“GENDER SEBAGAI
LENSA ANALISIS”
Tulisan ini merupakan respon paper dari buku Gender Matters in Global Politics: A Feminist Introduction to International
Relations yang ditulis oleh
Laura, J Sheperd, khususnya pada Bab I: Theory/
Practice. Kita semua berteori, berteori dalam konteks ini berarti cara kita
berpikir dan menanggapi serta pada gilirannya memberikan pengaruh dan dampak
kepada kehidupan sosial dan politik kita (konstitutif). Teori lebih dari sebuah
alat, teori merupakan sesuatu yang menginformasikan kehidupan kita sehari-hari.
Dengan begitu akan mudah kita memahami bahwa gender adalah sesuatu yang dapat
kita “teorisasikan” setiap hari: maka kemudian kita juga akan mulai mengerti
bagaimana dan mengapa gender dapat dijadikan sebagai sebuah “lensa analisis”,
karena ide tentang perilaku gender sangatlah luas dan cenderung tidak disadari,
namun sangat berpengaruh dan berdampak kepada bagaimana kita berprilaku di
dunia ini. Maka kemudian, analisis gender menarik untuk dikaji oleh sarjana
politik global.
Sheperd memberikan analogi untuk memudahkan pemahaman
atas teori gender, yaitu sebuah simbol yang biasa diletakkan diatas pintu
toilet, dan menanyakan apakah kita mampu membedakan atau bahkan mengenali diri
kita sebagai salah satu simbol itu?. Jika Ya, maka kita sudah menerima
kenyataan bahwa manusia memang dibagi kepada dua jenis yang berbeda berdasarkan
kepada perbedaan bentuk tubuh mereka. Kita menerima bahwa gender adalah makna
sosial yang melekat kepada bentuk tubuh kita. Para feminis bersikeras bahwa
gender bukanlah sesuatu yang perlu ditambahkan dalam studi politik dunia, akan
tetapi sebagai bagian integral dan fungsi dari studi politik dunia. Artinya,
kita tidak dapat mengabaikan bahwa gender menginformasikan dan mempengaruhi
praktik dari politik dunia. Gender bukan hanya persoalan identitas atau cara
untuk melihat dunia, tetapi juga logika yang dihasilkan dan menghasilkan cara
kita memahami kemudian bertindak dalam politik global. Hubungan antara seks dan
gender tidak sesederhana seperti yang biasa dipahami.
Lebih lanjut, Sheperd membahas terkait dualitas manusia
(dan kebanyakan mahkluk hidup) disimbolkan dengan “M” (male), dan “F” (female),
simbol ini juga merupakan komitmen, kebanyakan secara tidak sadar, dan oleh
karena itu manusia tidak mempermasalahkan diklasifikasikan menjadi dua kategori
yang berbeda berdasarkan bentuk fisik mereka (morphism).
Setelah pada bagian awal Sheperd menjelaskan cara untuk
membuat konsep atau berpikir mengenai teori gender. Selanjutnya, Sheperd baru
menjelaskan bagaimana gender dapat digunakan sebagai lensa analisis. Mengutip
Peterson dan Sisson Runyan yang menyatakan bahwa melalui alternatif fokus
gender dalam melihat politik dunia akan memberikan kemampuan untuk “melihat”
lebih kepada realitas dari alternatif politik internasional yang ditawarkan
secara konvensional. Peterson dan Runyan menganalogikan kepada keberadaan dua
orang pria dengan ukuran badan seperti raksasa, berkulit putih, dan keduanya
mengenakan kacamata. Didepan salah seorang pria, berdiri seorang wanita yang
berpenampilan seperti cleaning lady
yang muncul di puncak tangga siap untuk membersihkan kacamata kedua laki-laki
itu; digambarkan bahwa satu kacamata berhasil memberikan kejelasan melihat,
sementara satu kacamata lagi masih benar-benar gelap. Analogi ini menjelaskan
dua hal yakni; bahwa lensa dapat mempengaruhi medan cara pandang, dapat
mempengaruhi medan visi, dan bagaimana perempuan yang digambarkan tersebut
berjuang untuk membuat orang-orang elit melihat dunia dengan lebih jelas (1993:
20).
Kesimpulan dari saya membaca keseluruhan Bab I Sheperd
adalah bahwa dengan banyaknya kutipan yang diambil Sheperd untuk menguatkan
tulisannya, juga berbagai analogi yang membantu pembaca dengan lebih mudah
memahami bahwa memang ternyata secara tidak sadar pikiran kita terkonstruksi
untuk membagi manusia kedalam dua jenis yang berdasar kepada bentuk tubuh serta
jenis kelamin mereka, dan bagaimana ternyata “juga secara tidak sadar” hal itu
mempengaruhi banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita, acara pernikahan, apa
yang boleh dan tidak boleh dipelajari di sekolah, olahraga apa yang akan kita
pilih, bahkan cara makan, apalagi kehidupan sosial dan politik kita. Hal yang
paling menyedihkan adalah kita dikategorisasikan sebagai “F” atau perempuan,
karena meskipun kita tahu secara komitmen dan simbolik manusia terbagi atas dua
kategori, akan tetapi perbedaan tersebut tidak pernah disebutkan dalam studi
atau teori ilmu hubungan internasional. Memang dalam teori Realisme Klasik
menitik beratkan kepada ide-ide yang berkaitan dengan “sifat manusia”
(Morgenthau, 1952: 963) untuk menjelaskan self
interest dan rasionalitas sebagai bukti dari negara kesatuan. Akan tetapi jika diperhatikan kembali, “sifat
manusia” yang disebut-sebut itu sebenarnya hanya tertuju kepada fitur
“laki-laki”. Oleh sebab itu kemudian, seiring perkembangan zaman, gender
sebagai lensa analisis dianggap penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar