Minggu, 23 Maret 2014

PROPAGANDA DAN MARTIN LUTHER KING, JR.


Mata kuliah Komunikasi Internasional
SEMESTER VI
  

 Latar Belakang

Teknik propaganda telah aktif dilakukan sejak masa lampau. Bahkan pemberian istilah Propaganda mengacu kepada setengah abad yang lalu, ketika Paus Gregorius XV pada tahun 1622, membentuk suatu komisi pada kardinal, yaitu Congregatio de Propaganda Fide, yang bergerak demi tujuan mewujudkan dan menumbuhkan keimanan Kristiani di antara bangsa-bangsa lain. Misioner dalam komisi tersebut ditugasi menyebarkan doktrin-doktrin, dengan harapan setiap kelompoknya mampu menarik beberapa pemeluk baru. Tindakan yang lekat kepada perwujudan tujuan melalui penyebaran doktrin-doktrin yang mampu mempengaruhi pendengaruhnya, yang kemudian menjadi karakteristik dalam kegiatan Propaganda.
Seiring perkembangan zaman, tujuan dalam melakukan propaganda juga semakin beragam, dan mayoritas mengarah kepada tujuan politik, oleh sebab itu pula aktor propaganda seringkali identik dengan aktor-aktor politik. Tradisi para pembicara keliling pada masa lampau, kini berlanjut dalam bentuk pidato-pidato (speech) kandidat Presiden, maupun aktor-aktor dalam kelompok kepentingan politik. Propaganda juga lekat kaitannya dengan ilmu sosial. Yakni bagaimana seorang Propagandis mampu mengatur suatu mekanisme kontrol sosial. Dasar alasan propaganda juga terdapat dalam teori kontrol sosial, yaitu: kesetiaan politik, kepercayaan religius, pandangan sosial, kebiasaan, kaidah-kaidah, atau suatu cara hidup. 
Jacques Ellul menyatakan bahwa propaganda adalah suatu alat yang dipergunakan oleh kelompok yang terorganisasi untuk menjangkau individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan digabungkan ke dalam suatu organisasi. Propaganda adalah suatu gejala kelompok yang erat kaitannya dengan ”organisasi dan tindakan”, tanpa itu maka propaganda tidak akan dapat secara praktis dilaksanakan. Propaganda yang efektif hanya akan dapat bekerja didalam suatu kelompok, pada prinsipnya didalam suatu negara[1].
Namun, hal terpenting (titik fokus) dalam praktek propaganda menurut Harold Lasswell adalah : 1) Siapa? Yakni melihat kepada status pembicara (status komunikator), perbedaan peran membawa perbedaan prestise; 2) Kredibilitas Komunikator, persepsi pendengar terhadap keahlian, kompetisi, keandalan, kepercayaam autoritas komunikator; 3) Daya Tarik, kepercayaan diri, daya tarik, kepribadian, penampilan, memiliki sifat-sifat tertentu dan membantu proses untuk mempengaruhi lawan bicara; 4) Isi Pesan tetap merupakan instrumen paling penting dalam melakukan propaganda, bahkan mampu merubah persepsi yang semula kurang dari faktor-faktor lainnya; 5) Media, seiring perkembangan zaman, terutama era globalisasi, penggunaan media, serta pemilihan media, merupakan instrumen terpenting pula dalam proses tercapainya tujuan propaganda, melalui media, proses informasi lebih mudah tersampaikan.
Selain titik fokus propaganda yang penting untuk diperhatikan, propaganda diklasifikasikan kembali kedalam beberapa jenis, yakni: propaganda persuasif umum, dan gaya retoris (mengandung himbauan-himbauan khusus). Terkait kepada tokoh yang hendak dianalisis dalam makalah ini, yakni Marthin Luther King, Jr. dapat dilihat bahwa cerminan propaganda dalam pidato-pidatonya semasa hidup merupakan jenis propaganda gaya retoris. Propaganda gaya retoris dalam hal ini juga memiliki berbagai jenis, dan beberapa jenis yang umum adalah: 1) Eksortif; 2) Legal; 3) Birokratis; 4) Tawar Menawar; 5) Tertutup/ Terbuka. Marthin Luther King, Jr, penulis kategorikan termasuk kedalam kategori propaganda gaya retoris – jenis yang eksortif.






