Senin, 03 November 2014

LIBERALISME (one of the famous perspective in international relations studies!)

Hi. Long time not writing~
Beberapa pekan saya cukup sibuk dengan masalah personal, pencocokan dengan tempat dan suasana baru, juga rutinitas baru di S2 UGM yang woah pokoknya ga bisa di deskripsikan dengan kata-kata.
Oke... nah awal semester ini, kami dibukakan kembali memory mengenai Perspektif-Perspektif yang ada dalam Studi Hubungan Internasional, namun kali ini mungkin sedikit "lebih" diperdalam.

Kebetulan, saya mendapat bagian membahas "LIBERALISME" yang so so... often diperdengarkan sejak zaman S1 dulu. Kali ini saya me-review dari buku Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, dan Jacqui True, yaitu “Theories of International Relations”. 

So...bagi yang sedang merambah buku ini, mudah-mudahan bisa bit helping.
Dan... buat sedikit tambahan, saya juga mencantumkan contoh kasus~ 







 “LIBERALISME”
Tulisan ini merupakan hasil resume dari buku “Theories of International Relations” karya Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, dan Jacqui True. Pada tulisan ini lebih difokuskan kepada topik perspektif liberalisme.
Liberalisme merupakan salah satu dari dua produk filosofis besar sejak abad Pencerahan Eropa, hal ini karena liberalis memberikan dampak mendalam kepada seluruh bentuk masyarakat industri modern hingga saat ini. Ide-ide liberalis telah menjadi wujud bagi transisi demokrasi di kedua belahan dunia (barat dan timur), yang terwujud dalam bentuk “globalisasi ekonomi dunia”.
Pada dasarnya, asumsi dasar liberalis adalah untuk memperjuangkan kebebasan hak-hak individu dari kekuasaan sewenang-wenang negara. Berbeda dengan realis, paham ini menganjurkan kebebasan atas segala aspek, politik, demokrasi, jaminan hak konstitusional, kebebasan individu, persamaan di depan hukum, dan sebagainya. Paham liberalis juga berpendapat bahwa jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bagi semua umat manusia, adalah melalui kompetisi individu dalam masyarakat sipil, dan kapitalisme pasar, jalan ini juga dianggap paling efisien untuk mengalokasikan sumberdaya yang langka dalam masyarakat.
Tepatnya paham mengenai liberalis mulai melonjak di dalam akademi hubungan internasional, yakni pada akhir Perang Dingin, setelah kematian komunisme Soviet pada awal tahun 1990-an. Pada saat itu, demokrasi liberal tidak mempunyai pesaing ideologis yang serius. Didukung pula dengan adanya transisi baru bagi demokrasi di Afrika, Asia Timur, dan Amerika Latin. Akhir Perang Dingin telah mewakili kemenangan dari bentuk “negara ideal” dan bentuk khusus dari ekonomi politik “kapitalisme liberal”.
Hal yang unik dari paham liberalis ialah argumen nya yang jelas menentang realis bahwa sifat alami sistem internasional adalah anarki, dan mereka semua telah terjebak dalam perjuangan perebutan kekuasaan dan keamanan (Linklater, 1993: 29). Menurut liberalis justru hukum alam mendiktekan harmoni dan kerjasama antar manusia. Perdamaian merupakan keadaan normal, yang oleh sebab itu dapat menjadi abadi. Perang lah yang merupakan suatu tindakan yang di nilai liberalis tidak wajar, tidak rasional. Karena makna perang menurut kaum liberalis adalah alat yang dibuat, rekayasa, yang diciptakan oleh “kelas ksatria”, seperti pemerintah militeristik, yang memiliki tekad untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan mereka melalui penaklukan teritorial. Menurut Paine dalam the Rights of Man, “sistem perang” dibuat untuk menjaga kekuatan dan pekerja dari pangeran, negarawan, tentara, diplomat, dan produsen senjata, untuk mengikatkan tirani yang lebih kuat pada leher rakyat (Howard, 1978: 31).
Perang menjadi alasan bagi pemerintah untuk menaikkan pajak mereka, memperluas aparat birokrasi, dan meningkatkan kontrol atas warga negara mereka. Sementara, pada kenyataannya, orang-orang lebih mencintai perdamaian, namun terpaksa terjun kedalam konflik karena keinginan penguasa representatif mereka. Oleh sebab itu, perang juga dinilai sangat tidak demokratis untuk kepentingan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan argumen Schumpeter yang menyatakan bahwa perang adalah produk dari naluri agresif elit representatif, yang sementara itu akan menguntungkan pihak industri senjata dan aristrokrat militer, namun bencana bagi yang lainnya.
Perang digambarkan sebagai sebuah penyakit dalam tubuh, yang oleh sebab itu juga memiliki kemampuan untuk disembuhkan. Perawatan yang ditawarkan oleh kaum liberal sejak abad ke-18 tidak pernah berubah yakni: “Demokrasi dan Perdagangan Bebas”. Bagi Kant misalnya, pembentukan pemerintahan republik dimana penguasa memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak individu akan mengarahkan bagi terwujudnya perdamaian hubungan internasional, karena persetujuan akhir untuk melakukan perang akan bergantung kepada persetujuan warga negara (Kant, 1970: 100). Selain itu, ketika setiap individu diberikan kebebasan berbicara, menghormati hak setiap individu, persamaan di depan hukum, dan sebagainya di dalam negara, maka setidaknya negara tidak akan memiliki nafsu serupa terhadap konflik dan perang sebelum negara tersebut menjadi negara demokratik.
Contoh kasus liberalisme salah satu nya adalah dalam terciptanya kerjasama perdagangan antar negara. Salah satu nya adalah kerjasama perdagangan produk kaki ayam (chicken leg quarter) asal Amerika Serikat ke Meksiko, yang disepakati sejak tanggal 25 Juni 2003. Pada kesepakatan kerjasama ini bahkan Meksiko memberikan kebijakan penurunan tariff bea berjangka selama 5 tahun terhadap produk kaki ayam AS, dimulai dengan bea tarif 79% pada tahun 2004, 59,3% pada tahun 2005, 39,5% pada tahun 2006, 19,8% pada tahun 2007, hingga mencapai 0% pada tahun 2008[1].
Kerjasama perdagangan tersebut terjalin pada intinya didasari oleh adanya saling kebutuhan. Dalam kasus ini, AS sebagai produsen unggas terbesar di dunia (yakni tercatat mencapai 16.360.000 metrik ton daging unggas, khususnya ayam, dan mengekspor 2,82 juta metrik ton kepasar dunia - USDA, FAS, 21 Maret 2001)[2], memiliki kelebihan pasokan pada bagian ayam tertentu. Konsumen AS menunjukkan preferensi yang kuat dalam mengkonsumsi daging ayam bagian white/ light meat (dada ayam), sehingga bagian dark meat (drum stick, paha, kaki, dan seluruh seperempat bagian kaki) menjadi tidak bernilai tinggi atau bahkan terbuang di AS.
Berbanding dengan hal tersebut, beberapa negara lain, khususnya Meksiko lebih memiliki kecenderungan minat konsumsi yang besar terhadap bagian ayam dark meat (drumstick, paha, kaki, dan seluruh seperempat bagian kaki). Perbedaan preferensi konsumen antara Meksiko dan AS kemudian membuka kesempatan untuk perdagangan produk unggas bagi keduanya. Perdagangan yang diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi kedua negara. Perbedaan-perbedaan dalam preferensi daging unggas antar negara dapat menyebabkan arus perdagangan yang saling melengkapi[3].
AS dalam hal ini tentu sangat diuntungkan karena bebas dari penumpukan kaki ayam di negaranya, dan menjadi lebih berharga di negara lain. Sementara Meksiko, selain berkaitan dengan minat konsumen, adalah terkait kekeringan parah yang melanda Meksiko sejak tahun 2002. Bencana tersebut mematikan tanaman-tanaman, serta hewan-hewan ternak, menyebabkan masyarakat Meksiko menderita kemiskinan dan kelaparan (beberapa yang terparah adalah di kawasan Chihuahua, Zatecas, dan Durango). Hingga saat itu, pemerintah Meksiko belum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein daging, dan industri Meksiko belum mampu membangun kembali pasar bahan-bahan pokok makanan mereka. Tentu saja pasokan ayam murah dalam jumlah besar dari Amerika Serikat sangat membantu pemenuhan konsumsi masyarakat Meksiko tersebut.


[1] Mexico Initiatives an Anti-Dumping Investigation on US CLQs. Diakses dari Website Resmi Departemen Pertanian Luar Negeri Amerika Serikat: http//gain.fas.usda.gov/Recent%20GAIN%Publications/Mexico%20Initiatives%20An%20Anti-dumping%20Investigation%20on%20U.S.%20CLQs_Mexico_Mexico_2-8-2011.pdf, pada 20 April 2013.
[2]Ablayeva,Bella, the Impact of Currency Devaluation on US Poultry Exports: the Case of Rusia, diakses dari: (http://athenaeum.libs.uga.edu/bitstream/handle/10724/5709/ablayeva_bella_200112_ms.pdf?sequence=1), pada 19 September 2013.
[3] World Meat Trade Shaped by Regional Preferences & Reduced, diakses dari: (http://www.agriculture.de/discus/messages/33/fulltext_ao269d.pdf), pada 19 Oktober 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...