Selasa, 25 Maret 2014

(Contoh) Critical Review

Didalam buku “Non-Western International Relations Theory – Perspectives on and beyond Asia” saduran Amitav Acharya dan Barry Busan mencoba memperkenalkan seperti judulnya, yakni ; adanya teori hubungan internasional non-barat yang mengangkat perspektif dalam ruang lingkup Asia. Bagaimana teori ini bertahan dalam serangan teori barat, dan memperkenalkan apa itu teori hubungan internasional bukan barat?. Buku ini terdiri atas 10 bab, yang secara garis besar dapat saya gambarkan sebagai berikut:
Dimulai dengan bab pertama yang menyebutkan bahwa penulis buku ini terinspirasi oleh pemikiran Martin Wight (1966: 20) yang membahas mengenai “mengapa tidak ada teori hubungan internasional”. Wight membahas mengenai apa itu teori hubungan internasional? Mengapa begitu penting? Apa pengaruhnya? Dan ia juga mengkritik bahwa pemahaman mengenai teori hubungan internasional ini masih sangat rendah, dan letaknya masih kabur dan tidak sistematis. Oleh karena itu, Wight melakukan perbandingan terhadap dua teori dalam melakukan penelitian tersebut , yakni teori politik dan teori internasional.  
Dalam buku saduran Acharya dan Busan ini juga membahas mengenai “tidak adanya teori hubungan internasional” dan juga ikut membahasnya melalui jalur yang dilakukan Wight, akan tetapi dalam buku ini lebih mengarah kepada jalur teori politis. Dan pembahasannya juga lebih spesifik, mengarah kepada teori hubungan internasional non-barat.
Dalam pemikiran Wight juga terpusat kepada pesan bahwa teori hubungan internasional merupakan teori yang menjadi acuan aturan dalam tujuan untuk memperoleh kemajuan hidup yang baik. Teori ini muncul berdasarkan faktor historis / sejarah / pengalaman suatu Negara, seperti ; perang. Perang dipercaya sebagai suatu konflik yang terjadi berulang, dengan kata lain, segala kejadian yang terjadi dalam dunia internasional dipercaya Wight sebagai suatu hal yang pernah terjadi sebelumnya, dan oleh sebab itu proses penangannannya juga tidak berbeda jauh. Hal ini berlaku juga dengan keadaan internasional yang lainnya, semuanya berkaitan dengan kejadian historis.
Dimulai dengan pembahasan mengenai apa itu teori hubungan internasional non-barat, apa kaitannya dengan teori hubungan internasional barat, dan apa penyebab gagalnya teori ini berkembang menjadi teori hubungan internasional yang bersifat global.
Dan dalam buku ini dinyatakan bahwa pemikiran Wight merupakan sebuah pemikiran yang bersifat umum, dan terjadi dominan hanya dalam ruang lingkup Negara-negara Barat, tanpa memperhatikan sebenarnya terdapat hubungan internasional lain, seperti di Negara-negara Timur, yang apabila dikaji memiliki suatu kerumitan dan bersifat lebih kompleks, dan perbedaan ini penting untuk dipahami, karena banyak sekali faktor-faktor besar lainnya yang dapat mempengaruhi teori hubungan internasional ini, selain faktor-faktor dalam perspektif dunia Barat.
Dalam teori hubungan internasional Barat, mereka tidak memperhatikan ada sumber lain selain sejarah seperti ; Thucydides, Hobbes, Machiavelli, Kant  dan sebagainya, padahal sebenarnya ada faktor lain yang juga memiliki pengaruh kuat dalam hubungan internasional suatu Negara. Dalam hal ini, teori hubungan internasional yang berkembang di Asia-Pasifik adalah teori-teori yang bersifat relijius, klasik, politik, ataupun militer, seperti ; pengaruh ajaran Konfusius, Kaultia dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan contoh misalnya pada tahun 1980-1990an, gagasan dan pikiran paham Konfusianisme tentang communitarianism sering dikutip sebagai basis dari suatu perspektif 'Nilai-Nilai Asia', paham ini berkembang dan mempengaruhi mayoritas masyarakat Asia, dan terbukti mampu membentengi mereka dari pengaruh serangan liberal barat.
Dan mengapa penulis memilih Negara Timur sebagai perbandingan dengan Barat, karena Negara-negara Timur juga memiliki kekuatan-kekuatan besar pada masanya, dan saat ini Negara-negara Timur tengah memacu perkembangan Negara-negara Barat. Selain itu, jika dilihat dalam faktor historis, Negara-negara Timur memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenai pengembangan negaranya. Selain itu, didalam buku ini juga dibahas mengenai adanya teori hubungan internasional Islam atau berdasarkan perspektif Negara Timur Tengah. Negara ini juga penting mendapatkan perhatian apabila dilihat dari kepemilikan sejarahnya yang panjang.
Beberapa ahli / pemikir teori hubungan internasional mengatakan bahwa, meskipun kuat pengaruh hubungan internasional non-barat ini, teori ini tetap tidak dapat berkembang, dikarenakan kendala-kendala, salah satunya yakni ; kendala bahasa. Seperti yang kita ketahui, Negara Barat memiliki peran / kuasa dominan dalam dunia internasional, bahasa yang digunakan juga dominan merupakan bahasa asing Negara Barat, seperti ; Inggris. Oleh sebab itu, proses pengenalan teori hubungan internasional Barat lebih mudah dan lancer daripada proses pengenalan teori hubungan internasional non-barat, sehingga walaupun ada, teori hubungan internasional non-barat ini masih tersembunyi oleh dominannya teori hubungan internasional barat. Selain itu, secara historis / perkembangannya teori hubungan internasional barat lebih bersifat umum / universal, berbeda dengan teori hubungan internasional non barat yang umumnya hanya berlaku kepada Negara itu saja.
Misalnya dalam pandangan Negara Cina terhadap dunia. Dalam memandang dunia, Cina membagi dua fokus perhatian, yakni kepercayaan Maoisme dan paham doktrin Nixon, yang keduanya menyebutkan / memberikan keyakinan pada masyarakat Cina bahwa segala kebijakan dan tindakan yang dibuat akan selalu mendapatkan balasan / dampak dari Yang Maha Kuasa, hal ini tentu saja berbeda dengan teori Barat yang lebih mengarah kepada cara mereka memahami dunia bahwa segala yang terjadi selalu berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Negara Cina kemudian berkembang dan memiliki citra yang patut diperhatikan dalam dunia Internasional. Cina mulai menjadi Negara besar dan tidak dapat diremehkan. Oleh sebab itu, sejarah dan segala tentang Cina kemudian menarik untuk diperbincangkan. Banyak Negara ingin berhasil seperti Cina. Dan masyarakat Cina juga berkembang menjadi masyarakat intelektual dan telah bertaraf internasional, banyak anak bangsanya telah belajar dinegara Barat, menguasai bahasa internasional, dan malah menerbitkan buku-buku penting bagi dunia internasional. Oleh sebab itu, apabila dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya, mengenai ‘teori hubungan internasional non-barat masih tersembunyi karena masalah bahasa’, sebenarnya sudah bukan alasan kuat lagi. Dan dalam bab buku ini disebutkan, 3 alasan baru mengenai mengapa teori hubungan internasional non-barat, khususnya dalam perspektif Negara Cina belum muncul / tidak berkembang hingga saat ini, yaitu :
  1. Tidak adanya suatu kesadaran akan internasionalisme tetapi tetap bertahan dengan system anak sungai