Latar Belakang Martin Luther King, Jr.
Marthin Luther King, Jr. lahir pada tanggal 15 Januari 1929 di Atlanta, Georgia, sebuah kota di bagian selatan Amerika Serikat. Ia menggunakan nama ayahnya yakni Marthin Luther King atau biasa dijuluki sebagai Daddy King. Dady King menduduki tempat penting dikalangan orang kulit hitam, hal ini terkait pula pada peran Gereja yang amat penting dalam kehidupan orang-orang kulit hitam di wilayah selatan Amerika Serikat, sebagai sumber insipirasi dan kenyamanan orang-orang yang harus menempuh kerasnya kehidupan.  Daddy King adalah seorang pendeta baptis.
Sebagai seorang pendeta baptis, Daddy King sangat terampil dalam memberikan khotbah yang memukau pendengarnya. Para jemaat kadang gemetar mendengar gambaran-gambaran neraka, dan mendapatkan rasa nyaman ketika pendeta menceritakan tentang surga, dan terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Para jemaat menunjukkan semangatnya melalui seruan-seruan keras setelah berakhirnya khotbah. Latar belakang tersebut yang mungkin memberikan pengaruh terhadap kepiawaian Marthin Luther King, Jr. menyampaikan pidato-pidato besarnya. Terutama, King kecil diakui telah memiliki kecerdasan sejak masih berusia lima tahun, dengan hapalannya terhadap kitab injil.
Peran Daddy King dalam hidup King amat besar, tidak hanya membawa ia sebagai salah satu tokoh yang mempengaruhi dunia, namun Daddy King memberikan banyak pengaruh pada pembentukan pola pikir King, khususnya dalam merespon masalah perbedaan gender. Ayah King bersikap selalu memerangi sistem rasisme tersebut sepanjang hidupnya. Ia menentang dengan keras, dan bahkan berani untuk menunjukkannya.
Tahun 1947 Marthin Luther King, Jr. Mengikuti jejak ayahnya sebagai pendeta Baptis. Pada tahun yang berikutnya, Marthin Luther King, Jr. mendapatkan gelar BA dalam sosiologi dari Moorhouse College, dan dilantik secara resmi sebagai seorang pendeta Baptis. Ketertarikan King terhadap terwujudnya kesetaraan gender tercermin dalam buku-buku bacaan dan tokoh-tokoh favoritnya. Tahun 1948, King masuk Seminari Cronizer di Pennsylvania, dan sejak itu ia mulai sering membaca karya-karya para teolog yang menulis tentang agama, para filsuf yang menulis tentang makna hidup, orang-orang yang menulis dan menyatakan bahwa perbudakan harus dihapuskan. Filsuf yang banyak mempengaruhinya adalah Henry Thoreau dengan bukunya yang terkenal On the Duty of Civil Disobedience yang menjelaskan sikapnya menolak rasialisme, dan ketidakadilan sosial. Mahatma Gandhi juga merupakan tokoh yang menginspirasi King, dengan teknik perlawanan tanpa kekerasannya, kekuatan jiwa, membakar kekuatan jiwa rakyat India dalam menentang kekuatan politik dan militer imperialisme Inggris. Filsafat Mahatma Gandhi mendorong kepercayaan kuat dalam hati King, bahwa apabila ini bisa berhasil di India, maka ini bisa juga dilakukan dan berhasil di Amerika Serikat. Filosofi Mahatma Gandhi teknik perlawanan tanpa kekerasan pula menginspirasi gerakan King yang menekankan kepada tindakan menentang tanpa bentrokan fisik.
Martin Luther King, Jr. (1929)-1968) adalah seorang pendukung hak-hak sipil Amerika, pemimpin kaum kulit hitam dan seorang pendeta baptis. Sebagai seorang pendukung anti-tindak kekerasan ia dianugrahi Hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1964 dan menggunakan metode-metode damai, namun penuh tekad untuk memperjuangkan kesamaan bagi kulit hitam. Ia dibunuh pada tahun 1968, tetapi tetap menjadi salah satu tokoh berpengaruh dalam kampanye menuntut hak-hak Amerika kulit hitam; pidatonya yang terkenal adalah ”Saya punya Impian” yang merupakan himbauan terbesar dan paling mengharukan mengenai hak-hak asasi manusia di abad ke-20. Marthin Luther King, Jr. kemudian juga menjadi salah satu ikon Amerika.
Pidato terkenal Marthin Luther King berjudul ”Saya punya Impian” disampaikan di depan 250.000 massa pendukung hak-hak sipil bagi warga kulit hitam di tangga Lincoln Memorial di Washington, saat memuncaknya rangkaian unjuk rasa kaum kulit hitam di Washington menuntut lapangan kerja dan kebebasan, di bulan Agustus 1963. Pidato ini diakui telah menggalang dukungan bagi dihapusnya kebijakan segregasi (pemisahan pemukiman yang juga diberlakukan untuk pembedaan tempat di berbagai sarana umum, sepertil bus, WC umum, gedung bioskop, dan sebagainya, berdasarkan warna kulit) dan mendorong lahirnya Undang-Undang Hak Sipil di tahun 1964 yang antara lain memberikan hak pilih dalam pemilu kepada kum kulit hitam Amerika.

Latar Belakang Masalah Gender di Amerika

Masalah gender di Eropa erat kaitannya terhadap diskriminasi sosial terhadap ras kulit putih sebagai ras yang dianggap unggul, dengan ras kulit hitam yang dinyatakan sebagai ras budak. Perbudakan sendiri memilih sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Semua peradaban besar di masa lalu bersandar pada kerja budak dalam jumlah besar, dan di Eropa pada masa feodal terus bertahan sampai sekitar tahun 1200an. Oleh sebab itu, pada tahun 1800-an menjadi dekade amat penting sepanjang sejarah bagi ribuan imigran Eropa, karena pada masa itu adalah momentum ditandatanganinya Proklamasi Emansipasi, yang menjadi sumber harapan bagi jutaan budak Negro yang sudah lama menderita ketidakadilan. Momentum itu pun menjadi kebangkitan yang menggembirakan, yang mengakhiri masa kelam penindasan mereka. Momentum itu berarti kebebasan, harapan, dan kesempatan memulai hidup baru. Akan tetapi pada kenyataannya, kaum Negro itu ternyata masih belum bebas, masih terbelenggu oleh diskriminasi dan jerat-jerat segregasi. Mereka dijual sebagai budak, tanah mereka direnggut, disekap didalam kapal, status mereka tidak lagi selayaknya manusia, tetapi justru seperti hewan ternak.
Tetapi kemudian, muncul kedasaran banyak orang di Amerika Serikat bahwa perbudakan itu adalah tindakan yang tidak dibenarkan, dan bahwa semua manusia memiliki hak yang sama untuk hidup dan kebebasan mereka. Muncul kesadaran bahwa tidak ada hak seseorang untuk memiliki kehidupan oranglain. Akan tetapi kesadaran tersebut tidak membuat diskriminasi tersebut hilang atau terhapus. Namun, pada tahun-tahun setelah itu muncul gerakan-gerakan berani yang memperjuangkan hak kulit hitam mereka. Pada 1860an terjadi perang untuk membebaskan kaum budak (Perang Saudara). Maka pada tahun 1863, perbudakan berhasil dihapuskan (sebelum berakhirnya Perang Saudara), dan pernyataan bahwa orang kulit hitam dapat hidup dengan bebas.
Namun, penghapusan perbudakan serta pemberian kebebasan bagi budak negro tersebut juga tidak merubah serta merta status mereka didalam masyarakat. Orang-orang kulit putih tetap menekankan bahwa mereka adalah ras yang unggul, dan betapapun pandainya ras kulit hitam, mereka semua tetap hanya mahkluk rendahan. Orang kulit hitam diidentifikasikan sebagai ras gagal yang suka berbohong, malas, dan tidak perlu diperlakukan dengan baik. Setelah Perang Saudara, negara-negara bagian selatan mengeluarkan Undang-Undang yang memisahkan kulit putih dengan kulit hitam. Undang-Undang ini dikenal sebagai Jim Crow. Undang-Undang ini pada intinya menekankan bahwa ras putih dan ras hitam tidak dapat berada pada tempat yang sama, mereka tidak dapat duduk bersama, makan di restoran yang sama, bahkan bermain bersama.
Diskriminasi dan penindasan tetap terjadi dan sama sekali tidak memperbaiki kehidupan ras kulit hitam. Setelah Perang Saudara, bahkan muncul sebuah organisasi berbahaya dengan nama Ku Klux Klan (KKK), organisasi ini memiliki sifat fanatik terhadap persepsi bahwa ras putih merupakan ras terunggul, dan ras hitam adalah ras yang gagal. Oleh sebab itu organisasi KKK ini akan membunuh kulit hitam yang menyentuh atau berinteraksi dengan orang kulit putih. Sebaliknya, KKK memperbolehkan untuk orang-orang kulit putih menyentuh, melecehkan, dan menyerang orang-orang kulit hitam. KKK melakukan tindakan kekerasan secara terbuka, bahkan didukung oleh pejabat-pejabat tinggi Amerika.
Selama bertahun-tahun kelompok ras kulit hitam tabah melakukan perlawanan berupa kelompok protes untuk menuntut janji Presiden Abraham Lincoln pada masa Perang Saudara untuk memberikan kemerdekaan bagi kulit hitam. Akan tetapi tekanan demi tekanan membuat ras kulit hitam kemudian melakukan tindakan-tindakan perlawanan berupa kekerasan. Setelah munculnya King, perlawanan-perlawanan fisik mulai berkurang, karena pidato-pidato King yang berhasil mempengaruhi pendengarnya bahwa mereka bisa mencapai kemenangan dan tujuan, tanpa perlu membalas melalui tindakan fisik serupa.

Propaganda Marthin Luther King, Jr.

Peristiwa yang mendorong King terjun ke dalam kancah perjuangan hak-hak sipil pada tahun 1955, adalah pertemuannya dengan Rosa Parks, wanita tua kulit hitam, yang biasa menumpang bus Montgomery yang sengaja duduk di kursi yang diperuntukkan bagi penumpang khusus kulit putih. Ketika pengemudi bus memintanya pindah sesuai dengan ketentuan hukum segregasi negara bagian, ia menolak dan akhirnya dipenjarakan. Setelah kejadian itu, King datang ke kota tersebut, dan menyerukan boikot terhadap bus-bus Montgomery. Setelah menyimak kasusnya selama lebih dari setahun, Mahkamah Agung memutuskan bahwa hukum segregasi di Montgomery bertentangan dengan Konstitusi, dan Mahkamah Agung memerintahkan integrasi (pembayaran di tempat duduk) di semua bus kota. Masalah ini memicu amarah diseluruh negara, sehingga pidato King pada saat itu pun memicu semangat dan dukungan perlawanan. Namun, apakah King pada saat itu telah memahami posisi dan tujuannya dalam sejarah, saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, yang jelas adalah, pidato King pada masa itu mempengaruhi semangat juang dan ikut mewarnai perdebatan tentang hak sipil di masa itu. Meskipun, tragisnya, moral-moral dan sisipan nilai rohani yang dimasukkan King dalam pidato-pidatonya justru mengirimkan King menemui ajalnya.
Berikut merupakan isi dari pidato Marthin Luther King Jr, ”Saya Punya Impian” yang dibacakan pada tanggal 28 Agustus 1963 di Lincoln Memorial, Washington:
”Dua puluh tahun yang lampau, seorang tokoh besar Amerika, yang bayang-bayangnya menaungi kita hari ini, menandatangani Proklamasi Emansipasi. Dekrit bersejarah itu menjadi sumber harapan bagi jutaan budak negro yang sudah sekian lama menderita ketidak adilan. Momentum itu pun menjadi kebangkitan yang menggembirakan, yang mengakhiri masa kelam penindasan mereka”
”Namun seratus tahun kemudian, kamu Negro ternyata belum bebas!”
”Seratus tahun kemudian, kehidupan kaum Negro masih dilumpuhkan secara menyedihkan oleh jerat-jerat segregasi dan belenggu diskriminasi. Seratus tahun kemudian, kaum Negro masih hidup di pulau kemiskinan yang terpencil di tengah samudera kemakmuran material. Seratus tahu kemudian, kaum Negro masih merana di sudut-sudut masyarakat Amerika dan ia sepenuhnya terasing di tanahnya sendiri. Karena itu kita datang kesini hari ini untuk mendramatisasi kondisi yang serba memalukan ini”
”Dalam satu sisi bisa dikatakan kita datang ke Ibukota negara ini untuk menguangkan cek yang kita terima lama sebelumnya. Ketika para arsitek republik kita ini menuliskan kata-kata indah dalam Konstitusi dan Deklarasi Kemerdekaan, mereka sebenarnya menuliskan surat utang yang suatu saat bisa ditagih oleh setiap warga Amerika. Surat utang itu dinyatakan berlaku untuk semua orang, hitam maupun putih, sehingga semuanya dijamin dalam hak kebebasan dan hak mengejar kebahagiaan. Kini jelas bahwa Amerika menyatakan sebagian surat utang itu tidak berlaku, yakni surat utang atau cek yang diberikan kepada kaum kulit berwarna. Bukannya memenuhi kewajibannya, Amerika justru memberi kaum Negro sehelai cek kosong, yang dikembalikan kepaa kita dengan stempel ”Dana Tidak Cukup”.
”Tetapi kita menolak untuk percaya bahwa Bank keadilan sudah bankrut. Kita menolah untuk percaya bahwa dana yang tersedia dalam lemari besi kesempatan milik negara ini sudah kosong. Karena itu, kita tetap datang untuk menguangkan cek tersebut, cek yang akan memberi kita sebagian kekayaan, kebebasan, dan keamanan keadilan”.
”Kita juga datang ke tempat khidmat ini untuk mengingatkan Amerika akan mendesaknya situasi yang ada sekarang ini. Kini bukan saatnya lagi untuk bersabar, mendinginkan situasi kembali, menenangkan diri, dan menerima pentahapan dari apa yang kita minta. Saat inilah kita tagih semua janji nyata Demokrasi. Sekaranglah waktunya untuk bangkit dari kegelapan dan melenyapkan lembah segregasi guna harkat bangsa kita dari jebakan ketidakadilan rasial ke karang kertas persaudaraan. Sekaranglah waktunya untuk membuat keadilan bagi semua anak Tuhan menjadi nyata”.
”Akan sangat fatal jika bangsa ini mengabaikan mendesaknya situasi yang ada. Ini merupakan musim panas ketidakpuasan sah kaum Negro sampai datangnya musim gugur kebebasan persamaan. 1963 bukanlah akhir, melainkan awal. Mereka yang berharap kaum Negro hanya menggertak akan kaget menyaksikan konsekuensinya seandainya segala sesuatunya tetap seperti biasa. Tidak akan ada istirahat atau masa tenang di Amerika sampai kaum Negro mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya. Gegar perlawanan akan terus mengguncang landasan negara kita sampai hari cerah keadilan benar-benar muncul”.
”Namun ada sesuatu yang harus saya sampaikan kepada orang-orang yang berdiri di pelataran Istana keadilan ini. Dalam Proses meraih hak yang sudah seharusnya menjadi milik kita, jangan sampai Anda melakukan kesalahan. Jangan berusaha memuaskan dahaga kebebasan dengan minum dari cangkir kepahitan dan kebencian. Kita harus menjalankan perjuangan ini secara bermartabat dan berdisiplin. Kita tidak boleh membiarkan protes kreatif kita merosot menjadi sekedar kekerasan fisik. Setiap kali kita harus terus menggantikan dorongan kekerasan fisik dengan kekuatan jiwa”.
”Militansi baru yang bergelora di kalangan Negro ini jangan sampai mengakibatkan kebencian di hati semua orang kulit putih, karena banyak di antara mereka yang sudah merupakan saudara kita, sebagaimana dapat kita saksikan mereka pun berada bersama kita di sini; mereka yang belum melihat kenyataan ini harus kita sadarkan bahwa masa depan mereka terpaut dengan masa depan kita. Kita harus sadarkan mereka bahwa kebebasan mereka tidak akan terlepas dari kebebasan kita. Kita tidak bisa berjalan sendirian”.
”Sekali melangkahkan kaki, kita harus terus melangkah ke depan. Kita tidak bisa berpaling kembali. Ada yang bertanya kepada para penganjur hak-hak sipil, Kapan kalian terpuaskan?. Kita tidak akan pernah puas selama kaum Negro terus menjadi korban kebrutalan polisi. Kita tidak akan puas selama tubuh kita yang kelelahan karena perjalanan jauh ini tidak boleh beristirahat di motel-motel di sepanjang jalan raya bebas hambatan atau di hotel-hotel di pusat kota. Kita tidak akan puas selama kaum Negro di Mississippi tidak boleh ikut pemilu dan kaum Negro di New York tidak boleh mengajukan calon sendiri untuk dipilih. Tidak, tidak, kita tidak puas dan tidak akan puas sampai keadilan benar-benar mengalir bagaikan air dan kebenaran menderas bagaikan arus jeram”.
”Saya tidak menafikan kenyataan bahwa banyak di antara Anda yang datang ke sini meskipun sedang dalam proses pengadilan atau penahanan. Sebagian dari Anda malah baru keluar dari penjara. Sebagian dari Anda datang dari daerah-daerah dimana Anda justru dipukuli karena memperjuangkan hak, atau menjadi langganan kebrutalan polisi. Andalah para veteran dalam penderitaan kreatif ini. Teruslah berusaha dengan keyakinan teguh bahwa semua penderitaan itu pasti akan berakhir. Kembalilah ke Mississippi, kembalilah ke Alabama, kembalilah ke South Carolina, kembalilah ke Georgia, kembalilah ke Louisianan, kembalilah ke pemukiman kumuh dan sesak di kota-kota utara, dengan keyakinan bahwa situasi ini dapat dan pasti akan berubah. Mari kita bertahan di lembah penderitaan ini, saya perlu tekankan hal ini, hari ini, sekali lagi sahabat sekalian. Meskipun kita masih terus mengalami kesulitan hari ini dan esok, saya masih punya impian. Impian yang berakat kuat pada impian Amerika”.
”Saya punya impian bahwa suatu hari kelak bangsa ini akan bangkit dan hidup sesuai dengan makna sejati kredonya: Kami menerima kebenaran bahwa semua manusia diciptakan setara”.
”Saya punya impian bahwa suatu hari nanti di perbukitan merah Georgia anak-anak para mantan budak dan anak-anak para mantan pemilik budak bisa duduk bersama di satu meja persaudaraan”
”Saya punya impian bahwa suatu hari kelak bahkan negara bagian Mississippi, negara bagian yang begitu menyengat panas ketidakadilan dan penindasannya, akan berubah menjadi oase kebebasan dan keadilan”.
”Saya punya impian bahwa keempat anak saya yang masih kecil suatu hari nanti akan hidup di negara dimana mereka takkan dinilai dari warna kulitnya melainkan dari karakternya. Saya punya impian hari ini!”.
”Saya punya impian bahwa suatu hari nanti, jauh di pedalaman Alabama yang kaum rasisnya begitu kejam, meskipun Gubernur-nya selalu mengucapkan hal sebaliknya, anak-anak lelaki dan perempuan kulit hitam akan dapat bergandengan tangan dengan anak-anak lelaku dan perempuan kulit putih layaknya saudara. Saya punya impian hari ini!”.
”Saya punya impian bahwa suatu hari nanti setiap lembah akan terjembatani, setiap bukit dan gunung akan direndahkan, semua tempat kasar akan dihaluskan, dan semua yang bengkok akan diluruskan, sehingga kemuliaan Tuhan akan terungkap dan dapat disaksikan oleh semua mahkluk”.
”Inilah harapan kita. Inilah keyakinan yang akan saya bawa pulang kembali ke Selatan. Dengan keyakinan ini kita menghadapi gunung penderitaan dengan sebuah batu harapan. Dengan keyakinan ini kita akan mampu mengubah musik sumbang negara kita menjadi simfoni persaudaraan yang indah. Dengan keyakinan kita akan bekerja bersama, berdoa bersama, berjuang bersama, masuk penjara bersama, menuntut kebebasan bersama, karena kita tahu suatu hari nanti kita pasti bebas. Dan sekaranglah saatnya, inilah hari ketika semua anak Tuhan dapat menyanyikan bait indah lagu berikut dan meresapi makna yang sama: Wahai negaraku yang kupuja, tanah indah kebebasan, kepadamu kubernyanyi. Tanah dimana Ayahku wafat, tanah yang dibanggakan peziarah, dari setiap sisi gunung, terdengar kumandang kebebasan. Kalau Amerika hendak menjadi bangsa yang besar, maka bait lagu ini harus menjadi kenyataan”.
”Maka biarlah kebebasan berkumandang dari deretan perbukitan New Hampshire. Biarkan kebabasan berkumandang dari pegunungan perkasa New York. Biarkan kebebasan berkumandang dari belantara Pennsylvania. Biarkan kebebasan berkumandang di Pegunungan Rockies yang berselimut salju di Colorado.Biarkan kebebasan berkumandang dari ngarai-ngarasi California. Bukan hanya itu. Biarkan kebebasan berkumandang dari Gunung Stone Georgia. Biarkan kebabsan berkumandang dari Gunung Lookout Tennessee. Biarkan kebebasan berkumandang dari setiap bukit dan anakan bukit Mississippi, dari setiap sisi gunung, biarkan kebebasan berkumandang!”.
”Dan ketika hal itu terjadi, ketika kita biarkan kebebasan berkumandang, ketika kita biarkan kebebasan berkumandang dari setiap desa dan dusun kecil, dari setiap negara bagian dan setiap kota, kita akan dapat mempercepat datangnya hari dimana semua anak Tuhan, Hitam dan Putih, Yahudi dan bukan, Protestan dan Katolik, dapat bergandeng tangan dan menyanyikan bersama kata-kata spiritual Negro kuno, Bebas akhirnya, Bebas akhirnya. Syukur kepada Tuhan Yang Maha Perkasa. Akhirnya kita bebas”.
”Anda tahu, beberapa tahun lalu, saya tengah berada di New York, menandatangani buku pertama yang saya tulis. Ketika saya duduk menandatangani buku-buku itu, muncul seorang wanita tua kulit hitam yang gila. Pertanyaan yang saya dengar darinya adalah, Apakah Anda Marthin Luther King?. Saya tetap menunduk dan menjawab ’ya’. Menit berikutnya saya merasa ada sesuatu yang menusuk dada saya. Ternyata saya ditikam oleh wanita gila itu. Saya dilarikan ke Rumah Sakit Harlem. Saat itu hari Sabtu yang mendung. Dari pemeriksaan sinar X, terlihat bahwa ujung pisau itu sudah menempel di aorta, arteri utama saya. Kalau aorta Anda sampai terkena, banjir darah akan Anda alami, dan hidup Anda pun berakhir. Beritanya muncul di New York Times esok harinya. Disitu dikatakan bahwa kalau saja saya bersin waktu itu, saya sudah mati. Lalu empat hari kemudian, setelah operasi yang membedah dada saya dilakukan dan mata pisaunya disingkirkan, saya diizinkan berkeliling rumah sakit dengan memakai kursi roda. Saya juga diizinkan membawa sebagian surat yang saya terima. Surat-surat itu dari semua negara bagian dan dari berbagai penjuru dunia. Saya membacanya serba selintas, namun adasatu surat yang takkan saya lupakan. Saya sebenarnya juga menerima surat dari Presiden dari Gubernur New York, tapi saya juga sudah lupa isinya. Surat yang saya tidak lupakan itu datang dari seorang gadis kecil, siswi White Plains High School. Isinya mengatakan, Dr. King yang terhormat, saya siswi kelas sembilan di White Plains High School. Lalu katanya: meskipun tidak penting, ingin saya sampaikan bahwa saya perempuan kulit putih. Saya baca di koran tentang musibah yang Anda alami, dan penderitaan Anda. Saya baca juga bahwa kalau Anda bersin waktu itu, Anda sudah meninggal. Saya menulis surat ini untuk mengatakan bahwa saya sangat gembira Anda tidak bersin saat itu”.
”Kalau pria dan wanita menegakkan punggung, mereka akan terus tegak, karena seseorang takkan dapat menunggangi punggung Anda kalau Anda tidak membungkuk”
”Dan ingin saya katakan, saya pun gembira tidak bersin saat itu. Sebab kalau saja saya bersin, saya tidak akan mungkin hadir di tahun 1960 guna menemui para siswa dari berbagai penjuru wilayah Selatan, termasuk untuk duduk menikmati makan siang bersama. Dan saya tahu bahwa meskipun sedang duduk, mereka sebenarnya tetap berdiri, berdiri memperjuangkan impian Amerika yang terbaik. Mereka ikut mengupayakan agar seluruh bangsa mau kembali ke sumur demokrasi yang digali dalam-dalam oleh para Bapak Bangsa dalam Deklarasi Kemerdakaan dan Konstitusi.
”Kalau saya bersin saya juga takkan hadir di tahun 1962, ketika kaum Negro di Albany, Georgia, memutuskan untuk menegakkan punggung mereka. Kalau pria dan wanita menegakkan punggung mereka, mereka akan terus tegak karena seseorang takkan dapat menunggangi punggung Anda kalau Anda tidak membungkuk. Kalau saya bersin saya takkan muncul di tahun 1963, ketika orang-orang kulit hiam dari Birmingham, Alabama, membangkitkan kesadaran bangsa ini, dan berusaha mewujudkan Undang-Undang Hak Sipil. Jika saya bersin, saya takkan berkesempatan di bulan Agustus tahun itu memberi tahu Amerika tentang impian yang saya miliki. Andaikata saya bersin, saya tidak akan berada di Selma, Alabama, untuk menyaksikan riuhnya gerakan hak-hak sipil disana. Jika saya bersin, saya takkan berada di Memphis untuk menyaksikan unjuk rasa masyarakat setempat guna membela saudara-saudara mereka yang menderita. Saya sungguh berbahagia saya tidak bersin saat itu”.
”Semua pengalaman itu memberi tahu saya, bahwa semuanya sudah tidak menjadi masalah sekaranga. Sungguh tidak penting lagi apa yang terjadi sekarang. Saya meninggalkan Atlanta pagi ini, dan kami berenam berada di pesawat , siap berangkat, ketika tiba-tiba pilot mengumumkan lewat pengeras suara, Mohon maaf atas penundaan ini, namun Dr.King ada bersama kita di pesawat ini. Untuk memastikan semua tas bawaan telah diperiksa, dan untuk memastikan tidak ada yang salah dengan pesawat ini, kami harus memeriksa segala sesuatu dengan cermat. Dan kami sudah menjaga peswat ini semalaman”.
”Lalu saya sampai di Memphis, mereka memberi tahu saya tentang banyaknya ancaman atau gosip tentang ancaman terhadap saya. Apa yang akan dilakukan saudara kulit putih kita terhadap saya?”.
”Ya, saya tidak tahu apa yang akan terjadi sekarang, yang jelas kita akan menghadapi hari-hari sulit. Itu semua juga tidak penting lagi bagi saya. Karena saya sudah sampai di puncak gunung. Dan saya tidak keberatan. Sama dengan orang lain, saya tentu ingin berumur panjang. Namun hal itu sudah ada yang mengatur dan tidak merisaukan saya. Saya hanya ingin melakukan kehendak Tuhan. Ia sudah mengizinkan saya berada di puncak gunung. Dan saya sudah melihat sekeliling dari atas. Saya sudah melihat tanah yang dijanjikan. Saya mungkin tidak berada disana bersama Anda. Tetapi saya ingin Anda mengetahui malam ini bahwa kita, sebagai sebuah kaum, akan memperoleh tanah yang dijanjikan. Dan saya gembira malam ini. Saya tidak lagi risau tentang apapun. Saya tidak takut kepada siapapun. Mata saya sudah melihat kebesaran datangnya Tuhan”.
Empat tahun kemudian, pada tanggal 4 April 1968, Marthin Luther King, Jr., dibunuh oleh peluru seorang penembak jitu, ketika ia sedang berdiri di balkon Motel Lorraine di Memphis, Tennessee, saat memimpin sebuah unjuk rasa yang bersimpati kepada para pekerja pengumpul sampah kota itu yang tengah mogok kerja. Sehari sebelumnya, King berpidato dan menyebutkan adanya banyak ancaman dan usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya. Pidato terakhirnya ia tutup dengan catatan mendalam: ”Saya bahagia sekarang. Saya tidak lagi risau tentang apapun. Saya tidak takut kepada orang manapun”.
Berdasarkan isi dalam pidato mendunia yang disampaikan oleh Marthin Luther King, Jr., terlihat bahwa tindakan King tergolong kedalam jenis propaganda gaya retoris, dengan karakteristik propaganda yang mengungkapkan imbauan-imbauan khusus[1]. Propaganda gaya retoris juga tergolong dalam banyak jenis, beberapa yang umum adalah: 1) Ekshortif; 2) Legal; 3) Birokratis; 4) Tawar Menawar; 5) Tertutup/ Terbuka.
1.      Propaganda jenis Ekshortif memiliki karakteristik mendesak rakyat bahwa ada masalah, bahwa sesuatu harus dilakukan, dan bahwa mereka harus mengambil tindakan. Misalnya: berupa demonstrasi penentangan terhadap sebuah sistem, demonstrasi akan ketidakpuasan terhadap suatu hal, mengkampanyekan tindakan-tindakan perubahan, menggerakkan banyak orang untuk mendapatkan dukungan.
2.      Propaganda jenis Legal memiliki karakteristik yakni penggunaan bahasa-bahasa formal yang biasa dipergunakan dalam persidagangan, konstitusi, pakta, dan sebagainya yang menggambarkan sebuah keputusan aturan, interpretasi, keabadian yang membenarkan kepentingan propagandis.
3.      Propaganda jenis Birokratis memiliki karakteristik yakni uraiannya yang berbelit-belit, yang dikaitkan dengan kaidah, aturan, dan tindakan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat umum dan terhadap satu sama lainnya. Propaganda jenis ini oleh sebab itu seringkali menyimpan interpretasi yang bertentangan dan ambigu.
4.      Propaganda jenis tawar menawar memiliki karakteristik menerima dari kompromi, barter, balas jasa dan percakapan politik. Menawarkan pemecahan masalah secara praktis dan dapat diterima, namun oleh sebab itu belum tentu sempurna.
5.      Propaganda jenis Tertutup/ Terbuka memiliki karakteristik yakni mengacu kepada ucapan yang penuh kehati-hatian, acuh tak acuh, dan mengontraskan efek dari komunikatornya. Enggan menyingkapkan secara keseluruhan maksudnya mengadakan tindakan propaganda tersebut.
Berdasarkan kelima jenis propaganda gaya retoris, praktek propaganda yang dilakukan oleh Marthin Luther King, Jr. lebih tepat mengacu kepada jenis ekshortif. Hal ini terkait kepada karakteristik pidato-pidato yang disampaikan King mengandung desakan-desakan kepada rakyat bahwa mereka harus sadar dan memperjuangkan hak mereka sebagai manusia, dalam pidato King juga ditekankan bahwa kesadaran terhadap penuntutan kesetaraan rasial harus dicapai tanpa adanya kekerasan, sebagaimana juga pernah dicapai oleh tokoh yang menginspirasinya, yakni Mahatma Gandhi di India. Melalui pidato-pidatonya, Marthin Luther King menyampaikan semangat pada ras kulit hitam untuk terus memperjuangkan haknya, jangan menyerah, dan hiduplah seperti biasanya. Melalui pidato-pidatonya, King menyuarakan isi hati seluruh orang Negro di Eropa yang tidak puas terhadap sistem segregasi dan diskriminasi. Pidato King pada saat itu pun memicu semangat dan dukungan perlawanan bagi para budak-budak Negro untuk memperjuangkan kebebasan dan haknya sebagai manusia.




KESIMPULAN


Martin Luther King, Jr. (1929)-1968) adalah seorang pendukung hak-hak sipil Amerika, pemimpin kaum kulit hitam dan seorang pendeta baptis. Sebagai seorang pendukung anti-tindak kekerasan ia dianugrahi Hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1964 dan menggunakan metode-metode damai, namun penuh tekad untuk memperjuangkan kesamaan bagi kulit hitam. Ia dibunuh pada tahun 1968, tetapi tetap menjadi salah satu tokoh berpengaruh dalam kampanye menuntut hak-hak Amerika kulit hitam; pidatonya yang terkenal adalah ”Saya punya Impian” yang merupakan himbauan terbesar dan paling mengharukan mengenai hak-hak asasi manusia di abad ke-20. Marthin Luther King, Jr. kemudian juga menjadi salah satu ikon Amerika.
Pidato terkenal Marthin Luther King berjudul ”Saya punya Impian” disampaikan di depan 250.000 massa pendukung hak-hak sipil bagi warga kulit hitam di tangga Lincoln Memorial di Washington, saat memuncaknya rangkaian unjuk rasa kaum kulit hitam di Washington menuntut lapangan kerja dan kebebasan, di bulan Agustus 1963. Pidato ini diakui telah menggalang dukungan bagi dihapusnya kebijakan segregasi (pemisahan pemukiman yang juga diberlakukan untuk pembedaan tempat di berbagai sarana umum, sepertil bus, WC umum, gedung bioskop, dan sebagainya, berdasarkan warna kulit) dan mendorong lahirnya Undang-Undang Hak Sipil di tahun 1964 yang antara lain memberikan hak pilih dalam pemilu kepada kum kulit hitam Amerika. King membuka sejarah baru bagi kehidupan lebih baik orang-orang berkulit hitam hingga saat ini. Saat ini orang-orang kulit hitam mampu berbaur selayaknya tanpa perbedaan, dan mampu menduduki posisi-posisi penting dengan profesi-profesi yang semula tidak akan mungkin pernah dicapai; dokter, profesor, pengacara, dan sebagainya, menandakan keberhasilan Marthin Luther King, Jr. dalam mewujudkan kepentingannya yang mendorongnya melakukan propaganda.
Pidato-pidato yang disampaikan Marthin Luther King, Jr mempengaruhi dan membawa arti sangat besar bagi dunia, khususnya bagi orang-orang Negro di Eropa. Karena adanya unsur pencapaian sebuah maksud atau tujuan, dan penyampaiannya mempengaruhi orang banyak, maka tindakan yang dilakukan King juga tergolong kedalam sebuah praktek propaganda. Berdasarkan jenisnya, propaganda King adalah propaganda jenis gaya retoris – ekshortif, karena memiliki karakteristik mendesak rakyat bahwa ada masalah, bahwa sesuatu harus dilakukan, dan bahwa mereka harus mengambil tindakan. Misalnya: berupa demonstrasi penentangan terhadap sebuah sistem, demonstrasi akan ketidakpuasan terhadap suatu hal, mengkampanyekan tindakan-tindakan perubahan, menggerakkan banyak orang untuk mendapatkan dukungan. 



DAFTAR PUSTAKA

Books, Archon. 1966. ”Public Opinion and Propaganda”. Hamdon: Conn.
Edelman, Murray. 1964. ”The Symbolic Use of Politics”. University of Illinois Press: Urbana
Montefiore, Simon Sebag. 2003. ”Speeches that Changed the World”. Penerbit Erlangga: Jakarta
Parragon & Eddy Soetrisno. 2003. ”Buku Pintar Pembuat Sejarah”. Ladang Pustaka & Inti Media: Jakarta.
Partao, Zainal Abidin. 2008. ”Teknik Lobi dan Diplomasi untuk Insan Public Relation”. Indeks: Jakarta.
Schloredt, Valerie & Palm Brown. 1994. “Mereka yang Berjasa bagi Dunia: Marthin Luther King”. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta



[1] Murray Edelman, The Symbolic Use of Politics, University of Illinois press, Urbana. 1964.


[1] Public Opinion and Propaganda, Archon Books, Hamden, Conn., 1966.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...