Senin, 05 Januari 2015

“INTERNATIONAL FINANCIAL RELATIONS; TRADE, FOREIGN POLICY, AND DIPLOMACY”


             Tulisan ini merupakan hasil rangkuman Bab VI dan VII dari buku R.P Barston berjudul “Modern Diplomacy”, yang secara khusus membahas mengenai “International Finance Relations: Trade, Foreign Policy, and Diplomacy”.
              Pada bab VI, Barston mengawali tulisannya dengan memaparkan bahwa agenda internasional saat ini semakin tertuju kepada masalah hubungan keuangan internasional, yang dapat dilihat dari perkembangan dan kenaikan penting dalam IMF dan IBRD (Bank Internasional untuk Reskontruksi dan Pembangunan yang kemudian dikenal sebagai World Bank).
              IMF dan IBRD secara resmi didirikan pada tanggal 27 Desember 1945 setelah Konferensi Bretton Woods yang dihadiri oleh 44 negara. Bretton Woods merupakan satu dari beberapa konferensi besar yang diselenggarakan selama tahap penutupan Perang Dunia Ke-II, yakni untuk membahas Pembentukan Institusi Pasca-Perang, yang pada intinya berisi keinginan untuk tidak kembali kepada keadaan ketidak stabilan ekonomi dan kekacauan pada periode perang. Hal ini dibentuk atas dasar kekhawatiran dunia terhadap perang dan secara ekonomi sangat merugikan. Pengaturan semasa perang dan kebutuhan mencegah terulang kembalinya keruntuhan sistem moneter internasional telah menjadi konsep bagi Perjanjian Bretton Woods.
IMF memiliki tugas untuk menyediakan likuiditas internasional dan bantuan kepada anggota yang mengalami kesulitan pada neraca pembayarannya, hal ini terkait kepada fungsi untuk mempromosikan pengembangan tertib arus perdagangan, nilai tukar yang tertib, dan mengecilkan kontrol langsung. Secara ringkas fungsi IMF, ialah: 1) regulasi (nilai tukar); 2) keuangan (menyediakan likuiditas tambahan), dan; 3) konsultatif (menyediakan forum untuk pengelolaan kolektif hubungan moneter dan keuangan).
              Secara lebih jauh, pada Bab VI International Finance Relations ini membahas mengenai IMF, sejarah, perkembangan, hingga berakhirnya sistem Bretton Woods. IMF telah memberikan banyak bantuan berupa pinjaman dalam jumlah besar, khususnya adalah pada tahun 1956 melalui Marshall Aid Programme, setelah sebelumnya di akhir tahun 1940an hingga awal 1950an bantuan IMF hanya terbatas dalam jangkauan skala rekonstruksi pasca perang. Akan tetapi terdapat beberapa kekurangan yang menyebabkan IMF dihadapi beberapa kritik internasional, yakni mengenai peran dan pengaruh AS yang sangat kuat didalamnya dan Bank Sentral. Dollar AS pada kenyataannya bertindak sebagai kendaraan utama dalam perdagangan internasional, investasi, serta cadangan aset. Pengaruh kuat ini baru kemudian mulai berubah sejak akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an.
              Namun, pengaruh dari negara-negara besar lainnya juga kemudian masuk, hal ini tertuang dalam peraturan eksklusif yang diperuntukkan bagi G-10 (negara-negara yang terdiri dari: Belgia, Kanada, Perancis, FRG, Italia, Jepang, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat) yang memainkan peran semakin penting dalam negosiasi masalah keuangan dan moneter. G-10 kemudian menjadi kelompok terkemuka dalam IMF. Aturan eksklusif itu kemudian dikenal dengan sebutan GAB (General Arrangement to Borrow) yang disepakati pada tahun 1962, dengan bunyi yakni berupa pemberian kredit sebesar US$6 miliar bagi anggota G-10. Hal ini kemudian mengundang kritik lagi, terutama di negara-negara berkembang.
Pada akhirnya, bulan Agustus 1971, Sistem Bretton Woods berakhir, melalui paket kebijakan yang diambil AS, termasuk didalamnya adalah paket kebijakan penghentian sementara dolar konvertibilitas, dan 10% tambahan pajak impor, sebagai respon dari krisis nilai tukar. Beberapa saat setelah itu, mengikuti era setelah terjadinya krisis nilai tukar pada tahun 1971-1973 terjadi sejumlah perubahan luas, terutama dalam hal struktur dan peran IMF seiring dengan munculnya mata uang- mata uang besar lainnya. Fungsi IMF kian kurang mendapat penekanan, serta terkait skala operasi pinjaman yang meningkat pada tahun 1970. Muncul kesadaran bahwa dunia internasional tidak dapat lagi hanya mengandalkan sumber dana berjalan yang diberikan IMF kepada anggota-anggotanya, tetapi dibutuhkan pula pengaturan bilateral tambahan (sumber pinjaman lainnya) dari masing-masing negara, terutama negara-negara minyak, dan negara-negara industri besar. Selain itu sumber dana pinjaman yang telah diberikan IMF seharusnya telah menjadi modal bagi pembangunan fasilitas sementara dan jangka panjang negara-negara anggota.
Setelah krisis minyak ke-II yang terjadi di tahun 1979, fungsi IMF hanya sebagai perantara keuangan Bank Sentral, badan-badan pembangunan, sebagai operasi multi-dana pembangunan, dan sebagai koordinasi dan pusat pengambilan keputusan. Pada kriris utang yang terjadi di tahun 1982, IMF juga tidak menjadi sumber pendukung utama dalam neraca pembayaran, karena restrukturisasi hutang multilateral dan dukungan keuangan lainnya telah melibatkan bank sentral, bank-bank komersial, dan lembaga-lembaga pembangunan lainnya.
            Namun pada kesimpulannya, IMF tetap memiliki peran inti yakni dalam memberikan pinjaman jangka pendek, pengawas ekonomi dan pemberi bantuan teknis bagi negara-negara anggota. Akan tetapi sejak tahun 2000, dikembangkan pendekatan penyesuaian struktural baru kepada masyarakat, dengan demikian peran IMF menjadi lebih diperpanjang, terutama dalam hal “serikat bagian kredit, pembuat keputusan, dan sebagai penasihat ekonomi”.
              Pada Bab VII Trade, Foreign Policy, and Diplomacy kemudian mengkaitkan isu perdagangan ini sebagai fitur utama dalam diplomasi, yang posisinya bahkan lebih kuat dibandingkan isu-isu diplomasi tradisional yang lainnya, yang digambarkan melalui peran diplomat dalam hal ini, yakni untuk menilai hubungan antara kepentingan perdagangan nasional dan kebijakan luar negeri negara, mendamaikan kepentingan perdagangan dan kebijakan luar negeri yang bertentangan, dan memastikan prospek dan kemungkinan kerjasama eksternal, serta promosi perdagangan. Di tingkat internasional, hubungan diplomasi dan perdagangan ini dapat dilihat dalah kerangka kegiatan organisasi ekonomi berbasis perdagangan yang terjalin di tingkat sub-regional, regional, maupun global.
Munculnya regionalisme ekonomi kemudian memunculkan tantangan bagi perdagangan global melalui WTO. Oleh sebab itu berbanding dengan Bab VI, pada Bab VII lebih digambarkan mengenai WTO.
WTO merupakan sebuah lembaga yang juga terbentuk dalam sistem Bretton Wood, sebagai trias lembaga internasional setelah Dewan Keamanan dan IMF/ IBRD. WTO tepatnya dibentuk pada tahun 1995 sebagai pengganti GATT yang didirikan di tahun 1947. GATT pada intinya dibentuk untuk mengatur barang-barang manufaktur impor yang masih terbatas, serta memiliki kapasitas dalam meemeriksa pertumbuhan ‘hambatan non tarif’ perdagangan impor, dan menyelesaikan perselisihan perdagangan, akan tetapi perannya pada saat itu sangat lemah. Sehingga WTO muncul sebagi tanggapan terhadap keharusan perubahan sistem perdagangan internasional pada era 1980-an guna menciptakan tekanan lebih kuat diimbangi dengan tanggung jawab yang lebih luas untuk memajukan perdagangan bebas melalui organisasi perdagangan.
Tak hanya IMF, pendirian WTO pun juga tidak lepas dari kritik. Kritik utama adalah masalah transparansi, marjinalisasi, dan struktur. Kritik tersebut khususnya dinyatakan oleh negara-negara berkembang, hal ini disebabkan oleh pernyataan mereka bahwa WTO hanya mengambil keputusan-keputusan yang selama ini cenderung merugikan Negara-negara berkembang, yang dilain hal, tidak memiliki perwakilan permanen dikantor pusat WTO di Jenewa, atau memiliki delegasi kecil seperti Negara-negara maju. Negara-negara berkembang mengkritik juga bahwa mereka seringkali dijadikan sebagai kelompok yang diperkecualikan dari klub atau dalam pertemuan-pertemuan yang didominasi oleh Negara-negara maju. Negara maju-pun dalam hal membawa masalah sebelum panel sengketa, jauh lebih didahulukan oleh WTO, sehingga dalam banyak kasus, kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan WTO dinilai tidak adil dan hanya menguntungkan pihak Negara-negara maju. WTO dinilai kurang transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan, sehingga WTO juga sering dijuluki sebagai “club bagi orang-orang kaya”.
Pada akhir Bab ini ialah dipaparkan pula bahwa kemudian dipergunakan proteksi tariff, kualitatif, serta jenis-jenis hambatan lainnya terhadap strategi, sector-sektor, seperti jasa dan petrokimia, oleh organisasi perdagangan regional dan kelompok-kelompok lainnya yang telah disediakan untuk melemahkan perdagangan multilateral dan pembuat keputusan perdagangan tersebut. Terlepas dari dikotonomi global-regional, tiga fitur yang terkait secara lebih lanjut kepada aturan perdagangan, yang juga sama pentingnya dalam proses pelaksanaan diplomasi adalah intensifikasi dari divisi ekonomi dan keuangan Utara-Selatan: kondisi politik perdagangan, dan pembagian dalam masyarakat internasional terkait kebutuhan perdagangan, yakni kemunculan badan-badan khusus di PBB, seperti UNCTAD dan WTO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...