Senin, 24 September 2018

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VII (CASUALTY AVERSION)


Mata kuliah Resolusi Konflik
SEMESTER VI


Military Technology and Conflict
by
Geoffrey Kemp


Casualty Aversion

Casualty Aversion merupakan bentuk dari penolakan public terhadap adanya korban dalam perang. Sebelumnya bentuk penolakan ataupun keengganan terhadap terjadinya korban dalam peperangan belum pernah terjadi. Namun, selama terjadinya Perang Teluk, mayoritas public internasional mulai memberikan toleransi yang tinggi terhadap korban perang. Terdapat beberapa kelompok yang memberikan toleransi tinggi terhadap korban perang. The Triangle Institute melakukan penelitian mengenai hal tersebut, kemudian mengkategorikan kelompok casualty aversion kedalam tiga bentuk kelompok, yaitu 1) anggota militer senior atau anggota militer berpangkat tinggi; 2) warga sipil yang berpengaruh; 3) serta masyarakat umum. Tiga kelompok tersebut meminta untuk aktor-aktor yang terlibat dalam perang untuk mempertimbangkan dampak perang tersebut terhadap kematian[1].
Casualty Aversion muncul sebagai trauma masyarakat Amerika Serikat terhadap tingginya jumlah korban jiwa yang diderita oleh Amerika Serikat selama beberapa aksi intervensi yang dilakukannya dalam misi penjagaan perdamaian di beberapa perang besar memperjuangkan demokrasi. Khususnya terdapat 4 konflik militer yang mendorong munculnya kelompok casualty aversion tersebut, yaknit: 1) tingginya jumlah korban yang diderita oleh Amerika Serikat di Asia Tenggara selama Perang Vietnam, termasuk lebih dari 50.000 kematian prajurit Amerika Serikat, membuat kemudian pemimpin militer dan politik Amerika Serikat saat ini enggan untuk meletakkan kehidupan orang Amerika kedalam garis krisis yang secara langsung dapat mengancam kepentingan vital Amerika Serikat itu sendiri; 2) Perang Teluk, meskipun pada awalnya diprediksikan perang ini akan merenggut ribuan korban jiwa, namun pada hasil akhir hanya merenggut ratusan nyawa orang Amerika, tetapi pengaruh Perang Teluk menumbuhkan keyakinan orang Amerika bahwa pembentukan strategi perang dapat memperkecil jumlah korban jiwa dalam peperangan; 3) Intervensi Amerika Serikat dalam konflik di Somalia pada akhir tahun 1992 dengan misi awal untuk kemanusiaan yakni dalam menyelamatkan orang-orang kelaparan yang dilanda perang, namun misi tersebut berubah menjadi sebuah misi yang dirancang untuk melerai perkelahian satu sama lain serta konflik-konflik lain yang berasal dari luar. 
Pada misi tersebut, diatur tahapan-tahapan peleraian berupa pertemuan-pertemuan, pertemuan pertama yakni pada 3 Oktober 1993, dengan 18 jumlah prajurit Amerika Serikat yang tewas dengan keadaan yang mengenaskan, tubuh mayat prajurit tersebut diseret sepanjang jalanan Mogadishu agar semua orang dapat melihat mayat-mayat tersebut. Hingga akhirnya pada akhir Maret 1994, semua pasukan Amerika Serikat ditarik dari konflik tersebut; 4) Konflik Kosovo membawa trauma ini menjadi lebih jelas, tidak ada prajurit Amerika Serikat yang tewas akibat aksi musuh, hal ini dikarenakan strategi awal perang melawan Yugoslavia telah sangat diperhitungkan, dengan mempergunakan lebih banyak mempergunakan serangan udara dan mengesampingkan penggunaan pasukan darat. Akan tetapi serangan udara menyebabkan bom-bom yang diluncurkan pada ketinggian yang sangat tinggi merenggut jumlah korban sipil dan orang-orang tak bersalah dalam perang ini. Selain keempat jenis perang serius tersebut, terdapat pula perang-perang ekstrim yang merenggut jumlah korban yang juga tinggi, termasuk orang Amerika, namun tidak ditandai dengan penggunaan senjata berteknologi tinggi, maupun penggunaan senjata pemusnah masal, namun persenjataan yang agak primitif, termasuk parang dan tombak, serta senjata kecil dan senjata genggam otomatis. Perang ini terjadi sangat brutal di Afrika pada tahun 1990.
Munculnya penolakan atau keengganan public terhadap adanya korban dalam perang, kemudian mempengaruhi Amerika Serikat kemudian menggolongkan negara-negara dan memberikan julukan. Pada pertengahan tahun 2000, istilah “rogue states” secara resmi dijatuhkan Amerika Serikat kepada Korea Utara dan Iran, karena keputusan negara mereka untuk memodifikasi sikap revolusioner dan merupakan negara yang suka sekali berperang, berbeda dengan Amerika Serikat saat ini yang terlihat lebih berminat melakukan kerjasama daripada melakukan konfrontasi. Sementara Irak saat ini masih berada dalam pengawasan inspektur senjata PBB, pemeriksa senjata PBB, dan Amerika Serikat, karena mereka masih percaya bahwa Saddam Husein masih berupaya untuk mengembangkan senjata pemusnah masal.



[1] Ian R.S Townsend, “Casualty Aversion: the New Principle of War?”, diakses dari: www.dtic.mil/cgi-bin/GetTRDoc?AD=ADA381664, pada 17 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...