Senin, 24 September 2018

Resume: Resolusi Konflik: Konflik Thailand Selatan


Berdasarkan uraian mengenai konflik, jenis konflik, dan sebab konflik, terdapat beberapa negara yang tergolong rentan terhadap konflik hingga saat ini, konflik tersebut berkepanjangan, dan tergolong high-conflict karena menewaskan banyak jiwa. Beberapa negara yang rentan terhadap konflik ialah: Thailand Selatan, Kosovo, Rohingya, Palestina, dan Somalia. Lima negara tersebut merupakan negara yang mengalami konflik berkepanjangan, dan tergolong kedalam konflik internasional yang sangat ekstrim. Pendekatan teori Resolusi Konflik akan menjadi metode dasar pemikiran dalam penyelesaian konflik suatu negara, atau kasus dalam konflik-konflik yang menjadi fokus terhadap identifikasi kasus yang terjadi di Thailand Selatan, Kosovo, etnis Rohingya di Myanmar, Palestina, dan Somalia.



Gambaran Umum Konflik Thailand Selatan

Thailand terbagi atas dua wilayah yang dibedakan atas kelompok-kelompok etnis, wilayah Pusat Thailand (Thai) dengan mayoritas masyarakat Buddha, dan wilayah Thailand Selatan yang ditinggali oleh kelompok Islam (Muslim) etnis Pattani.  Awalnya didalam hukum negara Thailand, kedua wilayah tersebut meskipun memiliki perbedaan latar belakang, dinyatakan memiliki hak dan martabat yang sama sebagai warga negara Thailand, akan tetapi setelah dimunculkannya Traktat Anglo Siam 1901 -1902 hak dan martabat muslim Pattani di Thailand Selatan dicabut sehingga kini antara masyarakat Thai dan Thailand Selatan tidak memiliki kesamaan hak dan martabat. Kondisi semakin parah ketika pemerintah Thailand mendeklarasikan ideologi negaranya sebagai negara dengan ideologi Buddhisme dan Militeristik[1]. Aturan tersebut tidak hanya secara jelas mendiskriminasikan masyarakat di wilayah Thailand Selatan, akan tetapi juga memberikan dampak bagi kondisi ekonomi dan sosial di Thailand Selatan. Pemerintah pusat melakukan eksploitasi terhadap muslim pattani si Thailand Selatan. Oleh sebab itu banyak hal yang menyebabkan masyarakat Thailand Selatan kemudian membentuk kelompok pemberontak, tidak hanya karena masalah perbedaan situasi ekonomi yang sangat mencolok, pemberian pendidikan, serta perlakuan HAM tidak dilakukan secara adil. Konflik ini pula realitasnya telah terjadi sejak lebih dari 100 tahun dan belum mencapai penyelesaian.
Diskriminasi di Thailand Selatan memicu masyarakat Thailand Selatan untuk melakukan gerakan-gerakan pemberontakan agar dapat memisahkan diri (gerakan separatis). Aksi-aksi pemberontakan terjadi terutama di tiga provinsi di Thailand Selatan, yaitu: Narathiwat, Yala, dan Pattani. Gerakan-gerakan tersebut didukung oleh Barisan Revolusi Nasional (BRN yang dikenal pada tahun 1960 dan mempunyai tujuan untuk menuntut pemisahan diri dengan menggunakan ideologi sosialis), PULO (The Pattani United Liberation Organisation, yang dikenal pada tahun 1968), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP yang dikenal tahun 1986)[2]. Pemberontakan terus berlanjut hingga tahun 1998, dengan melakukan tindakan-tindakan frontal seperti membakar, membom, merusak fasilitas-fasilitas negara (kantor pejabat, sekolah-sekolah, gedung-gedung pemerintahan, pusat komunikasi internasional, jembatan, kantor polisi, dan lain-lain). Tahun 1998 terhenti karena para pemimpin pemberontakan berhasil ditangkap seiring dengan diperkuatnya armada militer Thailand.
Tahun 2004 pemberontakan muncul kembali dengan adanya penyerbuan terhadap markas militer Distrik Arion di Narathiwat yang menewaskan empat tentara Thailand dan hilangnya 300 senapan lengkap beserta amunisinya. Sejak peristiwa itu hingga pertengahan tahun 2007, aksi-aksi kekerasan dan teror, pembunuhan, penculikan, dan peledakan bom terus-menerus mewarnai suasana di empat. Konflik yang telah berlangsung sejak tahun 1902 semakin mengalami peningkatan pada tahun 2004. Tahun 2004, pemerintah Thailand melakukan komunikasi dengan Wan A. Kadir Che Man, yang pernah mengekspresikan keinginannya untuk mendorong negosiasi dengan pemerintah.7 Akan tetapi, ketidakmampuan Wan A. Kadir Che Man dalam menghentikan kekerasan yang terjadi membuat pertemuan tidak berjalan lancar. Pada tahun 2005, Perdana Menteri Thailand mendirikan NRC (the National Reconciliation Commission) yang anggotanya terdiri dari berbagai sektor masyarakat. Selanjutnya diikuti oleh Thaksin menunjukkan keinginannya untuk mengubah kebijakannya dalam menghadapi provinsi-provinsi yang ada di Selatan Thailand. Pemerintah juga memutuskan untuk menangani pembentukan kembali pendidikan dengan menerbitkan buku teks dalam bahasa Yawi sebagai penghormatan terhadap identitas budaya dan agama di Thailand Selatan. Upaya yang dilakukan oleh pihak internasional juga telah dilakukan, beberapa negara melakukan beberapa tindakan intervensi akan tetapi kerusuhan di Thailand Selatan tetap tidak dapat diatasi, bahkan merenggut korban jiwa dari negara lain yang melakukan intervensi.


Teori dan Penyelesaian Konflik di Thailand Selatan

Berdasarkan asumsi dasar dari teori Resolusi Konflik Internasional terdapat berbagai obsi dalam menyelesaikan konflik internasional, namun dalam menganalisis konflik yang terjadi di Thailand, secara spesifik sistem mediasi merupakan solusi terbaik dalam mengatasi konflik ini. Mediasi sendiri merupakan sebuah akar sistem yang diterapkan secara umum dalam dibentuknya studi Resolusi Konflik Internasional. Oleh sebab itu, sejak dahulu terbukti bahwa sistem mediasi merupakan sistem yang paling baik dipergunakan dalam menyelesaikan konflik apabila tidak ada jalan keluar lain yang dapat dilakukan. Terutama apabila melihat kronologis penyebab munculnya konflik tersebut, terdapat keinginan dari masyarakat Thailand Selatan untuk memiliki hak dan martabat yang sama dengan Thailand Pusat. Upaya yang dilakukan pemerintah Thailand dalam melakukan penangkapan dan memerangi kembali kelompok pemberontak, hanya akan meredakan sementara konflik tersebut, namun tidak akan menghentikannya. Hal ini wajar karena pada dasarnya keluhan dari masyarakat Thailand Selatan belum terpenuhi. Penangkapan justru akan menimbulkan kebencian semakin besar, dan membuat aksi pemberontakan akan semakin brutal, hal tersebut juga dibuktikan karena pada tahun 2004 konflik yang semula mereda pada tahun 1998 muncul kembali dan menjadi semakin membesar.
Pada intinya, antara Thailand Selatan hanya memerlukan adanya sebuah dialog yang menstransformasikan keinginan mereka. Proses mediasi juga tidak dapat dilakukan antara Pemerintah Pusat Thailand dengan Thailand Selatan. Hal ini karena antara Thailand Pusat dan Thailand Selatan tidak berbasis kepada kepercayaan. Jelas bahwa masyarakat Thailand Selatan selama ratusan tahun telah sangat dikecewakan oleh berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah Thailand Pusat yang justru mempersulit posisi mereka di Thailand Selatan. Oleh sebab itu penunjukkan mediator dari negara lain yang tidak terlibat memiliki persentase keberhasilan damai yang lebih besar dibandingkan apabila dilakukan pemerintah negara Thailand sendiri.
Penunjukkan pihak luar sebagai mediator akan memunculkan netralitas, yang secara sederhana dapat dinyatakan bahwa pihak lain akan adil karena tidak memiliki kepentingan terhadap konflik yang sedang terjadi. Kenetralan dari seorang mediator juga dibutuhkan dalam menciptakan sebuah suasana dan perasaan yang nyaman sehingga masing-masing pihak dapat lebih saling percaya satu sama lain. Saling percaya menjadi akar kepada hasil sebuah kebijakan yang bersifat win-win solution bagi masing-masing pihak. Kepercayaan juga akan membawa kepada keterbukaan, tentunya akan mempermudah berjalannya diplomasi antara pihak-pihak yang bertikai untuk menyampaikan keinginan, kepentingan, dan gagasan dalam konflik tersebut.
Pada 2008, upaya mediasi dari pihak luar telah dilakukan oleh Thailand. Indonesia dipilih sebagai mediator, dan pada tanggal 20 September 2008, kedua belah pihak yang bertikai berhasil dipertemukan. Oleh karena mediasi juga bukanlah proses yang singkat, maka dilakukan pertemuan demi pertemuan dalam konflik ini.  Hal ini juga untuk membuktikan kesungguhan keduabelah pihak untuk menyelesaikan dan merealisasikan keputusan akhir dalam setiap perundingan. Hal ini juga memungkinkan menilai kembali konflik yang terjadi secara benar.
Selain itu menurut Peter Wallensteen teknik Mediasi dalam teori Resolusi Konflik harus mengandung 3 unsur penting[3]:

1.      Adanya kesepakatan yang biasanya dituangkan dalam dokumen resmi yang ditandatangani dan menjadi pegangan selanjutnya dari seluruh pihak yang bertikai.
2.      Setiap pihak menerima dan mengakui eksistensi (keberadaan) dari pihak lain sebagai subyek.
2.      Pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk menghentikan segala aksi kekerasan sebagai proses pembangunan rasa saling percaya dan menjadi landasan selanjutnya.

Tiga unsur tersebut sangat penting, dan dalam kasus Thailand, tidak seperti kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya, yang tidak mengakui eksistensi dari etnis Rohingya sebagai warga negaranya, Pemerintah Thailand memberikan status kewarganegaraan yang jelas kepada masyarakat Thailand Selatan, diberikan hak-hak sebagai warga negara, meskipun sangat kecil. Pemerintah Thailand Selatan juga telah lama melakukan berbagai upaya agar Thailand Selatan tidak melakukan tindakan-tindaka pemberontakan atau berupaya untuk memisahkan diri mereka, pada kenyataan tersebut sebetulnya terdapat etikad baik dari pemerintah Thailand Selatan untuk mencari jalan keluar terbaik bagi rakyatnya. Hal yang perlu dibenahi hanyalah kesalahpahaman, kepercayaan antara pemerintah Thailand dan masyarakat Thailand Selatan, serta persepsi perbedaan identitas yang harus segera diubah, juga penyatuan terhadap perbedaan kedua kepentingan tersebut.



[1] Sebab-Sebab Munculnya Konflik Separatis di Thailand Selatan”. Diakses dari: http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/08/Trans%20-%20Ad%20April2007.pdf, pada 16 Juni 2013.
[2] Suwandono, The Material of Conflict Resolution in Islamic World: Conflict Resolution by Negotiation in Many Cases.
[3] Peter Wallensteen, 2002, Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and the Global System, London: Sage.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...