Senin, 24 September 2018

Resume: Resolusi Konflik: Konflik Somalia

Berdasarkan uraian mengenai konflik, jenis konflik, dan sebab konflik, terdapat beberapa negara yang tergolong rentan terhadap konflik hingga saat ini, konflik tersebut berkepanjangan, dan tergolong high-conflict karena menewaskan banyak jiwa. Beberapa negara yang rentan terhadap konflik ialah: Thailand Selatan, Kosovo, Rohingya, Palestina, dan Somalia. Lima negara tersebut merupakan negara yang mengalami konflik berkepanjangan, dan tergolong kedalam konflik internasional yang sangat ekstrim. Pendekatan teori Resolusi Konflik akan menjadi metode dasar pemikiran dalam penyelesaian konflik suatu negara, atau kasus dalam konflik-konflik yang menjadi fokus terhadap identifikasi kasus yang terjadi di Thailand Selatan, Kosovo, etnis Rohingya di Myanmar, Palestina, dan Somalia.



Gambaran Umum Konflik Palestina

Palestina adalah sebuah nama untuk wilayah barat Syiria, yaitu wilayah yang terletak dibagian barat Asia dan bagian pantai timur Laut Tengah. Konflik yang terjadi di Palestina diasumsikan berlatarbelakang oleh dua sumber konflik; pertama dari segi agama, Palestina merupakan wilayah yang dianggap sebagai tempat suci agama-agama besar didunia, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi; kedua , segi sejarah, segi sejarah menjadi latarbelakang penyulut konflik antara Israel dan Palestina, di Israel terdapat situs-situs bersejarah yang berkaitan dengan tempat tinggal dan agama orang-orang Yahudi, Islam, dan Kristen. Masalah menyulut ketika Israel membentuk negaranya sendiri pada tahun 1948 atas rekomendasi resolusi No.181 Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1947 tantang Pemecahan Palestina menjadi Dua Negara. Proses kemerdekaan Israel menjadi negara sendiri juga dipengaruhi oleh perjuangan kaum Yahudi untuk mendapatkan dukungan kemerdekaan dan menggalang kekuatan ke negeri luar, khususnya Perancis dan Inggris[1].
Hal tersebut mendapat penolakan dari Palestina. Palestina kemudian membentuk kelompok-kelompok gerakan anti Israel, salah satunya adalah HAMAS (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyyah). Seiring waktu berlalu perang terus berlangsung di Timur Tengah, dan menjadi kawasan rawan konflik yang dilanda perang besar pada tahun 1956, 1967, 1973. Konflik berkembang luas karena, pada awalnya, pemisahan diri menjadi negara sendiri oleh Israel dilatarbelakangi oleh zionisme keagamaan (nasionalisme keagamaan Yahudi) Israel menginginkan negara khusus bagi orang-orang Yahudi, namun kini keinginan tersebut berkembang menjadi masalah politik, karena Israel menjadi ingin untuk menguasai Timur Tengah menjadikannya negara khusus bagi kaum Yahudi.
Dalam upaya untuk menguasai seluruh Timur Tengah dan menjadikannya sebagai negara Yahudi, Israel melakukan sejumlah tindakan seperti: melakukan agresi militer, pembangunan pemukiman diwilayah Tepi Brat, pemblokiran jalur Gazza, gencatan senjata. Sepanjang sejarah, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan upaya-upaya, seperti intervensi dengan mengirimkan utusan-utusan khusus ke Timur Tengah, dan menyediakan forum perundingan dan perdebatan untuk diplomasi kedua pihak yang berkonflik[2].




1.4.1        Teori dan Penyelesaian Konflik Palestina
Berdasarkan identifikasi terhadap gambaran umum konflik yang terjadi di Palestina, dan upaya-upaya yang telah dilakukan PBB, yakni bahwa telah diupayakan jalan melalui intervensi maupun jalur mediasi, namun konflik tetap belum dapat diselesaikan, dan berdasarkan sumber-sumber resmi berbentuk jurnal, hasil penelitian, dan buku-buku yang dipublikasikan, ketidakberhasilan metode-metode yang ditawarkan dalam teori Resolusi Konflik Internasional tersebut disebabkan oleh keadaan politik didalam menjalankan upaya-upaya tersebut.
Seperti diketahui bahwa, Amerika Serikat memiliki dominasi atas setiap kegiatan didunia internasional, termasuk dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh PBB. Berbanding dengan realitas tersebut, Amerika Serikat memiliki kepentingan tersendiri didalam konflik antara Israel dan Palestina, terlihat dari dukungan-dukungan yang diberikan oleh Amerika Serikat terhadap Israel, membuat penyelesaian konflik yang dilakukan PBB menjadi tidak efektif.
Ini pula yang disebutkan dalam tulisan Stanley Hoffman yang berjudul “The Debate of Intervention”, yaitu terdapat banyak sekali pemikir yang meragukan keberhasilan dari tindakan intervensi, karena aktor yang memegang dominasi dalam intervensi hanyalah satu aktor, yaitu Amerika Serikat, dengan situasi tersebut, tidak mungkin bahwa dalam setiap intervensi yang dilakukan sebuah negara tidak memiliki kepentingan didalamnya[3]. Seperti dalam fokus kasus Palestina dan Israel, terlihat bahwa tidak efisiennya proses penyelesaian konflik ini terletak kepada tidak netralnya Amerika Serikat dalam menangani dan mencari jalan keluar konflik ini. Bahkan tampaknya dari seluruh perkembangan dalam konflik tersebut, Amerika Serikat memberikan dukungan kepada Israel, dan sebaliknya, memberikan berbagai bentuk tekanan kepada Palestina.
Suatu hal yang wajar apabila sebuah negara memiliki kepentingan dalam setiap kegiatannya, hal itu pula yang menjelaskan munculnya keraguan internasional apabila dominasi kekuasaan diberikan hanya kepada satu pihak. Karena dalam beberapa kegiatan, tentu memiliki kemungkinan, pihak tersebut mendahulukan kepentingannya.
Maka apabila dalam menjalankan solusi sebagaimana dalam Teori Resolusi Konflik telah dicampuri oleh adanya kepentingan negara lain dalam konflik antar negara, Solusi dalam kasus ini, akan dikembalikan kepada teori Hukum Internasional.
Teori Hukum Internasional menyatakan bahwa: penegakan kemaslahatan umat dunia ketika terjadi sebuah sengketa atau konflik internasional, sengketa tersebut diatur dengan tujuan agar sengketa tersebut dapat diselesaikan sedini mungkin dengan cara yang jujur dan adil. Hal ini tertuang pula dalam Hukum Kebiasaan Internasional, dalam Konvensi Den Haag I Tahun 1899 dan 1907 tentang Penyelesaian Sengketa Secara Damai, dan Piagam PBB yang menetapkan pembentukan organisasi internasional yang dimaksudkan untuk mempermudah penyelesaian sengketa antar negara secara damai[4]. Oleh sebab itu penting untuk kembali melihat isi dari setiap ketentuan Hukum Internasional, dan menegakkan kembali setiap pelaksanaan penyelesaian konflik sesuai dengan hukum internasional yang dibentuk berdasar kepada kesepakatan internasional, agar dapat dijalankan secara adil. Peran dan dukungan negara-negara lain juga penting untuk mengembalikan tindakan penyelesaian konflik kepada aturan internasional yang berlaku.



[1] Abdul Rahman Mustafha, 2002, Jejak-Jejak Juang Palestina dari Oslo hingga Intifadah Al-Aqsha, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[2] PBB, Pengetahuan Dasar mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kantor Penerangan PBB (UNIC): Jakarta.
[3] Chester Crocket, et. al. 2001. Turbulent Peace: the Challenges of Managing International Conflict, US Intitute of Peace Press: Washington DC
[4] C.S.T Kansil, 2002, Modul Hukum Internasional, Jakarta: Djambatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...