa ada masalah, bahwa sesuatu harus dilakukan, dan bahwa mereka harus
mengambil tindakan. Misalnya: berupa demonstrasi penentangan terhadap sebuah
sistem, demonstrasi akan ketidakpuasan terhadap suatu hal, mengkampanyekan
tindakan-tindakan perubahan, menggerakkan banyak orang untuk mendapatkan
dukungan.
DAFTAR PUSTAKA
Books, Archon. 1966. ”Public Opinion and
Propaganda”. Hamdon: Conn.
Edelman, Murray. 1964. ”The Symbolic Use of Politics”.
University of Illinois Press: Urbana
Montefiore, Simon Sebag. 2003.
”Speeches that Changed the World”.
Penerbit Erlangga: Jakarta
Parragon & Eddy Soetrisno.
2003. ”Buku Pintar Pembuat Sejarah”.
Ladang Pustaka & Inti Media: Jakarta.
Partao, Zainal Abidin. 2008. ”Teknik Lobi dan Diplomasi untuk Insan
Public Relation”. Indeks: Jakarta.

[1] Murray Edelman, The Symbolic
Use of Politics, University of Illinois press, Urbana. 1964.
[1] Public Opinion and Propaganda,
Archon Books, Hamden, Conn., 1966.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar