Senin, 03 November 2014

P. De Grauwe dan F. Camerman: How Big Are the Big Multinational Companies? VS ROBERT GILPIN

A Critical Review

Tulisan ini merupakan hasil ulasan yang mengkaji secara kritis terkait tema Perusahaan Multinasional dan Investasi Global, khususnya dari tulisan P. De Grauwe dan F. Camerman yang berjudul “How Big are the Big Multinational Companies?” yang menjadi salah satu referensi bahan bacaan yang disediakan. Sebagai pembanding, dalam critical review ini akan saya hadirkan pula argumen yang berasal dari buku Robert Gilpin yang berjudul “Global Political Economy Understanding the International Economic Order”.

Karena pada tulisan Grauwe dan Camerman lebih cenderung membahas mengenai argumennya terkait persoalan MNCs yang lebih powerful dibandingkan negara-bangsa, maka pada critical review ini, saya juga akan menjelaskan posisi saya serta beberapa opini saya terkait perdebatan maupun argumen Grauwe dan Camerman, berikut dengan sumber argumen tambahan yang berasal dari buku Gilpin.

Pada buku Grauwe dan Camerman sebenarnya sudah berisikan kritik yang sebenarnya mendukung opini serta kritik saya terhadap persepsi mayoritas peneliti ilmu hubungan internasional, seperti Robert Gilpin yang menyatakan bahwa MNCs lebih powerful dibandingkan negara. Tidak banyak peneliti seperti Grauwe dan Camerman yang menyanggah pernyataan tersebut. Mayoritas peneliti menggeneralisasikan hasil temuan, dan oleh sebab itu sejak awal perkembangannya, MNCs selalu dihadapi oleh perdebatan-perdebatan publik internasional terkait pertumbuhan dan kehadirannya sebagai aktor internasional.

Robert Gilpin dan beberapa pakar menganggap bahwa kekuatan MNCs begitu besar sehingga dapat disebut sebagai predator imperialistik, yang diperkirakan sedikit lagi akan segera mengendalikan ekonomi dunia. Pada buku Grauwe juga disebutkan bahwa, kaum anti-globalis pernah mengklaim bahwa berdasarkan penelitian mereka, dalam daftar 100 ekonomi terbesar didunia, di isi oleh 51 MNCs, sementara hanya 49 nya adalah negara.

Grauwe meskipun tidak dapat dikatakan sepakat dengan hasil penelitian tersebut, menyatakan bahwa hal ini juga tidak dapat dikatakan salah. Karena sebenarnya untuk mendapatkan data statistik yang dapat mendukung klaim bahwa kekuatan MNCs melebihi kekuatan rata-rata negara tidaklah sulit. Gilpin juga dalam bukunya menyimpulkan beberapa hal yang dapat memperkuat argumennya bahwa MNCs lebih powerful dibandingkan negara, yakni: 1) kekuatan MNCs dapat dilihat dari kemampuannya mengelola unit-unit ekonominya di dua negara atau lebih; 2) kekuatan MNCs juga dapat dilihat dari strategi investasi langsung yang menimbulkan efek perpanjangan kontrol manajerial melintasi batas-batas nasional; 3) segi kekuatan sumber daya, MNCs dinilai Gilpin melebihi kekuatan sumber daya yang dimiliki oleh sebagian besar negara-negara anggota PBB (dan terus tumbuh); serta 4) lingkup operasi MNCs lebih luas secara geografis, bahkan menurut Gilpin dibandingkan dengan seluruh kerajaan yang pernah ada.

Berbanding dengan pernyataan Gilpin, kaum anti-globalis dalam buku Grauwe juga menjelaskan darimana hasil tersebut didapatkan, yakni dengan mengukur dan melihat PDB negara untuk membandingkan ukurannya dengan perusahaan multinasional. Dengan demikian, ketika anti-globalis mengklaim bahwa dalam 100 ekonomi terbesar diisi oleh 51 perusahaan multinasional dan 49 adalah negara, maka mereka membandingkannya berdasarkan penjualan perusahaan multinasional dengan GDP negara.

Hal inilah yang sebenarnya menjadi titik awal dari munculnya perdebatan dan kritik terhadap kemunculan MNCs sebagai aktor internasional, serta mempengaruhi naik turunnya perkembangan MNCs di dunia internasional. Grawe dan Camerman bahkan menggambarkan progress MNC sebagaimana gerakan pendulum, naik dan turun.

Tahun 1960-1970an, kehadiran MNC terutama yang berasal dari Amerika dipandang sebagai lembaga yang memiliki tekad untuk mendominasi dunia. MNC dinilai oleh banyak pihak, merupakan alat dan strategi Amerika untuk mengambil alih Eropa dan dunia. Tahun 1980-an, persepsi negatif tersebut bergeser, dan publik internasional mulai menerima MNC sebagai sebuah simbol keberhasilan dan kemajuan dunia yang semakin terintegrasikan. Namun kemudian kembali menuai kontra karena dianggap kehadiran MNC yang begitu kuat akan menghancurkan tatanan masyarakat yang demokratis serta menyesatkan lanskap kebudayaan yang sudah ada.

Heitz dalam bukunya the Silent Takeover juga mengklaim bahwa MNC yang hadir dengan kekuatan begitu kuat akan menghancurkan tatanan masyarakat yang demokratis. Dengan argumen serupa, Naomi Klein menyatakan bahwa MNC tidak hanya menjual produk fisik, tetapi juga emosional sehingga dapat menyesatkan lanskap kebudayaan yang sudah ada.

Menurut opini saya, persepsi seperti itu merupakan persepsi yang terlalu berlebihan. Selain itu pula untuk mengukur sebuah kekuatan tidaklah mudah, dan sangat relatif, tidak dapat di generalisasikan, dan dianggap seluruhnya sama. Pada prinsipnya, kita harus lebih mencermati wacana tersebut.

Grauwe khususnya menyebutkan bahwa terdapat kelemahan dalam menghitung besarnya kekuatan negara melalui GDP, yakni bahwa banyak dari penjualan dan PDB negara yang pada kenyataannya tidak dimasukkan dalam hitungan, dengan alasan memudahkan penghitungan dan menghindari terjadinya penghitungan ganda. Penghitungan ganda yang dimaksudkan ialah sebagai contoh, Bethelem Steel menjual kawat baja untuk bahan pembuatan ban Bridgestone pada tahun 2002, Bridgestone kemudian menjual bannya untuk pembuatan mobil Ford Motor ditahun yang sama, hingga akhirnya mobil tersebut sampai ke tangan konsumen di tahun yang sama pula. Apabila dihitung seluruh dari awal proses pembuatan mobil hingga dipasarkan ke konsumen, dari mulai, kawat, baja, ban, mobil, penghitungan penjualan kawat baja misalnya dapat menjadi tiga kali. Hasilnya nilai produksi yang dilaporkan akan berlebihan. Untuk menghindari hal ini, para ekonom hanya menghitung nilai tambah di tiga perusahaan saja yakni pada tahap akhir.

Setelah akhirnya Grauwe dan Camerman melakukan penelitian melalui caranya sendiri, yang berdasar kepada daftar 500 MNC terbesar didunia versi majalan Fortune di tahun 2000, dengan sumber data PDB berasal dari Bank Dunia, menunjukkan hasil bahwa 100 ekonomi terbesar didunia adalah 63 negara dan hanya 37 adalah MNCs, dan yang lebih mengejutkan adalah, dari 50 daftar ekonomi terbesar didunia 48 adalah negara, dan hanya 2 yang merupakan MNCs (yakni Exxon, dan Wal Mart).

Berdasarkan hasil Grauwe tersebut, dengan membandingkan tulisan Gilpin, pendapat saya adalah, belum ada indikasi yang tepat dari ukuran relatif yang dapat menunjukkan secara tepat manakah yang lebih powerful antara MNCs dan negara, karena sebuah kekuatan nyatanya sangat relatif, dan menurut saya kekuatan beberapa negara besar jauh lebih besar dibandingkan MNCs terbesar didunia sekalipun. Sebagai contoh, Grauwe dalam bukunya juga mencantumkan bahwa ekonomi AS adalah 200; kali lebih besar dari MNCs terbesar didunia; Jepang adalah 100 kali lebih besar; Cina adaah 20 kai lebih besar, dan bahkan negara0negara kecil seperti Belgia, Swedia, Austria dapat tiga sampai lima kali lebih besar dari MNCs terbesar didunia.

Retorika anti-globalis sebenarnya yang telah mendorong publik untuk percaya tanpa mengidentifikasi lebih lanjut dan teliti akan pernyataan tersebut. Akan tetapi memang dalam beberapa contoh lain, MNCs seperti Wall Mart dinyatakan lebih lanjut oleh Grauwe lebih besar dibandingkan Pakistan, Peru, dan Aljazair; sementara Exxon disebutkan lebih besar dari Republik Ceko, Selandia Baru, dan beberapa negara kecil lainnya.

Berkaitan dengan pertumbuhan, pertumbuhan MNCs sebenarnya sama saja dengan pertumbuhan di negara maupun aspek-aspek lainnya. Beberapa MNCs tumbuh sangat cepat dibandingkan yang lainnya, namun beberapa diantaranya juga telah menyusut dalam ukuran relatif, baik diseluruh kawasan, atau dibeberapa kawasan tertentu saja, sementara di kawasan lainnya mengalami peningkatan. Begitu pula halnya dengan negara, beberapa negara dengan kebijakan baru seperti pembebasan perdagangan mengalami pertumbuhan perekonomian pesat dibandingkan perusahaan multinasional, dan beberapa yang lain tidak. Seluruhnya bukan merupakan proses yang statis, melainkan terus menerus berubah, dan tidak pasti, serta sulit untuk dipahami, kemudian di generalisasikan.

Faktanya, perusahaan MNCs tidaklah sebesar yang banyak orang pikir, dan perkembangannya tidaklah perlu dikhawatirkan akan mengancam dan merusak kebudayaan suatu negara, karena hal ini tidaklah selalu menjadi sebuah masalah. Mengenai masalah kekuatan, sangatlah sulit untuk diukur.


Jumlah Kata: 1.161 kata 

LIBERALISME (one of the famous perspective in international relations studies!)

Hi. Long time not writing~
Beberapa pekan saya cukup sibuk dengan masalah personal, pencocokan dengan tempat dan suasana baru, juga rutinitas baru di S2 UGM yang woah pokoknya ga bisa di deskripsikan dengan kata-kata.
Oke... nah awal semester ini, kami dibukakan kembali memory mengenai Perspektif-Perspektif yang ada dalam Studi Hubungan Internasional, namun kali ini mungkin sedikit "lebih" diperdalam.

Kebetulan, saya mendapat bagian membahas "LIBERALISME" yang so so... often diperdengarkan sejak zaman S1 dulu. Kali ini saya me-review dari buku Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, dan Jacqui True, yaitu “Theories of International Relations”. 

So...bagi yang sedang merambah buku ini, mudah-mudahan bisa bit helping.
Dan... buat sedikit tambahan, saya juga mencantumkan contoh kasus~ 







 “LIBERALISME”
Tulisan ini merupakan hasil resume dari buku “Theories of International Relations” karya Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, dan Jacqui True. Pada tulisan ini lebih difokuskan kepada topik perspektif liberalisme.
Liberalisme merupakan salah satu dari dua produk filosofis besar sejak abad Pencerahan Eropa, hal ini karena liberalis memberikan dampak mendalam kepada seluruh bentuk masyarakat industri modern hingga saat ini. Ide-ide liberalis telah menjadi wujud bagi transisi demokrasi di kedua belahan dunia (barat dan timur), yang terwujud dalam bentuk “globalisasi ekonomi dunia”.
Pada dasarnya, asumsi dasar liberalis adalah untuk memperjuangkan kebebasan hak-hak individu dari kekuasaan sewenang-wenang negara. Berbeda dengan realis, paham ini menganjurkan kebebasan atas segala aspek, politik, demokrasi, jaminan hak konstitusional, kebebasan individu, persamaan di depan hukum, dan sebagainya. Paham liberalis juga berpendapat bahwa jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bagi semua umat manusia, adalah melalui kompetisi individu dalam masyarakat sipil, dan kapitalisme pasar, jalan ini juga dianggap paling efisien untuk mengalokasikan sumberdaya yang langka dalam masyarakat.
Tepatnya paham mengenai liberalis mulai melonjak di dalam akademi hubungan internasional, yakni pada akhir Perang Dingin, setelah kematian komunisme Soviet pada awal tahun 1990-an. Pada saat itu, demokrasi liberal tidak mempunyai pesaing ideologis yang serius. Didukung pula dengan adanya transisi baru bagi demokrasi di Afrika, Asia Timur, dan Amerika Latin. Akhir Perang Dingin telah mewakili kemenangan dari bentuk “negara ideal” dan bentuk khusus dari ekonomi politik “kapitalisme liberal”.
Hal yang unik dari paham liberalis ialah argumen nya yang jelas menentang realis bahwa sifat alami sistem internasional adalah anarki, dan mereka semua telah terjebak dalam perjuangan perebutan kekuasaan dan keamanan (Linklater, 1993: 29). Menurut liberalis justru hukum alam mendiktekan harmoni dan kerjasama antar manusia. Perdamaian merupakan keadaan normal, yang oleh sebab itu dapat menjadi abadi. Perang lah yang merupakan suatu tindakan yang di nilai liberalis tidak wajar, tidak rasional. Karena makna perang menurut kaum liberalis adalah alat yang dibuat, rekayasa, yang diciptakan oleh “kelas ksatria”, seperti pemerintah militeristik, yang memiliki tekad untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan mereka melalui penaklukan teritorial. Menurut Paine dalam the Rights of Man, “sistem perang” dibuat untuk menjaga kekuatan dan pekerja dari pangeran, negarawan, tentara, diplomat, dan produsen senjata, untuk mengikatkan tirani yang lebih kuat pada leher rakyat (Howard, 1978: 31).
Perang menjadi alasan bagi pemerintah untuk menaikkan pajak mereka, memperluas aparat birokrasi, dan meningkatkan kontrol atas warga negara mereka. Sementara, pada kenyataannya, orang-orang lebih mencintai perdamaian, namun terpaksa terjun kedalam konflik karena keinginan penguasa representatif mereka. Oleh sebab itu, perang juga dinilai sangat tidak demokratis untuk kepentingan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan argumen Schumpeter yang menyatakan bahwa perang adalah produk dari naluri agresif elit representatif, yang sementara itu akan menguntungkan pihak industri senjata dan aristrokrat militer, namun bencana bagi yang lainnya.
Perang digambarkan sebagai sebuah penyakit dalam tubuh, yang oleh sebab itu juga memiliki kemampuan untuk disembuhkan. Perawatan yang ditawarkan oleh kaum liberal sejak abad ke-18 tidak pernah berubah yakni: “Demokrasi dan Perdagangan Bebas”. Bagi Kant misalnya, pembentukan pemerintahan republik dimana penguasa memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak individu akan mengarahkan bagi terwujudnya perdamaian hubungan internasional, karena persetujuan akhir untuk melakukan perang akan bergantung kepada persetujuan warga negara (Kant, 1970: 100). Selain itu, ketika setiap individu diberikan kebebasan berbicara, menghormati hak setiap individu, persamaan di depan hukum, dan sebagainya di dalam negara, maka setidaknya negara tidak akan memiliki nafsu serupa terhadap konflik dan perang sebelum negara tersebut menjadi negara demokratik.
Contoh kasus liberalisme salah satu nya adalah dalam terciptanya kerjasama perdagangan antar negara. Salah satu nya adalah kerjasama perdagangan produk kaki ayam (chicken leg quarter) asal Amerika Serikat ke Meksiko, yang disepakati sejak tanggal 25 Juni 2003. Pada kesepakatan kerjasama ini bahkan Meksiko memberikan kebijakan penurunan tariff bea berjangka selama 5 tahun terhadap produk kaki ayam AS, dimulai dengan bea tarif 79% pada tahun 2004, 59,3% pada tahun 2005, 39,5% pada tahun 2006, 19,8% pada tahun 2007, hingga mencapai 0% pada tahun 2008[1].
Kerjasama perdagangan tersebut terjalin pada intinya didasari oleh adanya saling kebutuhan. Dalam kasus ini, AS sebagai produsen unggas terbesar di dunia (yakni tercatat mencapai 16.360.000 metrik ton daging unggas, khususnya ayam, dan mengekspor 2,82 juta metrik ton kepasar dunia - USDA, FAS, 21 Maret 2001)[2], memiliki kelebihan pasokan pada bagian ayam tertentu. Konsumen AS menunjukkan preferensi yang kuat dalam mengkonsumsi daging ayam bagian white/ light meat (dada ayam), sehingga bagian dark meat (drum stick, paha, kaki, dan seluruh seperempat bagian kaki) menjadi tidak bernilai tinggi atau bahkan terbuang di AS.
Berbanding dengan hal tersebut, beberapa negara lain, khususnya Meksiko lebih memiliki kecenderungan minat konsumsi yang besar terhadap bagian ayam dark meat (drumstick, paha, kaki, dan seluruh seperempat bagian kaki). Perbedaan preferensi konsumen antara Meksiko dan AS kemudian membuka kesempatan untuk perdagangan produk unggas bagi keduanya. Perdagangan yang diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi kedua negara. Perbedaan-perbedaan dalam preferensi daging unggas antar negara dapat menyebabkan arus perdagangan yang saling melengkapi[3].
AS dalam hal ini tentu sangat diuntungkan karena bebas dari penumpukan kaki ayam di negaranya, dan menjadi lebih berharga di negara lain. Sementara Meksiko, selain berkaitan dengan minat konsumen, adalah terkait kekeringan parah yang melanda Meksiko sejak tahun 2002. Bencana tersebut mematikan tanaman-tanaman, serta hewan-hewan ternak, menyebabkan masyarakat Meksiko menderita kemiskinan dan kelaparan (beberapa yang terparah adalah di kawasan Chihuahua, Zatecas, dan Durango). Hingga saat itu, pemerintah Meksiko belum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein daging, dan industri Meksiko belum mampu membangun kembali pasar bahan-bahan pokok makanan mereka. Tentu saja pasokan ayam murah dalam jumlah besar dari Amerika Serikat sangat membantu pemenuhan konsumsi masyarakat Meksiko tersebut.


[1] Mexico Initiatives an Anti-Dumping Investigation on US CLQs. Diakses dari Website Resmi Departemen Pertanian Luar Negeri Amerika Serikat: http//gain.fas.usda.gov/Recent%20GAIN%Publications/Mexico%20Initiatives%20An%20Anti-dumping%20Investigation%20on%20U.S.%20CLQs_Mexico_Mexico_2-8-2011.pdf, pada 20 April 2013.
[2]Ablayeva,Bella, the Impact of Currency Devaluation on US Poultry Exports: the Case of Rusia, diakses dari: (http://athenaeum.libs.uga.edu/bitstream/handle/10724/5709/ablayeva_bella_200112_ms.pdf?sequence=1), pada 19 September 2013.
[3] World Meat Trade Shaped by Regional Preferences & Reduced, diakses dari: (http://www.agriculture.de/discus/messages/33/fulltext_ao269d.pdf), pada 19 Oktober 2013.

Rabu, 13 Agustus 2014

Seminar: Are You with the Right Partner?

ARE YOU WITH THE RIGHT PARTNER?

During a seminar, a woman asked,” How do I know if I am with the right person?”

The author then noticed that there was a large man sitting next to her so he said, “It depends. Is that your partner?”
In all seriousness, she answered “How did you know?”
"Let me answer this question because the chances are good that it’s weighing on your mind." replied the author.

Here’s the answer:

Every relationship has a cycle… In the beginning; you fall in love with your partner. You anticipate their calls, want their touch, and like their idiosyncrasies. Falling in love wasn’t hard. In fact, it was a completely natural and spontaneous experience. You didn’t have to DO anything. That’s why it’s called “falling” in love.

People in love sometimes say, I was swept of my feet. Picture the expression. It implies that you were just standing there; doing nothing, and then something happened TO YOU.

Falling in love is a passive and spontaneous experience. But after a few months or years of being together, the euphoria of love fades. It’s a natural cycle of EVERY relationship.

Slowly but surely, phone calls become a bother (if they come at all), touch is not always welcome (when it happens), and your spouse’s idiosyncrasies, instead of being cute, drive you nuts. The symptoms of this stage vary with every relationship; you will notice a dramatic difference between the initial stage when you were in love and a much duller or even angry subsequent stage.

At this point, you and/or your partner might start asking, “Am I with the right person?” And as you reflect on the euphoria of the love you once had, you may begin to desire that experience with someone else. This is when relationships breakdown.

The key to succeeding in a relationship is not finding the right person; it’s learning to love the person you found.

People blame their partners for their unhappiness and look outside for fulfillment. Extramarital fulfillment comes in all shapes and sizes.

Infidelity is the most common. But sometimes people turn to work, a hobby, friendship, excessive TV, or abusive substances. But the answer to this dilemma does NOT lie outside your relationship. It lies within it.

I’m not saying that you couldn’t fall in love with someone else. You could. And TEMPORARILY you’d feel better. But you’d be in the same situation a few years later.

Because (listen carefully to this)

The key to succeeding in a relationship is not finding the right person; it’s learning to love the Person you found.

SUSTAINING love is not a passive or spontaneous experience. You have to work on it day in and day out. It takes time, effort, and energy. And most importantly, it demands WISDOM. You have to know WHAT TO DO to make it work. Make no mistake about it.

Love is NOT a mystery. There are specific things you can do (with or without your partner), just as there are physical laws of the universe (such as gravity), there are also laws for relationships. If you know how to apply these laws, the results are predictable.

Love is therefore a “decision”. Not just a feeling.

Remember this always: the universe determines who walks into your life. It is up to you to decide who you let walk away, who you let stay, and who you refuse to let go!

Selasa, 25 Maret 2014

(Contoh) Critical Review

Didalam buku “Non-Western International Relations Theory – Perspectives on and beyond Asia” saduran Amitav Acharya dan Barry Busan mencoba memperkenalkan seperti judulnya, yakni ; adanya teori hubungan internasional non-barat yang mengangkat perspektif dalam ruang lingkup Asia. Bagaimana teori ini bertahan dalam serangan teori barat, dan memperkenalkan apa itu teori hubungan internasional bukan barat?. Buku ini terdiri atas 10 bab, yang secara garis besar dapat saya gambarkan sebagai berikut:
Dimulai dengan bab pertama yang menyebutkan bahwa penulis buku ini terinspirasi oleh pemikiran Martin Wight (1966: 20) yang membahas mengenai “mengapa tidak ada teori hubungan internasional”. Wight membahas mengenai apa itu teori hubungan internasional? Mengapa begitu penting? Apa pengaruhnya? Dan ia juga mengkritik bahwa pemahaman mengenai teori hubungan internasional ini masih sangat rendah, dan letaknya masih kabur dan tidak sistematis. Oleh karena itu, Wight melakukan perbandingan terhadap dua teori dalam melakukan penelitian tersebut , yakni teori politik dan teori internasional.  
Dalam buku saduran Acharya dan Busan ini juga membahas mengenai “tidak adanya teori hubungan internasional” dan juga ikut membahasnya melalui jalur yang dilakukan Wight, akan tetapi dalam buku ini lebih mengarah kepada jalur teori politis. Dan pembahasannya juga lebih spesifik, mengarah kepada teori hubungan internasional non-barat.
Dalam pemikiran Wight juga terpusat kepada pesan bahwa teori hubungan internasional merupakan teori yang menjadi acuan aturan dalam tujuan untuk memperoleh kemajuan hidup yang baik. Teori ini muncul berdasarkan faktor historis / sejarah / pengalaman suatu Negara, seperti ; perang. Perang dipercaya sebagai suatu konflik yang terjadi berulang, dengan kata lain, segala kejadian yang terjadi dalam dunia internasional dipercaya Wight sebagai suatu hal yang pernah terjadi sebelumnya, dan oleh sebab itu proses penangannannya juga tidak berbeda jauh. Hal ini berlaku juga dengan keadaan internasional yang lainnya, semuanya berkaitan dengan kejadian historis.
Dimulai dengan pembahasan mengenai apa itu teori hubungan internasional non-barat, apa kaitannya dengan teori hubungan internasional barat, dan apa penyebab gagalnya teori ini berkembang menjadi teori hubungan internasional yang bersifat global.
Dan dalam buku ini dinyatakan bahwa pemikiran Wight merupakan sebuah pemikiran yang bersifat umum, dan terjadi dominan hanya dalam ruang lingkup Negara-negara Barat, tanpa memperhatikan sebenarnya terdapat hubungan internasional lain, seperti di Negara-negara Timur, yang apabila dikaji memiliki suatu kerumitan dan bersifat lebih kompleks, dan perbedaan ini penting untuk dipahami, karena banyak sekali faktor-faktor besar lainnya yang dapat mempengaruhi teori hubungan internasional ini, selain faktor-faktor dalam perspektif dunia Barat.
Dalam teori hubungan internasional Barat, mereka tidak memperhatikan ada sumber lain selain sejarah seperti ; Thucydides, Hobbes, Machiavelli, Kant  dan sebagainya, padahal sebenarnya ada faktor lain yang juga memiliki pengaruh kuat dalam hubungan internasional suatu Negara. Dalam hal ini, teori hubungan internasional yang berkembang di Asia-Pasifik adalah teori-teori yang bersifat relijius, klasik, politik, ataupun militer, seperti ; pengaruh ajaran Konfusius, Kaultia dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan contoh misalnya pada tahun 1980-1990an, gagasan dan pikiran paham Konfusianisme tentang communitarianism sering dikutip sebagai basis dari suatu perspektif 'Nilai-Nilai Asia', paham ini berkembang dan mempengaruhi mayoritas masyarakat Asia, dan terbukti mampu membentengi mereka dari pengaruh serangan liberal barat.
Dan mengapa penulis memilih Negara Timur sebagai perbandingan dengan Barat, karena Negara-negara Timur juga memiliki kekuatan-kekuatan besar pada masanya, dan saat ini Negara-negara Timur tengah memacu perkembangan Negara-negara Barat. Selain itu, jika dilihat dalam faktor historis, Negara-negara Timur memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenai pengembangan negaranya. Selain itu, didalam buku ini juga dibahas mengenai adanya teori hubungan internasional Islam atau berdasarkan perspektif Negara Timur Tengah. Negara ini juga penting mendapatkan perhatian apabila dilihat dari kepemilikan sejarahnya yang panjang.
Beberapa ahli / pemikir teori hubungan internasional mengatakan bahwa, meskipun kuat pengaruh hubungan internasional non-barat ini, teori ini tetap tidak dapat berkembang, dikarenakan kendala-kendala, salah satunya yakni ; kendala bahasa. Seperti yang kita ketahui, Negara Barat memiliki peran / kuasa dominan dalam dunia internasional, bahasa yang digunakan juga dominan merupakan bahasa asing Negara Barat, seperti ; Inggris. Oleh sebab itu, proses pengenalan teori hubungan internasional Barat lebih mudah dan lancer daripada proses pengenalan teori hubungan internasional non-barat, sehingga walaupun ada, teori hubungan internasional non-barat ini masih tersembunyi oleh dominannya teori hubungan internasional barat. Selain itu, secara historis / perkembangannya teori hubungan internasional barat lebih bersifat umum / universal, berbeda dengan teori hubungan internasional non barat yang umumnya hanya berlaku kepada Negara itu saja.
Misalnya dalam pandangan Negara Cina terhadap dunia. Dalam memandang dunia, Cina membagi dua fokus perhatian, yakni kepercayaan Maoisme dan paham doktrin Nixon, yang keduanya menyebutkan / memberikan keyakinan pada masyarakat Cina bahwa segala kebijakan dan tindakan yang dibuat akan selalu mendapatkan balasan / dampak dari Yang Maha Kuasa, hal ini tentu saja berbeda dengan teori Barat yang lebih mengarah kepada cara mereka memahami dunia bahwa segala yang terjadi selalu berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Negara Cina kemudian berkembang dan memiliki citra yang patut diperhatikan dalam dunia Internasional. Cina mulai menjadi Negara besar dan tidak dapat diremehkan. Oleh sebab itu, sejarah dan segala tentang Cina kemudian menarik untuk diperbincangkan. Banyak Negara ingin berhasil seperti Cina. Dan masyarakat Cina juga berkembang menjadi masyarakat intelektual dan telah bertaraf internasional, banyak anak bangsanya telah belajar dinegara Barat, menguasai bahasa internasional, dan malah menerbitkan buku-buku penting bagi dunia internasional. Oleh sebab itu, apabila dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya, mengenai ‘teori hubungan internasional non-barat masih tersembunyi karena masalah bahasa’, sebenarnya sudah bukan alasan kuat lagi. Dan dalam bab buku ini disebutkan, 3 alasan baru mengenai mengapa teori hubungan internasional non-barat, khususnya dalam perspektif Negara Cina belum muncul / tidak berkembang hingga saat ini, yaitu :
  1. Tidak adanya suatu kesadaran akan internasionalisme tetapi tetap bertahan dengan system anak sungai
Dalam pikiran intelektual tradisional Cina, internasionalisme bukanlah sesuatu yang melekat di dalam diri masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat China berpandangan bahwa konsep dunia ataupun Negara merupakan sesuatu yang luas, tidak terbatas dan tidak boleh melibatkan ego seseorang di dalamnya karena kekaisaran merupakan pusat dari Negara itu sendiri
Pandangan ini dipraktekkan dalam sistem anak sungai yang merupakan sistem terpusat dan diatur oleh kaisar Cina dari tahun 221 SM ke awal 1800-an. Kekaisaran Cina memegang dominasi kekuasaan, menjaga stabilitas dan menyediakan mekanisme untuk interaksi antara negara-negara. Sistem berlangsung tanpa banyak perubahan selama 2.000 tahun. Cina, sebagai negara yang paling kuat dan paling maju di wilayah ini, memainkan peran besar dalam menjaga perdamaian dan perdagangan, menyediakan barang publik dan mengatur sistem.
Sistem yang berkembang di China memiliki ciri yang menekankan pada perbedaan status sosial. Perbedaan status merupakan prinsip penataan sistem sungai yang berkembang di China. Sistem ini menekankan bahwa China merupakan pusat pemerintahan dan keberadaan Negara lain bukanlah sesuatu yang penting. Hal ini diperkuat oleh pemikiran Konghucu mengenai pengertian 'negara' yang di definisikan sebagai sebuah “keluarga. Sehingga Negara dapat dikategorikan sebagai keluarga besar.
Sistem semacam ini tidak memiliki ruang untuk kehidupan internasional. Selain itu masyarakat China tidak memiliki kesadaran dalam menata kehidupan internasional sehingga teori yang menyangkut hubungan internasional dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak penting untuk dikembangkan.
  1. Terlalu dominannya teori Barat
Dalam kepercayaan Cina terhadap hal relijiusnya yang berpengaruh terhadap Negaranya, terdapat suatu kendala untuk mewujudkannya menjadi suatu teori hubungan internasional dunia, yakni ; bahwa pemikiran Cina tersebut tidak banyak dimengerti terutama oleh orang-orang bukan Cina, tidak mengerti sejarah Cina, atau penganut ajaran Cina tersebut. Sehingga mereka akan kesulitan memahami apa yang sering disebut Cina sebagai kaitan manusia-alam-dan dunia diatas mereka. Hal ini pernah diuji cobakan pada abad ke-19, ketika Negara Cina mengalami modernisasi tepatnya setelah terjadinya Perang Opium (masuknya obat-obatan terlarang ke Cina), dan teori hubungan internasional barat mulai diketemukan dengan teori hubungan internasional Cina, akan tetapi usaha mempersatukan keduanya gagal, karena hal yang disebutkan tadi.
  1. Kurangnya bantuan teoritis inti yang keras
Inti keras yang dimaksudkan disini adalah suatu pendukung yang memiliki pengaruh kuat dalam suatu teori untuk mendukung teori tersebut. Oleh sebab itu, inti keras ini sangat penting bagi berdirinya suatu teori. Dan dalam hal ini, tradisi Cina memiliki inti keras yang sangat jauh berbeda komponennya dengan teori hubungan internasional.
Akan tetapi seiring perkembangan zaman, para pemikir Cina mulai menunjukkan semangat mereka untuk membangun kembali jati diri masyarakat Cina yang sempat hilang. Bebrbagai studi hubungan internasional dikembangkan oleh intelektual Cina tersebut, teorinya kemudian didiskusikan menggunakan sudut pandang para pemikir Cina tersebut.
Selain itu, masyarakat Cina dianggap masih meraba-raba atau ragu akan prinsip hubungan internasional ini, karena berbeda proses pemikiran. Akan tetapi, penulis buku ini menganggap bahwa masalah sebenarnya mengapa tidak ada teori hubungan internasional Cina adalah karena hubungan Negara Cina itu sendiri yang tidak pernah baik dengan masyarakat internasional sejak 150 tahun yang lalu. Terutama pada decade 1840 dan 1980, hubungan Cina dengan dunia internasional semakin buruk dan tidak ada upaya atau solusi dalam memperbaiki kerenggangan hubungan tersebut. Perang Dingin, dan masalah idiologi juga turut menyumbangkan terjadinya kesulitan hubungan Cina dengan masyarakat internasional, oleh sebab itu apabila Cina ingin kemudian dipertimbangkan menjadi suatu teori hubungan internasional tersendiri, maka terlebih dahulu ia harus ikut bergabung dalam komunitas masyarakat / dunia internasional.
Selain itu Jepang juga merupakan Negara yang patut dipertimbangkan teori hubungan internasionalnya, karena pada prinsipnya, Negara-negara kuasa sering menghasilkan teori hubungan internasional. Dan Jepang, merupakan Negara yang diakui memiliki kuasa terutama dibidang ekonomi dunia, semenjak berakhirnya Perang Dunia II.
Akan tetapi, sebagai Negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah AS, perkembangan teori hubungan internasional Jepang menjadi terhambat oleh kekuatan AS yang terlalu besar.
Namun, menarik untuk dibahas mengenai perkembangan teori hubungan internasional Jepang ini. Dan dalam buku ini, perkembangan teori hubungan internasional Jepang dimulai dari tahun 1868 hingga 2005, dan terbagi atas beberapa periode, yakni :
1.      Periode yang muncul setelah 1945
Pada periode ini, Jepang terpengaruh kepada militer dan kolonialisasi, periode ini sebenarnya telah muncul pada tahun sebelum 1945, akan tetapi semakin menguat ketika setelah 1945. Pengaruh militer ini sangat besar dan terlihat dalam setiap corak masyarakat Jepang, termasuk dalam pengambilan suatu keputusan Negara, selalu memiliki pengaruh dengan militer dan kolonialisasi. Kepentingan Negara akan alat-alat perang juga semakin meningkat pada decade setelah 1945. Militer otomatis menjadi sebuah tradisi, proses pembelajaran di Jepang saat itu juga berpusat kepada tujuan militer, bukan kepada social dan lain sebagainya.
2.       Periode Marxisme (1920)
Tradisi Marxisme ini sangat kuat pada decade 1920 hingga 1960-an, Tradisi ini dihubungkan dengan konsepsi ilmu social “Oposisi Swissen Schaft” atau ilmu pengetahuan oposisi. Pada saat itu, Jepang berdasarkan Marxismenya memberikan/menyampaikan analisa politisnya dengan memberikan suatu pewarnaan kritis kepada pengamatan atas peristiwa politis dan pengenalan penyimpangan yang meninjau idiologis. Decade Marxis ini sering juga digambarkan sebagai periode shakai kagaku (ilmu social) bagi masyarakat Jepang.
Pada 1960, perkembangan paham Marxis ini semakin melebar, terbukti dengan jabatan-jabatan Negara saat itu didominasi oleh penganut-penganut fanatic Marxis atau para sarjana beraliran Marxis. Segala kebijakan baik politik, ekonomi maupun hubungan internasional Jepang saat itu berdasarkan pemikiran Marxisme. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, pengaruh kuat Marxis mulai mengendur, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak penganut Marxis berubah haluan menjadi post-marxis, post-modernism, ataupun feminism. Masyarakat Jepang mulai semakin kritis dan mulai memiliki pemikiran sendiri-sendiri.
3.      Tradisi Historis
Tradisi ini bertahan hingga saat ini, tradisi historis merupakan tradisi yang mempercayai dan memberikan perhatian kepada aspek sejarah Negara. Dalam hal ini, hubungan internasional Jepang mulai dikaitkan kepada pengetahuan terhadap sejarah literature perkembangan Jepang selama ini. Oleh sebab itu, peran sejarawan Jepang meningkat pada periode ini. Mereka dipercaya sebagai sumber pengetahuan dan informasi Jepang.
Beralih kepada teori hubungan internasional dalam perspektif Korea, para pemikir intelektual Korea memiliki pemahaman sendiri-sendiri dalam menganalisa politik regional dan hubungan antar dinasti, nilai moral tertanam sangat kuat dalam diri mereka. Akan tetapi mereka kurang memahami konsep ilmu sosial positif. Sehingga Korea mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sistem internasional modern dalam masa transisi (1876-1910).
Kesulitan beradaptasi ini bagi Caesung Chun disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena tradisi dan norma kekuasaan kaisar menjadikan para sarjana Korea sulit memahami sistem internasional modern, terutama konsep persamaan kedaulatan dan politik non intervensi. Kedua, karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai normatif dan hukum dari suatu sistem internasional, dengan kenyataan yang terjadi di dunia internasional. Invasi yang terjadi terhadap teritorial Korea, membuktikan bahwa hukum tidak bisa menjamin kedaulatan pada saat itu. Dan Ketiga, Korea mengadopsi sistem negara modern bertepatan dengan masa imperialis barat. Bagi para imperialis, kedaulatan nasional hanya milik negara kuat, dan keadaan Korea pada saat itu tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai negara berdaulat. Hal ini dibuktikan dengan sia-sianya perwakilan Korea pada Konferensi Perdamaian Den Haag (1907) dan Versailles (1919), karena yang dihadapi dalam pertemuan tersebut adalah negara-negara imperialis.
Akan tetapi hubungan internasional Korea tidak dapat dikatakan tidak berjalan, karena sejak tahun 1945 Korea yang bebas dari jajahan Jepang dan imperialis Barat yang menjajah sebelum Jepang, mulai menjalankan hubungan internasionalnya, sehingga diakui sebagai negara berdaulat oleh masyarakat internasional. Masa awal studi HI di Korea Selatan, ditandai dengan berkurangnya pengaruh akademisi Jepang dan bertambahnya dominasi karya ilmiah pemikiran barat. Dan sejak tahun 1950, para sarjana Korea menggunakan teori-teori Barat untuk menganalisa hubungan internasional yang terjadi di Semenanjung Korea. Kurangnya jumlah intelektual dan drastisnya perkembangan studi HI, serta pecahnya Perang Korea membuat para sarjana Korea mulai berpikir bagaimana menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, seperti pembangunan negara, pembagian wilayah teritorial, dan kebijakan luar negeri.
Pengaruh Barat sangat kuat dalam perkembangan hubungan internasional Korea, hal itu pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab terbelakangnya teori hubungan internasional Korea. Meskipun para intelektual Korea mulai memperhatikan hal ini, dan mulai mengembangkan pemikiran mereka sendiri tanpa terpengaruh teori Barat, namun teori tersebut masih jauh tertinggal daripada teori Barat.
Kendala yang terjadi dalam Negara Korea, hampir serupa dengan kendala perkembangan hubungan internasional yang terjadi di India. Pengaruh Barat sangat kuat, dan selain itu, hampir mirip juga dengan kendala perkembangan hubungan internasional Cina, masyarakat India cenderung tidak tertarik untuk memperhatikan teori ini. Hubungan internasional dianggap tidak memiliki teori, tidak dapat dirubah, dan dapat dilihat begitu saja di media massa.
Masyarakat India, seperti masyarakat Cina, lebih tertarik untuk memperhatikan masalah Negara mereka; perekonomian, politik, atau infrastruktur. Dan kalaupun ingin mengembangkan sebuah teori hubungan internasional, India memiliki keterbatasan dalam hal dana, infrastruktur dan sebagainya. Dengan kata lain, India belum mampu untuk menanggapi hal selain mengembangkan negaranya terlebih dahulu.
Berbeda dengan kendala yang dialami Korea dan India yang sulit mengalami perkembangan karena terhambat oleh pengaruh mereka selama ini dengan Amerika, Indonesia justru mengalami hambatan dalam perkembangan teori hubungan internasional non-barat justru karena terlalu tergantung dan dibawah pengaruh negaranya sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pengaruh dominant etnik dalam Negara Indonesia, seperti etnik Jawa yang selama ini berperan dominan di Indonesia.
Pengaruh etnik, budaya dan suku dalam Negara Indonesia sangat rumit sehingga sulit untuk dikembangkan. Akan tetapi, dalam buku ini disebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teori hubungan internasionalnya sendiri, karena berdasarkan pengalamannya seperti pada masa Orde Baru, Indonesia terbukti memiliki keefektifan untuk menjadi Negara kuasa, selain itu SDM dan SDA-nya juga tersedia dalam jumlah banyak, dan takbanyak dimiliki oleh Negara-negara lain. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan kemudian adalah pengelolaannya. Oleh sebab itu, membicarakan mengenai teori hubungan internasional dalam perspektif Indonesia menarik untuk dibahas. Selain itu, factor relijius, khususnya Islam juga mempengaruhi sejarah perkembangan teori hubungan internasional dalam lingkup Negara Indonesia.
Selain yang telah saya jabarkan diatas, terdapat lagi beberapa uraian menarik menyangkut teori hubungan internasional non-barat ini. Seperti, pandangan dunia Islam mengenai teori hubungan internasional yang apabila dilihat juga memiliki potensi untuk menjadi teori hubungan internasional yang menjadi acuan dunia. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa apabila dikaitkan dengan agama, suatu teori akan bersifat sangat sensitive, tidak semua masyarakat internasional merupakan masyarakat penganut ajaran Islam, sehingga dalam perkembangannya, Islam akan sulit menjadi teori dunia.
 Buku ini memang memiliki keunggulan tersendiri, yakni mampu memaparkan masalah secara sistematis mulai dari teori, contoh kasus, simpulan, hingga preskripsi-preskripsi dan kritikan penulis itu sendiri dalam memandang masalah-masalah tersebut. Serta melengkapinya dengan memberikan contoh-contoh kasus sebagai contoh aplikasi dari teori yang bersifat abstrak.
Akan tetapi menurut saya, alangkah lebih baik apabila dalam penulisan buku ini, tidak hanya mengandung contoh yang signifikan, gaya bahasa yang mudah dipahami, kritik penulis dan alur cerita yang lengkap, tetapi juga mencantumkan solusi bagaimana menanggulangi masalah dalam bab-bab tersebut. Seperti; cara bagaimana agar teori hubungan internasional non barat ini dapat berkembang, dan tidak lagi mengalami keterbelakangan?.
Memang dalam beberapa bab, seperti bab yang membahas mengenai teori hubungan internasional dalam perspektif Negara Indonesia dicantumkan solusi mengenai cara agar teori hubungan internasional Indonesia dapat berkembang, yakni dengan mengelola lebih baik segala potensi yang berlebih dalam Negara Indonesia tersebut. Akan tetapi, menurut saya, solusi yang dijabarkan belum terlalu spesifik, dan tidak lengkap.

Jumlah kata : 2.704 kata


Did you ever got task about making "Critical Review"??? So. This is one of my critical review task example. I got this when i'm still sitting at 6th Semester on International Relation Studies. I hope this will help you also to understand how to make or doing your critical review task. Anyway, for short remembering, critical review is basically, just like resume or summary, but you must entering your critics or opinion on it. XoXo

CIRI SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)


CIRI-CIRI SISTEM EKONOMI CAMPURAN

a.      Kedua sektor ekonomi hidup berdampingan
Sebagaimana diketahui, dalam system perekonomian liberal semua kegiatan perekonomian dilakukan oleh pribadi-pribadi/swasta, bukan oleh pemerintah. Sebaliknya dalam perekonomian sosialis/komunis tidak ada sector swasta, sebab semua perusahaan milik  Negara, segala tindak tanduk ekonomi direncanakan dan dikontrol oleh Negara. Berbeda dengan kedua system tersebut, dalam perekonomian campuran kedua sector dapat hidup berdampingan. Dengan demikian ada kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh pribadi/swasta, dan sebagian lagi dikelola oleh pemerintah (seperti sector-sektor yang menyangkut kehidupan masyarakat; listrik, air, taman-taman kota, komunikasi, dsb.)
b.      Interaksi ekonomi terjadi di pasar
Walaupun interaksi ekonomi terjadi dipasar, namun dalam perekonomian campuran, pasar juga mengikut sertakan campur tangan pemerintah dengan berbagai kebijaksanaannya, misalnya ; untuk melindungi konsumen pemerintah menggunakan harga atas (celling price), dan untuk melindungi golonganprodusen pemerintah sering menggunakan kebijakan harga dasar (floor price)
c.       Persaingan dalam sistem campuran diperbolehkan
Persaingan didalam system ekonomi campuran memang diperbolehkan, tetapi gerak-geriknya diawasi agar tidak sampai mengarah kebentuk persaingan yang saling merugikan. Intinya, campurtangan pemerintah tidak lain untuk menyehatkan kehidupan ekonomi itu sendiri, seperti mencegah terjadinya penumpukan atau konsentrasi ekonomi ke satu tangan (monopoly), serta mencegah dan mengatasi kalau terjadi krisis ekonomi.
d.      Adanya  Campur Tangan Pemerintah 
Seperti yang telah dijelaskan di atas, walaupun interaksi ekonomi berada dipasar, serta diperbolehkan untuk saling bersaing, selalu ada campur tangan pemerintah didalamnya untuk mengawasinya. Namun, disetiap Negara yang menganut system ekonomi campuran juga dapat dibedakan lagi sesuai dengan seberapa kuat campur tangan pemerintah didalam system ekonomi campuran tersebut, misalnya; ada yang campur tangannya lemah berarti system perekonomian campurannya mendekati system liberal, sedang yang kuat mendekati system etatisme, sosialis/ komunisme. Hal tentang campur tangan pemerintah tersebut dipelopori oleh keinginan Keynes.


REFERENSI
Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Djojohadikusumo, Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Hansen, Alvin H. A Guide to Keynes. New York: McGraw-Hill Book Company, 1953.

SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)


DEFINISI SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)

Kata ekonomi campuran (mixed economy) itu sendiri, timbul pertama kali dalam debat politik di Inggris pada masa sesudah perang, namun para pendukung dari sistem ekonomi ini telah ada setidaknya mulai tahun 1930-an. Pendukung ekonomi campuran antara lain R.H. Tawney, Anthony Crosland dan Andrew Shonfield dimana mereka berasal dari Partai Buruh Inggris, pandangan yang sama juga dikemukakan oleh anggota Partai konservatif yaitu Harold MC Millan.
Sistem ekonomi Campuran adalah sistem ekonomi yang mengkombinasikan lebih dari satu sistem ekonomi. Oleh karena itu biasanya sistem ekonomi yang mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan negara atau dengan kata lain mengkombinasikan elemen-elemen dari kapitalisme dan sosialisme atau campuran dari karakteristik ekonomi pasar dan ekonomi komando. Dengan kata lain, sistem ekonomi campuran adalah Sistem ekonomi campuran merupakan dari sistem ekonomi pasar dan terpusat, dimana pemerintah dan swasta saling berinteraksi dalam memecahkan masalah ekonomi.
Umumnya penggunaan sistem itu lebih karena ideologi dan keyakinan. Semua sistem ada kekuatan dan kelemahannya, tergantung penerapannya saja. Namun pada kenyataannya, tidak ada satupun Negara yang menganut paham liberal seratus persen, dimana segala sesuatunya diserahkan pada orang-per-orangan, juga tidak ada Negara yang murni menganut system sosialis/komunis, dimana segala sesuatu serba diatur dan dikendalikan oleh otoritas pusat.
Contoh untuk itu sangat banyak. Inggris misalnya, walau sering dikategorikan sebagai penganut system liberal, tetapi system di negara Inggris ini juga memperlihatkan ciri/watak sosialis (misalnya, kuatnya kedudukan partai labor). Hal yang sama berlakunya untuk Australia. Bahkan Negara Amerika Serikat sekalipun tidak menganut system liberal (pasar bebas) seratus persen. Di Amerika Serika juga ada perencanaan ekonomi. Jalan-jalan dan jembatan, serta taman-taman kota disediakan oleh pemerintah, bahkan pendidikan juga geratis hingga tingkat sekolah menengah.
Di Pihak lain, Negara-negara yang menganut paham sosialis/ komunis, kehidupan masyarakatnya juga tidak sepenuhnya sama rata sebagaimana yang telah dicanangkan oleh tokoh-tokoh sosialis. Orang-orang yang berprestasi biasanya akan memperoleh pelayanan yang lebih lumayan dan tinggal di apartemenyang lebih baik. Disana-sini kebebasan individu juga diakui. Misalnya dibekas Uni Soviet, walau sebagian besar pekerjaan ditentukan Negara, tetapi masyarakat ada juga yang menabung, menerima bunga atas tabungan tersebut, orang bebas membeli barang-barang yang disediakan oleh Negara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa diantara kedua bentuk ekstrem system ekonomi yang disebutkan di atas, ada bentuk tengah yang disebut system perekonomian campuran (mixed economy).

SEJARAH SISTEM EKONOMI CAMPURAN

Sejarah Sistem Ekonomi Campuran
Awalnya aliran system ekonomi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : komunis dan kapitalis, namun sejak munculnya perang dingin antara blok kapitalis dan komunis yang berakhir secara simbolis dramatis dengan robohnya tembok Berlin pada 9 November 1989 (ingat lagu Wind of Change by Scorpion) diikuti bangkrutnya Uni Soviet yang kini terpecah menjadi beberapa negara.
Negara-negara blok komunis menerapkan ekonomi terpusat dengan alasan ideologi dan keyakinan bahwa sistem itu akan lebih menjamin pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun terbukti kemudian bahwa sistem itu gagal sebagaimana berakhirnya perang dingin.
Setelah perang dingin berakhir, sistem ekonomi terpusat jarang diterapkan secara utuh. Alternatifnya adalah sistem ekonomi campuran (mix economy) yang menerapkan sistem ekonomi terpusat pada sektor tertentu, dikombinasikan dengan sistem ekonomi pasar pada sektor lainnya. Contoh terbaik mix economy adalah China yang membuka kawasan ekonomi khusus seperti Guangzhou dan Shenzen yang menerapkan ekonomi pasar. Di luar kawasan ekonomi khusus, yang dipakai adalah sistem ekonomi terpusat. Slogannya, tak penting kucingnya berwarna apa, yang penting bisa menangkap tikus (Deng Xiao Ping).
Langkah yang sama dilakukan negara seperti Vietnam. Yang masih ketat menggunakan ekonomi terpusat tampaknya tinggal Kuba. Tapi, semakin hari Kuba kian mendekati sistem campuran.
Ada juga yang sistem ekonomi pasarnya bergeser menjadi campuran, seperti Venezuela di bawah Hugo Chavez sekarang.

CIRI-CIRI SISTEM EKONOMI CAMPURAN

Ciri dari sistem ekonomi campuran adalah :  
  1. Merupakan gabungan dari sistem ekonomi pasar dan terpusat
  2. Barang modal dan sumber daya yang vital dikuasai oleh pemerintah
  3. Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan membuat peraturan, menetapkan kebijakan fiskal, moneter, membantu dan mengawasi kegiatan swasta.
  4. Peran pemerintah dan sektor swasta berimbang.
Jika dipaparkan, maka perbedaan antara system ekonomi pasar, tradisional, terpusat, dan campuran adalah sebagai berikut :

tradisional
Terpusat
Pasar
Campuran
Kepemilikan sumber daya
Individu
Pemerintah
Swasta
Pemerintah dan swasta
Harga
Belum ada perdagangan
Pemerintah
Mekanisme pasar
Pemerintah bisa mengintervensi
Persaingan
tidak ada
Tertutup
Terbuka/Bebas
Terbuka bagi industri swasta
Kepemilikan Individu
ada
Tidak ada (sangat kecil)
Ada
ada



 DERAJAT CAMPUR TANGAN PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN

Derajat campur tangan pemerintah dapat dibedakan atas: lunak dan keras. Campur tangan yang lunak berarti bahwa pemerintah sifatnya hanya memberikan gambaran persepektif saja, sedangkan yang sifatnya keras berarti bahwa pemerintah sifatnya lebih menyeluruh,  termasuk didalamnya mengatur dan merencanakan kegiatan-kegiatan ekonomi seperti aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi untuk semua sector ekonomi.
   Campur tangan pemerintah ada yang dilakukan hanya dalam bentuk proyeksi-proyeksi dan peramalan (forecasting),ada juga yang melakukan perencanaan melalui mekanisme pasar serta perencanaan target fisik dibidang produksi. Selain itu pemerintah selain bertindak sebagai pengatur, juga bermaksud untuk mengalokasikan sumber-sumber produktif secara efisien dan lebih terarah.
   Jika dilihat sejarah tentang kekuasaan dan aktivitas pemerintah, ada Negara yang menggunakan kekuasaan sangat besar (contohnya: pada era Mesir Kuno di bawah pemerintahan Firaun; Jerman dibawah Hitler; Italia dibawah Mussolini, dan Rusia dibawah Stalin), dan ada pula yang menggunakan kekuasaan secara minimum (contohnya: masyarakat Yunani dibawah Aristoteles; Roma dibawah Markus Aurelius Antonius; dan Amerika Serikat sebelum Reagan).
   Awal campur tangan pemerintah yang kuat dalam perekonomian terjadi pada masa pertengahan, terutama pada masa kejayaan merkantilisme. Pada era ini pemerintah memegang peran sangat kuat dalam mengatur perekonomian. Misalnya, untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri, pemerintah menetapkan biaya masuk yang tinggi. Biaya masuk yang sifatnya proteksionis semakin luas digunakan hingga akhir abad ke-19, dan sudah menjadi sesuatu yang “umum” pada abad ke-20.
   Pada masa sekarang, berbagai peraturan tentang tarif angkutan kereta api dan angkutan-angkutan publik lain semakin banyak digunakan di berbagai Negara. Peraturan tentang moneter dan perbankan sudah menjadi barang lumrah. Pada masa Perang Dunia (pertama dan kedua), masyarakat semakin familiar dengan control harga, rationing dan penetapan-penetapan prioritas. Bahkan pada era “Globalisasi” seperti sekarang ini pemerintah Amerika Serikat juga sering melakukan berbagai campur tangan untuk melindungi industry dalam negerinya.
   Di Amerika Serikat campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara cukup jelas dapat dilihat, misalnya, dari Employmenr Act 1946 yang berbunyi sebagai berikut :

            “The congress declares that it is the continuing responsibility of the Federal Government to use all predictable means…for the purpose of creating
and maintaining… conditions under which there will be afforded useful employment opportunities”

PRO DAN KONTRA TENTANG CAMPUR TANGAN PEMERINTAH 

Mengenai campur tangan pemerintah itu sendiri, sebenarnya  penuh dengan pro dan kontra. Pemikir-pemikir sosialis seperti Marx, Proudhon dan Plato termasuk yang menginginkan adanya campur  tangan pemerintah dalam perekonomian. Sebaliknya, Smith dan pemikir-pemikir neo-klasik seperti; Carl Menger, Friedrich von Hayek, Ludwig von Mises dan sebagainya menginginkan agar campur tangan pemerintah dibatasi seminim mungkin dalam perekonomian.
Kelompok yang paling anti dengan campur tangan pemerintah adalah kelompok yang dinamai libertanias, yang menganggap bahwa kemerdekaan individu adalah diatas segala-galanya. Dengan kata lain, bagi mereka campur tangan pemerintah dipandang sebagai ancaman terhadap kebebasan individu, dan karena itu perlu ditentang.
Diantara kedua ekstrem tersebut ada pakar yang percaya bahwa perekonomian dapat diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi disana sini ada campur tangan pemerintah. Kelompok ini diwakili oleh Keynes dan pendukung-pendukungnya. Keyenes paling vocal dalam menyarankan agar pemerintah ikut campur dalam perekonomia, terutama jika system pasar gagal membawa perekonomian pada tujuan yang dicitakan. Keynes mengatakan bahwa kebijaksanaan fiscal dan moneter bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya jikasektor swasta tidak bergairah, maka perekonomian bisa dirangsang dengan kebijaksanaan uang mudah (easy money) atau meningkatkan pengeluaran pemerintah. Jika perekonomian berjalan lancer maka keputusan-keputusan ekonomi dapat diserahkan pada swasta, dan pemerintah tinggal menjaga agar tingkat full-employment tercapai. Kebijaksanaan moneter diperlukan untuk merangsang perekonomian saat mengalami kemandekan, dan sebaliknya juga bisa digunakan untuk mengurangi aktivitas ekonomi jika perekonomian “memanas” dan inflasi terlalu tinggi.
Selain Keynes, banyak sekali yang juga pro terhadap adanya campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar bebas. Diantaranya, yaitu; Eurico Barone (1857-1924), seorang pakar ekonomi dari Itali. Baron berpendapat bahwa harga yang ditetapkan oleh pemerintah dapat dijadikan sebagai subtitusi yang baik terhadap harga yang ditentukan lewat mekanisme pasar.
Selain itu, pakar lain yang perlu dimasukkan kedalam golongan yang pro adalah John Kenneth Galbraith (1908-1958) yang telah menulis banyak buku, seperti ;The Affluent Society (1958), The new Industrial State (1967) dan Economic and The Affluent Society, yang menyerang teori yang dianggap berlaku umum tentang pertumbuhan ekonomi dan produksi, ia juga membuat sketsa didalam bukunya tentang masyarakat yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan para technostructure yang ada dibelakangnya, dan ia juga mengkritik barang-barang public yang dihasilkan oleh perusahaan swasta. Singkatnya, buku-buku yang ditulis Galbraith berisi tentang kritik atas masyarakat Amerika beserta nilai-nilai yang dianut saat itu, dan galbraith menghimbau dilakukannya perubahan yang mendasar tentang tujuan akhir yang siinginkan tercapai melalui berbagai aktivitas-aktivitas ekonomi.
Galbraith menyarankan agar ada semacam “sosialisme baru” yang lebih memeratakan pendapatan dan kesejahteraan Agar perekonomian kembali bertujuan lebih manusiawi.
Sebagai dampak dari ajaran Keynes dan juga Gaibraith serta tokoh-tokoh yang lainnya, maka banyak Negara-negara maju termasuk Amerika Serikat, mulai melakukan perencanaan-perencanaan ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari kenyataan bahwa anggaran-anggaran semakin naik saja, hal itu disebabkan untuk memajukan daerah-daerah yang relative tertinggal, seperti memajukan pertanian, pedesaan dan sebagainya.
Tetapi kecendrungan seperti itu tidak bertahan lama, karena pemikir-pemikir sesudah era Keynes menginginkan agar keterlibatan pemerintah dan perekonomian hanya dipergunakan seperlunya saja, seminimal mungkin dan memberi kebebasan yang lebih besar kepada pihak swasta


REFERENSI 

Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Djojohadikusumo, Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Hansen, Alvin H. A Guide to Keynes. New York: McGraw-Hill Book Company, 1953.

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...