Berdasarkan uraian mengenai konflik, jenis konflik,
dan sebab konflik, terdapat beberapa negara yang tergolong rentan terhadap
konflik hingga saat ini, konflik tersebut berkepanjangan, dan tergolong high-conflict karena menewaskan banyak
jiwa. Beberapa negara yang rentan terhadap konflik ialah: Thailand Selatan,
Kosovo, Rohingya, Palestina, dan Somalia. Lima negara tersebut merupakan negara
yang mengalami konflik berkepanjangan, dan tergolong kedalam konflik internasional
yang sangat ekstrim. Pendekatan teori Resolusi Konflik akan menjadi metode
dasar pemikiran dalam penyelesaian konflik suatu negara, atau kasus dalam konflik-konflik
yang menjadi fokus terhadap identifikasi kasus yang terjadi di Thailand
Selatan, Kosovo, etnis Rohingya di Myanmar, Palestina, dan Somalia.
Gambaran Umum Konflik Thailand Selatan
Thailand terbagi atas dua wilayah yang dibedakan
atas kelompok-kelompok etnis, wilayah Pusat Thailand (Thai) dengan mayoritas
masyarakat Buddha, dan wilayah Thailand Selatan yang ditinggali oleh kelompok
Islam (Muslim) etnis Pattani. Awalnya
didalam hukum negara Thailand, kedua wilayah tersebut meskipun memiliki
perbedaan latar belakang, dinyatakan memiliki hak dan martabat yang sama
sebagai warga negara Thailand, akan tetapi setelah dimunculkannya Traktat Anglo
Siam 1901 -1902 hak dan martabat muslim Pattani di Thailand Selatan dicabut
sehingga kini antara masyarakat Thai dan Thailand Selatan tidak memiliki
kesamaan hak dan martabat. Kondisi semakin parah ketika pemerintah Thailand
mendeklarasikan ideologi negaranya sebagai negara dengan ideologi Buddhisme dan
Militeristik[1].
Aturan tersebut tidak hanya secara jelas mendiskriminasikan masyarakat di
wilayah Thailand Selatan, akan tetapi juga memberikan dampak bagi kondisi
ekonomi dan sosial di Thailand Selatan. Pemerintah pusat melakukan eksploitasi
terhadap muslim pattani si Thailand Selatan. Oleh sebab itu banyak hal yang
menyebabkan masyarakat Thailand Selatan kemudian membentuk kelompok
pemberontak, tidak hanya karena masalah perbedaan situasi ekonomi yang sangat mencolok,
pemberian pendidikan, serta perlakuan HAM tidak dilakukan secara adil. Konflik
ini pula realitasnya telah terjadi sejak lebih dari 100 tahun dan belum
mencapai penyelesaian.
Diskriminasi di Thailand Selatan memicu masyarakat
Thailand Selatan untuk melakukan gerakan-gerakan pemberontakan agar dapat
memisahkan diri (gerakan separatis). Aksi-aksi pemberontakan terjadi terutama
di tiga provinsi di Thailand Selatan, yaitu: Narathiwat, Yala, dan Pattani.
Gerakan-gerakan tersebut didukung oleh Barisan Revolusi Nasional (BRN yang
dikenal pada tahun 1960 dan mempunyai tujuan untuk menuntut pemisahan diri
dengan menggunakan ideologi sosialis), PULO (The Pattani United Liberation Organisation, yang dikenal pada tahun
1968), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP yang dikenal tahun 1986)[2].
Pemberontakan terus berlanjut hingga tahun 1998, dengan melakukan tindakan-tindakan
frontal seperti membakar, membom, merusak fasilitas-fasilitas negara (kantor
pejabat, sekolah-sekolah, gedung-gedung pemerintahan, pusat komunikasi
internasional, jembatan, kantor polisi, dan lain-lain). Tahun 1998 terhenti karena
para pemimpin pemberontakan berhasil ditangkap seiring dengan diperkuatnya
armada militer Thailand.
Tahun 2004 pemberontakan muncul kembali dengan
adanya penyerbuan terhadap markas militer Distrik Arion di Narathiwat yang
menewaskan empat tentara Thailand dan hilangnya 300 senapan lengkap beserta
amunisinya. Sejak peristiwa itu hingga pertengahan tahun 2007, aksi-aksi
kekerasan dan teror, pembunuhan, penculikan, dan peledakan bom terus-menerus
mewarnai suasana di empat. Konflik yang telah berlangsung sejak tahun 1902
semakin mengalami peningkatan pada tahun 2004. Tahun 2004, pemerintah Thailand
melakukan komunikasi dengan Wan A. Kadir Che Man, yang pernah mengekspresikan
keinginannya untuk mendorong negosiasi dengan pemerintah.7 Akan tetapi,
ketidakmampuan Wan A. Kadir Che Man dalam menghentikan kekerasan yang terjadi
membuat pertemuan tidak berjalan lancar. Pada tahun 2005, Perdana Menteri
Thailand mendirikan NRC (the National
Reconciliation Commission) yang anggotanya terdiri dari berbagai sektor
masyarakat. Selanjutnya diikuti oleh Thaksin menunjukkan keinginannya untuk
mengubah kebijakannya dalam menghadapi provinsi-provinsi yang ada di Selatan
Thailand. Pemerintah juga memutuskan untuk menangani pembentukan kembali
pendidikan dengan menerbitkan buku teks dalam bahasa Yawi sebagai penghormatan
terhadap identitas budaya dan agama di Thailand Selatan. Upaya yang dilakukan
oleh pihak internasional juga telah dilakukan, beberapa negara melakukan
beberapa tindakan intervensi akan tetapi kerusuhan di Thailand Selatan tetap
tidak dapat diatasi, bahkan merenggut korban jiwa dari negara lain yang
melakukan intervensi.
Teori dan Penyelesaian Konflik di Thailand Selatan
Berdasarkan asumsi dasar dari teori Resolusi Konflik Internasional terdapat
berbagai obsi dalam menyelesaikan konflik internasional, namun dalam
menganalisis konflik yang terjadi di Thailand, secara spesifik sistem mediasi
merupakan solusi terbaik dalam mengatasi konflik ini. Mediasi sendiri merupakan
sebuah akar sistem yang diterapkan secara umum dalam dibentuknya studi Resolusi
Konflik Internasional. Oleh sebab itu, sejak dahulu terbukti bahwa sistem
mediasi merupakan sistem yang paling baik dipergunakan dalam menyelesaikan
konflik apabila tidak ada jalan keluar lain yang dapat dilakukan. Terutama
apabila melihat kronologis penyebab munculnya konflik tersebut, terdapat
keinginan dari masyarakat Thailand Selatan untuk memiliki hak dan martabat yang
sama dengan Thailand Pusat. Upaya yang dilakukan pemerintah Thailand dalam
melakukan penangkapan dan memerangi kembali kelompok pemberontak, hanya akan
meredakan sementara konflik tersebut, namun tidak akan menghentikannya. Hal ini
wajar karena pada dasarnya keluhan dari masyarakat Thailand Selatan belum
terpenuhi. Penangkapan justru akan menimbulkan kebencian semakin besar, dan
membuat aksi pemberontakan akan semakin brutal, hal tersebut juga dibuktikan
karena pada tahun 2004 konflik yang semula mereda pada tahun 1998 muncul
kembali dan menjadi semakin membesar.
Pada intinya, antara Thailand Selatan hanya
memerlukan adanya sebuah dialog yang menstransformasikan keinginan mereka.
Proses mediasi juga tidak dapat dilakukan antara Pemerintah Pusat Thailand
dengan Thailand Selatan. Hal ini karena antara Thailand Pusat dan Thailand
Selatan tidak berbasis kepada kepercayaan. Jelas bahwa masyarakat Thailand
Selatan selama ratusan tahun telah sangat dikecewakan oleh berbagai kebijakan
yang dibuat pemerintah Thailand Pusat yang justru mempersulit posisi mereka di
Thailand Selatan. Oleh sebab itu penunjukkan mediator dari negara lain yang
tidak terlibat memiliki persentase keberhasilan damai yang lebih besar
dibandingkan apabila dilakukan pemerintah negara Thailand sendiri.
Penunjukkan pihak luar sebagai mediator akan
memunculkan netralitas, yang secara sederhana dapat dinyatakan bahwa pihak lain
akan adil karena tidak memiliki kepentingan terhadap konflik yang sedang
terjadi. Kenetralan dari seorang mediator juga dibutuhkan dalam menciptakan
sebuah suasana dan perasaan yang nyaman sehingga masing-masing pihak dapat
lebih saling percaya satu sama lain. Saling percaya menjadi akar kepada hasil
sebuah kebijakan yang bersifat win-win
solution bagi masing-masing pihak. Kepercayaan juga akan membawa kepada
keterbukaan, tentunya akan mempermudah berjalannya diplomasi antara pihak-pihak
yang bertikai untuk menyampaikan keinginan, kepentingan, dan gagasan dalam
konflik tersebut.
Pada 2008, upaya mediasi dari pihak luar telah
dilakukan oleh Thailand. Indonesia dipilih sebagai mediator, dan pada tanggal
20 September 2008, kedua belah pihak yang bertikai berhasil dipertemukan. Oleh
karena mediasi juga bukanlah proses yang singkat, maka dilakukan pertemuan demi
pertemuan dalam konflik ini. Hal ini
juga untuk membuktikan kesungguhan keduabelah pihak untuk menyelesaikan dan
merealisasikan keputusan akhir dalam setiap perundingan. Hal ini juga
memungkinkan menilai kembali konflik yang terjadi secara benar.
Selain itu menurut Peter Wallensteen teknik Mediasi dalam teori Resolusi Konflik harus mengandung 3 unsur penting[3]:
1. Adanya
kesepakatan yang biasanya dituangkan dalam dokumen resmi yang ditandatangani
dan menjadi pegangan selanjutnya dari seluruh pihak yang bertikai.
2. Setiap
pihak menerima dan mengakui eksistensi (keberadaan) dari pihak lain sebagai
subyek.
2. Pihak-pihak
yang bertikai sepakat untuk menghentikan segala aksi kekerasan sebagai proses
pembangunan rasa saling percaya dan menjadi landasan selanjutnya.
Tiga unsur tersebut sangat penting, dan dalam kasus
Thailand, tidak seperti kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya,
yang tidak mengakui eksistensi dari etnis Rohingya sebagai warga negaranya, Pemerintah
Thailand memberikan status kewarganegaraan yang jelas kepada masyarakat
Thailand Selatan, diberikan hak-hak sebagai warga negara, meskipun sangat
kecil. Pemerintah Thailand Selatan juga telah lama melakukan berbagai upaya
agar Thailand Selatan tidak melakukan tindakan-tindaka pemberontakan atau
berupaya untuk memisahkan diri mereka, pada kenyataan tersebut sebetulnya
terdapat etikad baik dari pemerintah Thailand Selatan untuk mencari jalan
keluar terbaik bagi rakyatnya. Hal yang perlu dibenahi hanyalah kesalahpahaman,
kepercayaan antara pemerintah Thailand dan masyarakat Thailand Selatan, serta
persepsi perbedaan identitas yang harus segera diubah, juga penyatuan terhadap
perbedaan kedua kepentingan tersebut.
[1] Sebab-Sebab Munculnya Konflik
Separatis di Thailand Selatan”. Diakses dari: http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/08/Trans%20-%20Ad%20April2007.pdf,
pada 16 Juni 2013.
[2] Suwandono, The Material of
Conflict Resolution in Islamic World: Conflict Resolution by Negotiation in
Many Cases.
[3] Peter Wallensteen, 2002, Understanding
Conflict Resolution: War, Peace, and the Global System, London: Sage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar