Senin, 03 November 2014
P. De Grauwe dan F. Camerman: How Big Are the Big Multinational Companies? VS ROBERT GILPIN
LIBERALISME (one of the famous perspective in international relations studies!)
Beberapa pekan saya cukup sibuk dengan masalah personal, pencocokan dengan tempat dan suasana baru, juga rutinitas baru di S2 UGM yang woah pokoknya ga bisa di deskripsikan dengan kata-kata.
Oke... nah awal semester ini, kami dibukakan kembali memory mengenai Perspektif-Perspektif yang ada dalam Studi Hubungan Internasional, namun kali ini mungkin sedikit "lebih" diperdalam.
Kebetulan, saya mendapat bagian membahas "LIBERALISME" yang so so... often diperdengarkan sejak zaman S1 dulu. Kali ini saya me-review dari buku Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, dan Jacqui True, yaitu “Theories of International Relations”.
So...bagi yang sedang merambah buku ini, mudah-mudahan bisa bit helping.
Dan... buat sedikit tambahan, saya juga mencantumkan contoh kasus~
“LIBERALISME”
Rabu, 13 Agustus 2014
Seminar: Are You with the Right Partner?
ARE YOU WITH THE RIGHT PARTNER?
During a seminar, a woman asked,” How do I know if I am with the right person?”
The author then noticed that there was a large man sitting next to her so he said, “It depends. Is that your partner?”
In all seriousness, she answered “How did you know?”
"Let me answer this question because the chances are good that it’s weighing on your mind." replied the author.
Here’s the answer:
Every relationship has a cycle… In the beginning; you fall in love with your partner. You anticipate their calls, want their touch, and like their idiosyncrasies. Falling in love wasn’t hard. In fact, it was a completely natural and spontaneous experience. You didn’t have to DO anything. That’s why it’s called “falling” in love.
People in love sometimes say, I was swept of my feet. Picture the expression. It implies that you were just standing there; doing nothing, and then something happened TO YOU.
Falling in love is a passive and spontaneous experience. But after a few months or years of being together, the euphoria of love fades. It’s a natural cycle of EVERY relationship.
Slowly but surely, phone calls become a bother (if they come at all), touch is not always welcome (when it happens), and your spouse’s idiosyncrasies, instead of being cute, drive you nuts. The symptoms of this stage vary with every relationship; you will notice a dramatic difference between the initial stage when you were in love and a much duller or even angry subsequent stage.
At this point, you and/or your partner might start asking, “Am I with the right person?” And as you reflect on the euphoria of the love you once had, you may begin to desire that experience with someone else. This is when relationships breakdown.
The key to succeeding in a relationship is not finding the right person; it’s learning to love the person you found.
People blame their partners for their unhappiness and look outside for fulfillment. Extramarital fulfillment comes in all shapes and sizes.
Infidelity is the most common. But sometimes people turn to work, a hobby, friendship, excessive TV, or abusive substances. But the answer to this dilemma does NOT lie outside your relationship. It lies within it.
I’m not saying that you couldn’t fall in love with someone else. You could. And TEMPORARILY you’d feel better. But you’d be in the same situation a few years later.
Because (listen carefully to this)
The key to succeeding in a relationship is not finding the right person; it’s learning to love the Person you found.
SUSTAINING love is not a passive or spontaneous experience. You have to work on it day in and day out. It takes time, effort, and energy. And most importantly, it demands WISDOM. You have to know WHAT TO DO to make it work. Make no mistake about it.
Love is NOT a mystery. There are specific things you can do (with or without your partner), just as there are physical laws of the universe (such as gravity), there are also laws for relationships. If you know how to apply these laws, the results are predictable.
Love is therefore a “decision”. Not just a feeling.
Remember this always: the universe determines who walks into your life. It is up to you to decide who you let walk away, who you let stay, and who you refuse to let go!
Selasa, 25 Maret 2014
(Contoh) Critical Review
Didalam
buku “Non-Western International Relations
Theory – Perspectives on and beyond Asia” saduran Amitav Acharya dan Barry
Busan mencoba memperkenalkan seperti judulnya, yakni ; adanya teori hubungan
internasional non-barat yang mengangkat perspektif dalam ruang lingkup Asia . Bagaimana teori ini bertahan dalam serangan teori
barat, dan memperkenalkan apa itu teori hubungan internasional bukan barat?.
Buku ini terdiri atas 10 bab, yang secara garis besar dapat saya gambarkan
sebagai berikut:
Dimulai
dengan bab pertama yang menyebutkan bahwa penulis buku ini terinspirasi oleh
pemikiran Martin Wight (1966: 20) yang membahas mengenai “mengapa tidak ada
teori hubungan internasional”. Wight membahas mengenai apa itu teori hubungan
internasional? Mengapa begitu penting? Apa pengaruhnya? Dan ia juga mengkritik
bahwa pemahaman mengenai teori hubungan internasional ini masih sangat rendah,
dan letaknya masih kabur dan tidak sistematis. Oleh karena itu, Wight melakukan
perbandingan terhadap dua teori dalam melakukan penelitian tersebut , yakni
teori politik dan teori internasional.
Dalam
buku saduran Acharya dan Busan ini juga membahas mengenai “tidak adanya teori
hubungan internasional” dan juga ikut membahasnya melalui jalur yang dilakukan
Wight, akan tetapi dalam buku ini lebih mengarah kepada jalur teori politis.
Dan pembahasannya juga lebih spesifik, mengarah kepada teori hubungan
internasional non-barat.
Dalam
pemikiran Wight juga terpusat kepada pesan bahwa teori hubungan internasional
merupakan teori yang menjadi acuan aturan dalam tujuan untuk memperoleh kemajuan
hidup yang baik. Teori ini muncul berdasarkan faktor historis / sejarah /
pengalaman suatu Negara, seperti ; perang. Perang dipercaya sebagai suatu
konflik yang terjadi berulang, dengan kata lain, segala kejadian yang terjadi
dalam dunia internasional dipercaya Wight sebagai suatu hal yang pernah terjadi
sebelumnya, dan oleh sebab itu proses penangannannya juga tidak berbeda jauh. Hal
ini berlaku juga dengan keadaan internasional yang lainnya, semuanya berkaitan
dengan kejadian historis.
Dimulai
dengan pembahasan mengenai apa itu teori hubungan internasional non-barat, apa
kaitannya dengan teori hubungan internasional barat, dan apa penyebab gagalnya
teori ini berkembang menjadi teori hubungan internasional yang bersifat global.
Dan
dalam buku ini dinyatakan bahwa pemikiran Wight merupakan sebuah pemikiran yang
bersifat umum, dan terjadi dominan hanya dalam ruang lingkup Negara-negara
Barat, tanpa memperhatikan sebenarnya terdapat hubungan internasional lain,
seperti di Negara-negara Timur, yang apabila dikaji memiliki suatu kerumitan
dan bersifat lebih kompleks, dan perbedaan ini penting untuk dipahami, karena
banyak sekali faktor-faktor besar lainnya yang dapat mempengaruhi teori
hubungan internasional ini, selain faktor-faktor dalam perspektif dunia Barat.
Dalam teori hubungan internasional Barat,
mereka tidak memperhatikan ada sumber lain selain sejarah seperti ; Thucydides,
Hobbes, Machiavelli, Kant dan
sebagainya, padahal sebenarnya ada faktor lain yang juga memiliki pengaruh kuat
dalam hubungan internasional suatu Negara. Dalam hal ini, teori hubungan
internasional yang berkembang di Asia-Pasifik adalah teori-teori yang bersifat
relijius, klasik, politik, ataupun militer, seperti ; pengaruh ajaran
Konfusius, Kaultia dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan contoh misalnya
pada tahun 1980-1990an, gagasan dan
pikiran paham Konfusianisme tentang communitarianism
sering dikutip sebagai basis dari suatu perspektif 'Nilai-Nilai Asia', paham
ini berkembang dan mempengaruhi mayoritas masyarakat Asia, dan terbukti mampu
membentengi mereka dari pengaruh serangan liberal barat.
Dan
mengapa penulis memilih Negara Timur sebagai perbandingan dengan Barat, karena
Negara-negara Timur juga memiliki kekuatan-kekuatan besar pada masanya, dan
saat ini Negara-negara Timur tengah memacu perkembangan Negara-negara Barat. Selain
itu, jika dilihat dalam faktor historis, Negara-negara Timur memiliki
pengalaman dan sejarah panjang mengenai pengembangan negaranya. Selain itu,
didalam buku ini juga dibahas mengenai adanya teori hubungan internasional
Islam atau berdasarkan perspektif Negara Timur Tengah. Negara ini juga penting
mendapatkan perhatian apabila dilihat dari kepemilikan sejarahnya yang panjang.
Beberapa
ahli / pemikir teori hubungan internasional mengatakan bahwa, meskipun kuat
pengaruh hubungan internasional non-barat ini, teori ini tetap tidak dapat
berkembang, dikarenakan kendala-kendala, salah satunya yakni ; kendala bahasa.
Seperti yang kita ketahui, Negara Barat memiliki peran / kuasa dominan dalam
dunia internasional, bahasa yang digunakan juga dominan merupakan bahasa asing
Negara Barat, seperti ; Inggris. Oleh sebab itu, proses pengenalan teori
hubungan internasional Barat lebih mudah dan lancer daripada proses pengenalan
teori hubungan internasional non-barat, sehingga walaupun ada, teori hubungan
internasional non-barat ini masih tersembunyi oleh dominannya teori hubungan
internasional barat. Selain itu, secara historis / perkembangannya teori
hubungan internasional barat lebih bersifat umum / universal, berbeda dengan teori hubungan internasional non barat
yang umumnya hanya berlaku kepada Negara itu saja.
Misalnya
dalam pandangan Negara Cina terhadap dunia. Dalam memandang dunia, Cina membagi
dua fokus perhatian, yakni kepercayaan Maoisme dan paham doktrin Nixon, yang keduanya
menyebutkan / memberikan keyakinan pada masyarakat Cina bahwa segala kebijakan
dan tindakan yang dibuat akan selalu mendapatkan balasan / dampak dari Yang
Maha Kuasa, hal ini tentu saja berbeda dengan teori Barat yang lebih mengarah kepada
cara mereka memahami dunia bahwa segala yang terjadi selalu berkaitan dengan
ilmu pengetahuan.
Akan
tetapi dalam perkembangannya, Negara Cina kemudian berkembang dan memiliki
citra yang patut diperhatikan dalam dunia Internasional. Cina mulai menjadi
Negara besar dan tidak dapat diremehkan. Oleh sebab itu, sejarah dan segala
tentang Cina kemudian menarik untuk diperbincangkan. Banyak Negara ingin
berhasil seperti Cina. Dan masyarakat Cina juga berkembang menjadi masyarakat
intelektual dan telah bertaraf internasional, banyak anak bangsanya telah
belajar dinegara Barat, menguasai bahasa internasional, dan malah menerbitkan
buku-buku penting bagi dunia internasional. Oleh sebab itu, apabila dikaitkan
dengan pernyataan sebelumnya, mengenai ‘teori hubungan internasional non-barat
masih tersembunyi karena masalah bahasa’, sebenarnya sudah bukan alasan kuat
lagi. Dan dalam bab buku ini disebutkan, 3 alasan baru mengenai mengapa teori
hubungan internasional non-barat, khususnya dalam perspektif Negara Cina belum
muncul / tidak berkembang hingga saat ini, yaitu :
- Tidak
adanya suatu kesadaran akan internasionalisme tetapi tetap bertahan dengan
system anak sungai
Dalam pikiran intelektual tradisional Cina,
internasionalisme bukanlah sesuatu yang melekat di dalam diri masyarakat. Hal
ini dikarenakan masyarakat China
berpandangan bahwa konsep dunia ataupun Negara merupakan sesuatu yang luas,
tidak terbatas dan tidak boleh melibatkan ego seseorang di dalamnya karena
kekaisaran merupakan pusat dari Negara itu sendiri
Pandangan ini dipraktekkan dalam sistem anak sungai
yang merupakan sistem terpusat dan diatur oleh kaisar Cina dari tahun 221 SM ke
awal 1800-an. Kekaisaran Cina memegang dominasi kekuasaan, menjaga stabilitas
dan menyediakan mekanisme untuk interaksi antara negara-negara. Sistem
berlangsung tanpa banyak perubahan selama 2.000 tahun. Cina, sebagai negara
yang paling kuat dan paling maju di wilayah ini, memainkan peran besar dalam
menjaga perdamaian dan perdagangan, menyediakan barang publik dan mengatur sistem.
Sistem yang berkembang di China memiliki ciri yang menekankan
pada perbedaan status sosial. Perbedaan status merupakan prinsip penataan
sistem sungai yang berkembang di China . Sistem ini menekankan bahwa China
merupakan pusat pemerintahan dan keberadaan Negara lain bukanlah sesuatu yang
penting. Hal ini diperkuat oleh pemikiran Konghucu mengenai pengertian 'negara'
yang di definisikan sebagai sebuah “keluarga. Sehingga Negara dapat
dikategorikan sebagai keluarga besar.
Sistem semacam ini tidak memiliki ruang untuk
kehidupan internasional. Selain itu masyarakat China tidak memiliki kesadaran
dalam menata kehidupan internasional sehingga teori yang menyangkut hubungan
internasional dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak penting untuk
dikembangkan.
- Terlalu
dominannya teori Barat
Dalam
kepercayaan Cina terhadap hal relijiusnya yang berpengaruh terhadap Negaranya,
terdapat suatu kendala untuk mewujudkannya menjadi suatu teori hubungan
internasional dunia, yakni ; bahwa pemikiran Cina tersebut tidak banyak dimengerti
terutama oleh orang-orang bukan Cina, tidak mengerti sejarah Cina, atau
penganut ajaran Cina tersebut. Sehingga mereka akan kesulitan memahami apa yang
sering disebut Cina sebagai kaitan manusia-alam-dan dunia diatas mereka. Hal
ini pernah diuji cobakan pada abad ke-19, ketika Negara Cina mengalami
modernisasi tepatnya setelah terjadinya Perang Opium (masuknya obat-obatan
terlarang ke Cina), dan teori hubungan internasional barat mulai diketemukan
dengan teori hubungan internasional Cina, akan tetapi usaha mempersatukan
keduanya gagal, karena hal yang disebutkan tadi.
- Kurangnya
bantuan teoritis inti yang keras
Inti
keras yang dimaksudkan disini adalah suatu pendukung yang memiliki pengaruh
kuat dalam suatu teori untuk mendukung teori tersebut. Oleh sebab itu, inti
keras ini sangat penting bagi berdirinya suatu teori. Dan dalam hal ini,
tradisi Cina memiliki inti keras yang sangat jauh berbeda komponennya dengan
teori hubungan internasional.
Akan
tetapi seiring perkembangan zaman, para pemikir Cina mulai menunjukkan semangat
mereka untuk membangun kembali jati diri masyarakat Cina yang sempat hilang.
Bebrbagai studi hubungan internasional dikembangkan oleh intelektual Cina
tersebut, teorinya kemudian didiskusikan menggunakan sudut pandang para pemikir
Cina tersebut.
Selain
itu, masyarakat Cina dianggap masih meraba-raba atau ragu akan prinsip hubungan
internasional ini, karena berbeda proses pemikiran. Akan tetapi, penulis buku
ini menganggap bahwa masalah sebenarnya mengapa tidak ada teori hubungan internasional
Cina adalah karena hubungan Negara Cina itu sendiri yang tidak pernah baik
dengan masyarakat internasional sejak 150 tahun yang lalu. Terutama pada decade
1840 dan 1980, hubungan Cina dengan dunia internasional semakin buruk dan tidak
ada upaya atau solusi dalam memperbaiki kerenggangan hubungan tersebut. Perang
Dingin, dan masalah idiologi juga turut menyumbangkan terjadinya kesulitan
hubungan Cina dengan masyarakat internasional, oleh sebab itu apabila Cina
ingin kemudian dipertimbangkan menjadi suatu teori hubungan internasional
tersendiri, maka terlebih dahulu ia harus ikut bergabung dalam komunitas
masyarakat / dunia internasional.
Selain
itu Jepang juga merupakan Negara yang patut dipertimbangkan teori hubungan
internasionalnya, karena pada prinsipnya, Negara-negara kuasa sering
menghasilkan teori hubungan internasional. Dan Jepang, merupakan Negara yang
diakui memiliki kuasa terutama dibidang ekonomi dunia, semenjak berakhirnya
Perang Dunia II.
Akan
tetapi, sebagai Negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah AS,
perkembangan teori hubungan internasional Jepang menjadi terhambat oleh
kekuatan AS yang terlalu besar.
Namun,
menarik untuk dibahas mengenai perkembangan teori hubungan internasional Jepang
ini. Dan dalam buku ini, perkembangan teori hubungan internasional Jepang
dimulai dari tahun 1868 hingga 2005, dan terbagi atas beberapa periode, yakni :
1.
Periode yang muncul
setelah 1945
Pada
periode ini, Jepang terpengaruh kepada militer dan kolonialisasi, periode ini
sebenarnya telah muncul pada tahun sebelum 1945, akan tetapi semakin menguat
ketika setelah 1945. Pengaruh militer ini sangat besar dan terlihat dalam
setiap corak masyarakat Jepang, termasuk dalam pengambilan suatu keputusan
Negara, selalu memiliki pengaruh dengan militer dan kolonialisasi. Kepentingan
Negara akan alat-alat perang juga semakin meningkat pada decade setelah 1945.
Militer otomatis menjadi sebuah tradisi, proses pembelajaran di Jepang saat itu
juga berpusat kepada tujuan militer, bukan kepada social dan lain sebagainya.
2.
Periode Marxisme (1920)
Tradisi
Marxisme ini sangat kuat pada decade 1920 hingga 1960-an, Tradisi ini dihubungkan dengan konsepsi ilmu social
“Oposisi Swissen Schaft” atau ilmu pengetahuan oposisi. Pada saat itu, Jepang
berdasarkan Marxismenya memberikan/menyampaikan analisa politisnya dengan
memberikan suatu pewarnaan kritis kepada pengamatan atas peristiwa politis dan
pengenalan penyimpangan yang meninjau idiologis. Decade Marxis ini sering juga
digambarkan sebagai periode shakai kagaku
(ilmu social) bagi masyarakat Jepang.
Pada 1960, perkembangan paham Marxis ini semakin melebar, terbukti
dengan jabatan-jabatan Negara saat itu didominasi oleh penganut-penganut
fanatic Marxis atau para sarjana beraliran Marxis. Segala kebijakan baik
politik, ekonomi maupun hubungan internasional Jepang saat itu berdasarkan
pemikiran Marxisme. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, pengaruh kuat
Marxis mulai mengendur, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak
penganut Marxis berubah haluan menjadi post-marxis, post-modernism, ataupun
feminism. Masyarakat Jepang mulai semakin kritis dan mulai memiliki pemikiran
sendiri-sendiri.
3.
Tradisi Historis
Tradisi
ini bertahan hingga saat ini, tradisi historis merupakan tradisi yang
mempercayai dan memberikan perhatian kepada aspek sejarah Negara. Dalam hal
ini, hubungan internasional Jepang mulai dikaitkan kepada pengetahuan terhadap
sejarah literature perkembangan Jepang selama ini. Oleh sebab itu, peran
sejarawan Jepang meningkat pada periode ini. Mereka dipercaya sebagai sumber
pengetahuan dan informasi Jepang.
Beralih
kepada teori hubungan internasional dalam perspektif Korea ,
para pemikir intelektual Korea
memiliki pemahaman sendiri-sendiri dalam menganalisa
politik regional dan hubungan antar dinasti, nilai moral tertanam sangat kuat
dalam diri mereka. Akan tetapi mereka kurang memahami konsep ilmu sosial
positif. Sehingga Korea
mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sistem internasional modern dalam
masa transisi (1876-1910).
Kesulitan beradaptasi ini bagi Caesung
Chun disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
karena tradisi dan norma kekuasaan kaisar menjadikan para sarjana Korea sulit
memahami sistem internasional modern, terutama konsep persamaan kedaulatan dan
politik non intervensi. Kedua, karena
adanya kesenjangan antara nilai-nilai normatif dan hukum dari suatu sistem
internasional, dengan kenyataan yang terjadi di dunia internasional. Invasi
yang terjadi terhadap teritorial Korea , membuktikan bahwa hukum
tidak bisa menjamin kedaulatan pada saat itu. Dan Ketiga, Korea
mengadopsi sistem negara modern bertepatan dengan masa imperialis barat. Bagi
para imperialis, kedaulatan nasional hanya milik negara kuat, dan keadaan Korea
pada saat itu tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai negara berdaulat. Hal
ini dibuktikan dengan sia-sianya perwakilan Korea
pada Konferensi Perdamaian Den Haag (1907) dan Versailles (1919), karena yang dihadapi dalam
pertemuan tersebut adalah negara-negara imperialis.
Akan tetapi hubungan internasional Korea
tidak dapat dikatakan tidak berjalan, karena sejak tahun 1945 Korea yang bebas
dari jajahan Jepang dan imperialis Barat yang menjajah sebelum Jepang, mulai
menjalankan hubungan internasionalnya, sehingga diakui sebagai negara berdaulat
oleh masyarakat internasional. Masa awal studi HI di Korea Selatan, ditandai
dengan berkurangnya pengaruh akademisi Jepang dan bertambahnya dominasi karya
ilmiah pemikiran barat. Dan sejak tahun 1950, para sarjana Korea menggunakan teori-teori Barat untuk
menganalisa hubungan internasional yang terjadi di Semenanjung Korea .
Kurangnya jumlah intelektual dan drastisnya perkembangan studi HI, serta
pecahnya Perang Korea membuat para sarjana Korea mulai berpikir bagaimana
menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, seperti pembangunan negara,
pembagian wilayah teritorial, dan kebijakan luar negeri.
Pengaruh Barat sangat kuat dalam
perkembangan hubungan internasional Korea ,
hal itu pulalah yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab terbelakangnya
teori hubungan internasional Korea .
Meskipun para intelektual Korea
mulai memperhatikan hal ini, dan mulai mengembangkan pemikiran mereka sendiri
tanpa terpengaruh teori Barat, namun teori tersebut masih jauh tertinggal
daripada teori Barat.
Kendala yang terjadi dalam Negara Korea , hampir
serupa dengan kendala perkembangan hubungan internasional yang terjadi di
India. Pengaruh Barat sangat kuat, dan selain itu, hampir mirip juga dengan
kendala perkembangan hubungan internasional Cina, masyarakat India cenderung tidak tertarik
untuk memperhatikan teori ini. Hubungan internasional dianggap tidak memiliki
teori, tidak dapat dirubah, dan dapat dilihat begitu saja di media massa .
Masyarakat India , seperti masyarakat Cina,
lebih tertarik untuk memperhatikan masalah Negara mereka; perekonomian,
politik, atau infrastruktur. Dan kalaupun ingin mengembangkan sebuah teori
hubungan internasional, India
memiliki keterbatasan dalam hal dana, infrastruktur dan sebagainya. Dengan kata
lain, India
belum mampu untuk menanggapi hal selain mengembangkan negaranya terlebih dahulu.
Berbeda dengan kendala yang dialami Korea dan India
yang sulit mengalami perkembangan karena terhambat oleh pengaruh mereka selama
ini dengan Amerika , Indonesia justru mengalami hambatan
dalam perkembangan teori hubungan internasional non-barat justru karena terlalu
tergantung dan dibawah pengaruh negaranya sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud
adalah pengaruh dominant etnik dalam Negara Indonesia ,
seperti etnik Jawa yang selama ini berperan dominan di Indonesia .
Pengaruh etnik, budaya dan suku dalam
Negara Indonesia
sangat rumit sehingga sulit untuk dikembangkan. Akan tetapi, dalam buku ini
disebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teori hubungan
internasionalnya sendiri, karena berdasarkan pengalamannya seperti pada masa
Orde Baru, Indonesia terbukti memiliki keefektifan untuk menjadi Negara kuasa,
selain itu SDM dan SDA-nya juga tersedia dalam jumlah banyak, dan takbanyak
dimiliki oleh Negara-negara lain. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan kemudian
adalah pengelolaannya. Oleh sebab itu, membicarakan mengenai teori hubungan
internasional dalam perspektif Indonesia
menarik untuk dibahas. Selain itu, factor relijius, khususnya Islam juga
mempengaruhi sejarah perkembangan teori hubungan internasional dalam lingkup
Negara Indonesia .
Selain yang telah saya jabarkan diatas, terdapat
lagi beberapa uraian menarik menyangkut teori hubungan internasional non-barat
ini. Seperti, pandangan dunia Islam mengenai teori hubungan internasional yang
apabila dilihat juga memiliki potensi untuk menjadi teori hubungan
internasional yang menjadi acuan dunia. Akan tetapi, penting untuk diingat
bahwa apabila dikaitkan dengan agama, suatu teori akan bersifat sangat
sensitive, tidak semua masyarakat internasional merupakan masyarakat penganut
ajaran Islam, sehingga dalam perkembangannya, Islam akan sulit menjadi teori
dunia.
Buku ini memang
memiliki keunggulan tersendiri, yakni mampu memaparkan masalah secara
sistematis mulai dari teori, contoh kasus, simpulan, hingga
preskripsi-preskripsi dan kritikan penulis itu sendiri dalam memandang
masalah-masalah tersebut. Serta
melengkapinya dengan memberikan contoh-contoh kasus sebagai contoh aplikasi
dari teori yang bersifat abstrak.
Akan tetapi menurut saya, alangkah lebih baik
apabila dalam penulisan buku ini, tidak hanya mengandung contoh yang
signifikan, gaya
bahasa yang mudah dipahami, kritik penulis dan alur cerita yang lengkap, tetapi
juga mencantumkan solusi bagaimana menanggulangi masalah dalam bab-bab tersebut.
Seperti; cara bagaimana agar teori hubungan internasional non barat ini dapat
berkembang, dan tidak lagi mengalami keterbelakangan?.
Memang dalam beberapa bab, seperti bab yang membahas
mengenai teori hubungan internasional dalam perspektif Negara Indonesia dicantumkan solusi mengenai cara agar
teori hubungan internasional Indonesia
dapat berkembang, yakni dengan mengelola lebih baik segala potensi yang
berlebih dalam Negara Indonesia
tersebut. Akan tetapi, menurut saya, solusi yang dijabarkan belum terlalu
spesifik, dan tidak lengkap.
Jumlah kata
: 2.704 kata
Did you ever got task about making "Critical Review"??? So. This is one of my critical review task example. I got this when i'm still sitting at 6th Semester on International Relation Studies. I hope this will help you also to understand how to make or doing your critical review task. Anyway, for short remembering, critical review is basically, just like resume or summary, but you must entering your critics or opinion on it. XoXo
CIRI SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)
SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)
DEFINISI SISTEM EKONOMI CAMPURAN (MIXED ECONOMY)
SEJARAH SISTEM EKONOMI CAMPURAN
CIRI-CIRI SISTEM EKONOMI CAMPURAN
- Merupakan gabungan dari sistem
ekonomi pasar dan terpusat
- Barang modal dan sumber daya yang
vital dikuasai oleh pemerintah
- Pemerintah dapat melakukan
intervensi dengan membuat peraturan, menetapkan kebijakan fiskal, moneter,
membantu dan mengawasi kegiatan swasta.
- Peran pemerintah dan sektor swasta
berimbang.
tradisional
|
Terpusat
|
Pasar
|
Campuran
|
|
Kepemilikan sumber daya
|
Individu
|
Pemerintah
|
Swasta
|
Pemerintah dan
swasta
|
Harga
|
Belum ada
perdagangan
|
Pemerintah
|
Mekanisme
pasar
|
Pemerintah
bisa mengintervensi
|
Persaingan
|
tidak ada
|
Tertutup
|
Terbuka/Bebas
|
Terbuka bagi
industri swasta
|
Kepemilikan Individu
|
ada
|
Tidak ada
(sangat kecil)
|
Ada
|
ada
|
DERAJAT CAMPUR TANGAN PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN
“The congress declares that it is the continuing responsibility of the Federal Government to use all predictable means…for the purpose of creating and maintaining… conditions under which there will be afforded useful employment opportunities”
PRO DAN KONTRA TENTANG CAMPUR TANGAN PEMERINTAH
Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)
Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...

-
BERBAGAI PENDEKATAN TERHADAP MANAJEMEN a. Pendekatan Empiris atau Pendekatan Kasus Pendekatan empiris atau pendekatan kasus, m...
-
Masih bingung soal penggabungan metode kualitatif dan kuantitatif bisa atau tidak bisa dipergunakan? Saya pernah punya tugas short paper un...
-
Mata kuliah Teori Hubungan International SEMESTER IV Tulisan ini merupakan analisis mengenai intervensi Amerika Serikat dalam ...