Dalam pikiran intelektual tradisional Cina, internasionalisme bukanlah sesuatu yang melekat di dalam diri masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat China berpandangan bahwa konsep dunia ataupun Negara merupakan sesuatu yang luas, tidak terbatas dan tidak boleh melibatkan ego seseorang di dalamnya karena kekaisaran merupakan pusat dari Negara itu sendiri
Pandangan ini dipraktekkan dalam sistem anak sungai yang merupakan sistem terpusat dan diatur oleh kaisar Cina dari tahun 221 SM ke awal 1800-an. Kekaisaran Cina memegang dominasi kekuasaan, menjaga stabilitas dan menyediakan mekanisme untuk interaksi antara negara-negara. Sistem berlangsung tanpa banyak perubahan selama 2.000 tahun. Cina, sebagai negara yang paling kuat dan paling maju di wilayah ini, memainkan peran besar dalam menjaga perdamaian dan perdagangan, menyediakan barang publik dan mengatur sistem.
Sistem yang berkembang di China memiliki ciri yang menekankan pada perbedaan status sosial. Perbedaan status merupakan prinsip penataan sistem sungai yang berkembang di China. Sistem ini menekankan bahwa China merupakan pusat pemerintahan dan keberadaan Negara lain bukanlah sesuatu yang penting. Hal ini diperkuat oleh pemikiran Konghucu mengenai pengertian 'negara' yang di definisikan sebagai sebuah “keluarga. Sehingga Negara dapat dikategorikan sebagai keluarga besar.
Sistem semacam ini tidak memiliki ruang untuk kehidupan internasional. Selain itu masyarakat China tidak memiliki kesadaran dalam menata kehidupan internasional sehingga teori yang menyangkut hubungan internasional dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak penting untuk dikembangkan.
  1. Terlalu dominannya teori Barat
Dalam kepercayaan Cina terhadap hal relijiusnya yang berpengaruh terhadap Negaranya, terdapat suatu kendala untuk mewujudkannya menjadi suatu teori hubungan internasional dunia, yakni ; bahwa pemikiran Cina tersebut tidak banyak dimengerti terutama oleh orang-orang bukan Cina, tidak mengerti sejarah Cina, atau penganut ajaran Cina tersebut. Sehingga mereka akan kesulitan memahami apa yang sering disebut Cina sebagai kaitan manusia-alam-dan dunia diatas mereka. Hal ini pernah diuji cobakan pada abad ke-19, ketika Negara Cina mengalami modernisasi tepatnya setelah terjadinya Perang Opium (masuknya obat-obatan terlarang ke Cina), dan teori hubungan internasional barat mulai diketemukan dengan teori hubungan internasional Cina, akan tetapi usaha mempersatukan keduanya gagal, karena hal yang disebutkan tadi.
  1. Kurangnya bantuan teoritis inti yang keras
Inti keras yang dimaksudkan disini adalah suatu pendukung yang memiliki pengaruh kuat dalam suatu teori untuk mendukung teori tersebut. Oleh sebab itu, inti keras ini sangat penting bagi berdirinya suatu teori. Dan dalam hal ini, tradisi Cina memiliki inti keras yang sangat jauh berbeda komponennya dengan teori hubungan internasional.
Akan tetapi seiring perkembangan zaman, para pemikir Cina mulai menunjukkan semangat mereka untuk membangun kembali jati diri masyarakat Cina yang sempat hilang. Bebrbagai studi hubungan internasional dikembangkan oleh intelektual Cina tersebut, teorinya kemudian didiskusikan menggunakan sudut pandang para pemikir Cina tersebut.
Selain itu, masyarakat Cina dianggap masih meraba-raba atau ragu akan prinsip hubungan internasional ini, karena berbeda proses pemikiran. Akan tetapi, penulis buku ini menganggap bahwa masalah sebenarnya mengapa tidak ada teori hubungan internasional Cina adalah karena hubungan Negara Cina itu sendiri yang tidak pernah baik dengan masyarakat internasional sejak 150 tahun yang lalu. Terutama pada decade 1840 dan 1980, hubungan Cina dengan dunia internasional semakin buruk dan tidak ada upaya atau solusi dalam memperbaiki kerenggangan hubungan tersebut. Perang Dingin, dan masalah idiologi juga turut menyumbangkan terjadinya kesulitan hubungan Cina dengan masyarakat internasional, oleh sebab itu apabila Cina ingin kemudian dipertimbangkan menjadi suatu teori hubungan internasional tersendiri, maka terlebih dahulu ia harus ikut bergabung dalam komunitas masyarakat / dunia internasional.
Selain itu Jepang juga merupakan Negara yang patut dipertimbangkan teori hubungan internasionalnya, karena pada prinsipnya, Negara-negara kuasa sering menghasilkan teori hubungan internasional. Dan Jepang, merupakan Negara yang diakui memiliki kuasa terutama dibidang ekonomi dunia, semenjak berakhirnya Perang Dunia II.
Akan tetapi, sebagai Negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah AS, perkembangan teori hubungan internasional Jepang menjadi terhambat oleh kekuatan AS yang terlalu besar.
Namun, menarik untuk dibahas mengenai perkembangan teori hubungan internasional Jepang ini. Dan dalam buku ini, perkembangan teori hubungan internasional Jepang dimulai dari tahun 1868 hingga 2005, dan terbagi atas beberapa periode, yakni :
1.      Periode yang muncul setelah 1945
Pada periode ini, Jepang terpengaruh kepada militer dan kolonialisasi, periode ini sebenarnya telah muncul pada tahun sebelum 1945, akan tetapi semakin menguat ketika setelah 1945. Pengaruh militer ini sangat besar dan terlihat dalam setiap corak masyarakat Jepang, termasuk dalam pengambilan suatu keputusan Negara, selalu memiliki pengaruh dengan militer dan kolonialisasi. Kepentingan Negara akan alat-alat perang juga semakin meningkat pada decade setelah 1945. Militer otomatis menjadi sebuah tradisi, proses pembelajaran di Jepang saat itu juga berpusat kepada tujuan militer, bukan kepada social dan lain sebagainya.
2.       Periode Marxisme (1920)
Tradisi Marxisme ini sangat kuat pada decade 1920 hingga 1960-an, Tradisi ini dihubungkan dengan konsepsi ilmu social “Oposisi Swissen Schaft” atau ilmu pengetahuan oposisi. Pada saat itu, Jepang berdasarkan Marxismenya memberikan/menyampaikan analisa politisnya dengan memberikan suatu pewarnaan kritis kepada pengamatan atas peristiwa politis dan pengenalan penyimpangan yang meninjau idiologis. Decade Marxis ini sering juga digambarkan sebagai periode shakai kagaku (ilmu social) bagi masyarakat Jepang.
Pada 1960, perkembangan paham Marxis ini semakin melebar, terbukti dengan jabatan-jabatan Negara saat itu didominasi oleh penganut-penganut fanatic Marxis atau para sarjana beraliran Marxis. Segala kebijakan baik politik, ekonomi maupun hubungan internasional Jepang saat itu berdasarkan pemikiran Marxisme. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, pengaruh kuat Marxis mulai mengendur, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak penganut Marxis berubah haluan menjadi post-marxis, post-modernism, ataupun feminism. Masyarakat Jepang mulai semakin kritis dan mulai memiliki pemikiran sendiri-sendiri.
3.      Tradisi Historis
