Senin, 24 September 2018

Masyarakat Melayu dan NKRI



Mata Kuliah Studi Masyarakat Melayu
SEMESTER VI


MASUKNYA MELAYU KEDALAM NKRI

Sebelum membahas mengenai masuknya Melayu kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa yang disebut sebagai Melayu itu sendiri. ”Melayu” awalnya sebutan ini diberikan pertama kali oleh seorang ahli ilmu bangsa-bangsa bernama Ellsworth Huntington untuk menunjukkan identitas sekelompok manusia (sub-ras manusia) yang bercirikan fisik memiliki kulit sawo matang, hasil dari asimilasi golongan manusia berkulit kuning (indo-mongolide) dengan golongan manusia berkulit hitam (India), yang ia temukan mendiami kawasan yang dahulu disebut sebagai kawasan ”Hindia Belakang”.
Sub-ras tersebut melahirkan suatu kebudayaan tersendiri, yang lahir dipengaruhi oleh banyak faktor, pengaruh letak, keadaan tanah, hawa (iklim), lingkungan, dan sebagainya. Kebudayaan tersebut yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Melayu. Huntington dahulu menyebutnya sebagai ”Masyarakat Melieau” yang kemudian diubah oleh pakar sejarah lain bernama Prof. V.H. Geldren dengan sebutan ”Bangsa Melayu”.
Akan tetapi berdasarkan perkembangannya, masyarakat Melayu merupakan masyarakat yang dikatakan memiliki sifat yang heterogen, mereka selalu mengalami perkembangan kebudayaan, sehingga kemudian menetapkan ciri khas bagi komunitas mereka sendiri.
Masyarakat Melayu juga mengalami perkembangan pesat dengan penyebarannya, menjadikannya sebagai komunitas dominan yang mendiami daerah Asia Tenggara hingga kepulauan Hawaii dan Madagaskar, yang kemudian melahirkan asimilasi (perbauran) baru dengan masyarakat seperti: bangsa Thailand (Siam), Burma, Kamboja, Laos, Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Penyebarannya juga terkait kepada ciri khas masyarakat Melayu yang dekat dengan lautan, mereka umumnya suka melakukan pelayaran dan melakukan hubungan dengan negara-negara tetangga.
Sub Ras Manusia Melayu mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 2000 SM. Masuknya manusia Melayu tersebut tidak berlangsung secara sekaligus, namun kedatangannya berlangsung secata tahap demi tahap (bergelombang). Antara gelombang pertama dan selanjutnya berjarak hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Berdasarkan penelitian ahli, masuknya manusia Melayu kedalam wilayah Indonesia terbagi atas beberapa tahap, yaitu: tahap pertama (2000 SM) disebut sebagai awal kedatangan melayu yang diberinama ”Melayu Tua” (Proto Melayu), tahap kedua (1500 – 300 SM) disebut sebagai ”Melayu Muda” (Deutro Melayu), hingga kepada tahun 300 SM, golongan Melayu menjadi komunitas dominan yang mendiami daerah kawasan nusantara Indonesia. Meskipun seiring dengan perubahan yang datang dari luar dan dalam, asimilasi menghasilkan terbentuknya kultur-kultur baru dan beragam di Indonesia, terutama disebabkan oleh banyaknya bangsa yang kemudian datang ke Indonesia, seperti bangsa Arab dan India.
Masuknya bangsa Arab dan India ke Indonesia, turut menyebabkan masuknya Islam ke Indonesia. Agama Islam dibawa oleh para saudagar-saudagar Gujerath India, Arab, dan Parsi. Raja-Raja Melayu berserta orang-orang besar Melayu pada saat itu kemudian menjalin hubungan sangat dekat dengan para saudagar tersebut, hingga kedatangan Sjech Ismail yang kemudian secara khusus ditugaskan meng-Islam-kan seluruh Pasai. Pengaruh ajaran agama Islam dianggap memberikan dampak dan ajaran sangat baik, sehingga pada akhirnya Kerajaan Pasai secara total meninggalkan kebudayaan lamanya, marganya, dan menerapkan perubahan besar-besaran baik dalam kehidupan sehari-hari maupun susunan adat yang disesuaikan kepada kaidah-kaidah Islam. Seperti adat istiadat perkawinan, penobatan raja-raja, dan sebagainya.
Kekuatan pengaruh ajaran agama Islam terhadap bangsa Melayu, kemudian menjadikan Melayu erat kaitannya dengan Islam, dan menjadikan salah satu ciri yang lekat apabila menggambarkan bangsa Melayu.

KEDUDUKAN MELAYU DALAM NKRI

Sejarah menunjukkan bahwa Melayu bukanlah sebuah konsep ethnicity (kesukuan), melainkan konsep akulturasi (kebudayaan), hal ini dikarenakan proses terbentuknya masyarakat Melayu adalah melalui proses tahap demi tahap akulturasi, sehingga kemudian tercipta suatu permukiman kawasan Melayu, etnis Melayu, kepercayaan Melayu, yang mecirikan masyarakat Melayu yang sebenarnya tidak sejak awal dianut sebagai suatu ciri asli yg dibawa sejak lahir oleh orang-orang yang disebut sebagai Melayu tersebut. Dengan kata lain kebudayaan Melayu lahir melalui proses adaptasi dan akulturasi sekelompok ras yang kemudian menjadikannya sebagai suatu ciri dari kelompok mereka. Konsep inilah yang kemudian sejak dahulu dipergunakan sebagai faktor integratif (pemersatu) dalam kehidupan majemuk bangsa Indonesia dalam rangka persatuan Nasional.
Berdasarkan data-data arkeologis dan sejarah yang diungkapkan, menunjukkan bahwa bentangan budaya Melayu telah melampaui batas-batas geografis kawasan budaya Melayu yang selama ini dikenal, yaitu Sumatera Timur, Riau, Jambi, dan Palembang. Secara arkeolgis, pengaruh budaya Melayu juga ditemukan di Filipina (pulau Mindanao dan Sulu), Ternate dan Tidore, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Bukti-bukti arkeologis dan sejarah menunjukkan bahwa penyebaran budaya Melayu cukup luas, meliputi Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.
Pada masa lampau, kebudayaan Melayu berfungsi sebagai pusat orientasi dan akulturasi kehidupan antar-etnis (suku bangsa) Indonesia, terutama dalam kehidupan di perkotaan. Citra kedudukan historis tersebut dapat dikembalikan apabila kebudayaan Melayu mampu mempertahankan keterbukaannya terhadap pengkayaan nilai budaya Nusantara, serta didukung kuat oleh kreativitas pecintanya. Dengan demikian, kebudayaan Melayu sebagai salah satu kebudayaan Nusantara akan dapat dipakai sebagai pedoman dalam memperkuat dasar pengembangan kebudayaan nasional dan dalam menghadapi tantangan abad modern, serta dapat menjadi kebanggan dan identitas nasional.
Selain Melayu yang secara teori memiliki bentangan penyebaran dan menjadi penduduk dominan sepanjang sejarah Indonesia, berdasarkan pengalam sejarah pula, ras Melayu membawa banyak pengaruh dan pengalaman gemilang semenjak masa raja-raja Melayu. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kitab, prasasti, maupun peninggalan-peninggalan lain yang ditulis oleh negara lain yang menceritakan kegemilangan kerajaan pertama Melayu yakni Sriwijaya, seperti kitab karya seorang Pendeta Cina yang termasyur, bernama I Ching, serta catatan pendeta-pendeta Buddha yang menuntut imu di India pada zaman Dinasti Tang pada tahun 671. Kerajaan ini terletak di pulau yang penuh dengan tambang emas, dan menyebabkan Sriwijaya memiliki kemampuan mengontrol perdagangan di Selat Malaka. Sriwijaya sendiri berdasarkan definisinya berarti ”Kemanangan yang Gilang Gemilang”. Penguasaan serta kejayaan kerajaan Sriwijaya juga menjadi latar belakang pengenalan serta penggunaan bahasa Melayu di Nusantara, khususnya didaerah pesisir.
Ras Melayu memiliki tradisi dalam bidang pertanian, perdagangan, dan maritim dimasa silam, yang membawa kemakmuran serta kejayaan bagi masyarakat Melayu zaman dahulu, sehingga tradisi tersebut ingin dibangkitkan kembali diasimilasikan dengan kombinasi pengetahuan dan perkembangan modern dalam bidang-bidang tersebut.

PERSPEKTIF STUDI MASYARAKAT MELAYU DALAM NKRI

Seiring dengan lahirnya era globalisasi, muncul isu-isu serta dilema keamanan baru antar negara. Pertama, isu yang bernuansa politik global (seperti demokratisasi, HAM, dan sebagainya), kedua isu kerjasama dan bantuan luar negeri yang terkait kepada isu-isu pertama, ketiga isu-isu politik baru (seperti: isu nasionalisme, etnik, self-determination, dan sebagainya). Munculnya era globalisasi telah mengancam hankam setiap negara, khususnya NKRI.
Berdasarkan hal tersebut, kemudian studi ataupun upaya pembinaan masyarakat Melayu dianggap penting bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilatar belakangi salahsatunya oleh faktor : dominasi/ mayoritas, berdasarkan realitas bentangan penyebarannya, masyarakar Melayu merupakan salah satu komunitas terbesar di Indonesia, terbentang dari wilayah pantai Timur pulau Sumatera hingga sebagian pantai Utara Jawa dan pantai Barat Kalimantan Barat. Besarnya komunitas Melayu ini tentunya mempengaruhi dan akan menjadi strategi yang penting untuk mengoptimalkan kepentingan nasional pada umumnya, masa kini maupun masa mendatang. Dengan kata lain, budaya Melayu merupakan salah satu alat perekat kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat dilihat pula dalam sejarah awal kelahiran bahasa Indonesia, yang merupakan asimilasi dari bahasa Melayu.
Pada masa jajahan Belanda, bangsa Indonesia dinyatakan lemah dalam menggunakan dan mengerti bahasa Belanda, dan bahasa Melayu dinyatakan mudah untuk dimengerti oleh setiap orang, termasuk bangsa Belanda. Oleh sebab itu, dipergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu bagi para pekerja, dan bangsa Belanda juga turut mempelajari bahasa tersebut, agar terjadi komunikasi yang dapat dimengerti. Bahasa Melayu kemudian diajarkan dan disebarkan melalui sekolah-sekolah, dan kemudian menjadi bahasa pemersatu bagi para pekerja.
Selain itu, pencapaian kepentingan nasional tidak akan mengalami keberhasilan apabila tidak terkait kepada pengaruh keterlibatan seluruh warga masyarakat, terutama apabila mencakup masalah peningkatan keamanan dan pertahanan nasional (meskipun, tentu saja tanpa mengesampingkan kerjasama konstruktif dengan negara tetangga).
Oleh sebab itu, Studi Masyarakat Melayu di Indonesia merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat melayu dalam meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional di era globalisasi.
Hankam nasional sendiri dalam konteks kepentingan bangsa Indonesia merupakan upaya unuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan wilayah nasional, keutuhan bangsa dan wilayah, terpelharanya keamanan nasional seperti tujuan nasional yang selalu merujuk kepada nilai-nilai ideologi Pancasila.
Penyelenggaraan hankam nasional merupakan upaya terpadu yang melibatkan seluruh potensi dan kekuatan nasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 30 UUD 1945, yang selanjutnya dijabarkan dalam berbagai undang-undang tentang bela negara, antara lain Undang-undang No. 20 tahun 1982, yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang no.1 tahun 1988, yang pada prinspnya terdapat 3 butir penegasan; pertama, bela negara sebagai hak; kedua, bela negara sebagai kewajiban; ketiga, bela negara sebagai tanggung jawab dan kehormatan.
Penyelenggaraan hankam nasional disusun dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata), dan didasarkan pada kesadaran akan tanggung jawab tentang hak dan kekuatan sendiri, keyakinan akan kemenangan dan tidak mengenal menyerah. Perlawanan rakyat semesta yang diselenggarakan bangsa kita, pada prinsipnya memiliki tiga sifat: kerakyatan, kesemestaan, kewilayahan.
Kerakyatan yaitu keikutsertaan seluruh warga negara sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Kesemestaan, meliputi seluruh daya bangsa dan negara yang mampu memobilisasikan diri guna menanggulangi setiap bentuk ancaman dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan Kewilayahan mengandung maksud seluruh wilayah negara merupakan tumpuan perlawanan dan segenap lingkungan didayagunakan untuk mendukung setiap bentuk perlawanan secara berlanjut.
Menyimak kembali eksistensi masyarakat Melayu berikut segenap aspek yang dimiliki, dan dihadapkan kepada tantangan pembangunan hankam nasional di era globalisasi, kiranya pemberdayaan masyarakat Melayu untuk ikut serta meningkatkan hankam nasional dapat dilaksanakan.  Dengan senantiasa memadukan, menyelaraskan kepentingan masyarakat rumpun Melayu dengan kepentingan nasional, sesuai dengan pancasila sebagai dasar negara, sehingga gerak langkah pengabdian bangsa indonesia, khususnya komunitas dominan di indonesia bergerak senantiasa pada rel perjuangan nasional.
Selain itu di era globalisasi, dikenal istilah baru dalam melakukan strategi politik internasional. Apabila dahulu negara-negara merasa bahwa penggunaan hard-power­ sebagai strategi mencapai keinginan dan kepentingan, maka saat ini penggunaan soft-power / soft-diplomacy merupakan strategi unggulan yang dipergunakan negara-negara untuk mencapai kepentingan negaranya. Terutama negara-negara dunia ke-III, hal tersebut dikarenakan, soft-diplomacy dapat dilakukan oleh negara manapun, tidak terbatas kepada kemampuan dan kemajuan negara mereka, negara paling miskin-pun mampu merealisasikan strategi tersebut, karena tidak tergantung kepada kecanggihan maupun kemampuan teknik bermiliter.
Soft-power terdiri atas beragam bentuk, salah satunya yang paling sering dipergunakan ialah, melalui strategi ”Diplomasi Kebudayaan” (culture-diplomacy). Diplomasi kebudayaan dinilai sangat efektif dan efisien dipergunakan di era globalisasi ini, selain karena hanya mempergunakan dan menonjolkan kelebihan kebudayaan dalam negeri, akan tetapi dengan melakukan promosi kebudayaan, pencapaian diplomasi yang diinginkan lebih mudah tercapai.
Diplomasi kebudayaan dapat berupa perwujudan pertukaran ide, informasi, nilai, tradisi, kepercayaan, maupun aspek budaya-budaya lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan rasa saling mengerti satu sama lainnya. Hal ini akan memunculkan rasa cinta dan mengerti terhadap satu negara dengan negara lainnya. Selain itu juga berdungsi untuk mempromosikan kepentingan nasional melalui pemahaman, menginformasikan, dan mempengaruhi publik luar negeri. Diplomasi kebudayaan secara nyata telah membuka jalan dilakukannya diplomasi dan tawar-menawar yang positif dilakukan antar pemerintah.
Budaya Melayu sebagai budaya tertua di Indonesia oleh sebab itu menjadi salah satu alat penting dalam diplomasi kebudayaan. Promosi kebudayaan Melayu dapat menjadi strategi untuk mengangkat dan memperkenalkan Indonesia sebagai citra positif di dunia internasional, serta untuk mencapai Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya. 



Ishaq, isjoni. 2002. ”Orang melayu : sejarah, sistem, norma, dan nilai adat”. Pekanbaru : UNRI Press.
Koentjaraningrat, dkk. 2007. “Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan”. Yogyakarta : Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. “Teori Sosiologi Modern; Edisi ke-Enam”. Jakarta : Prenada Media Group. 
Sztompka, Piotr. 2011. “Sosiologi Perubahan Sosial”. Jakarta: Prenada Media Group.
Tengku Admansyah.1987. “Peranan Budaya Melayu sebagai Sub-Kultur Kebudayaan Nasional”. Medan : Yayasan Karya Budaya Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...