Kamis, 26 Maret 2015

EPISTEMIC COMMUNITY

APA ITU EPISTEMIC COMMUNITY?

Epistemic Community adalah suatu jaringan orang-orang profesional yang memiliki keahlian atau kompetensi di dalam suatu wilayah science tertentu dan memiliki otoritas untuk mengusulkan atau membuat kebijakan berdasarkan ilmunya.
Gampangnya: Epistemic Community ini adalah sekelompok ilmuwan, ahli dalam bidangnya.

KARAKTER EPISTEMIC COMMUNITY
diantaranya:
1. Memiliki kesamaan keyakinan
2. Memiliki gagasan validitas bersama

APAKAH EPISTEMIC COMMUNITY INI SAMA DENGAN BIROKRAT?

Tentu saja TIDAK. Perbedaannya yang paling mendasar adalah:
Epistemic Community : Memiliki ilmu, tujuan normatif
Birokrat : Memiliki budget yang berasal dari institusi, dan tujuan dari institusi/ politis

"Epistemic Community tidak memiliki tujuan politis. Karena yang paling menguntungkan bagi Epistemic Community adalah menghasilkan ILMU, TEMUAN, dan CARA BERPIKIR BARU, MENGHASILKAN IDE BARU, MENGEDUKASI, dan MEMPERSUASI yang dapat mempengaruhi kebijakan, aktor-aktor dalam rational choice atau bagaimana ilmunya dapat mempengaruhi dunia"

berbeda dengan cara berpikir rational choice yang dilatar belakangi oleh cost and benefit. Epistemic Community memiliki cara berpikir yang cognitive.


CONTOH KASUS: "PERAN EPISTEMIC COMMUNITY DALAM BANNING CHLOROFLUOROCARBONS".

Chlorofluorocarbons (CFCs) merupakan senyawa sintetik karbon, klorin, dan fluorin yang mudah menguap. CFCs ini pertama kali disintesis pada tahun 1928 sebagai bahan pengganti amonia beracun, metal klorida, dan sulfur dioksida refrigerant yang digunakan pada akhir 1800-an. CFCs mulau diproduksi secara komersial pada tahun 1930-an sebagai bahan dalam alat pendingin, pelarut, penggemuk, propelan bahan kaleng, pembersih, konduktor, studi oseanografi, dsb.

Akan tetapi pada tahun 1974 para ilmuwan (Epistemic Community) menemukan bahwa emisi CFCs merusak lapisan ozon di stratosfer. Kimiawan Sherwoon Rowland dan Mario Molina adalah dua orang yang dianugerahi hadiah nobel pada tahun 1995 karena berhasil membuktikan bahwa CFCs buatan manusia adalah faktor utama penipisan lapisan ozon.

Penipisan lapisan ozon berakibat fatal bagi manusia dan seluruh kehidupan di bumi. Lapisan ozon bertindak seperti perisai di atmosfer untuk mencegah radiasi ultraviolet yang berbahaya (UV) mencapai permukaan bumi. Paparan sinar UV dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan bagi manusia, seperti kanker kulit, penuaan dini, kerusakan mata terutama katarak, dan penekanan sistem kekebalan tubuh. Radiasi UV juga dapat merusak tanaman, terutama tanaman-tanaman sensitif seperti kedelai.

Peran Epistemic Community dalam hal ini selain mengedukasi dan mempersuasikan temuan mereka kepada aktor rasional, mereka juga mengembangkan teknologi seperti Indeks UV dsb yang dapat melindungi masyarakat dari exposure sinar UV.

Peran Epistemic Community dalam contoh kasus ini terbukti berhasil mendorong para aktor rational choice untuk memperhatikan masalah ozon dan mengontrol konsumsi serta produksi bahan-bahan berbahaya bagi bumi terutama CFCs. Pada tahun 1987 kemudian ditandatangani Protokol Montreal mengenai Bahan yang Merusak Lapisan Ozon, dan hingga saat ini sudah terdapat 191 negara yang meratifikasi. Berkat Protokol Montreal total kelimpahan gas ozon di atmosfer mulai berkurang, dan para Epistemi Community mulai mengembangkan teknologi untuk mencari alternatif yang lebih baik bagi industri daripada menggunakan bahan seperti CFCs.


Para aktor rasional khususnya mulai mengkhawatirkan masalah ozon setelah terjadinya fenomena ozone hole di Antartika pada tahun 1980-an yang diamati oleh para ilmuwan. Penelitian tambahan menunjukkan bahwa penipisan lapisan ozon telah terjadi di setiap benua, meskipun fenomena lubang ozon pertamakali muncul di Antartika dikarenakan perbedaan cuaca khusus yang hanya ada di Antartika.


Rabu, 25 Maret 2015

GENDER SEBAGAI LENSA ANALISIS (Laura, J Sheperd)

GENDER SEBAGAI LENSA ANALISIS

Tulisan ini merupakan respon paper dari buku Gender Matters in Global Politics: A Feminist Introduction to International Relations yang ditulis oleh Laura, J Sheperd, khususnya pada Bab I: Theory/ Practice. Kita semua berteori, berteori dalam konteks ini berarti cara kita berpikir dan menanggapi serta pada gilirannya memberikan pengaruh dan dampak kepada kehidupan sosial dan politik kita (konstitutif). Teori lebih dari sebuah alat, teori merupakan sesuatu yang menginformasikan kehidupan kita sehari-hari. Dengan begitu akan mudah kita memahami bahwa gender adalah sesuatu yang dapat kita “teorisasikan” setiap hari: maka kemudian kita juga akan mulai mengerti bagaimana dan mengapa gender dapat dijadikan sebagai sebuah “lensa analisis”, karena ide tentang perilaku gender sangatlah luas dan cenderung tidak disadari, namun sangat berpengaruh dan berdampak kepada bagaimana kita berprilaku di dunia ini. Maka kemudian, analisis gender menarik untuk dikaji oleh sarjana politik global.
Sheperd memberikan analogi untuk memudahkan pemahaman atas teori gender, yaitu sebuah simbol yang biasa diletakkan diatas pintu toilet, dan menanyakan apakah kita mampu membedakan atau bahkan mengenali diri kita sebagai salah satu simbol itu?. Jika Ya, maka kita sudah menerima kenyataan bahwa manusia memang dibagi kepada dua jenis yang berbeda berdasarkan kepada perbedaan bentuk tubuh mereka. Kita menerima bahwa gender adalah makna sosial yang melekat kepada bentuk tubuh kita. Para feminis bersikeras bahwa gender bukanlah sesuatu yang perlu ditambahkan dalam studi politik dunia, akan tetapi sebagai bagian integral dan fungsi dari studi politik dunia. Artinya, kita tidak dapat mengabaikan bahwa gender menginformasikan dan mempengaruhi praktik dari politik dunia. Gender bukan hanya persoalan identitas atau cara untuk melihat dunia, tetapi juga logika yang dihasilkan dan menghasilkan cara kita memahami kemudian bertindak dalam politik global. Hubungan antara seks dan gender tidak sesederhana seperti yang biasa dipahami.
Lebih lanjut, Sheperd membahas terkait dualitas manusia (dan kebanyakan mahkluk hidup) disimbolkan dengan “M” (male), dan “F” (female), simbol ini juga merupakan komitmen, kebanyakan secara tidak sadar, dan oleh karena itu manusia tidak mempermasalahkan diklasifikasikan menjadi dua kategori yang berbeda berdasarkan bentuk fisik mereka (morphism).
Setelah pada bagian awal Sheperd menjelaskan cara untuk membuat konsep atau berpikir mengenai teori gender. Selanjutnya, Sheperd baru menjelaskan bagaimana gender dapat digunakan sebagai lensa analisis. Mengutip Peterson dan Sisson Runyan yang menyatakan bahwa melalui alternatif fokus gender dalam melihat politik dunia akan memberikan kemampuan untuk “melihat” lebih kepada realitas dari alternatif politik internasional yang ditawarkan secara konvensional. Peterson dan Runyan menganalogikan kepada keberadaan dua orang pria dengan ukuran badan seperti raksasa, berkulit putih, dan keduanya mengenakan kacamata. Didepan salah seorang pria, berdiri seorang wanita yang berpenampilan seperti cleaning lady yang muncul di puncak tangga siap untuk membersihkan kacamata kedua laki-laki itu; digambarkan bahwa satu kacamata berhasil memberikan kejelasan melihat, sementara satu kacamata lagi masih benar-benar gelap. Analogi ini menjelaskan dua hal yakni; bahwa lensa dapat mempengaruhi medan cara pandang, dapat mempengaruhi medan visi, dan bagaimana perempuan yang digambarkan tersebut berjuang untuk membuat orang-orang elit melihat dunia dengan lebih jelas (1993: 20).
Kesimpulan dari saya membaca keseluruhan Bab I Sheperd adalah bahwa dengan banyaknya kutipan yang diambil Sheperd untuk menguatkan tulisannya, juga berbagai analogi yang membantu pembaca dengan lebih mudah memahami bahwa memang ternyata secara tidak sadar pikiran kita terkonstruksi untuk membagi manusia kedalam dua jenis yang berdasar kepada bentuk tubuh serta jenis kelamin mereka, dan bagaimana ternyata “juga secara tidak sadar” hal itu mempengaruhi banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita, acara pernikahan, apa yang boleh dan tidak boleh dipelajari di sekolah, olahraga apa yang akan kita pilih, bahkan cara makan, apalagi kehidupan sosial dan politik kita. Hal yang paling menyedihkan adalah kita dikategorisasikan sebagai “F” atau perempuan, karena meskipun kita tahu secara komitmen dan simbolik manusia terbagi atas dua kategori, akan tetapi perbedaan tersebut tidak pernah disebutkan dalam studi atau teori ilmu hubungan internasional. Memang dalam teori Realisme Klasik menitik beratkan kepada ide-ide yang berkaitan dengan “sifat manusia” (Morgenthau, 1952: 963) untuk menjelaskan self interest dan rasionalitas sebagai bukti dari negara kesatuan.  Akan tetapi jika diperhatikan kembali, “sifat manusia” yang disebut-sebut itu sebenarnya hanya tertuju kepada fitur “laki-laki”. Oleh sebab itu kemudian, seiring perkembangan zaman, gender sebagai lensa analisis dianggap penting.







Sifat Globalisasi

GLOBALISASI?
sebutkan beberapa kata untuk menggambarkan Globalisasi.
Ini adalah beberapa kata yang erat sekali kaitannya dengan ciri Globalisasi:


  1. Trans-border
  2. Supra - Territorial
  3. Spatial Space
  4. Global Consciousness (Roland Robertson) - Globalisasi tidak akan terjadi jika tidak ada Global Consciousness yang melahirkan Share Concern
  5. Distanciation (Antonio Giddens) - Consequences of Modernities - Yaitu ketika anda misalnya berada di Indonesia namun anda tetap menerima implikasi dari negara lain tanpa anda inginkan, misalnya - harga laptop di seluruh dunia termasuk di Indonesia naik hanya karena terjadi sesuatu di negara lain, misalnya krisis, atau saham naik, dan sebagainya. Sehingga anda sebagai individu terpaksa membeli laptop dengan harga lebih mahal.
  6. The Annihilation of Space through Time (menghancurkan ruang oleh waktu) misalnya anda dapat menonton sepak bola di belahan dunia pada waktu yang sama. Dalam dimensi spatsial orang sosial berbeda dengan orang matematika, orang matematika menyatakan bahwa jarak tempuh tidak akan berubah meski dilewati dengan alat transportasi yang berbeda, misal dari jalan kaki, naik sepeda, naik kuda, naik mobil, naik kereta, dan naik pesawat, yang berubah adalah kecepatan sampainya. Orang sosial menyatakan bahwa jarak itu berubah dalam dimensi spatsial.
  7. Information and Science (M. Castells) dalam bukunya the age of information continue. Bahwa saat ini seluruh hal yang ada didunia merupakan data yang berjalan. Informasi dan data yang membentuk kita (manusia), penampilan, identitas, merupakan data, citra. Menarik kita bisa melihatnya dalam film Eagles Eye, atau Transcendence.
  8. "All that is solid melts in to the air" (Marx) dan ini menjadi salah satu quotes favorit dosen saya. Bahwa segala hal yang essensial di era globalisasi ini akan meleleh karena profit (seems like very capitalism).
  9. Sign and Form (Baudrillad) bahwa dunia yang semula berupa object dan substance berubah menjadi sign dan form. Yaitu dimana dunia tidak lagi ada yang peduli kepada fungsi namun lebih peduli kepada sign and form. Dapat dilihat dalam contoh dunia periklanan. Apa yang membedakan iklan zaman dulu dengan iklan zaman sekarang?. Metode pengiklanannya: zaman dulu jika mengiklankan mesin cuci, maka akan ditampilkan mesin cuci, cara menggunakannya, dan fungsinya. Saat ini, di era globalisasi, iklan mesin cuci bahkan digambarkan melalui seducing (bentuk rayuan) dengan bintang iklan yang cantik, sexy, kemudian barulah mesin cuci dengan berbagai bentuk dan warna yang elegan. Iklan rokok bahkan tidak berkaitan dengan rokok, tetapi justru menggambarkan bintang iklan gagah, berkuda, menaiki pegunungan, sehingga rokok tidak lagi disebutkan cara atau fungsinya, namun justru seducing seolah mengatakan bahwa "merokoklah untuk tampak lebih maskulin". Iklah sudah berhenti menjual objek, tetapi menjual "tanda". Mengapa demikian? Hal inilah yang digambarkan oleh Post - Fordism, karena dengan begitu penjualan menjadi lebih flexibel. Ya kan? jelas jika anda hanya tertarik kepada FUNGSI benda yang anda beli, misalkan handphone, jika anda hanya tertarik untuk membelinya terkait fungsi, maka tidak akan ada orang yang secara konsumtif bergonta ganti handphone. Ini adalah zaman ketika seseorang memiliki handphone yang jadul menjadi malu untuk mengeluarkan handphone nya.

















COSMOPOLITANISM?

Dalam studi HI kita belajar banyak hal, culture, gender, sex, environmental, regional, diplomacy, standar mutu pada produk makanan, hukum laut, hukum internasional, banyak sekali sebenarnya. Kalau sudah sampai lebih dari 4 tahun, saya rasa anda mungkin seperti saya... tertarik "sekali" dan mau lebih dalam terjerumus kedalamnya.
Ketika saya S2 ini contohnya, mayoritas teman-teman saya sudah "ahli" dalam beberapa spesifikasi, misalnya ada yang ahli sekali jika membahas masalah-masalah seputar Timur Tengah, ada yang ahli sekali membahas organisasi internasional, atau kuat sekali pada masalah seputar Filipina, dan sebagainya.
Saya sendiri senang dan condong lebih memperhatikan hal-hal seperti cultural, peace studies, atau masalah gender. Selain daripada itu saya "agak agak" juga. Saya menghindari konflik-konflik apalagi kalau panjang. Selain itu, saya suka ilmu HI karena didalamnya terdapat banyak sekali cara pandang yang akan kita pelajari dalam "studi perspektif". Kalau ada kelas khusus perspektif, sudah jelas saya ambil hanya untuk ingin tahu lebih jauh... apa sih pikiran si ini tentang ini atau tentang itu.
Singkatnya, sekarang saya mau membahas mengenai Kosmopolitanisme.

Dulu sewaktu S1, dosen saya sempat menyinggung sedikit tentang Kosmopolitanisme, sayangnya hanya sedikit sekali padahal "nama" perspektif ini keren banget mengingatkan saya sama majalah Kosmopolitan yang jadi option saya waktu beli majalah. Saya pikir pasti ada artinya dibalik pemilihan nama majalah itu, kenapa Kosmopolitan? apa itu Kosmo? kenapa namanya keliatan modern sekali.

S2 saya disinggung lagi dengan nama Kosmopolitan ini. Sayangnya pada semester 1 saya pusing karena ternyata memahami perspektif ini "katanya" adalah yang paling sulit. Karena pencetusnya sendiri diibaratkan seperti "manusia tong", ia berkhayal sangat jauh bahwa sanya suatu saat nanti semua manusia dalam waktu yang sangat singkat bisa berada di tempat berbeda. Anggap saja pada hari ini, kita bisa bangun di Jakarta - Sarapan di Malaysia - Rapat di Singapura - Istirahat di Thailand - Dinner di Filipina - dan menutup hari dengan tidur di Amerika. Hebatnya hayalan manusia tong itu menjadi kenyataan saat ini. Ya kan? sekarang semua orang bisa melakukan hal seperti ini. Tapi si manusia tong sudah memikirkannya jauuuuh sebelum ada orang yang bisa melakukan ini.

Tetapi untuk memahami Kosmopolitanisme sebenarnya tidak sesederhana ini. Terlalu banyak hal aneh dalam Kosmopolitanisme. Sepertinya semua yang aneh ada didalam perspektif ini. Ada yang mengatakan bahwa teori Kosmopolitanisme ini seperti "Seseorang yang Bersayap namun Juga Berakar" sehingga ia dapat terbang kemanapun ia inginkan, namun tidak pernah bisa lepas dari nasionalitasnya. Meskipun "seseorang" itu seperti homeless atau mengatakan my home is nowhere dan selalu secara melankolis merasa bahwa ia memiliki keterikatan kepada tempat-tempat yang ia datangi pada waktu yang berbeda-beda.

Kembali kepada hayalan manusia tong. Apabila digambarkan maka pada masa lalu, Kosmopolitan hanya berupa Ide, hanya ada didalam pikiran si manusia tong, ia hidup di zaman Yunani. dan masih berupa Ide pada masa kapitalisme. Baru menjadi practice di saat era globalisasi.

Dapat berada ditempat-tempat berbeda dalam sekejap bukanlah inti dari teori Kosmopolitanisme. Memiliki hak yang sama, perasaan yang sama, keinginan yang sama diseluruh belahan dunia juga adalah KOSMOPOLITANISME. Inilah yang diperkenalkan Khant sebagai : "rights" - is universal hospitality".

Kosmopolitanisme intinya adalah sebuah proses imajinasi ideologis -> Bench

Tokoh-tokoh Kosmopolitanisme lainnya, siapa lagi kalau bukan Christoper Colombus yang menjadi orang pertama mengelilingi dunia. Christoper Colombus menyatakan bahwa "Ini bukan soal Hak saja, tetapi seberapa jauh seseorang dapat mengeksplor dirinya". Dalam artian bahwa seorang Kosmopolit adalah seorang yang memiliki toleransi dan keterbukaan pemikiran

Huttington   juga melalui Universal Civilization nya menyatakan bahwa Kosmopolitanisme itu adalah "Budaya + Kemanusiaan + Meningkatnya pengakuan atas beberapa nilai, kepercayaan, orientasi, praktek, institusi-institusi, dari manusia dan dunia"

Dengan demikian, Kosmopolitanisme memang sebuah perspektif yang modern, meskipun sudah ada sejak zaman manusia tong hidup yakni zaman Yunani. Karena praktek Kosmopolitanisme itu sendiri baru marak dibuktikan pada era globalisasi. <3














Sabtu, 14 Maret 2015

PEREMPUAN DAN PERDAMAIAN: Book Review of Inger Skjelsbaek & Dan Smith “Gender, Peace & Conflict”


Hello, Internet. Well, I realize I haven't post anything for quite long time. So, this is it tho~, might be useful for some of you. Enjoy to read then.. I'm very happy to share <3

“PEREMPUAN DAN PERDAMAIAN”

                  Tulisan ini merupakan hasil rangkuman Bab I dari buku Inger Skjelsbaek dan Dan Smith berjudul Gender, Peace & Conflict”, yang secara khusus membahas mengenai argumen Dorota Giercyz dalam memandang topic “Perempuan dan Perdamaian” dalam konteks global dengan menggunakan PBB sebagai alat bantu melihat.
              Pada tulisan Giercyz dapat dilihat bahwa perkembangan hingga topik “Perempuan dan Perdamaian” mulai mendapatkan tempat dan perhatian dunia internasional khususnya PBB setelah bertahun-tahun memperoleh banyak sekali penentangan dan perlawanan, akhirnya mulai menunjukkan kemajuan bertepatan dengan berakhirnya Perang Dingin dan transformasi tak disengaja demokrasi di seluruh dunia, hingga terbangun kearah Konferensi Dunia ke-4 tentang Perempuan di Beijing tahun 1995.
                   Gender berdasarkan definisi PBB amat berbeda konsepnya dengan jenis kelamin “Gender adalah peran yang dikonstruksikan secara sosial yang dimainkan oleh perempuan dan laki-laki yang berasal dari atau jenis kelamin mereka”. Dalam penggunaannya, PBB menjelaskan bahwa jenis kelamin diaplikasikan pada peran sosial yang dibangun dan dimainkan oleh perempuan dan laki-laki yang berasal dari jenis kelamin mereka, terdapat perbedaan dan persamaan pula hak dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki tanpa referensi langsung ke biologis, melainkan kepada pola perilaku yang diharapkan dari perempuan (feminism) dan laki-laki (maskulin) sebagai penguat budaya mereka. Artinya peran gender ini bergantung kepada konteks sosial dan ekonomi, dan hasilnya dapat bervariasi sesuai dengan konteks yang spesifik dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
                 Analisis gender muncul sebagai metodologi yang dianggap penting untuk diterapkan pada studi tentang pengambilan Konferensi di Beijing sekaligus sebagai motif utama dari Deklarasi Beijing 1995 serta Platform for Action, terutama karena mengabaikan peran gender dalam penelitian berarti sepakat bahwa norma dan perilaku laki-laki mewakili norma seluruh umat manusia, dan perlu diingat bahwa sampai abad ke-20, kebanyakan wanita di dunia tidak dianggap sebagai warga negara bahkan di negara-negara yang kuat demokrasi dan partisipasinya. Hal seperti ini yang kemudian memunculkan distrosi yang negatif, distorsi ini yang kemudian diakui dan di upayakan oleh sebagian besar bidang maupun sub bidang ilmu sosial untuk diperbaiki. HI memang secara umum membahas wilayah kajian perang yang secara eksklusif merupakan bidang yang didominasi oleh laki-laki.
                   Pada buku ini kemudian dinyatakan bahwa memang perang tidak cocok bagi perempuan, namun studi mengenai perempuan dalam ilmu HI penting khususnya dalam mengkaji perdamaian, perempuan harus dipandang sebagai sebuah inheren damai. Berkembang mindset bahwa hal seperti konflik bersenjata dan kekerasan merupakan cara untuk menunjukkan sisi maskulinitas laki-laki, hal ini juga seharusnya memperkuat mindset bahwa perempuan dengan sisi feminitas yang menekankan sifat pasif terhadap isu-isu kekerasan memobilisasi untuk rekonsiliasi konflik.
.             Pada Konferensi di Kopenhagen dan juga menunjukkan kebutuhan untuk mengarusutamakan perspektif gender di seluruh daerah kritis, hal ini karena setelah berakhirnya Perang Dingin, disepakati bahwa perdamaian tidak hanya berlandaskan ada atau tidaknya perang, kekerasan, dan permusuhan, tetapi juga kenikmatan keadilan ekonomi dan sosial, kesetaraan, dan kebabasan fundamental dalam masyarakat. Perdamaian inilah yang dipromosikan melalui kesetaraan gender, kesetaraan ekonomi, kenikmatan universal, perolehan HAM, kebebasan dasar, dan sebagainya, sehingga mewujudkan masyarakat yang demokratis dan lebih seimbang (terkait jenis kelamin) dalam pengambilan keputusan nasional dan internasional.

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...