Tradisi ini bertahan hingga saat ini, tradisi historis merupakan tradisi yang mempercayai dan memberikan perhatian kepada aspek sejarah Negara. Dalam hal ini, hubungan internasional Jepang mulai dikaitkan kepada pengetahuan terhadap sejarah literature perkembangan Jepang selama ini. Oleh sebab itu, peran sejarawan Jepang meningkat pada periode ini. Mereka dipercaya sebagai sumber pengetahuan dan informasi Jepang.
Beralih kepada teori hubungan internasional dalam perspektif Korea, para pemikir intelektual Korea memiliki pemahaman sendiri-sendiri dalam menganalisa politik regional dan hubungan antar dinasti, nilai moral tertanam sangat kuat dalam diri mereka. Akan tetapi mereka kurang memahami konsep ilmu sosial positif. Sehingga Korea mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sistem internasional modern dalam masa transisi (1876-1910).
Kesulitan beradaptasi ini bagi Caesung Chun disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena tradisi dan norma kekuasaan kaisar menjadikan para sarjana Korea sulit memahami sistem internasional modern, terutama konsep persamaan kedaulatan dan politik non intervensi. Kedua, karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai normatif dan hukum dari suatu sistem internasional, dengan kenyataan yang terjadi di dunia internasional. Invasi yang terjadi terhadap teritorial Korea, membuktikan bahwa hukum tidak bisa menjamin kedaulatan pada saat itu. Dan Ketiga, Korea mengadopsi sistem negara modern bertepatan dengan masa imperialis barat. Bagi para imperialis, kedaulatan nasional hanya milik negara kuat, dan keadaan Korea pada saat itu tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai negara berdaulat. Hal ini dibuktikan dengan sia-sianya perwakilan Korea pada Konferensi Perdamaian Den Haag (1907) dan Versailles (1919), karena yang dihadapi dalam pertemuan tersebut adalah negara-negara imperialis.
Akan tetapi hubungan internasional Korea tidak dapat dikatakan tidak berjalan, karena sejak tahun 1945 Korea yang bebas dari jajahan Jepang dan imperialis Barat yang menjajah sebelum Jepang, mulai menjalankan hubungan internasionalnya, sehingga diakui sebagai negara berdaulat oleh masyarakat internasional. Masa awal studi HI di Korea Selatan, ditandai dengan berkurangnya pengaruh akademisi Jepang dan bertambahnya dominasi karya ilmiah pemikiran barat. Dan sejak tahun 1950, para sarjana Korea menggunakan teori-teori Barat untuk menganalisa hubungan internasional yang terjadi di Semenanjung Korea. Kurangnya jumlah intelektual dan drastisnya perkembangan studi HI, serta pecahnya Perang Korea membuat para sarjana Korea mulai berpikir bagaimana menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, seperti pembangunan negara, pembagian wilayah teritorial, dan kebijakan luar negeri.
Pengaruh Barat sangat kuat dalam perkembangan hubungan internasional Korea, hal itu pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab terbelakangnya teori hubungan internasional Korea. Meskipun para intelektual Korea mulai memperhatikan hal ini, dan mulai mengembangkan pemikiran mereka sendiri tanpa terpengaruh teori Barat, namun teori tersebut masih jauh tertinggal daripada teori Barat.
Kendala yang terjadi dalam Negara Korea, hampir serupa dengan kendala perkembangan hubungan internasional yang terjadi di India. Pengaruh Barat sangat kuat, dan selain itu, hampir mirip juga dengan kendala perkembangan hubungan internasional Cina, masyarakat India cenderung tidak tertarik untuk memperhatikan teori ini. Hubungan internasional dianggap tidak memiliki teori, tidak dapat dirubah, dan dapat dilihat begitu saja di media massa.
Masyarakat India, seperti masyarakat Cina, lebih tertarik untuk memperhatikan masalah Negara mereka; perekonomian, politik, atau infrastruktur. Dan kalaupun ingin mengembangkan sebuah teori hubungan internasional, India memiliki keterbatasan dalam hal dana, infrastruktur dan sebagainya. Dengan kata lain, India belum mampu untuk menanggapi hal selain mengembangkan negaranya terlebih dahulu.
Berbeda dengan kendala yang dialami Korea dan India yang sulit mengalami perkembangan karena terhambat oleh pengaruh mereka selama ini dengan Amerika, Indonesia justru mengalami hambatan dalam perkembangan teori hubungan internasional non-barat justru karena terlalu tergantung dan dibawah pengaruh negaranya sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pengaruh dominant etnik dalam Negara Indonesia, seperti etnik Jawa yang selama ini berperan dominan di Indonesia.
Pengaruh etnik, budaya dan suku dalam Negara Indonesia sangat rumit sehingga sulit untuk dikembangkan. Akan tetapi, dalam buku ini disebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teori hubungan internasionalnya sendiri, karena berdasarkan pengalamannya seperti pada masa Orde Baru, Indonesia terbukti memiliki keefektifan untuk menjadi Negara kuasa, selain itu SDM dan SDA-nya juga tersedia dalam jumlah banyak, dan takbanyak dimiliki oleh Negara-negara lain. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan kemudian adalah pengelolaannya. Oleh sebab itu, membicarakan mengenai teori hubungan internasional dalam perspektif Indonesia menarik untuk dibahas. Selain itu, factor relijius, khususnya Islam juga mempengaruhi sejarah perkembangan teori hubungan internasional dalam lingkup Negara Indonesia.
Selain yang telah saya jabarkan diatas, terdapat lagi beberapa uraian menarik menyangkut teori hubungan internasional non-barat ini. Seperti, pandangan dunia Islam mengenai teori hubungan internasional yang apabila dilihat juga memiliki potensi untuk menjadi teori hubungan internasional yang menjadi acuan dunia. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa apabila dikaitkan dengan agama, suatu teori akan bersifat sangat sensitive, tidak semua masyarakat internasional merupakan masyarakat penganut ajaran Islam, sehingga dalam perkembangannya, Islam akan sulit menjadi teori dunia.
 Buku ini memang memiliki keunggulan tersendiri, yakni mampu memaparkan masalah secara sistematis mulai dari teori, contoh kasus, simpulan, hingga preskripsi-preskripsi dan kritikan penulis itu sendiri dalam memandang masalah-masalah tersebut. Serta melengkapinya dengan memberikan contoh-contoh kasus sebagai contoh aplikasi dari teori yang bersifat abstrak.
Akan tetapi menurut saya, alangkah lebih baik apabila dalam penulisan buku ini, tidak hanya mengandung contoh yang signifikan, gaya bahasa yang mudah dipahami, kritik penulis dan alur cerita yang lengkap, tetapi juga mencantumkan solusi bagaimana menanggulangi masalah dalam bab-bab tersebut. Seperti; cara bagaimana agar teori hubungan internasional non barat ini dapat berkembang, dan tidak lagi mengalami keterbelakangan?.
Memang dalam beberapa bab, seperti bab yang membahas mengenai teori hubungan internasional dalam perspektif Negara Indonesia dicantumkan solusi mengenai cara agar teori hubungan internasional Indonesia dapat berkembang, yakni dengan mengelola lebih baik segala potensi yang berlebih dalam Negara Indonesia tersebut. Akan tetapi, menurut saya, solusi yang dijabarkan belum terlalu spesifik, dan tidak lengkap.

Jumlah kata : 2.704 kata


Did you ever got task about making "Critical Review"??? So. This is one of my critical review task example. I got this when i'm still sitting at 6th Semester on International Relation Studies. I hope this will help you also to understand how to make or doing your critical review task. Anyway, for short remembering, critical review is basically, just like resume or summary, but you must entering your critics or opinion on it. XoXo

CIRI SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)


CIRI-CIRI SISTEM EKONOMI CAMPURAN

a.      Kedua sektor ekonomi hidup berdampingan
Sebagaimana diketahui, dalam system perekonomian liberal semua kegiatan perekonomian dilakukan oleh pribadi-pribadi/swasta, bukan oleh pemerintah. Sebaliknya dalam perekonomian sosialis/komunis tidak ada sector swasta, sebab semua perusahaan milik  Negara, segala tindak tanduk ekonomi direncanakan dan dikontrol oleh Negara. Berbeda dengan kedua system tersebut, dalam perekonomian campuran kedua sector dapat hidup berdampingan. Dengan demikian ada kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh pribadi/swasta, dan sebagian lagi dikelola oleh pemerintah (seperti sector-sektor yang menyangkut kehidupan masyarakat; listrik, air, taman-taman kota, komunikasi, dsb.)
b.      Interaksi ekonomi terjadi di pasar
Walaupun interaksi ekonomi terjadi dipasar, namun dalam perekonomian campuran, pasar juga mengikut sertakan campur tangan pemerintah dengan berbagai kebijaksanaannya, misalnya ; untuk melindungi konsumen pemerintah menggunakan harga atas (celling price), dan untuk melindungi golonganprodusen pemerintah sering menggunakan kebijakan harga dasar (floor price)
c.       Persaingan dalam sistem campuran diperbolehkan
Persaingan didalam system ekonomi campuran memang diperbolehkan, tetapi gerak-geriknya diawasi agar tidak sampai mengarah kebentuk persaingan yang saling merugikan. Intinya, campurtangan pemerintah tidak lain untuk menyehatkan kehidupan ekonomi itu sendiri, seperti mencegah terjadinya penumpukan atau konsentrasi ekonomi ke satu tangan (monopoly), serta mencegah dan mengatasi kalau terjadi krisis ekonomi.
d.      Adanya  Campur Tangan Pemerintah 
Seperti yang telah dijelaskan di atas, walaupun interaksi ekonomi berada dipasar, serta diperbolehkan untuk saling bersaing, selalu ada campur tangan pemerintah didalamnya untuk mengawasinya. Namun, disetiap Negara yang menganut system ekonomi campuran juga dapat dibedakan lagi sesuai dengan seberapa kuat campur tangan pemerintah didalam system ekonomi campuran tersebut, misalnya; ada yang campur tangannya lemah berarti system perekonomian campurannya mendekati system liberal, sedang yang kuat mendekati system etatisme, sosialis/ komunisme. Hal tentang campur tangan pemerintah tersebut dipelopori oleh keinginan Keynes.


REFERENSI
Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Djojohadikusumo, Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Hansen, Alvin H. A Guide to Keynes. New York: McGraw-Hill Book Company, 1953.

SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)


DEFINISI SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)

Kata ekonomi campuran (mixed economy) itu sendiri, timbul pertama kali dalam debat politik di Inggris pada masa sesudah perang, namun para pendukung dari sistem ekonomi ini telah ada setidaknya mulai tahun 1930-an. Pendukung ekonomi campuran antara lain R.H. Tawney, Anthony Crosland dan Andrew Shonfield dimana mereka berasal dari Partai Buruh Inggris, pandangan yang sama juga dikemukakan oleh anggota Partai konservatif yaitu Harold MC Millan.
Sistem ekonomi Campuran adalah sistem ekonomi yang mengkombinasikan lebih dari satu sistem ekonomi. Oleh karena itu biasanya sistem ekonomi yang mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan negara atau dengan kata lain mengkombinasikan elemen-elemen dari kapitalisme dan sosialisme atau campuran dari karakteristik ekonomi pasar dan ekonomi komando. Dengan kata lain, sistem ekonomi campuran adalah Sistem ekonomi campuran merupakan dari sistem ekonomi pasar dan terpusat, dimana pemerintah dan swasta saling berinteraksi dalam memecahkan masalah ekonomi.
Umumnya penggunaan sistem itu lebih karena ideologi dan keyakinan. Semua sistem ada kekuatan dan kelemahannya, tergantung penerapannya saja. Namun pada kenyataannya, tidak ada satupun Negara yang menganut paham liberal seratus persen, dimana segala sesuatunya diserahkan pada orang-per-orangan, juga tidak ada Negara yang murni menganut system sosialis/komunis, dimana segala sesuatu serba diatur dan dikendalikan oleh otoritas pusat.
Contoh untuk itu sangat banyak. Inggris misalnya, walau sering dikategorikan sebagai penganut system liberal, tetapi system di negara Inggris ini juga memperlihatkan ciri/watak sosialis (misalnya, kuatnya kedudukan partai labor). Hal yang sama berlakunya untuk Australia. Bahkan Negara Amerika Serikat sekalipun tidak menganut system liberal (pasar bebas) seratus persen. Di Amerika Serika juga ada perencanaan ekonomi. Jalan-jalan dan jembatan, serta taman-taman kota disediakan oleh pemerintah, bahkan pendidikan juga geratis hingga tingkat sekolah menengah.
Di Pihak lain, Negara-negara yang menganut paham sosialis/ komunis, kehidupan masyarakatnya juga tidak sepenuhnya sama rata sebagaimana yang telah dicanangkan oleh tokoh-tokoh sosialis. Orang-orang yang berprestasi biasanya akan memperoleh pelayanan yang lebih lumayan dan tinggal di apartemenyang lebih baik. Disana-sini kebebasan individu juga diakui. Misalnya dibekas Uni Soviet, walau sebagian besar pekerjaan ditentukan Negara, tetapi masyarakat ada juga yang menabung, menerima bunga atas tabungan tersebut, orang bebas membeli barang-barang yang disediakan oleh Negara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa diantara kedua bentuk ekstrem system ekonomi yang disebutkan di atas, ada bentuk tengah yang disebut system perekonomian campuran (mixed economy).

SEJARAH SISTEM EKONOMI CAMPURAN

Sejarah Sistem Ekonomi Campuran
Awalnya aliran system ekonomi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : komunis dan kapitalis, namun sejak munculnya perang dingin antara blok kapitalis dan komunis yang berakhir secara simbolis dramatis dengan robohnya tembok Berlin pada 9 November 1989 (ingat lagu Wind of Change by Scorpion) diikuti bangkrutnya Uni Soviet yang kini terpecah menjadi beberapa negara.
Negara-negara blok komunis menerapkan ekonomi terpusat dengan alasan ideologi dan keyakinan bahwa sistem itu akan lebih menjamin pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun terbukti kemudian bahwa sistem itu gagal sebagaimana berakhirnya perang dingin.
Setelah perang dingin berakhir, sistem ekonomi terpusat jarang diterapkan secara utuh. Alternatifnya adalah sistem ekonomi campuran (mix economy) yang menerapkan sistem ekonomi terpusat pada sektor tertentu, dikombinasikan dengan sistem ekonomi pasar pada sektor lainnya. Contoh terbaik mix economy adalah China yang membuka kawasan ekonomi khusus seperti Guangzhou dan Shenzen yang menerapkan ekonomi pasar. Di luar kawasan ekonomi khusus, yang dipakai adalah sistem ekonomi terpusat. Slogannya, tak penting kucingnya berwarna apa, yang penting bisa menangkap tikus (Deng Xiao Ping).
Langkah yang sama dilakukan negara seperti Vietnam. Yang masih ketat menggunakan ekonomi terpusat tampaknya tinggal Kuba. Tapi, semakin hari Kuba kian mendekati sistem campuran.
Ada juga yang sistem ekonomi pasarnya bergeser menjadi campuran, seperti Venezuela di bawah Hugo Chavez sekarang.

CIRI-CIRI SISTEM EKONOMI CAMPURAN

Ciri dari sistem ekonomi campuran adalah :  
  1. Merupakan gabungan dari sistem ekonomi pasar dan terpusat
  2. Barang modal dan sumber daya yang vital dikuasai oleh pemerintah
  3. Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan membuat peraturan, menetapkan kebijakan fiskal, moneter, membantu dan mengawasi kegiatan swasta.
  4. Peran pemerintah dan sektor swasta berimbang.
Jika dipaparkan, maka perbedaan antara system ekonomi pasar, tradisional, terpusat, dan campuran adalah sebagai berikut :

tradisional
Terpusat
Pasar
Campuran
Kepemilikan sumber daya
Individu
Pemerintah
Swasta
Pemerintah dan swasta
Harga
Belum ada perdagangan
Pemerintah
Mekanisme pasar
Pemerintah bisa mengintervensi
Persaingan
tidak ada
Tertutup
Terbuka/Bebas
Terbuka bagi industri swasta
Kepemilikan Individu
ada
Tidak ada (sangat kecil)
Ada
ada



 DERAJAT CAMPUR TANGAN PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN

Derajat campur tangan pemerintah dapat dibedakan atas: lunak dan keras. Campur tangan yang lunak berarti bahwa pemerintah sifatnya hanya memberikan gambaran persepektif saja, sedangkan yang sifatnya keras berarti bahwa pemerintah sifatnya lebih menyeluruh,  termasuk didalamnya mengatur dan merencanakan kegiatan-kegiatan ekonomi seperti aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi untuk semua sector ekonomi.
   Campur tangan pemerintah ada yang dilakukan hanya dalam bentuk proyeksi-proyeksi dan peramalan (forecasting),ada juga yang melakukan perencanaan melalui mekanisme pasar serta perencanaan target fisik dibidang produksi. Selain itu pemerintah selain bertindak sebagai pengatur, juga bermaksud untuk mengalokasikan sumber-sumber produktif secara efisien dan lebih terarah.
   Jika dilihat sejarah tentang kekuasaan dan aktivitas pemerintah, ada Negara yang menggunakan kekuasaan sangat besar (contohnya: pada era Mesir Kuno di bawah pemerintahan Firaun; Jerman dibawah Hitler; Italia dibawah Mussolini, dan Rusia dibawah Stalin), dan ada pula yang menggunakan kekuasaan secara minimum (contohnya: masyarakat Yunani dibawah Aristoteles; Roma dibawah Markus Aurelius Antonius; dan Amerika Serikat sebelum Reagan).
   Awal campur tangan pemerintah yang kuat dalam perekonomian terjadi pada masa pertengahan, terutama pada masa kejayaan merkantilisme. Pada era ini pemerintah memegang peran sangat kuat dalam mengatur perekonomian. Misalnya, untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri, pemerintah menetapkan biaya masuk yang tinggi. Biaya masuk yang sifatnya proteksionis semakin luas digunakan hingga akhir abad ke-19, dan sudah menjadi sesuatu yang “umum” pada abad ke-20.
   Pada masa sekarang, berbagai peraturan tentang tarif angkutan kereta api dan angkutan-angkutan publik lain semakin banyak digunakan di berbagai Negara. Peraturan tentang moneter dan perbankan sudah menjadi barang lumrah. Pada masa Perang Dunia (pertama dan kedua), masyarakat semakin familiar dengan control harga, rationing dan penetapan-penetapan prioritas. Bahkan pada era “Globalisasi” seperti sekarang ini pemerintah Amerika Serikat juga sering melakukan berbagai campur tangan untuk melindungi industry dalam negerinya.
   Di Amerika Serikat campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara cukup jelas dapat dilihat, misalnya, dari Employmenr Act 1946 yang berbunyi sebagai berikut :

            “The congress declares that it is the continuing responsibility of the Federal Government to use all predictable means…for the purpose of creating
and maintaining… conditions under which there will be afforded useful employment opportunities”

PRO DAN KONTRA TENTANG CAMPUR TANGAN PEMERINTAH 

Mengenai campur tangan pemerintah itu sendiri, sebenarnya  penuh dengan pro dan kontra. Pemikir-pemikir sosialis seperti Marx, Proudhon dan Plato termasuk yang menginginkan adanya campur  tangan pemerintah dalam perekonomian. Sebaliknya, Smith dan pemikir-pemikir neo-klasik seperti; Carl Menger, Friedrich von Hayek, Ludwig von Mises dan sebagainya menginginkan agar campur tangan pemerintah dibatasi seminim mungkin dalam perekonomian.
Kelompok yang paling anti dengan campur tangan pemerintah adalah kelompok yang dinamai libertanias, yang menganggap bahwa kemerdekaan individu adalah diatas segala-galanya. Dengan kata lain, bagi mereka campur tangan pemerintah dipandang sebagai ancaman terhadap kebebasan individu, dan karena itu perlu ditentang.
Diantara kedua ekstrem tersebut ada pakar yang percaya bahwa perekonomian dapat diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi disana sini ada campur tangan pemerintah. Kelompok ini diwakili oleh Keynes dan pendukung-pendukungnya. Keyenes paling vocal dalam menyarankan agar pemerintah ikut campur dalam perekonomia, terutama jika system pasar gagal membawa perekonomian pada tujuan yang dicitakan. Keynes mengatakan bahwa kebijaksanaan fiscal dan moneter bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya jikasektor swasta tidak bergairah, maka perekonomian bisa dirangsang dengan kebijaksanaan uang mudah (easy money) atau meningkatkan pengeluaran pemerintah. Jika perekonomian berjalan lancer maka keputusan-keputusan ekonomi dapat diserahkan pada swasta, dan pemerintah tinggal menjaga agar tingkat full-employment tercapai. Kebijaksanaan moneter diperlukan untuk merangsang perekonomian saat mengalami kemandekan, dan sebaliknya juga bisa digunakan untuk mengurangi aktivitas ekonomi jika perekonomian “memanas” dan inflasi terlalu tinggi.
Selain Keynes, banyak sekali yang juga pro terhadap adanya campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar bebas. Diantaranya, yaitu; Eurico Barone (1857-1924), seorang pakar ekonomi dari Itali. Baron berpendapat bahwa harga yang ditetapkan oleh pemerintah dapat dijadikan sebagai subtitusi yang baik terhadap harga yang ditentukan lewat mekanisme pasar.
Selain itu, pakar lain yang perlu dimasukkan kedalam golongan yang pro adalah John Kenneth Galbraith (1908-1958) yang telah menulis banyak buku, seperti ;The Affluent Society (1958), The new Industrial State (1967) dan Economic and The Affluent Society, yang menyerang teori yang dianggap berlaku umum tentang pertumbuhan ekonomi dan produksi, ia juga membuat sketsa didalam bukunya tentang masyarakat yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan para technostructure yang ada dibelakangnya, dan ia juga mengkritik barang-barang public yang dihasilkan oleh perusahaan swasta. Singkatnya, buku-buku yang ditulis Galbraith berisi tentang kritik atas masyarakat Amerika beserta nilai-nilai yang dianut saat itu, dan galbraith menghimbau dilakukannya perubahan yang mendasar tentang tujuan akhir yang siinginkan tercapai melalui berbagai aktivitas-aktivitas ekonomi.
Galbraith menyarankan agar ada semacam “sosialisme baru” yang lebih memeratakan pendapatan dan kesejahteraan Agar perekonomian kembali bertujuan lebih manusiawi.
Sebagai dampak dari ajaran Keynes dan juga Gaibraith serta tokoh-tokoh yang lainnya, maka banyak Negara-negara maju termasuk Amerika Serikat, mulai melakukan perencanaan-perencanaan ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari kenyataan bahwa anggaran-anggaran semakin naik saja, hal itu disebabkan untuk memajukan daerah-daerah yang relative tertinggal, seperti memajukan pertanian, pedesaan dan sebagainya.
Tetapi kecendrungan seperti itu tidak bertahan lama, karena pemikir-pemikir sesudah era Keynes menginginkan agar keterlibatan pemerintah dan perekonomian hanya dipergunakan seperlunya saja, seminimal mungkin dan memberi kebebasan yang lebih besar kepada pihak swasta


REFERENSI 

Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Djojohadikusumo, Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Hansen, Alvin H. A Guide to Keynes. New York: McGraw-Hill Book Company, 1953.

BOOK RESUME: THE TWENTY YEARS CRISIS: EDWARD HALLET CARR


MATA KULIAH TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL
 


Summary ini akan membahas mengenai jurnal yang berjudul : “The Twenty Years Crisis : Telaah atas Pemikiran Realisme Politik Edward Hallet Carr. Jurnal Verity Tahun 2 Nomor 3 Januari-Juni 2010”. Yang secara garis besar memaparkan mengenai kritik keras yang dilontarkan Edward Hallet Carr terhadap aliran idealisme-utopian, yang menurutnya kurang relevan mendeskripsikan situasi dan kondisi politik internasional pada masa itu. Dan buku pertamanya yang berjudul : “The Twenty Years Crisis” yang diterbitkan tak lama setelah pecahnya PD II, tepatnya pada bulan September 1939 (yang hingga sekarang masih tetap eksis sebagai salah satu rujukan penting dalam literatur HI) dilatarbelakangi oleh permasalahan krisis 20 tahun (The Twenty Years Crisis, 1919-1939) yang melanda Eropa sebagai bukti kerapuhan lembaga-lembaga internasional, fakta adanya perebutan kekuasaan antara Negara-bangsa, serta kesalahan pendapat public dunia yang mendukung pasifisme yang dilatarbelakangi oleh dasar-dasar pemikiran normative idealisme-utopian.
Pada bagian awal didalam jurnal ini dipaparkan kesimpulan mengenai latar belakang konseptualisasi Realisme Politik Carr. Tentang banyaknya pemikiran Charr yang bertentangan dengan konseptualisasi aliran idealisme-utopian. Tentang bagaimana memecahkan masalah-masalah politik semacam perang yang juga dianggap sebagai penyakit hubungan internasional didalam aliran Idealisme-utopian yang memilih untuk menyiasati cara menghilangkan perang atau mengubah tatanan yang terdapat didalam sebuah fenomena.
Akan tetapi cara memecahkan masalah politik seperti perang yang dipaparkan oleh aliran idealism-utopian tersebut dianggap Carr sebagai sesuatu yang tidak real, hanya angan-angan. Karena pemerintahan dunia dan keamanan kolektif yang umumnya didambakan oleh kaum idealism-utopian adalah hal yang tidak mungkin terjadi selama kedaulatan masih melekat didalam tubuh Negara.
Untuk itu, Carr melalui pandangan realismenya bermaksud untuk memperbaiki keluguan pemikiran tersebut karena terlalu menitikberatkan kepada maksud dan tujuan tanpa merangkaikan keseluruhannya pada fakta yang empirik. Realisme menempatkan pemikiran politik dan suara kehidupan politik kedalam satu hal yakni yang sarat dengan peperangan dimana power politics masih menjadi pilihan utama bagi Negara-bangsa.
Dalam bagian lainnya dalam jurnal ini dibahas mengenai “Pembedaan Carr atas Realisme dan Idealisme-Utopian”. Didalam bagian ini dikemukakan gambaran Carr mengenai 4 pembedaan penting antara realism dan idealism-utopian.
Pertama, adalah tentang deskripsi skematik antara realism dan idealism (realita dan utopia). Kaum Idealisme-utopia percaya akan adanya transformasi masyarakat yang ideal melalui act of will, yang sayangnya tidak didukung dengan pengetahuan yang memadai untuk melakukan transformasi masyarakat menuju kondisi yang ideal tanpa konflik karena terdapat hambatan-hambatan nyata, sehingga kaum idealism-utopian cenderung tidak dapat bergerak dari keadaan sesungguhnya dengan tujuan yang diinginkan karena terlalu mengabaikan permasalahan hambatan-hambatan nyata tersebut. Selain itu, idealisme-utopian memimpikan perdamaian dunia, yang juga tidak didukung oleh adanya rancangan jitu yang dapat mewujudkan perdamaian tersebut, karena mereka memiliki kepercayaan besar bahwa perdamaian dunia akan terwujud dengan menerapkan pandangan-pandangan absolute dan prinsip-prinsip universal (perdamaian, cita-cita harmonis, keamanan kolektif, dan perdagangan bebas).  Tentu saja hal tersebut berbeda dengan pandangan kaum realis, yang menganggap bahwa realitas sosial tidak bisa diubah melalui suatu perjanjian. Realitas social adalah produk dari suatu rantai panjang kausalitas, sebuah hasil yang predetermined. Kaum realis menganggap hal-hal nyata sebagaimana adanya dan pesimis terhadap tindakan-tindakan yang dipercaya dapat mengubah dunia menuju keadaan ideal. Carr juga beranggapan bahwa prinsip-prinsip universal tersebut hanyalah selubung kepentingan istimewa status quo yang diciptakan dari sebuah keegoisan dengan maksud-maksud elitis demi memuaskan hasrat kekuasaan. Sebagai gantinya, Carr lebih mencukung konsep logika laissez-faire yang membentuk tatanan ideology elitis oleh Negara-negara yang berbasis pada perekonomian kuat dengan klaim-klaim keuntungan bersama namun untuk kebaikan mereka sendiri.
Kedua, mengenai teori dan praktik. Kaum idealisme-utopian mencoba mereproduksikan realitas dengan mengacu kepada teori (ide), sementara kaum realis menganggap teori berasal dari realitas (praktik).
Ketiga, tentang “kiri” dan “kanan”. Golongan kiri dianggap sebagai golongan radikal yang utopis (umumnya terdiri atas cendekiawan dan orang-orang terpelajar), dan kanan adalah golongan konservatif yakni realis (praktisi politik). Kiri memiliki kelemahan dalam menerjemahkan teori kedalam praktik, sementara kanan lemah dalam hal teori tetapi kuat dalam praktik. Kiri memiliki gagasan, dan kanan memiliki kebijakan.
Dan terakhit, Keempat, mengenai etika dan politik. Idealisme-utopian percaya akan kekuatan etika sebagai panduan alam kebijakan luar negeri (etika merupakan kontrol politik), sementara realis percaya bahwa etika muncul dari hubungan kekuasaan (politik lebih memegang kontrol dibandingkan etika).
Dan dari seluruh perbedaan atau pertentangan antara pemikiran realis dan Idealisme-utopian, Carr beranggapan bahwa hal tersebut hanya dapat dijawab melalui penyajian fakta empiris yang terjadi dalam hubungan internasional.
Selain itu, didalam bagian-bagian akhir, jurnal ini juga menyebutkan mengenai kepercayaan Carr terhadap adanya teori struggle for power yang ketika itu tengah diacuhkan oleh Negara-bangsa sebagai sebuah kendali alamiah. Carr menganggap, ketika Negara-bangsa melarikan diri dari struggle for power maka hal tersebut justru akan membahayakan diri mereka sendiri. Struggle for power diwadahi dalam bentuk kepentingan nasional sebagai satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan didalam system internasional dan oleh sebab itu benturan kepentingan nasional tidak dapat dihindari. Dan oleh sebab itu, struggle for power  juga harus turut dihadirkan. Dengan demikian, Carr tidak mengabaikan pentingnya perubahan system internasional namun juga tidak mempedulikan perdamaian dunia internasional. Akan tetapi, setiap Negara juga perlu menyesuaikan diri terhadap hubungan kekuasaan seperti perubahan atau pergeseran aliansi strategis antara Negara-bangsa (the irresistible strength of existing forces and the inevitable character of existing tendencies).
Dan kesimpulan didalam jurnal atas telaah buku Edward Hallet Carr : The Twenty Years Crisis yakni bahwa tidak ada dimensi etik-moral dalam hubungan internasional, yang ada hanyalah power politics. Perimbangan etik-moral hanyalah merupakan produk dari Negara-negara kuat, seperti halnya LBB yang merupakan produk AS dan Inggris. Dan etik moral hanya berfungsi apabila didasarkan atas kepentingan Negara-negara kuat semata, dan apabila kenyataannya justru menghambat Negara-negara kuat, maka power politics akan diutamakan. Untuk itu, wajar LBB gagal memainkan perannya sebagai polisi dunia saat mengawal jalannya roda hubungan internasional.

JUMLAH TULISAN : 900 kata 

RUANG LINGKUP HUBUNGAN INTERNASIONAL


Karl Deutsch membagi 12 ruang lingkup HI, yaitu:
        1.       Hubungan antar negara dengan lembaga-lembaga negara
        2.       Transnasional, hubungan lintas batas teritorial
        3.       Perang dan damai  (diplomat, militer, dan negara)
        4.       Kekuatan dan kelemahan
        5.      Politik Internasional dan masyarakat internasional (hubungan antara actor-aktor negara 
                   dan negara)
        6.       Kependudukan, pangan, sumber daya alam dan lingkungan
        7.       Kemakmuran dan kemiskinan
        8.       Kebebasan dan penindasan (kolonialisme, imperialism)
        9.       Persepsi dan ilusi (hubungan antar bangsa dan negara terkait dengan cara pandang  
                 pemimpinnya)
       10.   Aktivitas dan apatis (ikut didalam aktivitas internasional)
        11.   Revolusi dan stabilitas
        12.   Identitas dan transformasi.

Sementara kajian utama hubungan internasional, dapat dibagi menjadi lima, yakni:
1.      Bidang kajian politik internasional
2.      Strategi keamanan
3.      Diplomasi
4.      Politik luar negeri
5.      Ekonomi Politik

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...