Gambaran Umum Konflik
Rohingya
Hampir serupa dengan latarbelakang penyebab konflik internal
pada umumnya, yakni masalah etnis atau perbedaan identitas. Di Burma, masyarakat
terbagi atas beberapa kelompok etnis; Muslim Burma (Zerbadee), Muslim India, Muslim Rohingya, dan mayoritas warga
negara di Burma menganut agama Buddha.
Pada kelompok-kelompok etnis muslim di Burma,
terklasifikasi kembali menjadi beberapa golongan, Muslim Burma merupakan muslim
mayoritas karena terdiri atas orang-orang asli Burma dan telah lama menganut
ajaran Islam, asal-usulnya bahkan dapat diurutkan hingga abad ke-13 dan ke-14[1].
Komunitas dengan jumlah terbanyak kedua
di Myanmar ialah komunitas muslim India. Komunitas muslim India telah berada di
Burma sejak abad ke-19, sejak Burma dijadikan bagian dari Provinsi India oleh
Inggris, dan sejak itu pula banyak imigran dari India ke Burma[2].
Etnis India Burma kemudian tinggal di provinsi-provinsi Burma dalam jumlah
sangat besar, Inggris berperan besar terhadap perpindahan etnis ini, terutama
dikarenakan Inggris menganggap bahwa India lebih adaptif dan mandiri. Meskipun
kedatangan etnis Muslim India di Burma ini menuai banyak dampak negative,
terutama karena Muslim India sangat mempertahankan hubungan dan
praktek-prakterk religious mereka yang sebetulnya sangat bertentangan dengan
kaum mayoritas Budha di Burma. Komunitas Islam terkecil ialah komunitas muslim
Rohingya yang bermukin dinegara bagian Arakan atau Rakhine, yang berbatasan
dengan Bangladesh.
Penggolongan kelompok-kelompok etnis di Burma tidak
hanya terbatas kepada pemberian nama identitas ataupun daerah tempat tinggal,
akan tetapi setelah Burma merdeka pada tahun 1948, komunitas tersebut masing-masing
juga memiliki peran dan hak yang berbeda sebagai warga negara Burma. Muslim
Burma mendapat tempat dalam pemerintahan, posisi sebagai Perdana Menteri Burma
pertama kali diberikan kepada U Nu seorang muslim Burma. Setelah U Nu dikudeta
pada 1962, muslim Burma masih tetap banyak bertugas dan menduduki kursi
pemerintahan. Situasi yang diberikan kepada muslim Burma, berbeda dengan
situasi yang diberikan kepada Muslim India, Muslim India berkedudukan lebih
sulit, dan secara ekonomi lebih rendah dibandingkan Muslim Burma, mayoritas
mereka hanya dapat bekerja sebagai pedagang, bahkan pada September 1964, Muslim
India terpaksa harus meninggalkan Burma akibat kebijakan nasionalisasi dan
birokratisasi yang dijalankan Perdana Menter Ne Win[3].
Akan tetapi, dibandingkan dengan Muslim Burma, dan
Muslim India, kedudukan muslim Rohingya di Burma adalah yang paling sulit.
Mereka menjadi komunitas paling miskin yang ada di Burma. Mereka selalu ditolak
status kewarganegaraannya sesuai dengan Undang Undang yang dinamakan Burma Citizenship Law of 1982, Undang
Undang ini bersifat sentiment keagamaan dan penuh diskriminasi, muslim Rohingya
dianggap pendatang bukan warga negara. Keseluruhan hak muslim Rohingya tidak
diakui, dan mereka ditangkap secara besar-besarna, disiksa dan dijadikan buruh
paksa, mereka juga dilecehkan beramai-ramai. Pemerintah Burma tidak mengakui
semua sejarah penduduk Muslim Rohingya; bahasa mereka, kebudayaan,
adat-istiadat, dan segala hubungan mereka. Sejak diluludkannya Burma Citizenship Law, anak-anak kaum
Rohingya tidak berpeluang melanjutkan pendidikan mereka. Mereka terus
dipekerjakan sebagai buruh paksa jalanan dan dikamp-kamp militer, dan diperas
melalui pengenaan pajak sewenang-wenang, perampasan tanah oleh pemerintah
Burma, pengusiran paksa, penghancuran rumah, dan berbagai tindakan yang sangat
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Kaum perempuan Rohingya juga tidak
dibenarkan memakai jilbab, dan banyak dipaksa bekerja dibarak-barak dan
diperkosa beramai-ramai. Pemerintah Burma merobohkan masjid dan sekolah-sekolah
Rohingya. Kaum Rohingya tidak mempunyai hak dari segi pengobatan, baik di rumah
sakit, maupun di klinik-klinik, dan mereka terpaksa membayar dengan harga yang
terlampau tinggi untuk biaya perawatan yang mereka dapatkan. Mereka tidak dibenarkan
menunaikan haji ataupun menyembelih kurban. Etnis Rohingya juga tidak
dibenarkan menerima bantuan dari pihak manapun. Status etnis Rohingya di Burma
tersebut yang memicu mereka untuk meninggalkan Burma.[4]
Setiap tahunnya, kekejaman pemerintah Junta Burma terhadap
etnis Rohingya semakin meningkat. Pada tahun 1962 dilakukan penindasar
besar-besaran terhadap etnis Rohingya, dan lebih dari 1,5 juta Muslim Rohingya
dipaksa keluar dari tanah air mereka. Pada 1949, sekalilagi terjadi kerusuhan,
BTF (Burma Territorial Forces)
membunuh ribuah Muslim, dan memusnahkan ratusan tempat kediaman etnis Rhingya. Pada
1978 melalui Rencana 20 Tahun Pembasmian Rohingya (The 20-Year Rohingya Extermination Plan), dibawah kontrol langsung
Majelis Negara Burma telah melancarkan kode operasi terbesar, terkejam, yang
pernah didokumentasikan. Pada 18 Juli 1991, operasi pembasmian etnik Rohingya
kembali dilancarkan dengan nama kode Pyi
Thaya, dilakukan pemusnahan tempat tinggal dan tempat ibadah, pemerkosaan
beramai-ramai. Dari tahun 1992 hingga 1995, dilaporkan lebih dari 1,500 muslim
Rohingya dibunuh, dan pada 1999, 20 operasi besar pemusnahan Muslim Rohingya
oleh pemerintah Junta Burma dilaksanakan. Pemerintah Junta Burma juga
menciptakan suatu keadaan kelaparan dikawasan tersebut agar etnis Rohingya mati
kelaparan. Pada tahun 2003, buku-buku dan pita-pita rekaman yang menghina Islam
dan kaum Muslimin bisa didapati dengan mudah diseluruh Myanmar, malah
dibagi-bagikan secara geratis[5].
Keinginan pemerintah Burma ialah mengubah Arakan
menjadi kawasan Buddha, bahkan mengubah seluruh Myanmar menjadi negara Buddha. Bahkan
pada tahun 2004, Muslim Rohingya dipaksa untuk mengamalkan ajaran Buddha dan
dipaksa untuk ikut upacara Buddha. Muslim Rohingya dipaksa untuk menyumbangkan
uang didalam setiap acara Buddha yang dilakukan. Kawasan Ibadah kaum Muslimin
juga sering dicemari dengan dijadikan tempat mengubur mayat penganut Buddha.
Kekejaman pemerintah Burma terhadap etnis Rohingya,
membuat etnis tersebut melarikan diri mencari perlindungan hukum di negara
lain, seperti; ke Bangladesh. Akan tetapi mereka juga menolak kedatangan
mereka, dan kemudian mengembalikan mereka ke Myanmar.
Teori dan Penyelesaian Konflik Rohingya
Berdasarkan gambaran umum dalam konflik di Burma
(Myanmar) terhadap etnis Rohingya, terdapat beberapa asumsi penulis untuk
kemudian menyimpulkan sebuah teori yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
konflik tersebut.
Pertama
kondisi nyata bahwa etnis Rohingya merupakan etnis minoritas di Burma; dengan
jumlah penduduk sangat kecil, dan dengan segala keterbatasan yang diberikan
pemerintah Burma dalam undang-undangnya, membuat etnis ini tidak dapat
berkembang, dan tidak berdaya. Pemerintah Burma secara rutin melakukan
pemusnahan terhadap etnik Rohingya, mempersulit pernikahan mereka, dan
sebagainya, membuat etnik ini menjadi komunitas yang selalu kecil, dan oleh
sebab itu tidak akan memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan kepada
pemerintah Burma dalam bentuk apapun.
Kedua,
pemusnahan yang dilakukan di Burma berdasarkan kepada kontrol pemerintah.
Dengan kata lain, pemusnahan tersebut tidak dilakukan secara pribadi, berbentuk
suatu komunitas, atau dilakukan secara tidak sengaja. Pemusnahan diumumkan
dalam rencana negara, difasilitasi dan dikoordinir sedemekian rupa oleh pemerintahan,
dan oleh sebab itu membuat tindakan ini berkekuatan hukum di negara tersebut.
Berdasarkan kedua asumsi tersebut didapati kenyataan
bahwa penyelesaian konflik ini tidak dapat lagi bergantung kepada kesadaran
negara atau kepala negara Burma. Karena pada dasarnya pemerintahan negara Burma
sejak ratusan tahun yang lalu tetap beranggapan bahwa etnis Rohingya bukan
warga negaranya, dan Burma harus dijadikan sebagai negara Buddha.
Untuk itu, solusi terbaik dalam teori Resolusi Konflik internasional juga tidak
dapat dilakukan lagi melalui teknik mediasi. Untuk konflik jenis ini, dimana
pemerintah negara tersebut juga tidak berkeinginan baik menyelesaikan konflik,
bahkan tidak beranggapan bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah salah, maka Intervensi Internasional lah pilihan
terbaik untuk menyelesaikan konflik ini.
Intervensi merupakan
tindakan campur tangan (dengan atau tanpa menggunakan kekuatan militer) dalam
masalah dalam dan luar negeri suatu negara. Intervensi terbagi atas dua bentuk:
Intervensi Kemanusiaan Non Militer, dan Intervensi Kemanusiaan Militer. Sebenarnya
melalui Piagam PBB Pasal 2(4) Intervensi menggunakan militer telah dilarang
secara jelas, akan tetapi kemudian diberikan pengecualian untuk menghadapi failed states atau negara yang betul-betul
gagal. Negara yang tergolong kedalam failed
states terdiri atas banyak karakteristik, salah satunya adalah; ketika
sebuah negara telah melanggar hukum internasional, tidak dapat memberikan
kehidupan yang layak bagi rakyatnya (pendidikan, pangan, kesehatan,
perlindungan dari ancaman, dan sebagainya), dan pemerintahnya tidak mampu
mengatasi konflik didalam negaranya, negara yang sering melakukan konflik, dan
sebagainya.
Intervensi kemanusiaan pada dasarnya adalah ketika
sebuah negara A mengirimkan tentaranya kenegara B, tanpa seizin negara B,
dengan tujuan untuk melindungi keselamatan masyarakat negara B dari
ancaman-ancaman, seperti: bencana alam, pergolakan sipil dan lain-lain. Intervensi
kemanusiaan diperbolehkan untuk: memberikan bantuan dalam keadaan darurat dan
untuk menjaga Hak Asasi Manusia.
Intervensi kemanusiaan dapat dilakukan sesuai dengan
Resolusi DK PBB 688 (1991) mengenai Intervensi atas Tindakan Represif yang
pertama kali dikeluarkan dalam mengatasi konflik internal Irak terhadap suku Kurdi,
dengan persyaratan intervensi yakni[6]:
1.
There
must be a compeling and urgent situation of extreme humanitarian distress which
demanded immediate relief
2.
The
terrirorial state must be unable or unwilling to deal with the humanitarian
distress
3.
There
must no practical alternative to external intervention which would relieve the
distress
4.
The
action constituting the intervention must be limited in time and scope.
Berdasarkan Resolusi DK PBB 688 (1991), konflik
etnis Rohingya di Myanmar telah memenuhi persyaratan untuk segera dilakukan
intervensi kemanusiaan, baik militer maupun non militer. Militer untuk menekan
dan menjaga situasi di Myanmar agar pelanggaran HAM tersebut tidak kembali
terjadi. Dan non militer tentunya untuk memulihkan kembali keadaan baik emosional,
psikis, dan fisik dari korban-korban konflik tersebut. Dalam intervensi ini
akan lebih efektif apabila dunia internasional juga turut memberikan bantuan
terhadap konflik di Myanmar, tidak terbatas kepada Amerika Serikat, maupun PBB,
namun juga organisasi lain, dan negara-negara lain yang perduli. Karena sudah
seharusnya perlakuan dan pembedaan terhadap umat manusia beserta segala bentuk
pelanggaran HAM tidak terjadi kembali, hal tersebut merupakan tindakan sangat
primitif dan sudah lama seharusnya ditinggalkan.
[1] John L. Esposito, 2001, Myanmar:
Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. Mirzan: Bandung.
[2] Riza Sihbudi, dkk, 2000, Problematika
Minoritas Muslim di Asia Tenggara: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, JakartaL
PPW-LIPI
[3] Esposito, Loc.cit
[4] Website Resmi Amnesty International, Myanmar: The Rohingya Minority, Fundamental Rights Denied,
diakses dari: http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA16/005/2004/eb/9e8bb8db-d5d5-11dd-bb24-1f85fe8fa05/asa160052004en.pdf,
pada 16 Juni 2013.
[5]Aris Pramono, 2010, Peran
UNHCR dalam Konflik Rohingya, Skripsi Universitas Indonesia
[6] Yusnarida Eka Nismi, 2012, Failed
state and the mandate of peacekeeping operations, diakses dar Jurnal Studi
Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang: Volume 1 No. 1 Juni
2011: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/viewFile/1131/1222,
pada 16 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar