Mata kuliah Resolusi Konflik
SEMESTER VI
SEMESTER VI

Military Technology and Conflict
by
Geoffrey Kemp
Casualty Aversion
Casualty
Aversion merupakan bentuk
dari penolakan public terhadap adanya korban dalam perang. Sebelumnya bentuk
penolakan ataupun keengganan terhadap terjadinya korban dalam peperangan belum
pernah terjadi. Namun, selama terjadinya Perang Teluk, mayoritas public internasional
mulai memberikan toleransi yang tinggi terhadap korban perang. Terdapat
beberapa kelompok yang memberikan toleransi tinggi terhadap korban perang. The Triangle Institute melakukan
penelitian mengenai hal tersebut, kemudian mengkategorikan kelompok casualty aversion kedalam tiga bentuk
kelompok, yaitu 1) anggota militer senior atau anggota militer berpangkat
tinggi; 2) warga sipil yang berpengaruh; 3) serta masyarakat umum. Tiga
kelompok tersebut meminta untuk aktor-aktor yang terlibat dalam perang untuk
mempertimbangkan dampak perang tersebut terhadap kematian[1].
Casualty
Aversion muncul sebagai
trauma masyarakat Amerika Serikat terhadap tingginya jumlah korban jiwa yang
diderita oleh Amerika Serikat selama beberapa aksi intervensi yang dilakukannya
dalam misi penjagaan perdamaian di beberapa perang besar memperjuangkan
demokrasi. Khususnya terdapat 4 konflik militer yang mendorong munculnya
kelompok casualty aversion tersebut,
yaknit: 1) tingginya jumlah korban yang diderita oleh Amerika Serikat di Asia
Tenggara selama Perang Vietnam, termasuk lebih dari 50.000 kematian prajurit
Amerika Serikat, membuat kemudian pemimpin militer dan politik Amerika Serikat
saat ini enggan untuk meletakkan kehidupan orang Amerika kedalam garis krisis
yang secara langsung dapat mengancam kepentingan vital Amerika Serikat itu
sendiri; 2) Perang Teluk, meskipun pada awalnya diprediksikan perang ini akan
merenggut ribuan korban jiwa, namun pada hasil akhir hanya merenggut ratusan
nyawa orang Amerika, tetapi pengaruh Perang Teluk menumbuhkan keyakinan orang
Amerika bahwa pembentukan strategi perang dapat memperkecil jumlah korban jiwa
dalam peperangan; 3) Intervensi Amerika Serikat dalam konflik di Somalia pada
akhir tahun 1992 dengan misi awal untuk kemanusiaan yakni dalam menyelamatkan
orang-orang kelaparan yang dilanda perang, namun misi tersebut berubah menjadi
sebuah misi yang dirancang untuk melerai perkelahian satu sama lain serta
konflik-konflik lain yang berasal dari luar.
Pada misi tersebut, diatur
tahapan-tahapan peleraian berupa pertemuan-pertemuan, pertemuan pertama yakni
pada 3 Oktober 1993, dengan 18 jumlah prajurit Amerika Serikat yang tewas
dengan keadaan yang mengenaskan, tubuh mayat prajurit tersebut diseret
sepanjang jalanan Mogadishu agar semua orang dapat melihat mayat-mayat
tersebut. Hingga akhirnya pada akhir Maret 1994, semua pasukan Amerika Serikat
ditarik dari konflik tersebut; 4) Konflik Kosovo membawa trauma ini menjadi
lebih jelas, tidak ada prajurit Amerika Serikat yang tewas akibat aksi musuh,
hal ini dikarenakan strategi awal perang melawan Yugoslavia telah sangat
diperhitungkan, dengan mempergunakan lebih banyak mempergunakan serangan udara
dan mengesampingkan penggunaan pasukan darat. Akan tetapi serangan udara
menyebabkan bom-bom yang diluncurkan pada ketinggian yang sangat tinggi
merenggut jumlah korban sipil dan orang-orang tak bersalah dalam perang ini. Selain
keempat jenis perang serius tersebut, terdapat pula perang-perang ekstrim yang
merenggut jumlah korban yang juga tinggi, termasuk orang Amerika, namun tidak
ditandai dengan penggunaan senjata berteknologi tinggi, maupun penggunaan
senjata pemusnah masal, namun persenjataan yang agak primitif, termasuk parang
dan tombak, serta senjata kecil dan senjata genggam otomatis. Perang ini terjadi
sangat brutal di Afrika pada tahun 1990.
Munculnya
penolakan atau keengganan public terhadap adanya korban dalam perang, kemudian
mempengaruhi Amerika Serikat kemudian menggolongkan negara-negara dan
memberikan julukan. Pada pertengahan tahun 2000, istilah “rogue states” secara resmi dijatuhkan Amerika Serikat kepada Korea
Utara dan Iran, karena keputusan negara mereka untuk memodifikasi sikap
revolusioner dan merupakan negara yang suka sekali berperang, berbeda dengan
Amerika Serikat saat ini yang terlihat lebih berminat melakukan kerjasama
daripada melakukan konfrontasi. Sementara Irak saat ini masih berada dalam
pengawasan inspektur senjata PBB, pemeriksa senjata PBB, dan Amerika Serikat,
karena mereka masih percaya bahwa Saddam Husein masih berupaya untuk
mengembangkan senjata pemusnah masal.
[1] Ian R.S Townsend, “Casualty Aversion: the New Principle of
War?”, diakses dari: www.dtic.mil/cgi-bin/GetTRDoc?AD=ADA381664,
pada 17 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar