Tulisan ini
merupakan hasil rangkuman Bab VI dan VII dari buku R.P Barston berjudul “Modern Diplomacy”, yang secara khusus
membahas mengenai “International Finance
Relations: Trade, Foreign Policy, and Diplomacy”.
Pada bab VI, Barston
mengawali tulisannya dengan memaparkan bahwa agenda internasional saat ini
semakin tertuju kepada masalah hubungan keuangan internasional, yang dapat
dilihat dari perkembangan dan kenaikan penting dalam IMF dan IBRD (Bank
Internasional untuk Reskontruksi dan Pembangunan yang kemudian dikenal sebagai World Bank).
IMF dan IBRD secara
resmi didirikan pada tanggal 27 Desember 1945 setelah Konferensi Bretton Woods
yang dihadiri oleh 44 negara. Bretton Woods merupakan satu dari beberapa
konferensi besar yang diselenggarakan selama tahap penutupan Perang Dunia
Ke-II, yakni untuk membahas Pembentukan Institusi Pasca-Perang, yang pada
intinya berisi keinginan untuk tidak kembali kepada keadaan ketidak stabilan
ekonomi dan kekacauan pada periode perang. Hal ini dibentuk atas dasar
kekhawatiran dunia terhadap perang dan secara ekonomi sangat merugikan. Pengaturan
semasa perang dan kebutuhan mencegah terulang kembalinya keruntuhan sistem
moneter internasional telah menjadi konsep bagi Perjanjian Bretton Woods.
IMF memiliki tugas
untuk menyediakan likuiditas internasional dan bantuan kepada anggota yang
mengalami kesulitan pada neraca pembayarannya, hal ini terkait kepada fungsi
untuk mempromosikan pengembangan tertib arus perdagangan, nilai tukar yang
tertib, dan mengecilkan kontrol langsung. Secara ringkas fungsi IMF, ialah: 1)
regulasi (nilai tukar); 2) keuangan (menyediakan likuiditas tambahan), dan; 3)
konsultatif (menyediakan forum untuk pengelolaan kolektif hubungan moneter dan
keuangan).
Secara lebih jauh,
pada Bab VI International Finance
Relations ini membahas mengenai IMF, sejarah, perkembangan, hingga
berakhirnya sistem Bretton Woods. IMF telah memberikan banyak bantuan berupa
pinjaman dalam jumlah besar, khususnya adalah pada tahun 1956 melalui Marshall Aid Programme, setelah
sebelumnya di akhir tahun 1940an hingga awal 1950an bantuan IMF hanya terbatas
dalam jangkauan skala rekonstruksi pasca perang. Akan tetapi terdapat beberapa
kekurangan yang menyebabkan IMF dihadapi beberapa kritik internasional, yakni
mengenai peran dan pengaruh AS yang sangat kuat didalamnya dan Bank Sentral. Dollar
AS pada kenyataannya bertindak sebagai kendaraan utama dalam perdagangan
internasional, investasi, serta cadangan aset. Pengaruh kuat ini baru kemudian
mulai berubah sejak akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an.
Namun, pengaruh dari
negara-negara besar lainnya juga kemudian masuk, hal ini tertuang dalam peraturan
eksklusif yang diperuntukkan bagi G-10 (negara-negara yang terdiri dari:
Belgia, Kanada, Perancis, FRG, Italia, Jepang, Belanda, Swedia, Inggris, dan
Amerika Serikat) yang memainkan peran semakin penting dalam negosiasi masalah
keuangan dan moneter. G-10 kemudian menjadi kelompok terkemuka dalam IMF.
Aturan eksklusif itu kemudian dikenal dengan sebutan GAB (General Arrangement to Borrow) yang disepakati pada tahun 1962,
dengan bunyi yakni berupa pemberian kredit sebesar US$6 miliar bagi anggota
G-10. Hal ini kemudian mengundang kritik lagi, terutama di negara-negara
berkembang.
Pada akhirnya, bulan
Agustus 1971, Sistem Bretton Woods berakhir, melalui paket kebijakan yang
diambil AS, termasuk didalamnya adalah paket kebijakan penghentian sementara
dolar konvertibilitas, dan 10% tambahan pajak impor, sebagai respon dari krisis
nilai tukar. Beberapa saat setelah itu, mengikuti era setelah terjadinya krisis
nilai tukar pada tahun 1971-1973 terjadi sejumlah perubahan luas, terutama
dalam hal struktur dan peran IMF seiring dengan munculnya mata uang- mata uang
besar lainnya. Fungsi IMF kian kurang mendapat penekanan, serta terkait skala
operasi pinjaman yang meningkat pada tahun 1970. Muncul kesadaran bahwa dunia
internasional tidak dapat lagi hanya mengandalkan sumber dana berjalan yang
diberikan IMF kepada anggota-anggotanya, tetapi dibutuhkan pula pengaturan
bilateral tambahan (sumber pinjaman lainnya) dari masing-masing negara,
terutama negara-negara minyak, dan negara-negara industri besar. Selain itu
sumber dana pinjaman yang telah diberikan IMF seharusnya telah menjadi modal
bagi pembangunan fasilitas sementara dan jangka panjang negara-negara anggota.
Setelah krisis
minyak ke-II yang terjadi di tahun 1979, fungsi IMF hanya sebagai perantara
keuangan Bank Sentral, badan-badan pembangunan, sebagai operasi multi-dana
pembangunan, dan sebagai koordinasi dan pusat pengambilan keputusan. Pada
kriris utang yang terjadi di tahun 1982, IMF juga tidak menjadi sumber
pendukung utama dalam neraca pembayaran, karena restrukturisasi hutang
multilateral dan dukungan keuangan lainnya telah melibatkan bank sentral,
bank-bank komersial, dan lembaga-lembaga pembangunan lainnya.
Namun pada
kesimpulannya, IMF tetap memiliki peran inti yakni dalam memberikan pinjaman
jangka pendek, pengawas ekonomi dan pemberi bantuan teknis bagi negara-negara
anggota. Akan tetapi sejak tahun 2000, dikembangkan pendekatan penyesuaian
struktural baru kepada masyarakat, dengan demikian peran IMF menjadi lebih
diperpanjang, terutama dalam hal “serikat bagian kredit, pembuat keputusan, dan
sebagai penasihat ekonomi”.
Pada Bab VII Trade, Foreign Policy, and Diplomacy
kemudian mengkaitkan isu perdagangan ini sebagai fitur utama dalam diplomasi,
yang posisinya bahkan lebih kuat dibandingkan isu-isu diplomasi tradisional
yang lainnya, yang digambarkan melalui peran diplomat dalam hal ini, yakni
untuk menilai hubungan antara kepentingan perdagangan nasional dan kebijakan
luar negeri negara, mendamaikan kepentingan perdagangan dan kebijakan luar
negeri yang bertentangan, dan memastikan prospek dan kemungkinan kerjasama
eksternal, serta promosi perdagangan. Di tingkat internasional, hubungan
diplomasi dan perdagangan ini dapat dilihat dalah kerangka kegiatan organisasi
ekonomi berbasis perdagangan yang terjalin di tingkat sub-regional, regional,
maupun global.
Munculnya regionalisme ekonomi kemudian memunculkan
tantangan bagi perdagangan global melalui WTO. Oleh sebab itu berbanding dengan
Bab VI, pada Bab VII lebih digambarkan mengenai WTO.
WTO merupakan sebuah lembaga yang juga terbentuk dalam
sistem Bretton Wood, sebagai trias lembaga internasional setelah Dewan Keamanan
dan IMF/ IBRD. WTO tepatnya dibentuk pada tahun 1995 sebagai pengganti GATT
yang didirikan di tahun 1947. GATT pada intinya dibentuk untuk mengatur
barang-barang manufaktur impor yang masih terbatas, serta memiliki kapasitas
dalam meemeriksa pertumbuhan ‘hambatan non tarif’ perdagangan impor, dan
menyelesaikan perselisihan perdagangan, akan tetapi perannya pada saat itu
sangat lemah. Sehingga WTO muncul sebagi tanggapan terhadap keharusan perubahan
sistem perdagangan internasional pada era 1980-an guna menciptakan tekanan
lebih kuat diimbangi dengan tanggung jawab yang lebih luas untuk memajukan
perdagangan bebas melalui organisasi perdagangan.
Tak hanya IMF, pendirian WTO pun juga tidak lepas dari
kritik. Kritik utama adalah masalah transparansi, marjinalisasi, dan struktur. Kritik
tersebut khususnya dinyatakan oleh negara-negara berkembang, hal ini disebabkan oleh
pernyataan mereka bahwa WTO hanya mengambil keputusan-keputusan yang selama ini
cenderung merugikan Negara-negara berkembang, yang dilain hal, tidak memiliki
perwakilan permanen dikantor pusat WTO di Jenewa, atau memiliki delegasi kecil
seperti Negara-negara maju. Negara-negara berkembang mengkritik juga bahwa
mereka seringkali dijadikan sebagai kelompok yang diperkecualikan dari klub
atau dalam pertemuan-pertemuan yang didominasi oleh Negara-negara maju. Negara
maju-pun dalam hal membawa masalah sebelum panel sengketa, jauh lebih didahulukan
oleh WTO, sehingga dalam banyak kasus, kebijakan-kebijakan atau
keputusan-keputusan WTO dinilai tidak adil dan hanya menguntungkan pihak
Negara-negara maju. WTO dinilai kurang transparansi dan akuntabilitas dalam
proses pengambilan keputusan, sehingga WTO juga sering dijuluki sebagai “club
bagi orang-orang kaya”.
Pada akhir
Bab ini ialah dipaparkan pula bahwa kemudian dipergunakan proteksi tariff,
kualitatif, serta jenis-jenis hambatan lainnya terhadap strategi,
sector-sektor, seperti jasa dan petrokimia, oleh organisasi perdagangan
regional dan kelompok-kelompok lainnya yang telah disediakan untuk melemahkan
perdagangan multilateral dan pembuat keputusan perdagangan tersebut. Terlepas
dari dikotonomi global-regional, tiga fitur yang terkait secara lebih lanjut
kepada aturan perdagangan, yang juga sama pentingnya dalam proses pelaksanaan
diplomasi adalah intensifikasi dari divisi ekonomi dan keuangan Utara-Selatan:
kondisi politik perdagangan, dan pembagian dalam masyarakat internasional
terkait kebutuhan perdagangan, yakni kemunculan badan-badan khusus di PBB,
seperti UNCTAD dan WTO.