Senin, 03 November 2014

P. De Grauwe dan F. Camerman: How Big Are the Big Multinational Companies? VS ROBERT GILPIN

A Critical Review

Tulisan ini merupakan hasil ulasan yang mengkaji secara kritis terkait tema Perusahaan Multinasional dan Investasi Global, khususnya dari tulisan P. De Grauwe dan F. Camerman yang berjudul “How Big are the Big Multinational Companies?” yang menjadi salah satu referensi bahan bacaan yang disediakan. Sebagai pembanding, dalam critical review ini akan saya hadirkan pula argumen yang berasal dari buku Robert Gilpin yang berjudul “Global Political Economy Understanding the International Economic Order”.

Karena pada tulisan Grauwe dan Camerman lebih cenderung membahas mengenai argumennya terkait persoalan MNCs yang lebih powerful dibandingkan negara-bangsa, maka pada critical review ini, saya juga akan menjelaskan posisi saya serta beberapa opini saya terkait perdebatan maupun argumen Grauwe dan Camerman, berikut dengan sumber argumen tambahan yang berasal dari buku Gilpin.

Pada buku Grauwe dan Camerman sebenarnya sudah berisikan kritik yang sebenarnya mendukung opini serta kritik saya terhadap persepsi mayoritas peneliti ilmu hubungan internasional, seperti Robert Gilpin yang menyatakan bahwa MNCs lebih powerful dibandingkan negara. Tidak banyak peneliti seperti Grauwe dan Camerman yang menyanggah pernyataan tersebut. Mayoritas peneliti menggeneralisasikan hasil temuan, dan oleh sebab itu sejak awal perkembangannya, MNCs selalu dihadapi oleh perdebatan-perdebatan publik internasional terkait pertumbuhan dan kehadirannya sebagai aktor internasional.

Robert Gilpin dan beberapa pakar menganggap bahwa kekuatan MNCs begitu besar sehingga dapat disebut sebagai predator imperialistik, yang diperkirakan sedikit lagi akan segera mengendalikan ekonomi dunia. Pada buku Grauwe juga disebutkan bahwa, kaum anti-globalis pernah mengklaim bahwa berdasarkan penelitian mereka, dalam daftar 100 ekonomi terbesar didunia, di isi oleh 51 MNCs, sementara hanya 49 nya adalah negara.

Grauwe meskipun tidak dapat dikatakan sepakat dengan hasil penelitian tersebut, menyatakan bahwa hal ini juga tidak dapat dikatakan salah. Karena sebenarnya untuk mendapatkan data statistik yang dapat mendukung klaim bahwa kekuatan MNCs melebihi kekuatan rata-rata negara tidaklah sulit. Gilpin juga dalam bukunya menyimpulkan beberapa hal yang dapat memperkuat argumennya bahwa MNCs lebih powerful dibandingkan negara, yakni: 1) kekuatan MNCs dapat dilihat dari kemampuannya mengelola unit-unit ekonominya di dua negara atau lebih; 2) kekuatan MNCs juga dapat dilihat dari strategi investasi langsung yang menimbulkan efek perpanjangan kontrol manajerial melintasi batas-batas nasional; 3) segi kekuatan sumber daya, MNCs dinilai Gilpin melebihi kekuatan sumber daya yang dimiliki oleh sebagian besar negara-negara anggota PBB (dan terus tumbuh); serta 4) lingkup operasi MNCs lebih luas secara geografis, bahkan menurut Gilpin dibandingkan dengan seluruh kerajaan yang pernah ada.

Berbanding dengan pernyataan Gilpin, kaum anti-globalis dalam buku Grauwe juga menjelaskan darimana hasil tersebut didapatkan, yakni dengan mengukur dan melihat PDB negara untuk membandingkan ukurannya dengan perusahaan multinasional. Dengan demikian, ketika anti-globalis mengklaim bahwa dalam 100 ekonomi terbesar diisi oleh 51 perusahaan multinasional dan 49 adalah negara, maka mereka membandingkannya berdasarkan penjualan perusahaan multinasional dengan GDP negara.

Hal inilah yang sebenarnya menjadi titik awal dari munculnya perdebatan dan kritik terhadap kemunculan MNCs sebagai aktor internasional, serta mempengaruhi naik turunnya perkembangan MNCs di dunia internasional. Grawe dan Camerman bahkan menggambarkan progress MNC sebagaimana gerakan pendulum, naik dan turun.

Tahun 1960-1970an, kehadiran MNC terutama yang berasal dari Amerika dipandang sebagai lembaga yang memiliki tekad untuk mendominasi dunia. MNC dinilai oleh banyak pihak, merupakan alat dan strategi Amerika untuk mengambil alih Eropa dan dunia. Tahun 1980-an, persepsi negatif tersebut bergeser, dan publik internasional mulai menerima MNC sebagai sebuah simbol keberhasilan dan kemajuan dunia yang semakin terintegrasikan. Namun kemudian kembali menuai kontra karena dianggap kehadiran MNC yang begitu kuat akan menghancurkan tatanan masyarakat yang demokratis serta menyesatkan lanskap kebudayaan yang sudah ada.

Heitz dalam bukunya the Silent Takeover juga mengklaim bahwa MNC yang hadir dengan kekuatan begitu kuat akan menghancurkan tatanan masyarakat yang demokratis. Dengan argumen serupa, Naomi Klein menyatakan bahwa MNC tidak hanya menjual produk fisik, tetapi juga emosional sehingga dapat menyesatkan lanskap kebudayaan yang sudah ada.

Menurut opini saya, persepsi seperti itu merupakan persepsi yang terlalu berlebihan. Selain itu pula untuk mengukur sebuah kekuatan tidaklah mudah, dan sangat relatif, tidak dapat di generalisasikan, dan dianggap seluruhnya sama. Pada prinsipnya, kita harus lebih mencermati wacana tersebut.

Grauwe khususnya menyebutkan bahwa terdapat kelemahan dalam menghitung besarnya kekuatan negara melalui GDP, yakni bahwa banyak dari penjualan dan PDB negara yang pada kenyataannya tidak dimasukkan dalam hitungan, dengan alasan memudahkan penghitungan dan menghindari terjadinya penghitungan ganda. Penghitungan ganda yang dimaksudkan ialah sebagai contoh, Bethelem Steel menjual kawat baja untuk bahan pembuatan ban Bridgestone pada tahun 2002, Bridgestone kemudian menjual bannya untuk pembuatan mobil Ford Motor ditahun yang sama, hingga akhirnya mobil tersebut sampai ke tangan konsumen di tahun yang sama pula. Apabila dihitung seluruh dari awal proses pembuatan mobil hingga dipasarkan ke konsumen, dari mulai, kawat, baja, ban, mobil, penghitungan penjualan kawat baja misalnya dapat menjadi tiga kali. Hasilnya nilai produksi yang dilaporkan akan berlebihan. Untuk menghindari hal ini, para ekonom hanya menghitung nilai tambah di tiga perusahaan saja yakni pada tahap akhir.

Setelah akhirnya Grauwe dan Camerman melakukan penelitian melalui caranya sendiri, yang berdasar kepada daftar 500 MNC terbesar didunia versi majalan Fortune di tahun 2000, dengan sumber data PDB berasal dari Bank Dunia, menunjukkan hasil bahwa 100 ekonomi terbesar didunia adalah 63 negara dan hanya 37 adalah MNCs, dan yang lebih mengejutkan adalah, dari 50 daftar ekonomi terbesar didunia 48 adalah negara, dan hanya 2 yang merupakan MNCs (yakni Exxon, dan Wal Mart).

Berdasarkan hasil Grauwe tersebut, dengan membandingkan tulisan Gilpin, pendapat saya adalah, belum ada indikasi yang tepat dari ukuran relatif yang dapat menunjukkan secara tepat manakah yang lebih powerful antara MNCs dan negara, karena sebuah kekuatan nyatanya sangat relatif, dan menurut saya kekuatan beberapa negara besar jauh lebih besar dibandingkan MNCs terbesar didunia sekalipun. Sebagai contoh, Grauwe dalam bukunya juga mencantumkan bahwa ekonomi AS adalah 200; kali lebih besar dari MNCs terbesar didunia; Jepang adalah 100 kali lebih besar; Cina adaah 20 kai lebih besar, dan bahkan negara0negara kecil seperti Belgia, Swedia, Austria dapat tiga sampai lima kali lebih besar dari MNCs terbesar didunia.

Retorika anti-globalis sebenarnya yang telah mendorong publik untuk percaya tanpa mengidentifikasi lebih lanjut dan teliti akan pernyataan tersebut. Akan tetapi memang dalam beberapa contoh lain, MNCs seperti Wall Mart dinyatakan lebih lanjut oleh Grauwe lebih besar dibandingkan Pakistan, Peru, dan Aljazair; sementara Exxon disebutkan lebih besar dari Republik Ceko, Selandia Baru, dan beberapa negara kecil lainnya.

Berkaitan dengan pertumbuhan, pertumbuhan MNCs sebenarnya sama saja dengan pertumbuhan di negara maupun aspek-aspek lainnya. Beberapa MNCs tumbuh sangat cepat dibandingkan yang lainnya, namun beberapa diantaranya juga telah menyusut dalam ukuran relatif, baik diseluruh kawasan, atau dibeberapa kawasan tertentu saja, sementara di kawasan lainnya mengalami peningkatan. Begitu pula halnya dengan negara, beberapa negara dengan kebijakan baru seperti pembebasan perdagangan mengalami pertumbuhan perekonomian pesat dibandingkan perusahaan multinasional, dan beberapa yang lain tidak. Seluruhnya bukan merupakan proses yang statis, melainkan terus menerus berubah, dan tidak pasti, serta sulit untuk dipahami, kemudian di generalisasikan.

Faktanya, perusahaan MNCs tidaklah sebesar yang banyak orang pikir, dan perkembangannya tidaklah perlu dikhawatirkan akan mengancam dan merusak kebudayaan suatu negara, karena hal ini tidaklah selalu menjadi sebuah masalah. Mengenai masalah kekuatan, sangatlah sulit untuk diukur.


Jumlah Kata: 1.161 kata 

LIBERALISME (one of the famous perspective in international relations studies!)

Hi. Long time not writing~
Beberapa pekan saya cukup sibuk dengan masalah personal, pencocokan dengan tempat dan suasana baru, juga rutinitas baru di S2 UGM yang woah pokoknya ga bisa di deskripsikan dengan kata-kata.
Oke... nah awal semester ini, kami dibukakan kembali memory mengenai Perspektif-Perspektif yang ada dalam Studi Hubungan Internasional, namun kali ini mungkin sedikit "lebih" diperdalam.

Kebetulan, saya mendapat bagian membahas "LIBERALISME" yang so so... often diperdengarkan sejak zaman S1 dulu. Kali ini saya me-review dari buku Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, dan Jacqui True, yaitu “Theories of International Relations”. 

So...bagi yang sedang merambah buku ini, mudah-mudahan bisa bit helping.
Dan... buat sedikit tambahan, saya juga mencantumkan contoh kasus~ 







 “LIBERALISME”
Tulisan ini merupakan hasil resume dari buku “Theories of International Relations” karya Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, dan Jacqui True. Pada tulisan ini lebih difokuskan kepada topik perspektif liberalisme.
Liberalisme merupakan salah satu dari dua produk filosofis besar sejak abad Pencerahan Eropa, hal ini karena liberalis memberikan dampak mendalam kepada seluruh bentuk masyarakat industri modern hingga saat ini. Ide-ide liberalis telah menjadi wujud bagi transisi demokrasi di kedua belahan dunia (barat dan timur), yang terwujud dalam bentuk “globalisasi ekonomi dunia”.
Pada dasarnya, asumsi dasar liberalis adalah untuk memperjuangkan kebebasan hak-hak individu dari kekuasaan sewenang-wenang negara. Berbeda dengan realis, paham ini menganjurkan kebebasan atas segala aspek, politik, demokrasi, jaminan hak konstitusional, kebebasan individu, persamaan di depan hukum, dan sebagainya. Paham liberalis juga berpendapat bahwa jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bagi semua umat manusia, adalah melalui kompetisi individu dalam masyarakat sipil, dan kapitalisme pasar, jalan ini juga dianggap paling efisien untuk mengalokasikan sumberdaya yang langka dalam masyarakat.
Tepatnya paham mengenai liberalis mulai melonjak di dalam akademi hubungan internasional, yakni pada akhir Perang Dingin, setelah kematian komunisme Soviet pada awal tahun 1990-an. Pada saat itu, demokrasi liberal tidak mempunyai pesaing ideologis yang serius. Didukung pula dengan adanya transisi baru bagi demokrasi di Afrika, Asia Timur, dan Amerika Latin. Akhir Perang Dingin telah mewakili kemenangan dari bentuk “negara ideal” dan bentuk khusus dari ekonomi politik “kapitalisme liberal”.
Hal yang unik dari paham liberalis ialah argumen nya yang jelas menentang realis bahwa sifat alami sistem internasional adalah anarki, dan mereka semua telah terjebak dalam perjuangan perebutan kekuasaan dan keamanan (Linklater, 1993: 29). Menurut liberalis justru hukum alam mendiktekan harmoni dan kerjasama antar manusia. Perdamaian merupakan keadaan normal, yang oleh sebab itu dapat menjadi abadi. Perang lah yang merupakan suatu tindakan yang di nilai liberalis tidak wajar, tidak rasional. Karena makna perang menurut kaum liberalis adalah alat yang dibuat, rekayasa, yang diciptakan oleh “kelas ksatria”, seperti pemerintah militeristik, yang memiliki tekad untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan mereka melalui penaklukan teritorial. Menurut Paine dalam the Rights of Man, “sistem perang” dibuat untuk menjaga kekuatan dan pekerja dari pangeran, negarawan, tentara, diplomat, dan produsen senjata, untuk mengikatkan tirani yang lebih kuat pada leher rakyat (Howard, 1978: 31).
Perang menjadi alasan bagi pemerintah untuk menaikkan pajak mereka, memperluas aparat birokrasi, dan meningkatkan kontrol atas warga negara mereka. Sementara, pada kenyataannya, orang-orang lebih mencintai perdamaian, namun terpaksa terjun kedalam konflik karena keinginan penguasa representatif mereka. Oleh sebab itu, perang juga dinilai sangat tidak demokratis untuk kepentingan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan argumen Schumpeter yang menyatakan bahwa perang adalah produk dari naluri agresif elit representatif, yang sementara itu akan menguntungkan pihak industri senjata dan aristrokrat militer, namun bencana bagi yang lainnya.
Perang digambarkan sebagai sebuah penyakit dalam tubuh, yang oleh sebab itu juga memiliki kemampuan untuk disembuhkan. Perawatan yang ditawarkan oleh kaum liberal sejak abad ke-18 tidak pernah berubah yakni: “Demokrasi dan Perdagangan Bebas”. Bagi Kant misalnya, pembentukan pemerintahan republik dimana penguasa memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak individu akan mengarahkan bagi terwujudnya perdamaian hubungan internasional, karena persetujuan akhir untuk melakukan perang akan bergantung kepada persetujuan warga negara (Kant, 1970: 100). Selain itu, ketika setiap individu diberikan kebebasan berbicara, menghormati hak setiap individu, persamaan di depan hukum, dan sebagainya di dalam negara, maka setidaknya negara tidak akan memiliki nafsu serupa terhadap konflik dan perang sebelum negara tersebut menjadi negara demokratik.
Contoh kasus liberalisme salah satu nya adalah dalam terciptanya kerjasama perdagangan antar negara. Salah satu nya adalah kerjasama perdagangan produk kaki ayam (chicken leg quarter) asal Amerika Serikat ke Meksiko, yang disepakati sejak tanggal 25 Juni 2003. Pada kesepakatan kerjasama ini bahkan Meksiko memberikan kebijakan penurunan tariff bea berjangka selama 5 tahun terhadap produk kaki ayam AS, dimulai dengan bea tarif 79% pada tahun 2004, 59,3% pada tahun 2005, 39,5% pada tahun 2006, 19,8% pada tahun 2007, hingga mencapai 0% pada tahun 2008[1].
Kerjasama perdagangan tersebut terjalin pada intinya didasari oleh adanya saling kebutuhan. Dalam kasus ini, AS sebagai produsen unggas terbesar di dunia (yakni tercatat mencapai 16.360.000 metrik ton daging unggas, khususnya ayam, dan mengekspor 2,82 juta metrik ton kepasar dunia - USDA, FAS, 21 Maret 2001)[2], memiliki kelebihan pasokan pada bagian ayam tertentu. Konsumen AS menunjukkan preferensi yang kuat dalam mengkonsumsi daging ayam bagian white/ light meat (dada ayam), sehingga bagian dark meat (drum stick, paha, kaki, dan seluruh seperempat bagian kaki) menjadi tidak bernilai tinggi atau bahkan terbuang di AS.
Berbanding dengan hal tersebut, beberapa negara lain, khususnya Meksiko lebih memiliki kecenderungan minat konsumsi yang besar terhadap bagian ayam dark meat (drumstick, paha, kaki, dan seluruh seperempat bagian kaki). Perbedaan preferensi konsumen antara Meksiko dan AS kemudian membuka kesempatan untuk perdagangan produk unggas bagi keduanya. Perdagangan yang diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi kedua negara. Perbedaan-perbedaan dalam preferensi daging unggas antar negara dapat menyebabkan arus perdagangan yang saling melengkapi[3].
AS dalam hal ini tentu sangat diuntungkan karena bebas dari penumpukan kaki ayam di negaranya, dan menjadi lebih berharga di negara lain. Sementara Meksiko, selain berkaitan dengan minat konsumen, adalah terkait kekeringan parah yang melanda Meksiko sejak tahun 2002. Bencana tersebut mematikan tanaman-tanaman, serta hewan-hewan ternak, menyebabkan masyarakat Meksiko menderita kemiskinan dan kelaparan (beberapa yang terparah adalah di kawasan Chihuahua, Zatecas, dan Durango). Hingga saat itu, pemerintah Meksiko belum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein daging, dan industri Meksiko belum mampu membangun kembali pasar bahan-bahan pokok makanan mereka. Tentu saja pasokan ayam murah dalam jumlah besar dari Amerika Serikat sangat membantu pemenuhan konsumsi masyarakat Meksiko tersebut.


[1] Mexico Initiatives an Anti-Dumping Investigation on US CLQs. Diakses dari Website Resmi Departemen Pertanian Luar Negeri Amerika Serikat: http//gain.fas.usda.gov/Recent%20GAIN%Publications/Mexico%20Initiatives%20An%20Anti-dumping%20Investigation%20on%20U.S.%20CLQs_Mexico_Mexico_2-8-2011.pdf, pada 20 April 2013.
[2]Ablayeva,Bella, the Impact of Currency Devaluation on US Poultry Exports: the Case of Rusia, diakses dari: (http://athenaeum.libs.uga.edu/bitstream/handle/10724/5709/ablayeva_bella_200112_ms.pdf?sequence=1), pada 19 September 2013.
[3] World Meat Trade Shaped by Regional Preferences & Reduced, diakses dari: (http://www.agriculture.de/discus/messages/33/fulltext_ao269d.pdf), pada 19 Oktober 2013.

Resume: Military Technology and Conflict: Geoffrey Kemp PART VI (PROLIFERASI DAN ASIMETRI PEPERANGAN)

Mata kuliah Resolusi Konflik SEMESTER VI Military Technology and Conflict by Geoffrey Kemp Proliferasi dan Asimetri...